Stalker
"Jalan apa namanya? Aduh gue lupa! Pokoknya ada cemara-cemaranya gitu." ujar Mira setengah menjerit sambil memegangi kepalanya, menatap penuh perhatian pada Bella yang ada di depannya.
Bella mencomot kerupuk pasir. Di sela suara kriuk-kriuk di mulutnya, Bella menjawab dengan santai, "Cemara indah?"
Mira menjentikkan jarinya tepat di kedua mata Bella. "Nah, itu!" katanya dengan nada sok tau.
Hhhhh, dasar Mira tukang akting. Selalu saja seperti itu. Apapun yang menyangkut Hafidz, Mira pura-pura nggak tau atau lupa. Padahal kalau soal Hafidz sih, Mira udah khatam kali. Ngerti segala sesuatu tentang cowok itu mulai A sampai Z. Mulai Sabang sampai Merauke. Mulai kutub utara sampai kutub selatan.
Sok gengsi mah si Mira. Mulai dari kebiasaan, tingkah laku, phobia, sampai aib pun Mira tau. Jangankan alamat kampus deh yang sekarang lagi dibicarain, mulai dari alamat rumah, alamat kampung halaman, alamat tempat nongkrong, alamat para mantan pacar, alamat bengkel langganan, alamat warung kopi favorit, sampe alamat kuburan yang biasa dikunjungi hafal kali Mira (makin lama makin nyeleneh). Mira is stalker of Hafidz. Itu tuh yang sering jadi bahan ledekan kakaknya kalo Mira udah kliyengan kena sesuatu-sesuatu tentang Hafidz.
Emang sih, Mira udah kenal Hafidz sejak mereka masih ingusan. Tapi Mira baru dapet kesempatan satu kali buat satu sekolah bareng Hafidz. Itu pun SMP. Selebihnya, yang hanya bisa Mira lakukan menjadi penggemar gelap. Yang hanya bisa kirim kado ulang tahun tanpa nama. Kirim pesan lewat teman tanpa nama. Kirim doa setiap malam. Kirim pujian. Kirim bantuan tanpa nama. Ya, Mira sama sekali nggak mau jika Hafidz tau siapa dirinya.
Namanya Hafidz. Cowok jurusan Teknik Bangunan Universitas Merdeka. Cowok sepanjang masa Mira.
***
Mira melempar ponselnya ke atas kasur sambil menghela napas. Untuk kesekian kalinya, Mira sendu saat melihat layar ponselnya yang membuka menu buku telepon. Padahal, nomor Hafidz yang didapatkannya dengan susah payah itu udah nangkring sebulan tapi dianggurin. Nggak diapa-apain. Cuman diliatin. Nggak ada gerakan hubungin.
Mira malu. Mira gengsi. Masa cewek yang duluan? Itu-itu saja prinsipnya saat dilema datang soal menghubungi Hafidz lewat ponsel. Tapi mo sampai kapan Mira ngeliatin Hafidz dari jauh? Kagak capek? Gila, nyaris 7 tahun Mira begini. Nungguin Hafidz yang ngomong duluan ke dia. Bukan dia yang duluan ngomong ke Hafidz.
Lantas mo sampe kapan? Padahal Mira udah tau kalo Hafidz adalah tipe cowok kurang peka. Tapi tetep aja ada alasan yang buat Mira ogah maju duluan. Mau sampai kapan Mira senyum nggak berbalas? Nangis nggak berbalas? Doa nggak berbalas? Tatapan nggak berbalas? Sampai kapan Hafidz enak-enakan dapet ini itu tanpa tau bahwa sebenernya semua itu dari Mira? Emang pada awalnya Hafidz keliatan bingung. Tapi kan lama-lama jadi kebiasaan. Nah trus? Liat, sampe sekarang Hafidz nggak tau Mira adalah stalker sejatinya.
Mira mengacak-acak rambutnya dengan kesal. Kalau sudah seperti ini mau gimana? Sebentar lagi mereka berdua mau wisuda. Mira udah kebal kalo Hafidz beberapa kali punya cewek. Kalo dibiarin terus, bisa-bisa hati Mira jebol!
Malam itu juga, dengan segenap kekuatan yang dianggap Mira nekat, Mira menulis surat. Bukan SMS.
Namanya Hafidz. Cowok jurusan Teknik Bangunan Universitas Merdeka. Cowok sepanjang masa Mira.
***
"Lagian lo kok surat-suratan kayak zaman Harry Potter! Tapi masih mending Harry Potter pake burung hantu. Nah loh, temen lo sendiri lo repotin!" sembur Bella sambil makan kripik kentang dengan kesal. Mira cengar-cengir. "Lo kan tau sendiri sih Hafidz jarang ada di rumah. Gue tengsin nih, tiap ke rumahnya seringan ketemu ibunya nggak nemu Hafidz-nya. Mana suratnya kudu langsung di tangan Hafidz lagi!" semburnya lagi.
"Ampun, Bel. Kalo gue yang rumahnya deket ama rumahnya, gue lakuin sendiri kale," jawab Mira enteng.
"Apaan? Bukan surat itu namanya, bodor!"
Lagi-lagi Mira nyengir.
"Gue udah anter jemput surat lo selama 5 bulan tapi nggak pernah lo gaji. Lo tega amat, Mir." protes Bella.
"Ya ampun, Bel. Cokelat kemaren nggak cukup?"
"Coklat?" Bella mengatakannya dengan nada sejak-kapan-lo-transgender. "Bayaran yang sepadan itu jalan-jalan ke Singapura. Ke..."
Plok! Omongan Bella ke putus karena Mira segera menimpuk bantal ke mukanya. Kripik kentang muncrat ke mana-mana.
"Bella... Bella! Ada Hafidz tuh!" seru Ibu Bella dari depan. Mira langsung melotot, sedangkan Bella mengernyitkan dahi.
"Mau ngirim surat balasan lo tuh," celetuk Bella dengan senyum misterius. Ia beranjak bangkit dari kasur.
"Awas kalo lo ngomong gue ada di sini!" ancam Mira sambil berbisik. Bella hanya mengedipkan mata nakal membuat Mira mengepalkan tangannya, pura-pura mengancam akan menghadiahkan tinjuan.
"Bel, ini nih, buat elo. Oya, nitip juga buat si Mira." Suara Hafidz kedengaran sampai kamar Bella, membuat Mira gigit-gigit jari. Mira gemes, sampe ninju-ninju bantal alay. Geregetan. Gila, dari suaranya aja udah buat Mira klepek-klepek.
"Nih buat lo!" kata Bella sambil melemparkan sebuah amplop. Lalu ia ikut duduk di kasur, membuka amplop miliknya sambil sibuk mengunyah kripik kentang.
"Bel?" panggil Mira lirih.
"Hm?"
"Kok lo juga dikasih?" Mira menatap Bella penuh selidik. Bella yang melirik Mira langsung terperangah.
"Eh, Mir, lo jangan macem-macem. Gue nggak melarang peraturan!" seru Bella sambil angkat tanga khas pencuri toko emas. "Gue juga baru kali ini dikasih!" Nada Bella terdengar yakin.
Mira menatap amplop sendu. "Coba deh, buka punya lo."
Bella menurut. Dibukanya amplop miliknya. Mira mendekat pasang mata jeli. Nggak ngerti kenapa jantungnya main disko. Mana si Bella sengaja bukanya pelan-pelan lagi!
Saat isinya sudah dikeluarkan, keduanya melotot. Mereka saling pandang. Bella tertekan. Mira tegang. Keringat dingin bercucuran di ruangan ber-AC itu. Mira berkali-kali menelan ludah sambil menggeleng tak percaya.
"Sejak kapan kayak beginian ditaro di amplop?" Bella malah melontarkan kalimat tak semestinya. Mira gerah. Mira tak percaya. Paru-paru Mira serasa pergi ke bulan. Jantungnya enyah ke Mars. Tenggorokannya tercekat.
"Jadi dia nggak bales surat gue?" tanya Mira heran, membuat Bella ikutan heran mengapa Mira melontarkan kalimat tak semestinya.
"Sebaiknya kita cek juga punya lo."
Mira enggan. Ia menyodorkan miliknya pada Bella untuk dibuka. Lalu ia menggeleng pasrah, sambil menutupi kedua wajahnya.
"Mir?" Bella mengguncangkan tubuh Mira. Mira membuka tangannya, dan perasaan mereka masih sama. Bella tertekan. Mira tegang.
"Sejak kapan Hafidz penganut nikah muda?"
@anggiiaaa
"Bel?" panggil Mira lirih.
"Hm?"
"Kok lo juga dikasih?" Mira menatap Bella penuh selidik. Bella yang melirik Mira langsung terperangah.
"Eh, Mir, lo jangan macem-macem. Gue nggak melarang peraturan!" seru Bella sambil angkat tanga khas pencuri toko emas. "Gue juga baru kali ini dikasih!" Nada Bella terdengar yakin.
Mira menatap amplop sendu. "Coba deh, buka punya lo."
Bella menurut. Dibukanya amplop miliknya. Mira mendekat pasang mata jeli. Nggak ngerti kenapa jantungnya main disko. Mana si Bella sengaja bukanya pelan-pelan lagi!
Saat isinya sudah dikeluarkan, keduanya melotot. Mereka saling pandang. Bella tertekan. Mira tegang. Keringat dingin bercucuran di ruangan ber-AC itu. Mira berkali-kali menelan ludah sambil menggeleng tak percaya.
"Sejak kapan kayak beginian ditaro di amplop?" Bella malah melontarkan kalimat tak semestinya. Mira gerah. Mira tak percaya. Paru-paru Mira serasa pergi ke bulan. Jantungnya enyah ke Mars. Tenggorokannya tercekat.
"Jadi dia nggak bales surat gue?" tanya Mira heran, membuat Bella ikutan heran mengapa Mira melontarkan kalimat tak semestinya.
"Sebaiknya kita cek juga punya lo."
Mira enggan. Ia menyodorkan miliknya pada Bella untuk dibuka. Lalu ia menggeleng pasrah, sambil menutupi kedua wajahnya.
"Mir?" Bella mengguncangkan tubuh Mira. Mira membuka tangannya, dan perasaan mereka masih sama. Bella tertekan. Mira tegang.
"Sejak kapan Hafidz penganut nikah muda?"
Komentar
Posting Komentar