Selamat Malam, Sayang

"Selamat malam, Sayang."

Sella tersenyum malu. Hatinya melambung. Pipinya bersemu merah. "Malem juga."

"Idih, Sayang-nya nggak dijawab."

Sella salah tingkah. Ia meliuk-liukkan badannya seperti anak kecil. Jantungnya melompat-lompat seperti kelinci. "Iya, Sayang," jawab Sella malu-malu. Badannya bergetar hebat.

Suara di sebrang cekikikan. Mirip cicitan tikus kecil mengendap-endap mencuri ayam. "Nggak kangen aku?"

Sella mengeluh dalam hati. Bisa nggak sih dia tenang? Kok amburadul gini. Serba salah. Gelisah. Ia mengetuk-ngetukkan gigi atas dengan gigi bawahnya. Nggak ngerti apa ia menggigil begini karena menahan rindu. "Ya kangeeeen, banget." Suara Sella terdengar manja.

Kali ini suara itu ngakak. Tertawa senang. Membuat Sella melayang. Memabukkan. "Oke, aku ke rumahmu ya."

Selalu begitu. Ketika malam datang menenggelamkan siang, Randi selalu menghubungi ponsel Sella. Hanya untuk mengucapkan selamat malam. Terkadang jika malam Minggu, Randi datang untuk Sella. Malam adalah akhir hari bagi Randi. Dan Randi masih merasa bahwa ia harus merayakannya sebelum sebuah hari tutup. Hanya untuk mengucapkannya pada satu-satunya orang yang dicintainya. Sella.

***

Malam yang berbeda. Sella memandangi hiruk pikuk kota dari jendela kamar apartemennya. Malam Minggu. Gemerlap lampu mengundang decak kagum setiap tertaut pandangan. Kesibukan. Sibuknya orang-orang dibawah sana. Sibuknya mereka. Diamnya Sella. Sibuknya mereka. Diamnya Sella. Malam yang berbeda.

Ponsel Sella bergetar. Nomor tak dikenal. Tapi diamnya Sella berangsur damai. Sella mengangkat telepon dengan senyum merekah.

Sella diam. Ia tak mengucapkan sepatah katapun dengan orang di sebrang yang rupanya juga masih diam. Hanya desah napas Sella yang awalnya tenang seketika memburu. Lalu cepat seperti seorang terkena asma. Kelima jari digunakannya menutup mulut. Banjir bandang air mata menenggelamkan harapan.

Suara sebrang akhirnya terdengar. Kekehan lembut kesakitan. Eluhan erangan. Namun tanpa bisa melihat, kontras bagi Sella, ia bisa melihat senyum yang mati-matian ditorehkan. "Selamat malam, Sayang."

Sella tersenyum malu. Hatinya melambung. Pipinya bersemu merah. "Malem juga." Suara Sella bergetar.

"Idih, Sayang-nya nggak dijawab," sahut orang sebrang dengan lemah.

Sella salah tingkah. Ia meliuk-liukkan badannya seperti anak kecil. Jantungnya melompat-lompat seperti kelinci. "Iya, Sayang," jawab Sella malu-malu. Badannya bergetar hebat. Giginya gemeletukkan sambil menarik napas dalam. Memejamkan mata membuat sebutir air mengalir mulus.

Suara di sebrang cekikikan. Mirip cicitan tikus kecil mengendap-endap mencuri ayam. "Nggak kangen aku?"

Sella mengeluh dalam hati. Bisa nggak sih dia tenang? Kok amburadul gini. Serba salah. Gelisah. Ia mengetuk-ngetukkan gigi atas dengan gigi bawahnya. Nggak ngerti apa ia menggigil begini karena menahan rindu. "Ya kangeeeen, banget." Suara Sella terdengar manja tapi masih bergetar.

Kali ini suara itu ngakak. Tertawa senang. Membuat Sella melayang. Memabukkan. Tawa yang lemah. Seketika terngiang jawaban jika sudah seperti ini. Tapi yang di sana masih diam saja. Mendesah kesakitan.

"Gimana keadaanmu?" tanya Sella.

"Nggak ada yang berubah. Sekarang kakak masih rapat ama dokter," suara itu tertawa geli, tapi masih lemah. "Tentang operasi pengangkatan kanker-nya."

Sella masih sesenggukan. "Kamu nggak ke rumahku?"

Yang di sana mendesah berat. Sella merasa sekarang suara itu sedang beringsut resah. Tapi Sella menunggu jawaban.

"Maaf, Sella." Hanya itu yang mampu diucapkan.

Sela menangis dalam diam. Diam yang memeluknya erat. Sepi yang menemaninya. Dingin yang menusuk tulangnya. Malam Minggu yang menertawakannya. Kesibukan asing di sampingnya. Tangisnya yang lirih pada malam itu. Malam yang berbeda.

"Amerika itu jauh ya, Ran?"


Komentar