Hariku Harimu #3
***
"Heh, Jelek!"
Aku hanya tersenyum dan dengan usil tak menoleh dari panggilan itu dari suara yang sangat familiar. Haha, lihat saja, aku takkan tertipu lagi. Sementara ia menunggu aku menimbulkan reaksi, aku sok sibuk dengan aktivitasku membersihkan papan tulis kelas. Jam pulang sudah 15 menit yang lalu hingga di kelasku hanya ada aku.
Dan Elang.
"Hei, Luna!" katanya akhirnya menyerah. Aku berbalik badan, menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Ia ikut tersenyum. Ia menghampiriku yang ada di depan kelas.
"Hei, Luna!" katanya akhirnya menyerah. Aku berbalik badan, menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Ia ikut tersenyum. Ia menghampiriku yang ada di depan kelas.
"Dasar!" eluhnya pura-pura kesal. Aku ngakak, menertawainya. "Hm, besok ada pertandingan basket di GOR kota. Lo liat?"
"Mmm, nggak tahu sih. Lawan siapa emang?"
"SMA Jaya. Lo liat dong! Liat gue maen sama anak-anak laennya. Masa sekolah sendiri nggak didukung," hasutnya.
Aku nyengir. "Ya, gue belum tahu, Lang."
"Lo liat dong. Pliiiiiisss." Ia menautkan kesepuluh jarinya, memohon. "Ya, meski masih babak penyisihan ajang ini, pokok lo kudu liat. Ya? Ya? Ya? Pliiiss."
Aku cuman tertawa kecil karena tak tahu jawabannya sementara ia menunggu.
"Lo nggak usah masalahin tentang transport. Ntar kita berangkatnya bareng tim."
"Bareng tim lo?" kataku terperangah. Ia mengangguk-angguk semangat. Aku menimbang-nimbang sambil mengetuk-ngetuk daguku dengan telunjuk. "Hm... emang... boleh...?"
"Ya boleh lah. Tiap pertandingan anak-anak sering bawa pacar masing-masing." Ia menggerutu.
Aku ngakak. "Trus emang gue pacar lo?" candaku.
"Calon," celetuknya sambil tersenyum bangga. Tak ada raut ekspresi bercanda di balik senyum jenakanya.
Aku tersentak. Seketika tubuhku menegang. Jantungku makin cepat dalam berdetak. Hatiku melambung.
Aku salah tingkah!
Tapi... tunggu! Siapa tahu dia beneran becanda? Tapi, nggak keliatan banget di wajahnya. Duh, Luna jangan GR dulu! Siapa tahu ada kemungkinan-kemungkinan lainnya. Keep calm... keep calm...
Akhirnya aku diam saja.
"Mau ya, Lun? Tiket masuknya gue yang bayar deh," katanya menawarkan lebih.
"Maksa nih ceritanya?"
Ia menatapku putus asa. "Ayolah..."
Aku hanya melempar senyum, menjailinya.
"Pokok lo ikut deh. Tiket gue bayar trus gue serahin ke elo, terserah lo anggap apa nggak tuh tiket." Ia menyerah.
"Nggak Lang. Gue becanda kali." Wajahnya kembali cerah. "Tapi... hm, gue ajak Sheila ya?"
Ia terlihat kecewa. Aku mengangkat alis tak mengerti
Aku berusaha menjelaskan, "iya pas berangkat gue ama lo. Tapi pas pertandingan? Lo kan maen di lapangan. Lah gue? Gue nggak ngerti basket lho, Lang. Bisa garing gue."
Ia berfikir sejenak. Lalu, menepuk tangannya sekali. "Oke, gini. Sheila boleh aja ikut tapi... dia ngajak orang lain atau Arkan. Gimana?"
Aku mengerutkan kening rapat-rapat, membuka mulut, dan memandangnya tak mengerti. "Maksud lo?"
Ia memalingkan wajah, berusaha mencari sesuatu. Aku menatapnya dengan tatapan aneh. "Yaaa... kan biasanya kalian bertiga. Masa Arkan nggak diajak?" nadanya seolah mencari alasan.
Aku merasa sempat ragu. Ada hal yang disembunyikannya. Tapi buru-buru aku menghapus semuanya. "Hm... oke."
Ia tersenyum. Aku ikutan tersenyum. Lalu aku memandangnya yang telah berganti dari seragam sekolah ke seragam basketnya.
"Mau latian ya?"
Ia melihat dirinya sendiri. "Oh iya! Lun, sori ya gue nggak bisa anterin lo pulang. Gue kudu latian keras hari ini." Ia terlihat menyesal.
Aku berkata dengan nada ceria. "Hm, oke nggak papa. Eh, lo bawa laptop?"
Ia berfikir sejenak. "Bawa kok. Kenapa?"
"Gue mau ngerjain tugas di sini. Agak ribet di rumah. Komputer gue rusak. Lagian nanti kalo ada apa-apa tinggal ke perpus aja. Boleh pinjem?"
"Iya," katanya tersenyum. "Kira-kira sampe jam berapa?"
"Nggak tau gue. Tapi lo nggak perlu khawatir. Pasti laptop lo gue charge."
Dia tertawa. "Bukan masalah gitunya. Ya udah yuk, ke lapangan. Tas gue di sana."
Aku mengerjakan sisa terakhir tugasku menghapus papan. Lalu menyambar tasku, dan berjalan bersamanya menuju lapangan basket.
Di lapangan, suasana terlihat ramai. Tentu saja, para cewek itu setia. Mulut mereka menganga ketika melihatku berjalan bersama Elang dari belakang. Aku makin nggak enak hati. Elang menangkap reaksiku, ia menepuk pelan bahuku dan tersenyum lembut. Ia seakan mengatakan padaku bahwa nggak akan ada apa-apa.
Anggota tim basket yang sedang beraksi di lapangan pun memandang kami. Mereka cengar-cengir nggak jelas secara kompak.
"Ciye, akhirnya si Elang bawa cewek juga pas latian!" celetuk Aldo menatapku dengan tatapan menggoda. Aku mendelik. Elang cuman senyum. Kami bergerak ke pinggir lapangan yang terdapat tas para anggota basket cowok.
Elang meraih tasnya lalu menyerahkan laptopnya padaku. "Lo ngerjain di sini ya? Nanti kalo baterainya udah mulai low, lo baru pindah. Sekalian jagain tasnya anak-anak," katanya sambil nyengir lebar.
"Emang gue penitipan barang?"
Elang ngakak. Lalu ia memanggil teman-temannya untuk mengatur strategi yang sudah diajarkan Pak Hartono. Tapi beliau tak keliatan di mana-mana. Lagi absen mungkin... padahal besok mulai main.
Aku duduk dengan laptop di pangkuanku beralaskan tasku. Sesekali aku melirik mereka yang berdiskusi dengan posisi melingkar.
Setelah diskusi selesai, mereka menyorakan yel-yel. Tepuk tangan pun terdengar. Saat lingkaran bubar, 9 dari mereka berlari kecil ke lapangan untuk adu tanding, sedangkan sisanya beranjak duduk di sekitarku sebagai cadangan. Sebelum berlari ke lapangan, Elang sempat menengokku. Aku mengepalkan tangan, memberinya semangat. Dia malah nyengir.
Lima menit berlalu. Aku mengerjakan tugasku dalam naungan suara ricuh. Aku jadi harus bolak-balik isi konseentrasiku. Aku berniat untuk ke perpus saja tapi Elang menyuruhku untuk tetap di tempat.
Namanya laptop minjem.
Lalu kurasakan seseorang beringsut mendekatiku. Aku menoleh dan menemukan Aldo yang melempar senyum bersahabat. Rupanya dia jadi cadangan.
"Ngapain Lun? Pasti ngerjain tugas biologi ya," tebaknya jitu. Ya iya lah, dia kan sekelas denganku.
"Yup. Lo nggak ngerjain?"
"Iya deh, ntar malem," katanya malas. "Eh, denger-denger... lo pacaran ya sama Elang?"
Topik ini lagi.
"Enggak," jawabku singkat dan kembali melempar pandangku ke monitor.
"Oh," katanya sambil angkat bahu dan menarik pandangannya dari layar monitor. "Tapi dari gerak-gerik Elang mencurigakan."
"Maksud lo?"
Dia nyengir. "Gue temen basketnya dari kelas 1 loh. Dan gue cowok. Kalo gue jatuh cinta, gue akan ngelakuin hal yang sama."
"Hal yang gimana?"
Obrolan kami sempat terputus saat kami melihat mobil kecil milik Pak Hartono memasuki pelataran sekolah. Dan sosok itupun keluar, berdiri di pinggir lapangan sambil menyilangkan tangan, memperhatikan anak buahnya main.
"Sepertinya itu kudu lo jawab sendiri, Lun. Lo bareng dia trus ngalamin apa aja? Lo sendiri kan yang tahu..."
Aku melihat ke depan. Elang terlihat memasuki area tim lawan. Lalu ia melakukan shooting secara mulus. Lalu, aku dan Aldo sama-sama melihat, Elang nyengir ke arahku.
Aldo tertawa pelan seakan ia telah menang. Aku tegang melihatnya.
"Aldo!" panggil Pak Hartono tiba-tiba. Secara spontan ia mengacungkan jari. Pak Hartono mengibaskan tangannya, menyuruhnya mendekat. Aldo beranjak berdiri.
Sebelum berlari mendekati Pak Hartono, ia menepuk pelan bahuku. "Elang itu naksir lo."
Ia sempat melihatku nyengir.
***
"Sori banget gue lama," kata Elang terengah-engah menghampiriku. Keringatnya mengucur deras. Aku menatapnya tersenyum sambil memeluk lutut. Latihan berakhir pada jam 18.30, jadi tugasku sudah selesai.
Ia duduk di sampingku, lalu bola matanya berputar-putar mencari sesuatu. Aku meraih tasnya yang berada di sampingku, merogoh isinya, dan dengan sok tahu melempar handuk putihnya. Ia mengusap wajahnya dengan napas masih ngos-ngosan. Lalu aku melempar sebotol air.
Ia meludeskan setengah isinya dalam waktu singkat. Lalu ia menyodorkannya padaku, menawarkan lewat matanya karena mulutnya masih penuh akan air. Aku menggeleng. Lalu ia minum lagi.
Anggota lain menatap kami sambil senyam-senyum dan berdeham nakal. Aku nyengir pasrah. Semangat sekali mereka menggoda kami.
Lalu Aldo ngacir ke hadapan kami. "Wey, Lang. Kalo jadian bilang-bilang dong!" katanya sambil mengais sesuatu di dalam tasnya.
Cowok yang kuketahui bernama Liam ikut nyeletuk. "Iya, jangan backstreet gitu, kalo lagi bokek bilang aja. Kita tetep nungguin traktirannya kok."
"Sialan!" umpat Elang lalu beranjak berdiri, mengejar Liam yang langsung lari terbirit-birit setelah mendapat sinyal bahaya.
Aldo mendekat. "Udah deh, Lun. Elang itu suka ama lo," katanya lantang. Lalu ia menoleh pada Elang di belakangnya yang juga sedang menatapnya setelah mendengar kalimatnya. "Lang! Buruan nembak napa? Lo PDKT jaman kuno, kudu setaun dulu baru jadian."
Wajahku merah padam.
Elang terkekeh-kekeh lalu menghampiri kami semua. Yang lain pada ngakak. Dasar Aldo!
Aldo mengulurkan tangan, mengisyaratkan padaku untuk berdiri. Aku mengambil tangannya dan ia menarikku. Setelah berdiri, Aldo melingkarkan tangannya di bahuku, mendekapku erat.
"Lang!" panggilnya saat Elang tak terfokus pada kami. Elang menoleh dan menatap Aldo tak percaya. "Cemburu nggak lo?" tantangnya terang-terangan. Aldo emang gila.
Elang ngakak. Aldo makin percaya diri. "Lo tahu nggak, kita kelas satu sebangku tau."
Yang lain ketawa.
Aldo masih nyerocos sambil membangga-banggakan diriku. "Kita soulmate,"
Elang menggeleng tak percaya langsung menarik tangan Aldo yang melingkar terhadapku, menariknya menjauh. Tawa mereka semua makin keras. Elang menatapku yang sedang mengusap-usap lenganku sendiri. Sekilas, ia menatapku heran.
"Tembak sekarang, tembak sekarang!" seru Liam. Elang melempar tatapan sengit.
Elang berjongkok untuk mengambil tasnya, lalu mengeluarkan jaket cokelat tanah miliknya. Lalu ia menyampirkannya ke bahuku. "Lo kalo sekolah nggak pernah bawa jaket, kan?" katanya tersenyum lembut.
Aldo makin membuat panas suasana dengan berdeham-deham dibuat-buat. Yang lain ikut-ikutan sambil membereskan barang masing-masing.
"Trus lo gimana?" tanyaku tegang.
Sejenak ia menatap dirinya sendiri. "Nggak masalah," jawabnya enteng. "Besok sehabis maghrib tandingnya. Kabarin Sheila sama Arkan. Tiketnya pas istirahat gue kasih. Lo gue jemput jam lima sore."
"Oke."
"Yuk, pulang."
"Sial, Lang. Gue jadi iri," celetuk Arga. Elang nyengir, lalu ia dan aku pergi menuju di mana motornya parkir setelah pamit kepada yang lainnya.
"Aldo gila," kataku begitu saja saat motornya sudah di hadapan kami.
"Jangan mikirin mereka. Mereka suka iseng."
Jadi apa yang mereka bilang itu... nggak bener? Tiba-tiba rasa sakit melintas dalam benakku.
"Makasih ya udah temenin gue latian," katanya lembut, menatapku lekat-lekat.
Aku tak menjawab langsung. Pikiranku terlalu kalut melihat wajahnya yang menawan itu menatapku cukup lama. Duniaku berhenti berputar. Atau kalau bisa, bumi terlihat benar-benar berhenti berputar.
Ia menghela napas ringan sambil terus tersenyum, mengamit helm. Sebelum menyodorkannya padaku, ia tersenyum dan mengusap kepalaku sebentar. Duniaku mungkin sedang terserang gempa sekarang, karena detak jantungku kacau sekali. Aku terpaku menatapnya. Amburadul.
Apakah sekarang sudah waktunya mengatakan bahwa aku...?
@anggiiaaa
Komentar
Posting Komentar