Letter
Hai? Apa kabar? Moga baik-baik aja ya.
Punya cita-cita jangka pendek nih. Kita ketemu, maka semua akan jelas. Aku pengen supaya aku dan kamu jelas. Aku pengen supaya aku dan kamu mengerti. Supaya aku dan kamu paham apa yang sebenarnya terjadi.
Kamu boleh katakan apapun yang kamu rasa, begitu aku. Mungkin bagimu hubungan kita baik-baik saja. Bagiku tidak. Ada yang ingin kusampaikan dan kujelaskan. Kapan ya bisa ketemu? Kuharap secepatnya agar kamu dan aku lega.
Mungkin pikirmu aku marah atas keterbatasan di antara kita. Tak hanya itu. Cintaku untukmu sudah lama mati. Cintaku hanya pada seseorang yang bertemu denganku di pos kamling pada tahun 2003. Yang mengolok bahwa warna bajuku meniru warna bajunya. Yang pakai jaket kebesaran. Yang sebelum ia pergi menggemgam tanganku sambil tersenyum. Bukan kamu.
Bukan kamu. Kamu adalah sosok lain yang entah kapan datangnya. Tak peduli kapan kamu datang, aku tak menginginkan kehadiranmu yang mengusir dia.
Selebihnya aku ingin kita bicara. Semoga saat kita bertemu, aku dapat mengais orang itu dalam dirimu.
Jogjakarta, 8 April 2005
Sayang selalu,
Alika
Surat ini tak pernah dikirimkan.
Di ruangan gelap, pantulan sinar bulan purnama dari jendela yang terbuka.
Hai? Apa kabar? Moga baik selalu ya.
Karena kamu, aku menulis banyak hal. Kamu inspirasi utamaku dalam menulis. Kamu kasih apapun ke aku mengenai realitas. Kamu yang ngenalin aku luka, hal yang sering aku tulis. Termasuk surat ini.
Hari ini, aku nangis lagi. Tempo hari, aku dengerin radio. Kamu tau kan, sebenarnya aku benci radio? Karena radio mengingatkanku pada Ayah.
Waktu itu, aku tertarik ama salah satu lagu. Aku cari tau, aku download, kusimpan dan kuputar berulang-ulang. Saat itu aku tau, kamu benar-benar menjadi alasan bagiku untuk berusaha.
Mungkin tadi siang aku yakin untuk mengakhiri cerita kita. Tapi seribu alasan terus saja datang untuk menggagalkan. Kita perlu bicara.
Aku hanya ingin kamu jangan membiarkan aku menangis terlalu lama.
Jogjakarta, 20 Juni 2005
Sayang selalu,
Alika
Surat ini terbang dan hilang saat akan dikirim.
Halo? Apa kabar? Moga baik ya.
Hari ini kumemikirkanmu. Walau, kau takkan pernah pedulikanku. Ciye elah, jadi nyanyi aku :D
Sekarang aku ada di kafe di mana tempat pertama kita nge-date 2 tahun yang lalu. Suasanannya masih sama. Aku memesan capucino hangat favoritmu. Selama weekend rutin, aku selalu ke sini dan menghabiskan waktu. Memesan meja yang pernah kita jajaki. Aku senang, bahwa tempat ini tak banyak berubah. Tempat ini terlalu dirimu.
Dalam surat ini, aku hanya menyampaikan kabarku saja meski kamu nggak membutuhkannya. Aku lebih buruk dari yang kamu kira. Mungkin kamu pikir aku berlebihan. Aku selalu berlebihan terhadap hal yang menyangkut kamu, asal kamu tau.
Darimu, aku belajar untuk mengemis perhatian dari orang lain. Aku dihujani perhatian atas kecelakaan yang menimpaku tempo hari. Bukannya nggak pernah puas, tapi yang aku harapkan untuk panik akan keadaanku adalah cuman kamu.
Tapi kamu nggak pernah datang.
Kudengar, kamu sakit? Aku seperti kesetanan saat mendengarnya, tapi kamu nggak memberiku kesempatan untuk menyampaikan kekhawatiranku. Kamu hilang, lagi-lagi hilang.
Cepet sembuh ya. Inget selalu janji kamu ke aku bahwa kamu akan terus berusaha untuk jaga kesehatan. Aku nangis buat kamu di sini. Dari dulu, aku selalu nggak bisa nemuin kamu di saat kamu sakit.
Jogjakarta, 27 November 2005
Sayang selalu,
Alika
Surat ini tertinggal di meja kafe.
Di tengah padang rumput, di bawah pohon.
Hai. Apa kabar? Moga baik-baik ya.
Sekarang sedang hujan deras. Dan tanpa kupinta dan kusadari, aku melayang-layang.
Hujan pernah menahan kita di suatu tempat. Hujan membuatku memeluk erat tanganmu waktu itu. Hujan membuat waktu kita lebih panjang. Hujan membuatku tersenyum sepanjang hari kala itu. Hujan membuatku bertekad bahwa setiap detik aku di pelukmu akan selalu terkenang. Hari itu sempurna.
Perutku mencelos.
Kembalilah...
Sudahkah sekarang waktunya aku menangis lagi?
Jogjakarta, 8 Februari 2006
Sayang selalu,
Alika
Surat ini hancur akibat hujan dan air mata...
@anggiiaaa
Punya cita-cita jangka pendek nih. Kita ketemu, maka semua akan jelas. Aku pengen supaya aku dan kamu jelas. Aku pengen supaya aku dan kamu mengerti. Supaya aku dan kamu paham apa yang sebenarnya terjadi.
Kamu boleh katakan apapun yang kamu rasa, begitu aku. Mungkin bagimu hubungan kita baik-baik saja. Bagiku tidak. Ada yang ingin kusampaikan dan kujelaskan. Kapan ya bisa ketemu? Kuharap secepatnya agar kamu dan aku lega.
Mungkin pikirmu aku marah atas keterbatasan di antara kita. Tak hanya itu. Cintaku untukmu sudah lama mati. Cintaku hanya pada seseorang yang bertemu denganku di pos kamling pada tahun 2003. Yang mengolok bahwa warna bajuku meniru warna bajunya. Yang pakai jaket kebesaran. Yang sebelum ia pergi menggemgam tanganku sambil tersenyum. Bukan kamu.
Bukan kamu. Kamu adalah sosok lain yang entah kapan datangnya. Tak peduli kapan kamu datang, aku tak menginginkan kehadiranmu yang mengusir dia.
Selebihnya aku ingin kita bicara. Semoga saat kita bertemu, aku dapat mengais orang itu dalam dirimu.
Jogjakarta, 8 April 2005
Sayang selalu,
Alika
Surat ini tak pernah dikirimkan.
Di ruangan gelap, pantulan sinar bulan purnama dari jendela yang terbuka.
Hai? Apa kabar? Moga baik selalu ya.
Karena kamu, aku menulis banyak hal. Kamu inspirasi utamaku dalam menulis. Kamu kasih apapun ke aku mengenai realitas. Kamu yang ngenalin aku luka, hal yang sering aku tulis. Termasuk surat ini.
Hari ini, aku nangis lagi. Tempo hari, aku dengerin radio. Kamu tau kan, sebenarnya aku benci radio? Karena radio mengingatkanku pada Ayah.
Waktu itu, aku tertarik ama salah satu lagu. Aku cari tau, aku download, kusimpan dan kuputar berulang-ulang. Saat itu aku tau, kamu benar-benar menjadi alasan bagiku untuk berusaha.
Mungkin tadi siang aku yakin untuk mengakhiri cerita kita. Tapi seribu alasan terus saja datang untuk menggagalkan. Kita perlu bicara.
Aku hanya ingin kamu jangan membiarkan aku menangis terlalu lama.
Jogjakarta, 20 Juni 2005
Sayang selalu,
Alika
Surat ini terbang dan hilang saat akan dikirim.
Halo? Apa kabar? Moga baik ya.
Hari ini kumemikirkanmu. Walau, kau takkan pernah pedulikanku. Ciye elah, jadi nyanyi aku :D
Sekarang aku ada di kafe di mana tempat pertama kita nge-date 2 tahun yang lalu. Suasanannya masih sama. Aku memesan capucino hangat favoritmu. Selama weekend rutin, aku selalu ke sini dan menghabiskan waktu. Memesan meja yang pernah kita jajaki. Aku senang, bahwa tempat ini tak banyak berubah. Tempat ini terlalu dirimu.
Dalam surat ini, aku hanya menyampaikan kabarku saja meski kamu nggak membutuhkannya. Aku lebih buruk dari yang kamu kira. Mungkin kamu pikir aku berlebihan. Aku selalu berlebihan terhadap hal yang menyangkut kamu, asal kamu tau.
Darimu, aku belajar untuk mengemis perhatian dari orang lain. Aku dihujani perhatian atas kecelakaan yang menimpaku tempo hari. Bukannya nggak pernah puas, tapi yang aku harapkan untuk panik akan keadaanku adalah cuman kamu.
Tapi kamu nggak pernah datang.
Kudengar, kamu sakit? Aku seperti kesetanan saat mendengarnya, tapi kamu nggak memberiku kesempatan untuk menyampaikan kekhawatiranku. Kamu hilang, lagi-lagi hilang.
Cepet sembuh ya. Inget selalu janji kamu ke aku bahwa kamu akan terus berusaha untuk jaga kesehatan. Aku nangis buat kamu di sini. Dari dulu, aku selalu nggak bisa nemuin kamu di saat kamu sakit.
Jogjakarta, 27 November 2005
Sayang selalu,
Alika
Surat ini tertinggal di meja kafe.
Di tengah padang rumput, di bawah pohon.
Hai. Apa kabar? Moga baik-baik ya.
Sekarang sedang hujan deras. Dan tanpa kupinta dan kusadari, aku melayang-layang.
Hujan pernah menahan kita di suatu tempat. Hujan membuatku memeluk erat tanganmu waktu itu. Hujan membuat waktu kita lebih panjang. Hujan membuatku tersenyum sepanjang hari kala itu. Hujan membuatku bertekad bahwa setiap detik aku di pelukmu akan selalu terkenang. Hari itu sempurna.
Perutku mencelos.
Kembalilah...
Sudahkah sekarang waktunya aku menangis lagi?
Jogjakarta, 8 Februari 2006
Sayang selalu,
Alika
Surat ini hancur akibat hujan dan air mata...
@anggiiaaa
Komentar
Posting Komentar