Teman Makan Teman



5 setengah tahun yang lalu…

Maisa, sahabatku, berencana mengenalkan aku dengan cowoknya yang baru. Cowok yang selalu digambarkannya tampan, rambut lurus poni jatuh menutupi kening, baik, darmawan, dan senyumnya buat siapa yang melihat teralihkan pandangannya. Anak band yang digilai teman-teman se-sekolahnya. Gentleman, cool, and many more.

Aku datang menjemput Maisa yang sedang menemani cowoknya latihan band di sekolahnya. Sebenarnya, aku dan Maisa beda sekolah. Dan kebetulan, sekolah Maisa dekat sekali dengan rumahku. Aku menjemput Maisa dengan sepeda kayuhku.

Maisa sengaja menyuruhku untuk menjemputnya karena menurut dengan rencanannya untuk mengenalkanku pada cowoknya yang sukses membuatnya gila dan sukses pula membuatku hafal segala tentang cowok itu. Padahal biasanya, Maisa pulang-pergi ke manapun ya sama cowoknya itu.



Dari kejauhan, Maisa bersorak melihat sosokku. Ia mengamit tangan cowok keren di sebelahnya dengan mesra, menariknya hingga mendekatiku. Aku turun dari sepeda, menghampiri dua anak manusia itu saat sebelumnya memarkir sepedaku.

“Vely, ini nih…,” kata Maisa genit sambil mengedipkan mata sebelahnya. Aku terkekeh geli. “Ardi, ini Vely, sahabatku yang sering aku ceritain ke kamu. Vely, ini Ardi. Dia… cowokku yang biasa aku ceritain ke kamu.” Lagi-lagi Maisa mengedipkan matanya kepadaku. Kontras sekali dari wajahnya ia tersipu sekaligus bangga.

Cowok itu mengulurkan tangan kanannya sementara tangan kirinya masih dipegang Maisa erat-erat. Ia melemparkan senyum. “Ardi.”

“Vely.”
***
Aku terpaku. Mataku membulat. Kenangan samar dan sekilas itu terintas saja di pikiranku saat cowok berwajah super duper kece setengah mati di depanku ini menyebutkan namanya.

Ia melambaikan tangannya di depan mataku dengan luwes. “Halo?”

Aku langsung tersadar. Aku mengerjapkan mata berkali-kali, sambil terus meyakinkan diriku bahwa ini bukan mimpi. Bahwa ini bukan hayalanku dan bukan dengan sengaja semua ini terjadi.

“Kamu gugup?” tanyanya sambil terus menatapku dalam-dalam. Aku tersenyum---tapi kupastikan bahwa senyumku ini terlihat sekali dipaksa, aku telah gagal bersandiwara. Ia lalu terkekeh geli. Suaranya terdengar halus sekali membelai gendang telingaku. “Rileks aja. Jangan malah dibuat gugup, nanti malah ada apa-apa.”

“Jangan sampe.” Suaraku terdengar berbisik.

“Apa?” tanyanya.

“Eng…” Aku mengusap-usap leherku dengan kaku. “Nggak papa.”

“Jadi?” tanyanya sambil meletakkan kamera SLR yang dikalunginya ke pangkuannya. “Namamu?” Ia mengulurkan tangan lagi.

“Vely,” kataku gugup menjamah tangannya.

“Salam kenal ya,” katanya sambil tersenyum lebar.
A
ku menelan ludah. Ia tak ingat siapa aku.
 
***
Siapa sangka Ardi yang menjadi temanku di perlombaan fotografi tingkat SMA/SMK se-derajat sekarang menjadi teman kuliahku? Bahkan kami lengket sekali. Akrab. Orang takkan salah jika menyebut kami berpacaran.

Sebuah keajaiban jika Ardi tertarik padaku. Jika Ardi suka padaku. Ah, mustahil sekali. Wajahnya yang super-duper-kece-setengah-mati itu mana pantas disandingkan dengan wajah super-duper-amat-biasa milikku? Tapi aku sudah cukup bangga menjadi sahabat dekatnya. Sudah sahabat, dekat pula. Haha. Keberuntungan berpihak padaku.

Aku sendiri masih harus berpikir ulang untuk mencoba menyukai Ardi. Gila, tanpa diminta pun rasanya aku ikut klepek-klepek. Tapi satu hal yang belum disadarinya hingga kini; dia mantan pacar sahabatku, Maisa.

Aku pun tidak bisa menjamin bahwa Maisa sudah melupakan rasanya terhadap Ardi sepenuhnya. Meski Maisa jatuh cinta kepada Ardi terbilang di waktu yang dini, yaitu saat awal masuk SMP, Ardi cinta pertama Maisa. Maisa masih terus membicarakan Ardi paska putus sampai sekarang, meski intesitasnya berkurang. Apalagi jika bertemu Ardi di jalan saat mereka pisah sekolah, butuh waktu seharian untukku menghentikan Maisa nyerocos. Hal-hal tentang Ardi yang sudah dia ceritakan tak bosan-bosannya ia ceritakan kembali.

Maka ketika kami bertiga bertemu, Ardi haya menatapku terpaku saat Maisa nyerocos, mengingatkannya kembali bahwa Vely, Vely ini cewek polos bersepeda kayuh yang pernah berjabat tangan dengannya.
***
Ini semakin menguatkan argumenku bahwa Maisa masih benar-benar mencintai Ardi. Ia menudingku teman makan teman. Ia menghasut seantero fakultas di kampus untuk memusuhiku. Kontan saja mereka semua setuju. Sebelum Maisa mengompori mereka, hawa permusuhan terhadapku sudah mulai bertumbuh karena aku cewek yang paling dekat dengan Ardi. Apalagi, kau tau sendiri kan, mulut wanita seperti apa?

Aku menangis sejadinya sambil menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan di sudut pojok teras rumahku. Ardi terlihat frustasi sambil meremas rambutnya di sela-sela jari tangannya.

Ia lalu bergegas menghampiriku dan membuka tutupan wajahku. Aku menolak, meronta saat ia mencengkram tanganku.

“Vely, udahlah! Nggak usah dengerin mereka!”

“Aku ini yang ngerasain! Emang kamu ngerti??”
***
“Kamu nggak bisa gitu, Mey!” protes Ardi.

“He, yang kenalin dia sama kamu itu siapa kalau bukan aku?” Maisa nggak mau kalah. “Sekarang kalian mengkhianati aku!”

“Hei, aku sudah lupa sama Vely yang kamu kenalin waktu itu. Sekarang, aku ketemu dia lagi tanpa bantuanmu! Jadi sekarang nggak ada sangkut pautnya dengan kamu!”

“Tetep aja Vely itu sahabatku!”

“Kalau Vely sahabatmu, apa bener sahabat itu ngerjain abis-abisan sahabatnya dan dipermaluin satu kampus??” Sekarang Ardi jadi menghardik.

Maisa memainkan mulutnya geram. Ia menatapku sengit. Aku berusaha merasa tenang dengan menatapnya datar, meski gigiku menggigiti bibir bawahku.

“Mey, cerita kita udah lalu…,” keluh Ardi.

Maisa memandang Ardi menyipit, seolah Ardi adalah teman lama yang bertemu kembali membuatnya pangling.

“Aku jatuh cinta sama Vely dari awal aku ketemu dia.”

Aku menelan ludah. Keringatku tanpa sadar bercucuran.

Ardi mengamit tanganku dan membawaku pergi dari sana. Punggungku nyeri dan bulu kuduk di punggungku serasa berdiri. Aku tau Maisa memandangku dengan tatapan benci. Aku tau melalui udara, melalui tatapannya, melalui masa-masa kami berteman, melalui perasaannya dengan perasaanku dengan cowok yang sama, ia merencanakan sesuatu. Aku tau, Maisa itu ambisius.

Mungkin sekarang ia sedang menyeringai.


@anggiiaaa

Komentar