Jika Cuma Itu

"Cantik kan?"

Aku hanya tersenyum kaku. Aku menahan kepedihan yang mengiris-iris. Mataku nyaris berkaca-kaca, tapi aku tau, aku harus tegar. Terus sok tegar di depanmu. Terus sok kuat menghadapi senyummu terhadap hal yang kubenci. Terus sok menyemangati ketika kamu menceritakan hal itu secara menggebu-gebu.

Aku sudah tidak tahan. 3 tahun kita bersahabat. 3 tahun juga aku tersiksa mendengar curhatmu tentang cewek lain. 3 tahun juga kamu nggak peka menerima sinyal-sinyalku. 3 tahun juga aku memendam perasaan suka tapi ternyata mengundang duka...


Baru sebulan lalu kamu putus dengan seorang. Sekarang kamu nemuin lagi yang lain. Lalu, sampai kapan aku harus tegar? Butuh waktu berapa lama lagi kamu akan sadar akan kehadiranku? Butuh waktu berapa lama sehingga kamu mengerti apa inginku? Butuh waktu berapa lama untuk kamu menyadari bahwa aku jenuh mendengar ceritamu...?

Aku udah nggak kuat. Gumpalan sesak di dada ini terlampau menyiksa. Onggokan di hati ini terlampau dihiraukan. Percuma saja aku bermimpi. Selalu saja aku menangis, menangis mendapatimu yang sedang tersenyum senang. Seperti sekarang juga.

Untung saja kamu sibuk ngeliatin cewek inceran kamu itu. Aku harus terima lapang dada. Harus. Pepatah yang paling kubenci 3 tahun terakhir akhirnya harus aku akui adanya; cinta nggak bisa dipaksa dan nggak saling memiliki. Jika kamu bahagia, harusnya aku bahagia, meski bahagiamu tanpaku... Halah! Haruskah aku kembali munafik melakoni kalimat itu?

Tapi cuman itu yang bisa aku lakukan. Setidaknya untukmu...

"Siapa namanya?" ucapku, seberusaha mungkin tak terdengar bergetar sambil mengusap pipiku yang basah. Kamu menoleh ceria menatapku penuh semangat.

"Reka."
***
Sebulan kemudian, kamu menghampiriku dalam keadaan lesu. Lalu kamu cerita bahwa nyatanya Reka sudah punya cowok idaman lain. Dan lagi-lagi, aku harus pasang topeng, sok sedih padahal aku riang luar biasa. Mulai berharap lagi meski aku enggan. Tapi, apa yang bisa aku lakukan? Cuman itu yang bisa aku lakukan. Setidaknya untukku bahagia.
***
10 tahun kemudian.

"Apa saja yang terjadi hari ini?"

Suamiku nyengir. Ia menghempaskan tubuhnya yang terlihat lelah ke sofa, duduk di sisiku. Ia mengacak rambutku pelan, sambil terus nyengir.

"Ya, meeting biasa sama relasi-relasi penting."

"Lancar?"

"Pasti dong." Ia tersenyum bangga.

"Hehe, siapa dulu, suamiku," kataku, ikut-ikutan narsis.

Ia ngakak, lalu melingkarkan lengannya di bahuku. "Siapa dulu, istrinya?"

Kami terkekeh bersama.

"Lalu, lalu?" tanyaku.

"Ada seleksi calon sekretaris."

"Oh, yang di pasang di koran itu ya?"

"Iya."

"Lancar?"

"Pasti dong. Siapa dulu..."

Sebelum ia meneruskan kata-katanya, aku menimpuk kepalanya dengan bantal.
***
Aku menjerit kesetanan. Aku hampir gila. Sungguh. Tapi mungkin aku sudah gila.

Aku melempar kursi aluminium itu ke arahmu. Kamu menghindar dan kursi itu menghantam dinding. Menciptakan suara gemuruh memekakan telinga. Kamu terus berteriak untuk menghentikanmu. Namun apa bisa kamu menghentikan rasa sakitku? Namun apa bisa kamu menghentikan segala laraku? Namun bisa kamu menghentikan harapan palsumu atas kehilangan gadismu saat 3 tahun kita bersahabat??

Bisa nggak sih kamu menghargai aku? Bisa nggak sih kamu ngertiin aku, sekali saja? Kamu segala harapan dan impianku! Satu-satunya cita-citaku adalah membangun keluarga bahagia, dan sejak aku mencintaimu hal itu akan terwujud hanya dengan kamu! Tapi apa balasanmu? Aku sudah menyediakan kehadiranku, air mataku, ketegaranku, dan kesabaranku, tapi kamu nggak sadar juga! Bahwa nggak ada yang lebih mencintaimu di dunia ini selain aku!!

Lantas kamu hargai apa perasaan yang terlampau dalam ini untukmu? Lantas kamu hargai apa perasaan yang jauh tertanam dan selalu hidup di kalbuku? Lantas kamu hargai apa kesediaanku untuk jadi bonekamu selama bertahun-tahun? Sedangkan bersedia untuk setia dan serius saja kamu tak mampu??

Jahat! Kamu jahat!

Aku akan membunuhmu, karena mungkin tak sanggup lagi aku memikul beban yang lebih berat. Dengan membunuhmu, itu juga bisa berarti membunuh perasaanku terhadapmu. Dengan membiarkanmu hidup, itu artinya rasa sakit akan terus bertumbuh di hatiku.

Bagaimana tidak?

Bagaimana tidak bisa aku untuk tidak tahan dengan melihatmu seperti ini?! Menikahi sekretaris barumu sekaligus cewek sepanjang masamu; Reka.


@anggiiaaa

 

Komentar

  1. seperti cukup tragis gini yah ceritanya -_-

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehehe, tapi ngarang kok ._.v terimakasih banyak sudah singgah :))

      Hapus

Posting Komentar