Hariku Harimu #1

Pertama, kamu seorang idola. Dan kamu membuatku merasa menjadi orang tersombong di dunia melalui tatapanmu. Siapa kamu sebenarnya?
***

“Elang, Elang! Yang cekatan, nggak perlu ragu!” teriak Pak Hartono, pelatih tim basket sekolahku sambil mengibas-ngibaskan tangannya dengan cepat, entah antara emosi karena kami tertinggal jauh atau memberi semangat. Ekspresinya tak bisa ditebak.

Cowok jangkung, wajahnya putih bersih yang sempat diragukan bahwa ia sering main basket atau nggak di bawah terik sinar matahari, rambutnya lurus agak gondrong dengan poni jatuh menutupi kening, berkaus nomor 17 itu mengangguk mendengar instruksi Pak Hartono. Ia mendengarkan sekaligus melirik Pak Hartono dalam sekejap---bahkan sampai kata-kata beliau belum selesai---lalu dengan sigap meraih bola oranye dari pelukan tangan lawan tanpa melanggar aturan. Jenius, teliti, dan konsentrasi. 

 
Teriakan para cewek makin memekakan telinga saat cowok itu memegang kendali permainan. Cewek-cewek itu dengan kompak meneriakan namanya. Cowok itu membawa bola hingga batas garis three point dan bertemu dengan defend lawan. Ia sempat berkelit dengan orang itu, membuat para cewek dengan cepat plus semangat meneriakan namanya makin keras. Saat detik-detik akhir babak, baru cowok itu menemukan celah, memberikan bola kepada temannya lalu dikembalikan lagi karena permainan menganut peraturan 1x passing. Wasit mengangkat tangan untuk menghitung lima detik terakhir, namun cowok itu berlari, berjalan dengan dua langkah lebar, dan melakukan leng-up. Set.

 Masuk! Suasana makin ricuh dan bunyi peluit wasit membelah teriakan para cewek. Cowok itu menerima usapan kepala, tepukan bahu dan tos dari teman-temannya. Babak ketiga pertandingan pun berakhir. Mereka masih punya satu babak lagi untuk mengejar ketertinggalan.

 Siapa tak kenal dia? Seantero sekolah atau sebagian orang dari sekolah lain tahu kalau namanya Elang, cowok yang sedari SMP punya bakat bikin cewek disekelilingnya klepek-klepek cuman karena dapat senyuman atau tatapan darinya. Bahkan ada yang tak segan-segan minta nomor HP-nya, foto dengannya, dan ngajak nge-date! Notabene cewek yang ada di dekatnya mendadak norak kelakuannya.

Belum ada 3 bulan ia bergabung di tim basket sekolah, ia dianugerahi menjadi play maker. Elang menduduki kursi wakil ketua OSIS terkece sepanjang sejarah sekolah---katanya. Ia cerdas dan punya daya ingat yang kuat, bahkan untuk hal sekecil apapun. Ia kelewat “sempurna”.

 Elang adalah cowok yang membuatku merasa menjadi orang paling sok di dunia melalui tatapannya pada Masa Orientasi Siswa.

***

Tak ada kata sepi pada setiap latihan tim basket sekolah kali ini. Memang sebelum-sebelumnya nggak pernah sepi, tapi karena ditambah Elang, murid cewek di sekolah rela pulang telat karenanya. Padahal baru latihannya saja.

Seperti hari ini. Padahal matahari nyaris lenyap dari singgasananya, telah berkompromi dengan bulan, cewek-cewek itu nggak pegal harus tersenyum di sepanjang latihan tim basket. Tumbenan sekali kalau sekolah sudah jam segini masih rame. Tim basket sekolah sedang berlatih keras untuk menghadapi kompetisi basket SMA/SMK se-pulau Jawa mendatang. Otomatis keringat yang dihasilkan berkat latihan fisik yang aduhai capeknya, malah buat semua cewek nyaris nangis. Karena banyak yang bilang, Elang kalau lagi keringetan malah makin cakep. Nggak ada unsur jelek meski keadaannya bau. Banyak yang bilang juga Elang memang ditakdirkan untuk menjadi pemain basket karena face-nya yang mendukung olahraga fisik tersebut.

Aku nyengir.

  Jika Elang berhenti bergerak, teriakan meredam. Tapi tetap ada suara kasak-kusuk. Bahkan ada lemparan-lemparan kalimat jahil. Contoh, ketika Elang meminum air mineralnya. “Bagi dong airnya.” Atau. “Boleh dibawa pulang nggak botolnya?” Atau saat Elang mengusap wajahnya dengan handuk. “Mau dibantuin ngelap?” Atau. “Bagi dong handuknya.”

 Sedangkan yang lain pada sinis plus keki. Aku nyengir bahkan ngakak keras-keras. Situasi seperti itu kan malah buat pemain lainnya ngerasa iri dan jengah. Cowok itu nyengir pada teman-temannya, dan minta maaf lewat matanya.

 Sore itu, entah untuk keberapa kalinya aku menghembuskan napas sambil menengok jam tanganku. Lama sekali Arkan. Kami akan pergi ke rumah sakit menjenguk teman kami yang lama sakit, Sheila. Sebenarnya sepulang sekolah kami berangkat, dan seharusnya kami sudah ada 2 jam di rumah sakit sekarang, ngobrol bareng Sheila. Tapi tadi Arkan dipanggil tiba-tiba oleh Pak Untung, wali kelasnya untuk dimintai tolong. Kami berjanji bertemu di pinggir lapangan basket.

Sebenarnya aku jengah dengan pemandangan di depanku, tapi aku tidak bisa berpindah tempat. Kami sudah berjanji di sini, sedangkan dengan mengubah tempat janjian, harus menghubungi Arkan dulu. Tapi ponselnya mati. Mungkin kehabisan daya baterai. Kalau seperti ini, aku menunggu dengan perasaan bingung. Sudah jam segini kami tak mungkin jadi ke rumah sakit. Malam kan waktu istirahat Sheila. Aku sebenarnya ingin pulang karena menungguku sia-sia. Tapi karena---lagi-lagi---aku tak bisa menghubungi Arkan, aku tak ingin membuatnya bingung karena pulang tanpa pamit. Tadi aku sempat ditemani sebentar dengan Galih. Katanya ia melihat Arkan dan Pak Untung di ruang komputer, membenahi komputer-komputer yang rusak. Niatku jadi runtuh. Aku tak ingin datang mengganggu. Pak Untung kan terkenal dengan suasana hati yang selalu buruk.

Aku jadi turut menyesal memikirkan kebiasaan buruk Arkan; malas mengisi ulang baterai ponselnya sebelum berangkat sekolah. Alhasil, begini deh hasilnya. Aku terpaku memandang malas latihan tim basket yang bagiku sama sekali tak menarik karena aku tak mengerti.

Hingga saat aku melirik jam tanganku untuk kesekian kalinya, suara histeris mendadak berubah menjadi tarikan napas bersamaan yang berlebihan. Spontan aku menoleh, ingin tahu apa yang sedang terjadi.

Tak perlu waktu 10 detik untuk menemukan jawabannya. Bola oranye itu hendak mencium wajahku sekarang.

 Bruak!

Reaksi semua orang bermacam-macam. Ada desahan napas tertahan. Ada tahanan tawa. Ada desisan kengerian. Ada juga bahkan yang jelas-jelas menertawaiku. Oh ya, hancur sudah aku, imej Elang yang jadi tontonan bersama beralih padaku dengan cara yang memalukan.

Lalu suara langkah-langkah dari sepatu-sepatu yang besar dan berat itu mendekat. Aku terjatuh dari kursi pinggir lapangan basket tanpa sandaran, terjengkang ke belakang dan tertidur dengan posisi menyamping. Aku memegangi kepalaku yang nyeri sambil memejamkan mata, mengerang pelan kesakitan.

Sesaat kemudian ada yang mengulurkan tangan padaku, menarikku lembut hingga terduduk. Telapak tangannya mengusap-ngusap kepalaku lembut. “Lun? Luna? Lo nggak papa?” nadanya kontras sekali, panik.

Aku hanya mendesis, tak mampu membuka mataku. Parah, sakit sekali. Baru kali ini aku ditimpuk bola oranye itu. Jadi begini rasanya? Kok bisa-bisanya sekolah melepas batasan jeruji besi di sekitar lapangan? Kan untuk keselamatan penonton juga!

“Lang, lo kudu bawa dia ke UKS,” saran seseorang. Suaranya berat dan tegas. Aku hafal suara itu. Kak Ridwan, kapten tim basket.

“Iya, Lang,” suara lain menyahut. “Keras banget soalnya tadi.”

“Iya. Sebenernya sekarang harusnya lo pingsan, Lun.” Suara Aldo, teman sebangkuku yang juga anggota basket.

Aku membuka mata perlahan sambil terus mengerang. Elang menatapku lekat dengan bola matanya yang bundar, terus mengusap kepalaku dan menopang punggungku. Saat itu, aku baru sadar matanya berwarna coklat moka. Bibirnya berkedut-kedut resah. Alisnya membentuk penyesalan yang kontras.

Aku jadi marah.

Sementara kalimat Aldo tadi mengundang tawa yang lain. Elang menatap mereka dengan tatapan memohon. Kak Ridwan merentangkan tangan untuk menengahi.

Elang masih terus memijat kepalaku sementara aku menatapnya tajam. “Masih sakit, Lun?”

“Sakit?” Aku mengatakannya dengan nada tinggi. Sukses! “Ini namanya bukan sakit doang! Sakit banget tau!” semburku.

Elang tertegun. Anggota tim lain malah terang-terangan ingin tertawa, tapi langsung menginjak pedal rem saat Kak Ridwan melempar tatapan sengit.

Marah-marah itu mengeluarkan energi juga. Selain kepalaku pening, aku jadi ingin muntah. Aku melenguh.

“Oke,” kata Elang lalu membawa tanganku melingkari lehernya. Ia memegang pinggangku dan menarikku lembut hingga aku berdiri. Kak Ridwan mendorong kepalaku dengan pelan untuk bersandar di bahu Elang. Aku masih mengerang kesakitan.

Ketika tersaruk-saruk berjalan ke UKS dengan dibopoh Elang, kegelapan setengah memenuhi diriku ketika aku yakin Elang sedang berbicara ke seseorang di depan pintu UKS. Dan aku mendengar suara lain ketika kegelapan akhirnya menenggelamkanku.

“Luna? Loh, dia kenapa?” nadanya terperangah.

“Sori...,” jawab Elang menyesal.

Lalu kesadaranku lenyap.

***

Aku membuka mataku pelan dan aku langsung melihat langit-langit ruangan yang tampak berumur. Sakit melintas di kepalaku seketika seperti sengatan listrik. Spontan aku mengerang.

Seseorang mengulurkan tangannya memegangi kepalaku. Lalu memijatnya pelan. “Masih sakit, Lun?” tanyanya ramah.

Aku menoleh. Elang.

Ugh. Kupikir tadi hanya mimpi.

 Aku hanya memejamkan mata sejenak, lalu merentangkan tangan, menyuruhnya berhenti memijatku.

 “Sori.” Penyesalan tampak pekat di wajahnya.

Aku tak menjawab. Aku melempar pandanganku keluar jendela di balik bahunya. Langit sudah gelap.

“Jam berapa sekarang?”

Ia menengok jam tangannya. “Setengah tujuh.”

 Aku menghela napas. Lalu tertegun karena teringat sesuatu. “Arkan...?”

“Dia udah tau,” sahut Elang. “Dia udah pulang kok,” katanya seolah mengerti. Aku mengangkat alis.
“Tas gue mana? Mau nelpon ortu.”

“Udah gue telpon,” ia menjawab dengan cepat tanpa mengurangi ekspresi menyesalnya.
Aku menghembuskan napas lega. “Dari mana lo tau nomornya?”

“Tanya ke Arkan.”

 “Dari mana lo tau nomor Arkan?”

Ia melotot gemas. “Tanya ke Aldo. Aldo temen basket gue jadi gue punya nomornya,” katanya jengkel.

“Gue nggak tanya lo punya nomor Aldo ato enggak,” jawabku tak kalah jengkel.

Ia meremas jari-jarinya di depan mataku seolah ingin meremasku. Aku ngakak.

“Malah ngakak,” protesnya.

“Biarin!”

“Ini di UKS?” tanyaku seraya mengedarkan pandang.

“Lo pikir di mana? Rumah sakit jiwa?”

Aku menatapnya sengit tapi mengabaikan kalimatnya. “Gue jatuh tadi jam berapa?”

 Ia menengok jam tangannya lagi. “Jam lima lebih lima belas.”

“Kok UKS masih buka?”

Ia melotot gemas lagi. “Ya masih sempet tadi. Lo nanya mulu kayak turis kesasar. Masih untung lo bisa disini.”

Aku mengabaikannya. “Kok bisa?”

Ia menghembuskan napas keras-keras. “Gue tadi mohon-mohon lah. Menurut lo gimana kalo UKS-nya nggak dibuka juga? Lo mau tiduran di lantai koridor?”

Wajahnya begitu kesal. Sudah kupastikan ia benar-benar ingin meremasku sampai lumat. Aku ngakak lagi. Dia cuman melirik acuh.

“Jadi, latian lo gimana?”

“Gue tinggal,” jawabnya singkat sambil mengangkat bahu.

“Kenapa?”

Ia menggeram. “Trus gue rela gitu ngebiarin lo tidur sendirian di sini tanpa ada yang jaga?” nadanya masih kesal. Aku tertegun. Mulutku sedikit terbuka, tak percaya akan kata-katanya. Ia menangkap reaksiku, mengernyit heran. Sepertinya setelah tersadar, wajahnya langsung merah padam.

 “Ya sebagai bentuk tanggung jawab gue aja,” ia mengelak. Aku diam saja.

Hening. Lalu ada satu pertanyaan dari keheranan yang melintas di benakku.

“Elang,” panggilku. Ia menoleh karena sebelumnya menunduk. “Dari mana lo tau nama gue?’

Ia terlihat tertegun. “Nah lo dari mana tau nama gue?” nadanya seolah menyembunyikan sesuatu.

Aku memutar bola mata. “Tiada hari tanpa teriakan cewek atas nama lo, tau?” tantangku. Ia malah nyengir, tapi tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Aku menunggu.

Namun ia malah mengulurkan tangannya. “Sori,” ucapnya.

Mula-mula aku mengernyit heran menatap tangannya. Tapi kesungguhan tampak jelas di wajahnya. Aku ngakak lagi.

“Kok malah ngakak sih?” protesnya. Wajahnya sekarang sudah seperti ketangkap nggak bisa ngerjain tugas guru killer di depan kelas.

“Lo minta maaf kayak anak kecil aja pake ngulurin tangan segala.”

Ia menatap tangannya sejenak. Lalu menariknya kembali. “Tap...,”

“Apa? Mau bela apa lagi?” kataku di sela tawaku dengan nada mengancam khas ibu-ibu. Ia mendengus kesal. Aku melempar senyum, seolah mengatakan aku memaafkannya. Ia ikut tersenyum.

Ia bangkit berdiri, meraih tasnya dan tasku, di bawa dalam satu bahu sekaligus. “Yuk, pulang udah malem.”

Aku menurunkan kakiku dari ranjang. Saat memijak lantai, Elang mengulurkan tangan. Aku memandangnya tak mengerti.

“Gue harus pastiin lo berjalan dengan normal,” tambahnya. Lagi-lagi, kalimatnya membuatku terpana. Ia merasakan rekasiku dan sadar akan kata-katanya, tapi ekspresinya berusaha lebih tenang.

Aku berjalan tersaruk-saruk mendahuluinya. Wajahku merah padam. Ia mengunci pintu UKS lalu menjejeri langkahku.

“Lo bawa sepeda?” tanyanya.

“Sejak kapan gue ke sekolah naik sepeda?”

“Oh, iya ya, lo kan anak manja,” ejeknya. Aku meliriknya tajam, lalu badanku agak linglung. Kepalaku pening lagi, rasa mual itu muncul lagi. Ia menangkapku tepat pada waktunya, selanjutnya ia membimbingku berjalan. “Tuh kan!” jawabnya dengan senyuman puas. Aku mendengus kesal.

“Gue anterin lo pulang.”

Sengatan listrik yang menjalar cepat ke seluruh bagian tubuhku itu terasa makin nyata mendapati ketulusan dalam nada bicaranya.


@anggiiaaa

Komentar