Ia Belum Boleh Mati

Ya, aku diam saja karena memikirkan seseorang. Seseorang yang entah di mana keberadaannya. Entah bagaimana kabarnya. Entah sedang apa yang dilakukannya. Entah mengapa ia seperti hilang, pergi ke galaksi lain. Entah bagaimana caranya menyamarkan jejaknya dariku. Entah mengapa ponselnya mati. Entah mengapa ia mengacuhkan panggilanku yang merintih. Atau entah apa ia memikirkanku yang sedang memikirkannya.


Lalu, aku merasa hancur tanpanya.



Aku menengadah, menatap langit hitam bertabur awan tebal abu-abu di luar jendela. Kami satu langit---itu pasti---tapi aku benar-benar sangat buta arah  tentangnya. Saat ini, aku begitu haus akan tanda-tanda kemunculannya. Kabar sekilas saja, untuk menenangkan sejenak. Tapi nihil. Sungguh nihil.


Ini sungguh menyiksa. Kumohon, sapalah aku lewat pesan melalui media apapun atau minimal nyalakan ponselmu sehingga operator akan mengirimkan pesan untukku. Sapalah aku lewat teguran, atau bahkan lewat sudut tatapanmu saja. Anggaplah aku ada. Jangan dan berhentilah menganggapku angin lalu. Aku ini udara yang mengisi paru-parumu. Aku ini suhu yang menyelimuti ragamu. Aku ini tempat di mana seharusnya kau memandang. Aku ini tempat yang akan menaungi kebahagiaanmu. Aku ini bintang berkelip, cahaya terang di ujung lorong gelap, lilin di tengah kegelapan pekat, dan tempatmu untuk bersahaja. Dermawanlah sedikit, sekali saja.


Tiba-tiba, aku tertawa keras. Tertawa terpingkal-pingkal sampai perutku kram. Tertawa memikirkan betapa cintaku yang takkan ada habisnya dengan orang yang bahkan tak peduli dengan keberadaanku sekalipun. Memikirkan betapa besar pengorbananku untuknya, sementara untuk mengobati rinduku saja ia tak mampu. Memikirkan segala hal yang telah kuberikan padanya, sementara mengirimkan kabar saja ia tak sudi. Memikirkan keringat dan air mata yang terkuras untuknya, sementara tersenyum saja ia menunggu meteor besar menghantam bumi terjadi dulu.


Aku menggigiti ujung kuku jariku seolah berfikir aku menggigitnya sampai mati. Biar saja! Dia pikir, mudah saja bagiku menerima kehilangannya? Pikirnya aku biasa saja saat ia mengabaikanku? Aku menggigiti kuku jariku makin cepat dan makin keras. Biar mati dia! Biar rasakan dia apa yang sedang kurasakan! Kau pikir gampang saja menyepelekanku seperti ini??


Aku mengerang saat gigiku menembus pertahanan kulitku. Kuhentikan aktivitas gigit-menggigit, mengamati luka di ujung jariku, yang mengakibatkannya mengeluarkan cairan merah.


Lalu, aku tertawa, puas sekali. Sudah kupastikan ia akan mati akibat gigitanku!

Aku memilin-milin ujung rambutku dengan jariku, bersenandung pelan. Nyanyian seperti yang biasa kunyanyikan bersamanya di malam hari jika langit begitu kelabu. Kau ingat? Hei, kau ingat?? Kau sering memandang langit bersamaku! Kita sering melakukannya, menghabiskan waktu bersama. Pikirmu waktu untukmu ini hanya sampah saja? Hei, buka matamu! Aku bahkan bisa lebih busuk dari pada sampah untuk membunuhmu! Bisa-bisanya kau memperdayaiku seperti ini!


Aku menarik-narik ujung rambutku dengan keras. Lalu berteriak, mengacak-acak rambutku dengan kasar. Singkirkan rindu ini terhadap bajingan itu! Singkirkan pikiran ini terhadap cecunguk itu! Singkirkan rasa ini untuk keparat itu! Sialan! Sialan! Sialan! Apa kurangnya aku untukmu?!


Lalu aku menampar diriku sendiri, seperti yang pernah ia lakukan terhadapku jika aku menuntut kasihnya. Hingga aku begitu terpaku menatapnya. Bodoh! Bodoh sekali aku! Seharusnya kucakar saja wajahnya saat itu. Kutampar balik saja pipinya yang halus itu. Kuterkam dan kucabik saja tubuhnya saat itu. Namun cintaku yang kelewat besar untuknya ini begitu naïf, sehingga keplakan itu tak sampai pada tempatnya!


Lalu aku melolong-lolong. Perutku sudah nyeri sekali sekarang. Napasku makin sesak akibat tertawa terus.


Pintu ruangan putih yang pengap ini terbuka. Seorang wanita bebalut pakaian putih bersih memandangku melewat sudut matanya saja. Ia berjalan, meletakkan piring berisi makanan di meja dengan lagak seperti ingin lari dari tempat. Saat ia sudah ingin melangkah pergi, kurasakan ia menengang dan terpaku, menghentikan langkahnya saat aku bersuara.


“Aku ingin bertemu Dimitri…” kataku tanpa memandangnya sambil memilin terus rambutku dengan jari. Ia menatapku serius, seolah ketegangan yang terjadi pada tubuhnya seketika menghilang. Lalu ia lenyap di balik pintu tanpa menutupnya kembali.


“Aku ingin bertemu Dimitriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!!!!!” jeritku sambil menangis setengah tertawa. Tak ada yang berinisiatif mengabulkan permohonanku. Tak ada yang berinisiatif menenangkanku. Semua bersikap tak peduli. Semua ini juga gara-gara si keparat itu!!


Sejurus kemudian seorang laki-laki tampak muncul dari pintu, menghampiriku. Wanita yang mengirim piring kemari tadi mengikuti langkahnya di belakang. Seolah patuh dan tunduk, tapi sudah kupastikan bukan karena ia patuh. Karena ia tau, suatu saat, kapan saja, aku bisa membunuhnya. Tubuh tegap laki-laki berkacamata ini dibuatnya sebagai tameng. Sialan! Dasar licik!


Laki-laki itu berbalik, mengambil benda di atas baki yang dibawa wanita itu. Ia menatapku serius. Aku menyeringai.


“Aku ingin bertemu Dimitri.”


Kepalanya kaku menatapku. Gerakannya terhadap benda yang digemgamnya terhenti. “Dimitri sudah lama mati,” katanya dingin.


Darahku mendidih. Emosiku sudah mencapai ubun-ubun. Tanpa ba-bi-bu, aku menerkam laki-laki itu dengan melompat dari pinggir kasur. Aku menibani tubuhnya yang terlentang karena terjengkang, mencekik lehernya. Wanita yang ada di belakangnya tadi terlambat untuk menghindar, sehingga baki aluminium yang dibawanya terhempas, menimbulkan suara yang menyakitkan telinga.


“Hei, bodoh! Kau pikir siapa dirimu bisa mengatakan Dimitri sudah mati?? Kau pikir kau pantas? Ha?” Aku meludahi wajahnya.


Laki-laki itu tetap menatapku dingin. “Kau pikir kau siapa ingin bertemu Dimitri? Kau pikir kau pantas??”


Aku mendelik. Laki-laki itu mulai was-was. Aku mencakar wajahnya. Ia mengerang, menjerit kesakitan. Wanita berbaju putih tadi ngibrit dan menghilang dari pintu. Darah menetes-netes dari ujung kuku jariku yang tak rata sehabis kugigiti.


“Sudah waktumu untuk enyah!!” jeritku, hendak mengunuskan kuku jariku lagi. Tapi ia menahan dengan menangkap tanganku.


“Kau pikir kau siapa ingin bertemu Dimitri? Kau pikir kau pantas??” ia mengulangi kalimatnya. Aku menekan tanganku, menggapai wajahnya untuk kucakari lagi. Kalau perlu sampai bola matanya keluar. Takkan kubiarkan orang yang berani kurang ajar terhadapku tetap hidup sejahtera. Cuih! Takkan rela! Jangan harap!


Tapi tenaganya terlalu kuat. Giginya semakin rapat mengatup. Ia begitu sambil meringis kesakitan. “Setelah kaujilati tubuhnya dan aku mutilasi hingga kaubuang ke dalam jurang, kau pikir kau pantas? Dasar gila! Adikmu itu mati di tanganmu sendiri dan masih berani-beraninya kau mencintainya? Kakak nggak habis pikir!”


Wanita berbaju putih datang membawa orang sekampung. Mereka semua berbaju putih. Jika dalam bayangan angan atau seperti dicontohkan di tayangan televisi, bidadari atau malaikat begitu lembut berbalut busana serba putih, aku berpikir mereka yang sedang menatapku ngeri sekarang malaikat penyambut ajal.


Aku terpaku. Seketika gerakan agresifku terhenti. Laki-laki yang menyebutkan dirinya ‘kakak’ ini menatapku sendu.


“Andini, berpikirlah jernih kembali. Ayah, bunda, dan kakak ingin kau kembali. Meski tanpa Dimitri.”


Aku menatapnya sengit. “Dimitri belum mati!!! Dan ia tak boleh mati!!”


Sudah hendak kucakar lagi wajahnya, tapi wanita dan bala malaikat penyambut ajal itu menyergapku. Aku meronta-ronta. Tapi mereka terlalu banyak. Aku kaku, tak bisa bergerak.


Sambil meringis kesakitan, laki-laki berkacamata yang sudah bebas dari jangkauanku itu memungut benda yang jatuh dari tangannya tadi. Wajahnya hampa dan nyaris menangis saat ujung benda itu akhirnya menembus kulitku dan membuyarkan jeritan pidatoku yang terputus sehingga hanya berwujud kalimat.


“Karena wanita itu menolak cintaku! Maka ia belum boleh mati dulu!”

@anggiiaaa


Komentar

Posting Komentar