Sepeda Motor


“Pak, mi ayamnya 2 porsi ya.”

“Iya.” Aku berkata sambil menghentikan dorongan gerobakku sambil mengucap hamdalah. Alhamdulillah, akhirnya ada yang membeli daganganku.

Seseorang yang membeli daganganku itu lenyap  masuk ke dalam rumah. Tepat di depan rumah yang tidak terlihat besar namun asri itu, ada seorang anak perempuan menyuci sepeda motor dengan air slang. Postur tubuhnya tinggi, aku memperkirakan dia… sekitar kelas 2 SMA. Hebat, anak ini sudah mampu mandiri. Tidak perlu pergi ke tempat pencucian sepeda motor. Entah suruhan orang tua atau keinginannya sendiri, memiliki prinsip “jika memakai, ya tanggung jawab”. Aku langsung berpikiran kalau gadis ini bersekolah mengendarai sepeda motor yang sedang dicucinya itu tiap hari.



Aku membuat mi ayam sambil sesekali melirik. Gadis itu cekatan dan detail membersihkan bagian-bagian sepeda motor bagian belakang. Selintas, bayangan wajah anakku kembali terngiang dalam benak. Trina… anakku. Dia pasti seusia dengan gadis ini. Namun tanpa diminta, aku meracik mi dengan membayangkan perbedaan-perbedaan gadis ini dengan Trina.

Trina lebih kurus dari pada gadis ini. Namun kulit Trina lebih putih, sedangkan gadis ini memiliki kulit sawo matang. Mungkin karena ia pulang-pergi selalu berkendara sepeda motor, sementara anakku, Trina, berangkat-pulang sekolah harus menyetop bus kota di pinggir jalan raya. Trina juga ke mana-mana selalu setia dengan switer putih rajutan ibunya yang melingkupi badannya. Rambut Trina berombak terkulai panjang. Jarang sekali Trina mengucir rambutnya. Sedangkan gadis ini, rambutnya terlihat lurus---seperti hasil salon---dikucir tinggi-tinggi, memperlihatkan lehernya. Hidung dan dagu Trina sama persis dengan gadis ini.

Gadis ini tak pernah menatapku. Dia seolah tegang dan fokus dengan sepeda motornya. Mungkin karena ayahnya galak. Dari suaranya yang menggelegar, sekali bentakan mungkin akan membuat seseorang serangan jantung. Lalu, ia bergegas masuk ke dalam. Saat ia kembali, baru kutau, ia ternyata mematikan air slangnya.

Ia kembali dengan membawa lap. Ia mulai mengelap sepedanya hingga kering. Hingga kini pun, gadis ini belum memalingkan wajahnya terhadapku. Padahal, aku ingin sekali melihat wajahnya dari depan, tidak terus-terusan melirik dari samping.

Masakan mi hampir selesai, dan aku harap-harap cemas, ayah dari gadis ini keluar dan menerima pesanan. Kuharap beliau tidak keluar, sehingga aku bisa menyerahkan pesanan ini kepada anak gadisnya agar bisa melihat wajahnya. Karena melihat wajahnya, membuatku melihat kembali wajah putriku. Membuatku rindu akan kehadiran putriku. Putriku, Trina, yang kabur dari rumah karena mengamuk tak dibelikan sepeda motor seperti milik kawan-kawannya.

Aku menatap gadis itu sendu.

“Sudah selesai mi-nya, Pak?” suara berat dan menggelegar ayah si gadis yang bertengger di daun pintu pagar mengagetkan aku.

***

“Ini masih kotor nih,” tunjuk Ayah beberapa saat setelah aku membersihkan sepeda motor. Aku memajukan wajah dan memincingkan mata.

“Kamu ini, masa cuci motor saja tak bisa? Jangan bisanya pakai saja, cuci juga harus bisa agar mesinnya tetap awet,” Ayah berkata dengan ketus. Aku menunduk dalam-dalam. “Kamu harus memiliki tanggung jawab yang tinggi. Contoh Lina. Setiap pulang sekolah ia rajin sekali membersihkan sepedanya.”

Lalu Ayah masuk ke dalam rumah. Aku mengumpat dalam hati, karena beliau selalu saja membanding-bandingkan aku dengan putri sulungnya itu. Tak sadar aku mendengus, namun lalu langsung menciut ketika suara berat Ayah terdengar lagi.
“Ayah tidak mau tau. Bersihkan ulang sepedanya!”

Aku melangkah sambil melengos. Aku mengeluarkan sepeda motorku lagi dari teras. Mempersiapkan air slang, sikat, dan lap. Huh, jadi kerja dua kali kan? Padahal, biasanya Ayah nurut-nurut saja dan aku membersihkannya dengan sempurna kok.

Ini pasti gara-gara gugup karena tadi bertemu Bapak.


@anggianab

Komentar