One Step Closer



 Hari yang indah dan cerah di tengah musim penghujan. Matahari Desember tampak begitu terik. Aku senang melihatnya. Dengan begiini, aku bisa melaksanakan niatku untuk berburu momen tempat indah yang baru kutemukan sekitar seminggu lalu. Berulang-ulang aku harus menunda acaraku ini akibat cuaca yang tidak mendukung. Serta menurutku, tempat yang akan jadi sasaran kameraku membutuhkan cuaca yang cerah jika ingin mendapat saat yang tepat.

   Aku berlari ke kamar mandi dengan semangat. Sejam kemudian aku sudah siap di belakang kemudi.

Seminggu lalu, aku datang kemari. Sekarang, aku datang lagi, dan tetap saja berdecak kagum meski bukan hal baru lagi untukku. Tanah ini begitu luas, kau bisa membangun pusat perbelanjaan di sini. Seperti telah diatur, tanah ini memiliki kelompok bagian berbeda. Di sebelah barat, kita dapat menikmati padang rumput yang lembab di bawah terik sinar matahari Desember yang balas dendam jika kemarin tugasnya digantikan hujan. Sebelah utara ada rerumputan juga, tetapi dihinggapi banyak bunga liar namun tetap cantik. Sebelah timur laut ada ladang gersang tapi suasananya tampak asik. Di sebelah barat terlihat lahan yang tak terurus. Hampir 75 persen ditumbuhi tanaman liar ilalang yang notabene tingginya dari selutut hingga sepinggang orang dewasa. Selebihnya tanah dengan rumput-rumput pendek, cocok untuk dibuat bermain sepak bola di sore hari.

 
Tempat ini begitu terpencil, di salah satu sudut perumahan yang masih mulai proses pembangunan. Yah, jika pembangunan terus berlanjut, aku akan kehilangan tempat ini. Tak apalah, nikmati saja yang sekarang.

Satu jam berlalu, aku membidik angle-angle yang menurutku bagus. Satu jam ini membuatku berfikir sebaiknya besok aku membawa model. Rasanya tak lengkap saja. Hehehe...

Aku berjalan menuju lahan ilalang dengan pandangan tertancap ke kamera antikku. Kubuang gambar yang sekiranya jelek atau goyang, atau sebagainya. Saat aku mendongak menatap ke depan, aku terlonjak nyaris melompat ke belakang kembali. Jantungku nggak keruan.

Selama satu jam yang lalu, aku tak menemukan siapa-siapa di sini---sudah kubilang kan tempat ini cukup terpencil. Tubuhku sempat menegang mendapati seorang cewek duduk sendiri di sana. Ia duduk membelakangiku. Saat kupandangi lama, ia seperti tak bergerak. Ia mematung dengan sempurna. Dan entah kenapa aku berfikir bahwa dia... kesepian.

 Samperin? Ah, sok akrab banget. Tapi, ya nggak masalah kan? Selagi ada di sini. Hanya sekedar kenalan saja. Tapi, apa tak mengganggu dia? Aduh! Apa dia benar-benar sendiri? Aku celingak-celinguk, mungkin saja dapat menemukan temannya yang izin pergi sebentar. Sekitar 10 menit aku berlaku seperti orang bodoh, akhirnya aku yakin bahwa ia memang sendirian. Samperin nggak ya? Atau sekadar lewat? Nggak sopan banget. Tapi, emang siapa aku? Waduh, aku jadi pusing sendiri.

Formalitas saja lah, sekedar say hi lalu minggat. Yasudahlah...

Melalui perdebatan berlebihan yang sengit, maka kuputuskan untuk menghampiri cewek itu. Aku duduk berjarak dengannya di samping sebelah kanannya.

Aku berdeham. “Hai.”

Tak ada respon. Cewek itu tetap mematung memandang ke depan. Waduh, apa dia tidak ingin diganggu? Apa aku kelewat lancang? Atau jangan-jangan, dia patung beneran?

Ngaco. Jelas-jelas aku mendengar desah napasnya yang lembut.

Ia menoleh dan nyaris membuatku terlonjak lagi. “Hai,” balasnya.

Wajahnya pucat pasi. Titik-titik air keringat menapaki wajahnya yang putih bersih. Bibirnya pun memutih. Rambutnya terlihat kumal dikucir kuda. Ia memakai kaus lengan panjang berwarna merah muda, celana bahan berwarna putih, serta syal tebal yang menutupi lehernya bergaris merah muda-ungu-dan merah. Ia bertelanjang kaki. Ia duduk memeluk lutut, membalas sapaanku dan kembali menatap ke depan dengan tatapan kosong.

Ia seperti sedang sakit. Lalu mengapa ia malah panas-panasan di sini?

“Hm, ngapain di sini?” tanyaku, dan aku langsung kaget bahwa ada keberanian dalam diriku untuk bertanya hal ini.

 “Duduk saja,” jawabnya, singkat. Suaranya parau dan agak serak. Tak sedikitpun ia melirik atau bahkan menoleh ke arahku. Nyaliku makin ciut.

Hening.

“Kok sendirian?” aku sudah mirip wartawan lengkap dengan kamera yang kukalungi. Kurang ID Card dan buku catatan saja.

“Sudah terbiasa kemari sendirian,” jawabnya.

Kekakuan dan ketidakpeduliannya terhadapku malah memacuku untuk mengusiknya. Kuulurkan tangan, tepat di depan matanya biar aku nggak jadi kacang lagi.

 Ia memandang tanganku. Meski dengan tatapan kosong, aku sangat bersyukur bahwa ia tak melihat tanganku dengan tatapan jijik atau mengejek. Ia menyambut uluran tanganku.

“Haris,” kataku.

Bibir putihnya itu untuk pertama kalinya tersenyum. Terlihat sangat sendu. “Irina.”

 Lalu hening. Kulirik sekarang ia menunduk lesu. Kami terjebak dala keheningan yang membuatku jengah. Bukan jengah berada di dekatnya, melainkan jengah diam saja. Ada sesuatu yang membuatku tak ingin berlalu dari sampingnya.

Aku memilih sok sibuk dengan kameraku. Sebenarnya banyak pertanyaan di kepalaku tapi aku takut mendapat reaksi buruk darinya. Aku tak ingin ia berfikir bahwa aku ini mengganggu.

Tapi sepertinya aksiku berhasil.

“Kamu fotografer?” tanyanya, melirik sedikit ke arahku. Tak sengaja aku menghembuskan napas lega.

“Bukan sih, sekadar hobi saja. Tapi mudah-mudahan jadi juga,” kataku, sambil nyengir.

“Amin,” ia melempar senyum manis tapi paraunya lagi.

Sejurus kemudian aku heran mengapa sepertinya aku ingin tau dia lebih dekat. Ada sesuatu yang tak kutahu. Maka aku tak bisa menahan diri untuk bertanya ketika kami terjebak keheningan menjengahkan kembali.

“Sering ke sini?” tanyaku, menatapnya lurus-lurus.

Ia menggambar lingkaran di atas pasir dengan telunjuknya. “Tiap hari. Kamu?”

“Baru kali ini,” aku nyengir lagi, padahal ia sama sekali tak memalingkan wajahnya padaku.

“Sering-seringlah kemari,” ia mengambil sejumput pasir dengan telunjuk dan ibu jarinya, lalu menaburkannya ke sekeliling lingkaran yang telah digambarnya seperti menaburi bumbu dalam masakan. “Cuaca berubah, pemandangannya serasa berubah juga.”

“Wah masa?” kataku pura-pura tertarik. Ketertarikanku pada tempat ini seketika berpindah sepenuhnya kepadanya.

“Iya.” Ia merusak lingkaran yang dibuatnya dengan telapak tangannya.

“Kamu memperhatikan sekali.”

Ia tersenyum sambil menepuk-nepuk telapak tangannya untuk membersihkan tangannya. “Sudah kubilang, aku tiap hari kemari.”

Aku tertawa kecil. “Oke, kalau begitu besok aku akan datang lagi. Semoga besok hujan meteor. Tetap indah, bukan?”

Ia ikut tertawa. Tawanya lemah namun lembut, terdengar menyenangkan di telingaku. “Ya nggak segitunya juga.”

Selanjutnya hening, hingga jam tanganku berbunyi. Suara alarmnya seakan memecah keheningan yang pekat di antara kami. Aku nyaris menginjaknya sampai hancur. Ini jam waktuku untuk pergi. Padahal aku belum mau pergi.
 Aku pamit pulang. Setelah beberapa meter darinya aku berbalik badan. Aku menyalakan kembali kameraku dan mengangkatnya. Sejurus kemudian aku telah mendapatkan gambarnya secara ajaib sedang menatap langit dengan senyum menawan, seakan menantang sinar matahari yang menyinari wajahnya yang cantik namun pucat.

Keesokan harinya, aku menepati janjiku. Ia benar-benar ada di tempat yang sama pula. Hari ini ia memakai switer rajutan warna peach, syal hari kemarin masih setia menemaninya, dan celana dari wol berwarna merah marun. Rambutnya yang lepek digelung membentuk lingkaran.

Ia menyambutku dengan senyum dan nyaris dengan mata tertutup. Hari ini ada lingkaran hitam di bawah matanya. Aku tak punya keberanian untuk menanyakannya. Aku tak ingin merusak suasana.

“Mengapa kemari sendirian saja?” tanyaku.

Ia melirik dengan tatapan datar tapi aku menangkap kilatan di dalam matanya. “Sudah terbiasa sendiri.”

“Tidak ajak orang lain?”

“Tidak.”

Sepertinya ia memiliki kemampuan membuat orang lain di sekitarnya merasa nyaman, sekaku apapun dia. Maka aku tak menyerah. “Apa nggak ngerasa kesepian?”

Ia hanya menggeleng perlahan.

Aku mengerutkan dahi. “Lantas apa yang kamu lakukan di sini?”

“Melamun.” Ia menunduk memamerkan senyum pahit dan ekspresi pasrahnya. “Karena dengan melamun, kamu lebih bisa memahami segala aspek hidup dengan pemikiran-pemikiran yang ada. Selain itu,” ia mengambil napas. “Kamu bisa saja dekat dengan dirimu sendiri.” Ia menjelaskan tanpa kuminta.

Aku mengangkat alis. “Tiap hari?”

Sepertinya ini topik yang menarik untuknya. Ia mengangguk. “Unsur hidup tak ada habisnya.”

“Apa nggak bosan?”

Ia menggeleng lemah. Meski tetap mempertahankan senyumnya, ratapan pedihnya terlihat jelas bagiku. “Sudah seharusnya dilakukan sebelum terlambat,” lalu ia menyeka keringatnya dengan lengan switer.

Aku tertegun dan tanpa sengaja melongo. “Maksudmu?”

Ia menatapku nanar. Matanya menyipit dan ia mendendangkan tawa yang menyenangkan itu lagi. “Sudahlah, tak perlu dipikirkan. Nggak penting.”

Perasaanku nggak enak. Ada rasa empati dalam diriku meski aku tak begitu jelas mengetahui keadaannya. Tapi ia tampak begitu menyedihkan hari ini, meski ia selalu tersenyum. Aku pamit lebih awal. Aku melakukan hal yang sama. Secara ajaib aku mengambil gambarnya menangis tersedu-sedu. Ada dorongan menenangkan, tapi perasaanku kelewat kacau hari ini. Aku merasa marah. Bukan marah terhadapnya karena dia aneh, tapi ia melakukan hal yang menyedihkan dan menyiksa dirinya sendiri. Dengan keadaannya yang seperti itu, ini bukan tempat yang pas untuknya.

Esoknya, cuaca berawan. Aku kembali menemukannya.

Aku melongo melihat ada atraksi motor di tempat ini. Tatapan Irina tetap kosong, tapi mulutnya tebentuk tajam. Ia marah.

“Ada apa ini?” tanyaku, seraya duduk di sampingnya.

“Kemarin sore banyak yang kemari,” ia memutar bola matanya. “Mengganggu saja. Lalu mereka memasang benda-benda aneh itu.”

“Sebenarnya kamu di sini selama berapa lama?”

“Dari fajar hingga maghrib tiba.”

Aku membuang muka.

Suara deru motor di tanah kosong yang dinaungi ilalang setinggi pinggang menemani kami. Hingga 20 menit berlalu yang masih terasa jengah bagiku, ia tiba-tiba menunjuk dengan gerakan yang luwes.

“Ia akan terjatuh,” katanya, tenang, menunjuk yang sedang memamerkan keahliannya.

Tak sampai 5 detik.

Bruak!

Mesin motor tiba-tiba mati, otomatis pengendara yang sedang melakukan standing walk terjatuh. Jantungku skotjam. Mataku terbelalak. Aku berpaling memandang Irina ngeri.

 “Bagaimana kamu tau?”

“Rantainya karatan. Tangki bensinnya bocor, begitu juga olinya. Ada yang sengaja mencelakakannya dengan motor tak layak pakai.” Nadanya tetap tenang.

Aku memincingkan mata menatapnya penuh curiga. “Bagaimana kamu tau?” ulangku.

Ia menoleh kepadaku, tersenyum. “Aku kemari tiap hari.”

Aku sama sekali tak mengerti. Aku sama sekali tak puas dengan jawabannya. Tapi aku merasa malas bertanya. Cewek ini mengerikan.

Kami terjebak keheningan hingga atraksi yang dihentikan karena insiden itu berlalu. Hening menyeruak hingga kurasakan kepala Irina linglung. Ia terkulai lemah di tanah, terbaruk-batuk sambil memegangi dadanya. Di setiap jeda batuk yang berkelanjutan itu ia menarik napas yang terdengar memilukan.

“Irina! Irina? Kamu kenapa?” aku panik.

Ia tak menjawab karena serbuan batuk menghujani telingaku. Aku terpaku, tak tau harus melakukan apa ketika ia mengeluarkan darah yang tak sedikit dari mulutnya.

“Irina...,” hanya itu yang mampu kukatakan.

Ia malah tersenyum sambil memejamkan mata, seakan menikmati setiap rasa sakitnya.

“Ayo ke-ru... rumah sa-sakit,” kataku terbata.

“Tidak perlu,” ia berusaha terduduk dan mengelap tangannya dengan syal.

“Iri...,”

“Sudahlah Haris,” ia menyedot ingus yang entah sejak kapan. “Aku ini nggak papa.”

Aku terkujur kaku. Aku sempat panik sendiri karena aku menyetujui kata-katanya. Lalu hening lagi.

“Tuhan sayang aku,” katanya tiba-tiba lalu menerawang jauh ke depan.

Aku meliriknya. “Tuhan sayang semua umat-Nya.”

“Ya,” lalu ia menunduk. Ia berusaha bernapas sekuat tenaga. Suara memilukan itu terdengar lagi. “Saking sayangnya, Ia sudah berencana apa yang terbaik untukku.”

“Bagaimana kamu tau?” aku memancingnya.

Ia menoleh ke arahku, lalu tersenyum. “Dengan melamun, kamu lebih bisa memahami hidup.”

Kata-katanya membuatku kaku.

“Aku ditolak saat melamar kerja jadi fotografer di studio foto,” kataku, begitu saja.

Ia terlihat tertarik. “Oh ya? Mengapa?”

“Entahlah,” aku menghembuskan napas pasrah. “Mungkin kameraku sudah terlalu tua.”

“Nggak gitu juga. Mungkin kemarin bukan waktu yang tepat.” Ia tersenyum menyemangati. Aku terharu. “Positif terus ya. Omong-omong, ke mana kameramu sekarang?”

“Sudah kubuang,” aku berkata dengan nada jengkel.

“Mengapa? Bukannya benda itu satu-satunya teman setiamu?”

Aku tertegun. Lalu menoleh cepat. “Bagaimana kamu tau?” Sama sekali tak bosan aku melontarkannya.

“Dengan melamun...”

Aku melenguh. “Irina...,” nadaku mengingatkan.

“Sudah terlihat jelas di matamu bagaimana kamu memperlakukan benda itu. Lalu aku melamunkannya seharian.”

“Kamu sama sekali tak memperhatikanku.” Nadaku memperingatkan.

“Kamu rupanya memperhatikan,” sergahnya.

Aku melenguh lagi. “Bagaimana kamu tau?”

Ia tersenyum, terlihat cerah. “Aku kemari tiap hari.”

Aku meratap. Tiga hari kuputuskan tak menemuinya kembali. Aku terpukul, bukan karena menyesal kalau ternyata cewek itu aneh, tapi dari gerak-geriknya dan nada bicaranya, ia... membuatku marah karena ia tak mampu menjaga dirinya sendiri. Ada perasaan bahwa, aku... tak ingin ia terluka.

Hari esoknya aku kembali tapi tak menemuinya. Aku memandangnya dari kejauhan, membawa kamera baru yang kubeli berkat kalimatnya. Aku memotretnya sedang berekspresi menyesal, merasa membohongi semua orang termasuk dirinya sendiri. Aku tak begitu paham mengapa aku mengambil kesimpulan ini. Aku tak ingin pulang dan tak ingin menghampirinya, maka aku tetap di tempat memandangnya dari kejauhan. Hingga sore tiba, awan tebal menyelimuti langit, lagi-lagi secara ajaib aku memotretnya menatap langit dengan tatapan penuh makna dalam diam. Hujan datang dan ia menepi, tak memiliki pikiran harus pulang segera.

Esoknya, aku mengajak Fahri menemui Irina, dengan maksud agar cewek itu punya teman lebih banyak. Tapi yang kudapati bukan senyum sambutan seperti biasanya, melainkan tubuhnya yang terkulai menyamping dengan mulut penuh darah. Aku mengguncang tubuhnya keras-keras karena matanya terpejam.

“Irina! Irina! Irina bangun!!”

Ia membuka mata perlahan, lalu tersenyum kepadaku. Ia bernapas dengan susah payah sambil memegangi dadanya. “Hai, Haris.”

“Kamu kenapa sih?” kataku emosi. Aku sudah capek menyimpan perasaan sedih mendapati dirinya yang jelas-jelas terluka. Menyembunyikan apa yang ia rasakan. Seperti temannya hanya lamunan dan tempat ini saja.

“Kita harus cepet-cepet bawa ke rumah sakit, Ris!” Fahri memberiku usul. Aku menatap temanku sejenak ketika aku mendengar Irina mengerang kesakitan.

“Iya! Kayaknya kamu harus bawa mobilmu kemari. Jaraknya terlalu jauh dan membuang waktu kalau Irina digendong.”

Fahri mengangguk setuju, dan ia berlari menapaki jalan yang sama saat kami kemari.

“Haris,” panggilnya lemah sambil memejamkan mata. “Apa...,” ia terdengar ragu. “Tuhan sayang aku?”

Tanpa sadar aku tersenyum lemah kepadanya. “Tuhan sayang semua umat-Nya.”

 “Berarti setelah ini aku bahagia?” ia terlihat senang sekali.

Kalimatnya justru memancing emosiku lagi. “Maksudmu apa sih??”

“Haris, Tuhan punya cara sendiri buatmu bahagia...,” katanya parau.

“Lantas kamu mau apa?” aku masih emosi. Bisa-bisanya ia mengajakku mengobrol di saat napasnya yang susah diajak kompromi itu.

Ia menelan ludah, atau lebih tepatnya darah. “Haris... Jika Tuhan membuatmu bahagia tapi bahagiamu malah membuat terluka orang lain, bagaimana menurutmu?”

Aku menatapnya sendu. Jika ia ingin membicarakan ini, mengapa tak kemarin-kemarin saja? Daripada kebanyakan diam. Mengapa justru di saat genting seperti ini?

“Tuhan punya cara sendiri buat setiap orang bahagia.” Aku membalik ucapannya dengan nada jengkel. Ia tersenyum, lalu memejamkan mata lagi. Aku tak kuasa.

Deru mobil Fahri terdengar mendekat.

“Fahri, agak cepat!” seruku.

“Haris...,” panggil Irina.

 “Ya?”

“Terima kasih.”

Dengan tergesa-gesa, Fahri keluar dari mobil dan lari ke arahku. “Ayo buruan angkat dia, Ris!”

Aku memandang Irina tak mengerti. “Untuk apa?”

“Sudah mau jadi temanku...”

***

Ladang ilalang, seminggu kemudian.

Aku meletakkan bunga liar tapi cantik yang sempat kupetik beserta foto Irina yang kucetak di atas tempat Irina biasa duduk. Aku menatapnya sendu.

Kanker paru-paru stadium akhir. Tak pernah ditangani. Ia hanya punya waktu beberapa jam.

Kata-kata itu terus terngiang di telingaku sampai penging. Aku terpukul. Aku menghabiskan waktu di sini sendiri.

Saat hujan tiba, aku menepi, berteduh di tempat biasa Irina berteduh. Aku memandang langit yang kelam.

Irina, dalam sekejap saja, aku mungkin bisa memahamimu...

Aku mengeluarkan foto Irina yang lain dari dalam saku.

Dengan caramu... Tapi, kau tau? Yang di atas sana lebih memahamimu. Mungkin bukan ini yang kamu inginkan. Setidaknya Tuhan mengirimku untukmu...

Aku tersenyum kecut.

Tapi... Tuhan punya cara sendiri buatmu bahagia...

 Dengan percaya pada kebesaran Tuhan, kau akan lebih memahami apa yang Tuhan lakukan. Lalu, syukurilah.




 
 @anggiiaaa

Nb: Remake dan adaptasi naskah drama tugas Seni Budaya :D

Komentar