Sampai Seribu Tahun ke Depan
Ketika kita berteduh di bawah atap, kamu akhirnya memilih keluar setelah pertimbangan cukup sengit dengan dirimu sendiri. Kamu berputar-putar, tersenyum memejamkan mata, seolah menikmati hujan untuk terakhir kalinya. Kamu mengajakku berlari-lari, bersorak senang, seolah kegembiraan mengambil alih dirimu sepenuhnya.
Lalu kamu menuju rerumputan, menghempaskan dirimu di sana sambil tertawa-tawa. Sebelum akhirnya mata indahmu tertutup, kamu menghirup aroma tanah sambil memejamkan mata dan tersenyum, seolah kamu menghirup aroma bunga. Ketika kegelapan merengkuhmu sepenuhnya, senyum indahmu lenyap dalam mataku.
***
"Daya tahan tubuhnya menurun secara kontras. Jika sudah begini, ia sangat rentan akan apapun."
***
Berlarian di pematang sawah, kamu selalu saja menghabiskan waktu seperti ini dengan berteriak-teriak dan bersorak. Seolah kamu baru pertama kalinya melihat indahnya dunia. Seolah kamu menunjukkan padaku yang belum tau. Membuat hatiku pilu. Hatiku membiru.
Atau bersepeda bermandikan sinar matahari, kamu bilang kamu cinta matahari. Saat hujan datang, kamu cinta hujan. Lalu kamu bilang, kamu cinta alam. Kamu mengatakannya dengan nada seolah aku belum mengetahuinya. Kamu mengatakannya seolah aku tak mengerti apa-apa. Padahal yang lebih tau dirimu adalah aku.
Saat meniup gelembung, kamu bilang gelembung itu lucu. Saat melihat kupu-kupu kamu bilang kupu-kupu itu indah. Kamu mengatakannya seolah kamu baru terlahir. Kamu mengatakannya seolah setelah ini kamu pergi. Membuatku semakin terpukul.
"Aku memang seperti terlahir kembali," katamu sambil tersenyum, menikmati sinar matahari di hadapan laut biru. "Ah, bodoh!" katamu sambil menepuk dahimu sendiri. "Kenapa baru bisa kulakukan sekarang?"
***
Atau pada keesokan harinya kamu menghilang. Kamu jatuh. Keheningan dan kehampaan sepertinya benar-benar menjadi sahabatku saat kamu pergi. Saat kamu pergi...
Saat kau menghirup aroma bunga mawar seperti kamu menghirup aroma kedamaian, kamu memejamkan mata dalam-dalam untuk sekian lamanya. Kamu potret terindah yang pernah aku temukan.
Kamu memandang mawar itu sendu. "Cantik," bisikmu bergetar.
Lalu, kamu jatuhkan mawar itu. Kamu menginjaknya dengan sadis. Bahkan kamu pasang wajah tanpa senyum yang terkesan kejih. Kamu angkat kakimu dan melihat mawar yang tertindas itu. Matamu berkabut seketika.
***
Kamu dan aku, sekarang, di sini. Bukan di pantai, pematang sawah luas, padang rumput, atau aneka tempat yang pernah kita kunjungi. Bukan senyum yang menghiasi wajahmu yang cantik sekarang. Tapi mata yang berair dan pipi yang basah, menatapku nanar.
"Kenapa kamu nggak pernah bosan nungguin aku?" tanyamu.
"Untuk apa aku bosan?"
"Aku sudah terlalu sering nyakitin kamu," isakmu.
Aku menggeleng dan tersenyum. Kuselipkan anak rambutmu yang terurai ke belakang telingamu.
"Aku selalu ngerepotin kamu," tambahmu.
"Aku nggak merasa direpotin dan kalaupun iya, aku seneng kamu repotin."
"Garda, kamu ngerti nggak sih? Aku munafik! Aku cuman dateng ke kamu saat aku terpuruk, dan saat aku bahagia, mana pernah aku datang? Kamu kayak aku buat mainan. Aku nggak pernah memenuhi keinginanmu sekalipun, tapi kamu selalu menuhin keinginanku."
"Nggak ada yang aku inginin dari kamu selain kamu jaga dirimu baik-baik."
"Bohong," tudingmu sadis. Kamu menelan ludah sambil memejamkan mata, seolah kamu ingin mengeluarkan kesedihan yang telah lama dipendam. "Andaikan aku menuhi keinginan kamu, aku nggak akan kayak gini."
"Hei, hei!" sergahku. "Kalaupun kamu penuhi, akan aku tolak. Kamu melakukannya karena terpaksa, kan?"
Kamu menatapku sendu. Air mata terus mengalir menyusuri kulit wajahmu, seperti mutiara. Seperti kristal, bening, sebening rasaku untukmu yang takkan kulihat lagi.
Kamu terbatuk-batuk. Mulutmu mengeluarkan darah. Kamu memegangi dadamu dengan kaki seperti mengayuh. Kamu meronta kesakitan. Matamu naik ke atas.
Sekitar lebih dari 5 tahun yang lalu, kamu menimpa kecelakaan maut. Kamu kehilangan banyak darah. Saat itu seseorang datang menwarkan donor darah. Seseorang yang dulu mencintaimu dan kamu cintai. Tapi orang itu membencimu.
Termasuk darah yang sampai sekarang mengalir di nadimu, darah itu tetaplah kebencian.
***
"Kamu kira, aku nggak cemburu?" kataku sambil pasang wajah merengut. Kamu terkikik geli. Senyummu, tawamu, mata yang berbinar itu... selintas aku benar-benar lupa akan bumi.
Kamu tersenyum menenangkanku. Ah... sudah berapa kali kuingatkan padamu, bahwa aku akan lupa daratan jika melihat senyummu? Aku rela menukar video game super mahal yang mengisi waktu kosongku dengan senyummu itu.
Waktu itu kelas 2 SMP. Setahun yang lalu, aku mencintaimu. Setahun yang lalu, aku mencintaimu, sampai seribu tahun ke depan.
***
Kamu menjerit kesakitan sementara dokter dan suster berusaha menenangkanmu. Kamu, orang yang amat kucintai, sekarang menjerit kesakitan. Gambar-gambar itu bermunculan di kepalaku. Kamu, yang seolah mengucapkan seribu kata perpisahan pada alam, padaku. Kamu, yang selalu menghadirkan sejuta senyum di sela aku memandangmu berganti-ganti pasangan. Kamu, yang sejak 10 tahun lalu kucintai. Kamu, yang sejak 10 tahun yang lalu pandai membuatku menangis. Kamu, yang sejak 10 tahun yang lalu kutunggu.
"Gardaaaaa!!!" jeritmu.
"Yang kuat, Gita, yang kuat..." kataku yang sedari tadi hanya bisa menggemgam tanganmu sambil menangis.
Jeritanmu semakin memekik. Kamu terus meronta, dokter dan suster terus berusaha. Kamu meremas tanganmu hingga kurasakan sampai ke tulang. Terlalu kuat untukmu yang tak pernah menggemgam tanganku.
Tiba-tiba suasana hening. Dokter yang sedari tadi asyik mengutak-atik sekarang menggeleng-geleng tak mengerti. Matamu berubah hampa. Kamu memandangku kosong.
"Garda," rintihmu.
"Ya?" isakku.
"Jangan pernah tinggalin aku, Da..." bulir-bulir air mata perlahan meluncur mulus di pipimu. Tangisku makin keras saja.
"Aku nggak akan pernah tinggalin kamu sampai kamu yang minta sendiri."
Kamu tersenyum. "Aku nggak pernah mau kamu tinggalin..."
Aku mengangguk semangat. Entah apa yang membuatku merasa, kehilanganmu sudah seharusnya aku terima. Tak hanya sekali aku kehilanganmu. Tak hanya kali ini kamu mengucapkan selamat tinggal. Kepergianmu sepertinya sudah sering aku terima.
Tapi tidak kali ini.
"Garda," panggilmu lagi. Separuh kelopak matamu tertutup. Sudah tiba saatnya algojo memenggal jantungku. "Aku cinta kamu."
Kata-kata yang langka keluar dari mulutmu untukku malah membuatku makin teriris. Itulah yang kutunggu darimu, Gita. Kudapatkan kamu justru di akhir kemunculanmu. Bahuku bergetar.
"Aku juga cinta kamu, Ta."
Sudah selesai sekarang. AIDS itu sudah berakhir sekarang.
Komentar
Posting Komentar