Sakit, sih



Kukemasi barang itu sedemikian rupa. Aku menyambar pita yang tergeletak di meja dengan tidak sabar. Kubentuk dengan pelan. Kuhias dengan teliti. Kulipat kertas kado dengan telaten. Kukaitakan pita dan jadilah bingkisan kado buatanku.

Aku tersenyum penuh semangat. Ini kado kuberikan pada Fani sebagai sebuah lambang. Sebuah lambang bahwa aku memintanya kembali. Yah, memang bulan lalu aku yang memutuskannya. Kuakui aku salah, aku waktu itu sedang khilaf. Emosi jiwa, sehingga akal sehat sama sekali tak terlihat dalam pikiranku. Aku mencampakkannya. Aku menyuruhnya pergi dan menjauh dariku. Tapi dua minggu lalu, penyesalan merayapi sekujur perasaanku. Mengusik pikiranku, menyentuh hatiku. Aku bingung.

Aku bingung. Aku terus mencari jawaban atas keterbatasan langkahku yang ternyata tak bisa menemukan Fani. Menemukannya setelah aku tau bahwa aku tak mampu menepati kata-kataku sendiri. Fani begitu penurut sehingga ia mau memenuhi permintaanku untuk pergi. Kini aku kebingungan sendiri, tertatih-tatih mencarinya ke sana ke mari, untuk memintanya kembali.


Sepertinya doaku benar-benar mustajab. Tuhan mengabulkan doaku. Karenanya, aku menemukan Fani saat iseng mencari nama akun twitternya di mesin pencari. Aku kegirangan setengah mati. Kuklik tombol follow dan kusapa lewat mention. Ia hampir kaget mendapatiku kembali menyapanya hangat. Ia kebingungan saat aku meminta nomor ponselnya lagi lewat direct message. Ia nyaris pingsan saat aku berkali-kali mengajaknya jalan.

Nanti sore, kami sudah berjanji akan bertemu di taman komplek rumahnya. Ini kesempatanku saat aku sudah menghabiskan waktu untuk mendekatinya lagi. Aku tak begitu mengerti sebenarnya, apa ini sungguhan. Sungguh memalukan jika kau memutuskan pacarmu namun lalu memintanya kembali lagi hanya karena atas alasan khilaf. Aku jelas-jelas bukan tipe seperti itu. Aku hampir jijik mendapati diriku sendiri, tapi bayangan akan hari-hari sepi tanpa Fani, hari-hari kurenungkan dan kusadari betapa aku masih membutuhkan wanita itu, tak bisa aku hiraukan begitu saja. Terus terang saja, aku masih benar-benar mencintainya. Dan kali ini, kebahagiaanlah yang akan kuhampiri. Bukannya menunggu kebahagiaan menghampiriku.

Sekotak kado berpita ungu cantik, sekuntum buang mawar merah, dan gitar usang milikku sengaja aku jejerkan di depan mataku. Aku menatapnya puas. Rencananya aku hanya ingin memintanya bernyanyi bersama. Dengan bumbu-bumbu romantis yang sudah kusiapkan, mengirimkan sinyal harapanku. Aku juga sengaja menyisipkan bumbu nostalgia, mengirmnya sinyal agar ia ingat kita pernah merajut impian, harapan, dan janji bersama. Bahwa aku ingin semua itu kembali.

Lalu, aku memintanya menerima bunga mawar yang kurawat sendiri. Oke, bukan kurawat sendiri sih, Ibuku yang merawatnya. Aku memetiknya satu dan tentu masih segar. AKu memilih yang tercantik. Tapi, agar terlihat meyakinkan, maka kubilang saja bahwa aku yang benar-benar merawatnya. Bahwa bunga itu cantik karena tangan dinginku. Hehehe, bohong demi kebaikan sekali-kali kan nggak masalah?

Lalu, aku memintanya menerima kado. Tapi kali ini lain. Aku memberinya pilihan, meski rasa-rasanya aku sangat terobsesi untuk diterimanya. Jika ia menerima kado itu dengan tangannya lalu memeluknya, itu artinya ia milikku. Jika ia menerima kado itu dengan tangannya tapi diletakkannya kembali, ia menolak.

Aku pun sudah menyiapkan berbagai kata-kata kalau anak remaja bilang sekarang “sepik” dari sabang sampai merauke, dari A sampai Z, dari kutub utara sampai selatan. Fani berhati lembut dan perasa. Sebenarnya, ini licik. Tapi, hanya satu jawaban yang kugemgam; demi ia kembali.

Kutengok jam dinding. Ah, masih ada waktu 3 jam ke depan untuk janji bertemu dengannya. Benar-benar tidak sabar.

Aku sudah seperti orang yang jungkir balik dunianya. Semua kulakukan atas dasar keplin-planan; mandi dulu? Ah jangan dulu. Nanti pakai baju? Kemeja? Jangan. Kaus? Jangan. Ah!! Ini benar-benar meresahkan. Hei waktu, cepatlah berlalu agar aku bernapas legaaaa.

Sejurus kemudian, ponselku bergetar. SMS dari Fani. Kuharap isinya bukan pembatalan ketemuan.

From: Fani
sakit… tp kok ga brdarah ya? :’(

Waduh? Apa-apaan ini? Ada apa dengannya? Apa dia kecelakaan? Ini gawat! Maka tanpa pikir panjang aku meneleponnya. Tapi ia menekan tombol reject, membuatku mengangkat alis tinggi-tinggi.

Dan SMS-nya tiba-tiba masuk lagi.

From: Fani
Jgn telp, plis

Aku mengetik SMS balasan.

To: Fani
km knp? Apanya yg sakit? Dmn km skrg?

From: Fani
d kmar kok. Hati yg sakit…

Aku mengangkat alis tinggi-tinggi lagi.

To: Fani
Knp km?

From: Fani
di PHP

Aku sesak napas.

To: Fani
Sama?

From: Fani
Krisna

Jantungku berhenti bekerja.

To: Fani
Krisna sapa?

From: Fani
Gebetanku. Tp bkn Fani namanya klo nyerah! Go fight! Dukung ya :D

Saat itu juga kubuang kado beserta bunga mawarnya ke tempat sampah. Kubatalkan janji untuk bertemu. Dan kutuliskan sederet kata di akun twitterku;

Sakit sih... Tapi kok nggak berdarah ya?


@anggiiaaa


 

Komentar