Kopiah Hitam
Wajahnya putih bersih. Senyumnya secerah kain putih diterpa sinar matahari. Tatapannya meneduhkan, membuat yang bersedih ketika menatapnya lega seketika. Perkataannya selalu lembut karena ia mencintai Nabi-nya. Meneladani sikapnya. Ia benar-benar senang bukan main bahwa nama Nabi-nya juga disematkan di rangkaian namanya.
Muhammad Ridho. Remaja lelaki masuk kelas akhir Sekolah Menengah Atas. Masjid adalah surga dunia-nya. Tak pernah ia lewatkan seharipun untuk mengunjungi Tuhan-nya. Ia menangis ketika membaca ayat-ayat Al-Qur'an. Mengagumi diba' dan lantunan qiro'ah. Ia cinta Tuhan dan Nabi-nya.
Sampai sekarang ia pun bangga akan agamanya. Dan sangat amat menyayangi ibunya, yang mengenalkan semua ini terhadapnya. Ridho lahir di keluarga yang awalnya miskin agama. Namun ketika ayah pergi, ibunya mengajarkan segala yang seharusnya dipelajari oleh Ridho. Bagi Ridho, ibu segalanya. Ia mencintai Tuhan, Nabi, dan ibunya.
Pakaian terbaiknya untuk menghadap Tuhan adalah baju kokoh putih dengan sarung kotak-kotak hijau tua-muda. Ia mengasihi kopiah hitam tebal bekas milik ayahnya. Setiap akan mencucinya, ia selalu menangis mengingat ayahnya. Namun tangis itu berangsur tangis bahagia karena ia mempergunakan benda itu seperti seharusnya.
Muhammad Ridho. Teman sepermainanku. Rumahnya hanya beda satu gang dengan rumahku. Ia mencintai Tuhan, Nabi, dan ibunya.
***
Allah mencintai Ridho. Karenanya, Allah ingin tau sebagaimana Ridho berlabuh. Allah ingin tau, sebesar apa cintanya terhadap-Nya seperti apa yang sering ia lantunkan dalam ayat-ayat Al-Qur'an.
Ibu Ridho meninggal di tengah usia.
Ridho tak nampak saat jenazah disemayamkan atau pengajian untuk jiwanya.
***
Di siang bolong aku nongkrong di pos kamling sambil mengetik skripsiku di laptop. Aku dengan Sandy, teman sekampus. Kami sibuk memegang laptop sambil mengunyah keripik pisang.
Dering telepon dalam rumah berbunyi. Pantas saja terdengar, pos hanya berjarak lima langkah dari rumahku yang ada di pojok gang. Rumahku yang tak ada hembusan napas manusia. Kuberitahu Sandy kalau aku akan mengangkat telepon. Sandy manggut-manggut mengangkat tangan. Mulutnya penuh dengan keripik pisang.
Hanya lima detik aku menerima telepon yang ternyata dari Kiran, temanku juga di kampus, aku mendengar erangan Sandy. Aku mengerutkan kening, mengira ia mengerang karena mengunyah keripik pisang yang gosong. Karena Sandy asal mengambil keripik karena matanya fokus dengan layar laptop. Aku mengangkat bahu dan melanjutkan pembicaraanku dengan Kiran.
Lalu, kudengar Sandy mengerang lagi, namun kali ini makin keras. Aku berdecak merasa risih karena diganggu. Lalu bukan main, ada suara sesuatu ambruk ke tanah. Ini telingaku yang bermasalah atau Sandy sih? Apa yang jatuh emang? Masa Sandy mengambrukkan pos kamling gara-gara mencomot keripik gosong?
Aku memutus pembicaraan dan menghambur ke depan. Sandy ambruk di tanah dengan badan babak belur. Ia terus mengerang kesakitan. Pelipisnya berdarah.
"Lo kenapa, San?" tanyaku panik.
Sandy masih terus mengerang. Ia tak menjawab pertanyaanku. Ia malah menggulingkan badannya ke samping sambil terus ke depan, menatap lurus ke depan di sela matanya yang menyipit.
Sosok berbaju kokoh putih dan jins belel lari tunggang langgang.
Aku belum sadar sepenuhnya. Otakku masih mampir ke pembicaraanku dengan Kiran. Mungkin. Aku mendongak ke arah dipan pos sambil memegangi Sandy.
Dua laptop raib. Bungkus keripik pisang beserta isinya berserakan. Dan kopiah hitam tergeletak tak jauh darinya.
***
Tengah malam aku baru pulang. Kepalaku pening karena terbebani helm terlalu lama. Kantuk pun menyerang. Bukan kondisi baik untuk berkendara. Tapi rumah sudah terlihat di ujung sana.
Aku sengaja melintas rumah Ridho yang juga ada di ujung gang. Di pinggir sungai 5 meter dari rumahnya, ada pendopo kecil untuk nongkrong. Dari kejuhan terdengar musik metal dan gumaman tawa.
Ridho dan teman-temanya. Mabuk akibat miras. Musik islami terganti dengan musik keras. Al-qur'an terganti botol miras. Tasbih terganti dengan kartu judi. Tangisan haru terganti lengkingan tawa meledek.
Ia tertawa mengejek sambil memainkan kopiah oranye di atas kepalanya. Pasang wajah bodoh, idiot, meremehkan, membuat 2 teman yang lain tertawa puas. Baju kokoh putihnya lusuh. Sarung kotak-kotaknya tercabik-cabik ia kalungkan ke leher. Terkekeh-kekeh.
Belakangan aku tau, taruhan judi itu adalah laptop Sandy.
@anggiiaaa
Komentar
Posting Komentar