Piano
"Di ujung sana ada keyboardist kita." Jari telunjuk sang vokalis menuding seorang cowok yang jelas-jelas kece. Ia tersenyum membuat yang lain makin terbius. "Namanya Nugra."
Saat band terkenal itu selesai manggung, para
cewek langsung menghambur ke backstage. Cowok yang bernama Nugra
setengah berlari karena mendapati dirinya yang paling dikejar banyak cewek.
"Kak Nugra, Kak Nugra, minta foto
dooooooooonggg!!!!"
Pipi Nugra pegal karena harus pasang senyum. Dia
bukan tipe cowok narsis di depan kamera. Dia tidak bisa eksen di depan kamera
dengan berbagai ekspresi seperti teman-temannya yang lain. Dia cuman punya gaya
tersenyum.
Seorang cewek menghampirinya yang lelah di basecamp.
Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan Nugra mengapa matanya dan hatinya mencelos
melihat cewek itu.
"Kak Nugra, boleh foto bareng?"
***
Hari pertama di pelatihan komunitas wirausaha
mahasiswa se-Pulau Jawa. Hari itu terdapat seminar yang diisi para dosen yang
ajib. Seminar makin seru karena selain audiens-nya dari mahasiswa-mahasiswa
terpilih di Pulau Jawa, juga karena ada sesi tanya jawab dan diskusi. Makin panas dan makin gerah.
Yang menjadi pusat perhatian pada seminar itu
adalah mahasiswa dari Universitas Negeri di Jakarta. Namanya Kaira. Dia aktif
menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam seminar, sekaligus menyatakan pertanyaan.
Membuat orang penting dalam penyelenggaraan acara ini tertarik.
Karena kegiatan komunitas ini dilakukan selama
seminggu, seluruh mahasiswa menginap di dua hotel berdekatan di kota di mana
acara ini dilaksanakan; Jakarta. Secara spesial, Kaira diantar ke kamarnya
dengan ketua panitia acara ini, yaitu gubernur provinsi DKI Jakarta. Mahasiswa
lain memandang Kaira dengan tatapan sinis plus iri.
Kaira melangkah santai dengan Pak Gubernur menuju
kamar hotelnya. Saat mereka berdua tampak asyik berceloteh dan tertawa bersama,
pintu hotel di dekat Kaira terbuka membuat Kaira terlonjak. Seorang pria dan
wanita keluar dari sana, sambil tertawa puas.
Mata Kaira membulat. Tawanya hilang dalam
sekejap. Saat itu juga Kaira menghentikan langkah, diikuti Pak Gubernur yang
rupanya ikutan berhenti untuk menerima telepon. Terlalu kebetulan. Mata Kaira
membulat dan memandang muda-mudi itu hampa. Ia tertohok. Ia nestapa. Ia
terjatuh. Ia tertatih.
Pria yang dipandang Kaira itu menghentikan
tawanya. Tangannya yang sedang memeluk pinggang wanita di sampingnya sengaja ia
lepaskan. Ia tertohok. Ia nestapa. Ia terjatuh. Ia tertatih.
"Ayo, Nak Kaira," ajak Pak Gubernur.
Kaira meninggikan setinggi-tingginya almameter
kampus, lencana komunitas wirausaha se-Pulau Jawa, dan tanda pengenal ketua
dewan mahasiswa kampus, agar pria itu menyadari betapa bodohnya ia
menyia-nyiakannya dan lebih memilih wanita murahan yang mau saja
dipermainkannya di dalam kamar.
Waktu dua tahun rasanya sia-sia...
***
Kaira menangis saat jam istirahat tidur malam
acara komunitas. Ia tidak bisa tidur. Bagaimana ia bisa tidur? Lelaki yang
selama 2 tahun dicintainya itu mempergauli orang lain dan dipergokinya. Dengan
kedua matanya. Semakin nyata saja.
"Kenapa nangis malam-malam?" tanya
seorang cowok di belakang membuat bulu kuduk Kaira berdiri. Suara itu
menggelegar tegas, tapi ada sedikit nada khawatir di sana. Kaira tak memilih
untuk menoleh siapa yang memergokinya menangis. Ia lebih memilih menghapus air
matanya. Ia memiliki firasat bahwa santai saja nanti jika cowok itu mendekat.
Toh sama mahasiswanya.
Benar saja, cowok itu datang menghampiri. Ia
duduk di sebelah Kaira, memperhatikannya lekat-lekat sementara Kaira bersikukuh
menunduk dalam-dalam.
"Kenapa nggak tidur?" nada suaranya
masih sama. "Ini udah malem."
"Suka-suka gue!" jawab Kaira ketus,
keras kepala tidak mau menoleh.
Cowok itu terdengar menghela napas. Kaira
mempererat pelukannya terhadap kedua lututnya. Yang dilihat Kaira sekarang
adalah gelap karena ia memejamkan mata di samping ia membenamkan wajahnya pada
kedua lengan. Hingga akhirnya ia merasakan jaket melingkupi lengannya yang
terbuka. Kaira mengangkat wajah dan melihat cowok itu menatapnya dalam. Kaira
menatap jaket itu. Bukan jaket. Ini almameter Universitas Negeri di Jogja.
Lalu hening. Sesaat Kaira merasa hidungnya gatal. Membuatnya bersin.
Hatsi!!!
Cowok di sebelahnya menatapnya jijik karena ingus berkeleleran di mana-mana. Secara ajaib, Kaira nyengir.
"Lo bawa tisu?"
Kaira menggeleng.
"Jorok banget sih lo!!" hardik cowok itu. Ia merogoh sakunya dan menyodorkan sapu tangan. Kaira mengambilnya ragu.
Kaira linglung malam ini. Kaira melayang malam ini. Kaira seperti zombie malam ini. Kaira seperti bidadari malam ini. Kaira ringan malam ini. Untuk langkah dan geraknya, secara halus ajaibnya. Kaira diseret cowok itu ke dalam aula. Mereka menemukan piano dan cowok itu mencoba menghiburnya. Kaira menangis dalam diam.
Hingga hari terakhir perjalanan komunitas, Kaira merasa kehilangan. Jejak cowok itu tersamar dan lenyap. Wajahnya pun sama sekali tak jelas, karena kala itu matanya tak berfungsi normal akibat menangis lama.
Kaira kehilangan.
***
Kaira melamun di ruang musik kampus siang hari. Di ruangan ini hanya ia seorang. Tatapannya kosong. Hingga akhirnya ruang musik terbuka dan terdengar eluhan seorang cowok.
"Gara-gara nih kampus gede, nemuin ruang musik aja susah!"
Kaira menoleh dan matanya membulat.
"Hai," sapa cowok itu. "Almameter gue ketinggalan."
"Sori di rumah," jawab Kaira gugup.
"Lo udah nggak nangis lagi kan? Sapu tangan gue berfungsi dengan baik kan?"
Kaira tersenyum lemah. Awalnya cowok ini mengerutkan kening. Tapi Kaira diam saja. Cowok di depannya ini secara tak terduga mendengus kesal. Ia melenggang pergi.
Kaira tak ingin kehilangan. Kaira tak ingin kembali hampa. Kaira tak ingin ia pergi. Kaira perlu mendengar nyanyian piano lagi.
Kaira menyusul langkah cowok itu di sela tubuhnya yang ringkih. Kaira tetap zombie. Kaira tetap bidadari.
"Lo ke sini cuman minta almameter?"
Tapi cowok itu diam saja. Kaira masih terus menjejeri langkahnya yang cepat hingga sesuatu jatuh dari saku cowok itu. Kaira memungutnya, membukanya, dan lagi-lagi matanya membulat.
Kaira mengejar lagi. Kaira tetap zombie. Kaira tetap bidadari.
"Dompet lo jatoh!!"
Cowok itu meraih dompet di tangan Kaira dengan kasar. Saat hendak pergi lagi, Kaira meraih tangannya.
"Bisa nggak sih lo biarin gue pergi??"
"Enggak!!"
"Eh, lo udah gila kali ya!" tuding cowok itu.
Kaira tak ingin kehilangan. Kaira tak ingin kembali hampa. Kaira tak ingin ia pergi. Kaira merasa perlu mendengar nyanyian piano lagi.
"Kalo gue gila lo mau apa?"
Cowok itu mendesis. "Biarin gue pergi!!"
"Gue nggak mau lo pergi!!"
Hening. Cowok itu menatap dalam ke mata Kaira. Kaira merasa perlu... menangis.
"Eh, eeeeeeeh, jangan nangis dong!" kata cowok itu panik. "Mana sapu tangan gue?"
"Di rumah."
Cowok itu melotot gemas. Akhirnya ia menyapu air mata Kaira dengan ibu jarinya, menatap Kaira lembut.
"Oke, gue nggak akan pergi. Tapi lo brenti nangis, oke?"
Kaira mengangguk.
"Gue Nugra. Lo Kaira kan?"
Mata Kaira membulat.
Nugra ngakak. "Bagaimana gue bisa lupa sama fans yang minta foto terakhir di SMA 12?"
Kaira melambung, tapi ia menatap Nugra tak mengerti. Nugra malah tersenyum senang.
"Lo cerdas tapi sayangnya jorok. Cengeng pula."
"Nugraaaaa!! Jangan mentang-mentang lo artis ya!!!!"
@anggiiaaa
Komentar
Posting Komentar