Lintang
Lintang.
Namanya cantik seperti parasnya. Senyumnya seelok bulan sabit. Rambutnya
terurai panjang bergelombang hitam legam. Matanya cokelat tanah selembut mata
bidadari.
Lintang
tetangga depan rumahku. Aku tak pernah menyangka bahwa pindahan kami seminggu
yang lalu membawa sensasi sendiri. Membawa rasa syukur sendiri. Ya, aku sama
sekali tak pernah mengharap bisa bertemu dengan Lintang. Tapi ternyata, bertemu
dengannya, membuatku mau menukar apapun.
Lintang
berparas anggun tapi tidak kelakuannya. Ia lebih suka pakai jins belel maupun
non belel ketimbang rok berjumbai-jumbai. Ia lebih suka kaus oblong longgar
dari pada tank top. Ia lebih suka
kemeja panjang longgar sampai lutut sekalipun dari pada dress selutut ataupun sampai mata kaki. Ia lebih suka celana pendek
komprang dari jins atau kaus dari pada rok berplisir. Ia lebih suka pakai
sepatu basket atau sepatu semi boot dari pada sepatu fantovel. Ia lebih suka
sepatu sandal sporty dari pada selop.
Mengamatinya
sehari-hari membuatku hafal dengan kebiasaannya. Ia memang jarang ada di rumah.
Mungkin, dia aktivis kampusnya. Tapi kehadirannya yang pulang pergi itu selalu
kutunggu. Beberapa minggu belakangan ini aku mencari-cari nomor ponselnya. Tapi
para tetangga yang kutanyakan---tapi lewat ibuku---mengaku tak pernah
menyimpan.
Akhirnya,
aku mencoba mencuri kesempatan berbicara dengannya di sela kesibukan
aktivitasnya. Aku perlu berbicara dengannya. Aku perlu akrab dengannya. Aku
perlu mengenal dirinya lebih jauh. Dan akupun ingin lebih jauh masuk ke dalam
kehidupannya.
Lintang.
Namanya cantik seperti parasnya. Senyumnya seelok bulan sabit. Rambutnya
terurai panjang bergelombang hitam legam. Matanya cokelat tanah selembut mata
bidadari.
***
Kesempatan
itu datang hari ini. Tumben-tumbennya di hari Minggu ini Lintang ada di rumah.
Ceritanya,
tetangga kami ada yang mengadakan syukuran nanti malam. Lintang datang untuk
membantu. Kesempatanku. Kau boleh bilang bahwa aku sedang modus.
Aku
mengajaknya bicara. Tuh kan, apa kubilang. Bicara saja ia santun sekaligus
anggun. Ia tersenyum kepadaku. Hingga akhirnya ternyata kami memiliki rasa
nyaman satu sama lain. Kutanyakan nomor ponselnya dengan alasan ia enak diajak
mengobrol---lagi-lagi modus---tapi ia menolak halus. Ponselnya barusan hilang,
katanya.
***
Selama
sebulan kami akrab. Itupun jika ada kesempatan. Kau tau, lah...
Kebiasaan rutin kami akhir-akhir ini
adalah main laying-layang. Kaget? Aku juga tertegun karena Lintang mahir
memainkan layang-layang. Sesekali kami tertawa lepas. Ia sering meninju lenganku
jika aku mulai menyanjungnya, mengejeknya, mengusiknya.
Tapi
kemudian ia terkekeh geli, membuatku yakin bahwa hal yang selama ini
kusembunyikan harus kuungkap segera.
***
Aku mengajak Lintang untuk pergi. Ia mengerutkan kening dan menggigit-gigit bibir bawahnya. Ia agak ragu.
“Emang
mau apa sih, Ren?” Suaranya terdengar mendesah. Aku langsung kaku. Ia terlihat
keberatan.
“Sekedar
jalan-jalan aja sih. Tapi kalau kamu keberatan, nggak masalah kok.”
Lintang
mengangkat alisnya. Tapi kemudian ia mengeluarkan senyum bulan sabitnya. “Aku
nggak keberatan kok. Tapi... aku boleh ajak orang lain?”
Aku
spontan menghela napas. Tapi ia menatapku penuh harap. Sekarang aku yang
menatapnya ragu. Tapi aku ingin ia benar-benar datang... Jika itu yang
membuatnya datang, sebaiknya kuiyakan saja.
“Kenapa
nggak bareng aja sekalian?” tanyaku saat kami selesai mengatur jam dan tempat.
“Sebelum
itu aku ada urusan soalnya. Kamu tunggu aja.” Ia mengedipkan matanya, membuatku
melayang.
***
Di coffee shop, di bilangan pusat kota aku
menunggu Lintang. Katanya, tempat ini dekat dengan kampusnya. Maka setelah
selesai urusannya, ia bisa langsung ke tempat ini segera.
Tapi
ia sudah terlambat 30 menit. Aku bolak-balik memandang jam tanganku pasrah.
Tapi hendak saja aku berdiri untuk memesan kopi ketiga, Lintang datang dengan
senyum bulan sabit dan mata bidadarinya.
“Renooooo,
sori, aku telat. Urusannya baru selesai.” Senyum dan matanya pudar. Tergantikan
oleh raut wajah yang muram.
Aku
tersenyum mencoba menenangkan. “Nggak papa kok.” Lalu aku melirik di balik
bahunya, melihat teman yang di bawanya. Cewek. Aku nyaris saja menghembuskan
napas lega di depannya begitu tau. Aku khawatir sekali ia membawa cowok.
Soalnya waktu itu, ia menyebutkan “boleh ajak orang” bukan “teman”. Aku sudah
takut-takut jika ia datang membawa cowoknya.
Melihat
arah pandangku, ia melempar senyum pada cewek di belakangnya. Selintas kuperhatikan,
cewek ini lebih feminin dari pada Lintang. Sudah kontras sekali dengan apa yang
mereka kenakan. Topi bisbol vs jepit bunga. Kemeja panjang longgar vs dress semi transparan. Jins belel ketat
vs legging abu-abu. Sepatu keds vs selop dengan hiasan bola bulu-bulu.
Lintang
menarik lengannya lembut, menyuruhnya bersalaman denganku. Yang ditarik
tersenyum malu-malu. “Pinkan, kenalin, ini Reno. Tetangga depan rumah.”
Memperkenalkan aku membuatnya terkekeh geli. “Reno ini Pinkan. Pacarku.”
Memperkenalkan Pinkan membuat pipinya bersemu merah.
@anggiiaaa
NB: Semoga diterima di mading sekolah :D
Komentar
Posting Komentar