Wayang





Apakah boneka kecilmu ini, dilarang untuk bahagia?
Apakah wayang yang sering kaumainkan ini, dilarang untuk mencari kebebasan?
[Musikalisasi Puisi, "Mengais Masa Lalu" by Dwitasari]


 Aku capek nunggu orang itu kembali. Udah makan? Udah pulang? Udah sholat?

Aku iri sama orang-orang. Yang buat aku bahagia cuman kenangan-kenangan itu. Kenangan yang nggak akan pernah balik lagi. Kenangan yang memang hanya benar-benar kenangan. Kenangan yang hanya terjadi di masa lalu. Takkan pernah kembali.


Aku iri sama orang-orang yang bahagia dengan pacarnya gampang saja. Lain sama aku yang harus nangis sampe mata sebesar bola tenis dulu baru bahagia. Bahagianyapun sederhana saja; inget kenangan dulu plus lihat foto pacar.

Kapan dia kembali? Kapan dia balik? Tapi dia pernah bilang bahwa ia tak pernah kembali. Tak hanya itu, ia juga pernah bilang bahwa ia sudah tak mengerti. Saat itulah kehilanganku sesungguhnya. Saat itulah kehampaanku sesungguhnya. Saat itulah aku benar-benar nestapa. Setahuku, pacarku selalu ngelakuin apa aja untukku bahagia.

Aku di sini terus, nunggu dia kembali. Sambil terus nangis dan pasang wajah sok tegar dan bangga ama apa yang aku miliki. Munafik sama semua orang yang bertanya. Aku hanya ingin dia kembali. Tapi untuk pedulipun ia enggan.

Orang bisa saja sering bilang bahwa dari dulu aku selalu cuek. Orang bisa saja sering bilang bahwa aku hanya ingin peduli dengan pacarku. Nggak peduli sekitar. Sok ama sekitar. Habis mau bagaimana? Sejak aku benar-benar jatuh dan tenggelam dalam dirinya, aku merasa dialah hidupku. Selintas baru kusadari apa dibalik semua kecanduanku ini; itu dulu.

Aku selalu bahagia jika orang bertanya. Aku selalu bangga menceritakannya. Aku selalu bangga ketika orang-orang menyinggung namanya. Tapi ketika kulihat sosokmu menjauh yang hanya bisa kugapai lewat angan, kenangan, dan foto dalam dompet pemberianmu, aku tersenyum dalam lara.

Aku selalu iri dengan orang-orang. Selalu kulukiskan dan kubayangkan dalam angan betapa hangatnya jika kita seperti mereka. Tapi, lagi-lagi aku tertegun ketika mendapati diriku yang terlalu akrab dengan air mata; luka ini familiar.

Aku bisa melukiskan seribu kata untukmu. Bisa kuciptakan ribuan kalimat memujamu. Ini hatiku yang bicara. Ini rasaku yang mengungkapkan. Kauhargai segala apa yang ingin kutulis untukmu dengan membacanya saja, aku bahagia.

Lihat, betapa hebatnya dirimu. Dengan melirikku tajam saja kau mampu membuatku menderita. Dengan membelaiku sekilas kau mampu membuatku bahagia. Lalu, apa celamu untukku? Apa kurangmu untukku?

Kamu nyaris sempurna. Kamu bisa berikanku apa saja. Tapi sekali lagi kusesali. Itu dulu, sayang.

Aku ingin menyentuhmu, merengkuhmu, mengusap rambutmu. Aku ingin tersenyum untukmu, lelah bersamamu, menikmati luka denganmu, menangis bersamamu. Tangan yang sudah kuulurkan ini hanya menyentuh angin. Tangan yang sudah kurentangkan ini membelai kekosongan. Kamu nggak pernah tau bagaimana menderitanya aku tanpamu sehari saja. Kamu nggak pernah tau betapa hausnya aku tentang kabarmu. Kamu nggak pernah tau betapa lelahnya aku menanti kehadiranmu. Kamu nggak pernah tau betapa kesepiannya aku karena hanya bisa menghayalkanmu. Aku mungkin bisa saja munafik  ke semua orang termasuk dirimu bahwa aku baik-baik saja tanpamu. Aku bahagia melihatmu bahagia. Kau membuatku buta dan membuatku mencintaimu lebih dari diriku sendiri.

Segala alasan, segala makna, segala ulasan, itulah dirimu. Aku masih di sini sayang, menunggumu. Aku mungkin bisa saja munafik bilang bahwa aku lelah. Aku di sini sayang. Aku di sini. Tak bisakah kamu izinkan aku menangis untukmu? Tak bisakah kamu memberikan aku kesempatan untuk menjelaskan betapa sakitnya aku? Aku lelah sayang. Aku lelah. Aku meminta pada Tuhan. Minta pada angin. Minta pada keterbatasan di antara kita. Minta pada kenyataan yang selalu mengganggu hari-hariku. Kapan kamu akan kembali? Kapan kamu akan sadar betapa... ah. Apa kamu dengar aku sekarang? Teriakan suaraku akan namamu sudah bosan aku lakukan.

Segala aspek ini sayang. Tanyakan saja pada Tuhan betapa aku cintaimu. Tanyakan saja pada Tuhan betapa aku membutuhkanmu. Tanyakan saja pada semua orang, betapa aku buta akan luka ketika kamu di sisiku, namun buta arah ketika kamu pergi. Aku cinta kamu, sayang. Kutanam terus hingga baik. Kurawat terus hingga menciptakan sejarah. Kamu hidupku, sayang. Kamu hidupku.


Aku hanya ingin kamu tau betapa aku cintaimu. Aku hanya ingin kamu tau betapa aku ingin kamu. Aku hanya ingin kamu tau betapa menderitanya aku sehari saja tanpamu. Dengarkan aku, dengarkan aku. Berulang-ulang aku jatuh namun bangkit untukmu. Berulang-ulang aku menangis namun tersenyum demi kamu. Semuanya sudah kuberi. Semuanya sudah kulakukan. Semuanya sudah kuungkapkan. Dengarkan aku sekali saja.

Orang-orang di belakang kita yang awalnya sangat mendukung sekarang memusuhi. Aku berdiri, masih di sini, aku masih berdiri di sini, sayang. Aku menghadapai segala cerca mereka untuk kita. Aku mendengarkan, kuberi alasan, mereka mengaku sudah lelah. Mereka bosan melihatku hidup seperti zombie hanya karena pacar yang tak perhatian.

Aku menyerah. Sudah sekian malam kulewati untuk menunggu sosokmu kembali. Aku mencintaimu. Mencintaimu. Aku tak bisa lepas. Tapi hati ini sudah soak terkoyak-koyak rasanya.

Mimpi kita, impian kita, biarlah hidup dan berkembangnya. Seperti rasaku yang tak pernah ada habisnya untukmu.

Seperti rasaku yang tak pernah ada habisnya untukmu, hei, dalangku.


@anggiiaaa

Komentar