Aku, Kamu, dan Dia

“Halah, bilang aja kalo kamu masih sayang dia!” katamu pelan.



Aku terdiam sambil memluk lutut ketika kita bicara 4 mata saja di salah satu anak tangga sekolah. Aku tak berani berkata ‘ya’ atau ‘tidak’. Aku menyembunyikan bibirku di antara lenganku.


“Siaaaaalll!!! Veno, awas lo ya!!!” pekik Veran di lapangan. Rupanya Veno mengguyurnya dengan air hujan yang sebelumnya sudah ditadahi. Air hujan masih lembut memasahi tanah. Veran yang benci air dingin digoda oleh Veno yang sudah basah kuyup.




“Enggak,” jawabku akhirnya memecah keheningan di antara kita. Kamu menggigit bibir bawahmu resah. Kamu tak berani untuk menatapku.


“Kalau aku masih sayang dia, untuk apa aku sama kamu sekarang?”


“Barangkali kamu cuman memposisikan aku sebagai pelarianmu,” jawabmu ragu. Aku mendelik.


“Lytha, aku nggak pernah kayak gitu! Berhentilah berpikir negatif terhadapku!”


Kamu menangis nyaris bersamaan ketika hujan mulai deras lagi. Teman-teman di ujung sana hampir tak menyadari ini. Bayangan kita terhalau hujan yang rapat terjun bebas.


Aku meraih tanganmu tapi langsung kau tepis karena untuk menutupi wajahmu yang merah menahan amarah. Aku nelangsa.


“Lytha, aku nggak bermaksud...”


“Santai aja napa nggak usah luar biasa!!” bentakmu. Aku langsung membisu.


Hujan makin deras turun justru membuat suasana hatiku tenang. Aku tau, jika kamu sudah seperti ini kamu memilih untuk sendiri. Aku tau jika kamu sedang menangis, kamu butuh rangkulan orang lain. Bukan rangkulan dariku. Sekeras apapun kamu memfitnah aku masih mencintai dia, aku tetap saja kalah jikalau memfitnahmu yang juga masih mencintai dia. Aku tau, aku tau. Aku selalu salah di matamu. Hanya kamu yang boleh berhubungan dekat dengan dia. Sedangkan dia akan dapat masalah jika aku menghubunginya.


Aku tau, jika aku mulai memprotesmu, kamu mengeluarkan jurus andalanmu. Kamu melakukan apa yang sudah menjadi kelemahanku sekian lama. Buntut-buntutnya kamu menangis. Tapi kamu nggak mau aku tenangkan. Buntut-buntutnya kamu menuntut, tapi enggan aku penuhi. Buntut-buntutnya kamu menghambur ke dia, tanpa member kesempatan padaku yang sebenarnya pacarmu.


Di kala aku sudah lelah menghadapimu, ada-ada saja cara buatmu untuk menarikku kembali. Lagi-lagi kau langsung tembak ke titik kelemahanku. Lytha... Lytha. Andai kau tau bagaimana maksudku sebenarnya dengan memberikan kesempatan untukku bicara...


Seorang masuk ke lapangan parkir tepat di depanku. Ia mengenakan helm yang kukenal, jas hujan yang kukenal, sepeda yang kukenal, dan gaya yang kukenal. Ia memarkir sepeda di dekat temannya yang lain yang sedang berteduh juga. Ia melepas helm, langsung cemberut menatap temannya. Temannya tertawa terpingkal-pingkal.


“Sampai mana pas hujan turun?” tanyanya sambil terkekeh geli.


Dia cemberut. “Di perempatan les bahasa Inggris. Gila ya, padahal udah deket.”

“Lo kan pake jas hujan? Apa yang jadi masalah?”


Dia menatap sedih sepatu yang kukenal. “Sepatuku basah kuyup.”


Temannya tertawa lagi, sehingga muka dia makin kusut saja. Aku menahan tawa. Namun rupanya kamu mendengar bisikan tahanan tawaku.


“Tuh kan!” protesmu. “Pacari saja dia jika kamu masih sayang dia!”


Aku seperti menganggapmu tak ada. Aku kesal. Aku tau, jika kamu seperti ini keras kepalamu kumat. Aku tau, saat seperti ini kamu tak ingin dibantah. Aku tau, sekarang sudah waktunya kamu mengetik pesan ke dia. Aku tau, ini bukan waktuku bersamamu, karena aku sudah muak dengan aktingmu. Aku tau, ini waktuku untu menenggelamkan diri ke dalam senyum dia.


Saat dia melepas sepasang sepatunya lalu meletakkannya di tempat yang kering, mataku masih terus mengawasi. Saat ia melipat jas hujannya, aku tau bahwa aku ingin menghampirinya. Saat dia menoleh lalu tersenyum melihat tingkah narsis teman-temanku di sana yang sedang main hujan-hujanan, aku tau aku makin terpesona saja. Dia benar-benar potret indah.


“Dasar munafik!” ucapmu mengagetkanku. Rupanya kamu memperhatikan ekspresiku.


Aku belum menjawab. Aku tak tau mengapa hatiku tenang-tenang saja, sementara kamu benar-benar marah. Sekolah di sore hari libur makin sunyi saja. Aku meraih tasku dan melemparkan amplop besar kepadamu. Kamu mendelik menatapku, menolak menerima, tapi aku acuh. Aku lebih suka menatap dia yang tersenyum layaknya malaikat dari pada kamu yang melotot seperti nenek lampir. Kamu membuka amplop dan matamu rasa-rasanya ingin lompat dari tempatnya.


Kamu beranjak berdiri dan menghentak-hentakan kakimu seperti anak kecil. Kamu menangis sejadinya dengan lengan menutupi mulutmu. Kamu menatapku nelangsa.


“Jadi, sudah jelas? Hei, minggir! Kamu menghalangi pemandangan indah!” ujarku sambil mendorong pinggangmu ke samping. Kamu makin mencak-mencak saja.


Saat itu dia datang karena rupanya memahami kondisi kita. Dia menatapku jijik, lalu khawatir melihatmu menangis. “Ada apa, Tha?”


Aku menghela napas dan menyunggingkan senyum kemenangan. Kamu melotot panik dan terlihat gelagapan. Kamu menatap dia marah dan nestapa. Selintas kamu menyesal mengirimnya pesan. Selintas kamu menyesal akan kata-katamu sendiri. Aku puas.


Aku beranjak berdiri, dan dengan santai melewati kamu dan dia. “Kita putus.”


Kamu berbalik badan menghadap punggungku, menatapku tak percaya. Segitu kagetnya kamu sehingga mulutmu ternganga lebar. Tapi dasar kamu, egois dan gengsimu adalah musuhmu. Kamu melotot gemas, pura-pura menikmati dan bergelendot manja di lengan dia, menghapus jejak air mata ulahku dan berseru kencang, “Oke, kita putus!! Dasar an**** !@#$%^&*()”


Aku terkikik geli. Menertawaimu yang begitu lucu karena tertangkap basah. Menertawai diriku sendiri karena bisa-bisanya aku menyukai perempuan sepertimu. Menertawai ulahmu. Menertawai kemenangan telakku. Bodoh, pergi saja sana. Bodoh, hei, dia, kuharap bisa hidup tenang bersama kamu ya. Kuharap dia tak makan hati. Kuharap dia mau berbesar hati untuk kamu. Kuharap dia memang lebih sempurna dariku seperti pernah yang kamu lukiskan.


Dia, protect her, forgive her, make her smile, make her enjoy, love her, give anything for her, and longlast. Buat kamu percaya bahwa cinta lebih munafik dari pada dirinya sendiri.


Di sore hari libur sekolah begitu sepi. Sepasang mata yang jumlahnya bisa dihitung menaruh perhatian terhadap kami. Dia melongo menatapku yang menghampirinya. Dia mengerutkan kening melihatku melempar senyum sayang untuknya. Dia sesak napas melihat apa yang terjadi barusan.


“Mas Renald?”


“Kamu udah makan?”




@anggiiaaa

Komentar