Kue Tart Untukmu
“Happy
birthday to you... happy birthday to you... happy birthday... happy birthday...
happy birthday to you...”
“Makasih...,” kata Rani, tersenyum bahagia menatap temannya satu persatu. Tak pernah ia menyangka bahwa teman-temannya bakal bikin pesta surprise seperti ini.
“Ayo, tiup lilinnya,” kata Vera, teman Rani yang membawakan black forest ke hadapannya. Setelah bibirnya komat-kamit sejenak, lilin itu sudah lenyap apinya, disusul tepukan tangan. Setelah itu berhamburan jabatan tangan selamat dan bingkisan-bingkisan. Malam ini, Rani bahagia.
Satu jam berlalu. Manusia-manusia itu membentuk lingkaran, saling bercanda dan berbagi cerita masing-masing. Tak lupa segala aneka ragam makanan ada di tengah-tengah. Semuanya tertawa, apalagi saat mendengar lontaran lelucon dari Akbar yang emang doyan becanda plus bercita-cita jadi pelawak. Tawa lebar itu menghiasi semua wajah di lingkaran itu. Kecuali Rani.
Kebanyakan, Rani hanya bisa tersenyum tipis. Paling pol, cuman tersenyum memamerkan deretan giginya. Itu saja. Ada yang mengganjal di hatinya. Seharusnya, ini harinya. Hari bahagianya. Hari pijakan umur terbarunya. Hari di mana ia harus bisa menjadi teman-temannya sekarang, tertawa lepas, mengucapkan selamat datang pada lembaran baru. Hati Rani dilanda gemuruh hebat. Sebetulnya, jika pada malam ini teman-temannya tak datang membuat surprise, Rani memilih menangis tersendu-sendu di kamar.
Tiga tahun lalu, dan tiap tahunnya hari ulang tahun Rani adalah hari yang paling disukainya. Tak hanya mendapat kejutan dari teman-temannya, tapi ia juga mendapat kejutan yang luar biasa hebat dari orang yang selama ini menenangkan jiwanya. Yang menciptakan rasa-rasa ajaib dan baru dalam hidupnya. Yang menciptakan segala gejolak yang membuat dinamika hidupnya lebih berkesan.
Sekarang, di ulang tahun kali ini, ia tak ada. Dia jauh nun di sana. Rani merindukannya.
Rasa itu sudah sampai puncak. Sempat sekejap Rani menatap teman-temannya yang bahagia itu dengan genangan air mata. Rani nggak sanggup lagi. Ia harus menghubungi orang itu. Segera, atau sekarang juga. Sudah tak tahan lagi ia menunggu, menunggu, menunggu, orang itu mengucapkan kalimat yang sama setiap ia berulang tahun. Mau sampai kapan? Biarlah ia lupa tentang hari ini, yang penting, rasa ini harus mereda sejenak. Kalimat itu...
Hati Rani melambung.
“Selamat ulang tahun, Rani,” kata seseorang, membangunkan Rani dalam lamunannya. Rani menoleh, tampang keren Ray sudah ada di sampingnya. Ia membawa bingkisan yang cukup besar. Sejak kapan ia ada di sini? Sepengatahuan Rani, ada Vera di sampingnya.
Rani mengedarkan pandangan ke teman-teman lain. Sialan, mereka pasang wajah menggoda. Vera malah cekikikan, karena sudah berhasil mengelabuhi Rani. Ia sudah menclok, berdiri di samping Akbar. Bahkan Rani tak sadar bahwa celotehan Akbar dan suara tawa teman-temannya berubah sunyi senyap.
“Hai, Ray,” sapa Rani, menyambut uluran bingkisan tersebut. “Terima kasih,”
“Sama-sama,” ujar Ray lembut.
“Ciyeeeeeeeee,” semuanya pada kompak menyerukan kata yang sama, pandangan yang sama, dan senyum yang sama. Rani cuman tersenyum lemah. Sedangkan Ray tersenyum lebar. Sudah bukan cerita baru lagi kalau Ray mengejar Rani hingga ke ujung dunia. Berusaha membuat cewek itu jatuh hati.
Tapi hati Rani masih kelabu. Ray dengan segala kesempurnaannya... rasanya terhadap orang lama menutupi jalan itu. Rani tak bisa membuka mata, melihat kesempurnaan Ray yang tulus. Keberuntungan yang jelas-jelas menghampirinya diabaikannya. Sejak bertemu dengan orang itu, Rani sudah memilih kebahagiaanya. Kebahagiaan yang didapat dengan cara bertele-tele, menguras tenaga, sedangkan sebenarnya ia disamping kebahagiaan yang hanya tinggal disentuh dan diterimanya. Hatinya masih jadi milik orang lain...
Yang berada di ratusan kilometer darinya...
***
Pukul
22.30.
“Hai, Ran,” sapa Vera, menghampiri Rani yang berdiri termangu menatap keluar jendela apartemennya. Teman-teman yang lain seperti tak ada capeknya bergurau, dengan kedapatan anggota baru, Ray.
“Hai, Ra,” sapa Rani tanpa menoleh.
Vera meneguk segelas es sirup yang ada di gemgamannya. “Kenapa sih? Kayaknya ada yang lo sembunyiin.”
Rani memilih diam. Vera makin menatap temannya itu lekat-lekat.
“Ah gue tau...,” kata Vera, setelah itu menghembuskan napas. “Rani, move on doong...”
“Nggak usah ngomongin tentang itu di hadapan gue. Tiap bulan lo rajin bilang gitu 20 kali.”
“Trus?”
“Ini hari jadi gue, jadi jangan bahas itu,” kata Rani dingin.
“Karena malah bikin lo bête?” nada Vera menuntut. Rani diam saja. “Dari awal pesta ini, lo diem aja, tau? Jadi lo udah bête gara-gara hal yang sama.”
“Jangan sok tau.”
“Ran, gue temen lo dari SMA,” Vera mengingatkan. Rani menghela napas berat. “Percuma lo ngelarang gue buat nggak bahas itu,” nada Vera jadi sinis. “Toh elo udah bête dari awal.”
Rani tetap memilih diam, hingga menciptakan keheningan dan kekakuan selama beberapa menit yang terasa lama. Dalam keheningan itu, sebenarnya Rani bergulat dengan dirinya sendiri. Ada benarnya kata-kata Vera. Tapi toh Rani tak bisa kembali! Hati Rani benar-benar dicuri, dikunci, dikekang, dipenjara, diikat kuat dan kemungkinan besar takkan kembali di saat Rani punya waktu sendiri. Waktu buat melamun.
Gejolak dalam hatinya memacu lebih besar keinginan dirinya untuk menangis. Hari Rani sekarang takkan hancur jika ia menangis, toh hari-harinya sudah hancur, dari awal perpisahan itu hingga sekarang. Hanya saja, Rani tak ingin membuat teman-temannya menyesal dan sedih.
Rani harus pasang topeng sekarang.
“Ran...”
Kata Vera terputus ketika suara ponsel melintas nyaring ruangan itu. Tawa pun juga seketika redup. Rani hanya menunduk---ia tau itu bunyi ponselnya. Ada telepon masuk. Rani makin pasrah. Sudah capek ia menyangka bahwa telepon masuk di ponselnya hari ini dari seseorang yang ia harapkan. Sudah capek ia kecewa hari ini. Rani memejamkan mata, terus mendengar ocehan ponsel itu dengan hati yang tak berhenti bersuara. Rani sudah putus asa.
Lalu derap langkah tergesa-gesa terdengar. Seseorang menepuk bahu Rani dari belakang. “Ran, Juna telepon.”
Mata Rani membulat. Ia menoleh cepat, menatap lekat-lekat yang ternyata Dina yang membawa ponselnya. Dina sampai bergidik. Rani meraih ponselnya dengan tangan bergetar. Dina berlalu, bergabung kembali dengan teman-teman yang lain. Rani menatap Vera, memohon pertolongan.
“Angkat saja,” kata Vera dengan nada yang terdengar ringan di hati Rani. Ia tersenyum.
Tangan Rani masih bergetar menekan tombol answer. Vera mengusap bahunya dan pergi meninggalkan Rani sendirian secara sengaja.
“Ha-lo,” gagap Rani.
“Hai, Rani,” sapa orang seberang, lemah tapi menggebu. Rani menantinya nyaris 24 jam lamanya. Hati Rani makin melambung karena seseorang ini masih hafal dengan suaranya. “Selamat ulang tahun...,”
Tangis Rani pecah.
“Maafin aku...,” desah orang sebelah. “Aku telat ngucapinnya.”
Dalam sela sesengguknya, Rani berkata dengan suara bergetar, “Ng...nggak pa-pa...,”
“Coba kutebak,” suara orang seberang itu berubah ceria, berusaha menciptakan harmoni bahagia untuk Rani, tapi suaranya masih lemah. “Aku orang terakhir yang ngucapin kamu?”
“Eng-nggak kok...,”
“Dan Ray yang ngucapin pertama kali?” suaranya berubah menggoda.
Rani tak sanggup menjawab tidak. Ray mengucapkan selamat ulang tahun lewat SMS pada jam 00.02 hari ini.
Orang seberang terkekeh geli. “Maafin aku ya, Ran...,” katanya tulus.
“Kupikir kamu lupa ulang tahunku,” jawab Rani, tiba-tiba ada nada marah di kalimatnya.
Orang sebelah mendesah berat. Rani bisa melihat kerutan dahi menyesal tergurat. “Memang,” nadanya mau tak mau.
Tangis Rani makin kencang. Luka menganga dalam hatinya makin perih.
“Kamu tau,” Juna mengatakannya dengan berat hati, berusaha tersenyum di sela penyesalannya meski senyumnya takkan bisa dilihat Rani. “Yang membuatku ingat adalah, saat aku melintas di depan toko roti,” Juna mengatakannya susah payah sampai ia terengah-engah. “Di toko roti itu, dipajang kue tart. Langsung aku punya perasaan nggak enak sama hari ini,” Juna terkekeh meski kedengarannya pahit.
Rani mendengar dengan seksama sambil masih sesenggukan. Ia tak ingin melewatkan apapun. Dalam hati, ia terus mengagumi segala tentang Juna lewat suara cowok itu. Hati Rani bersenandung untuknya. Betapa Rani tak ingin Juna pergi. Betapa Rani ingin lihat Juna ada di sini seperti tahun-tahun lalu...
“Pas melamun, nggak sengaja aku lihat foto kita,” Juna memberi jeda sejenak untuk mendengar tangis Rani. “Kamu waktu itu bilang, kamu paling suka melamun. Karena dengan melamun, kita lebih bisa memahami segala aspek hidup dengan pemikiran-pemikiran yang ada. Dan kenangan kabur kita,” suara Juna bergetar. “Melintas begitu saja. Saat lihat kalender, aku lihat angka tujuh. Aku ingat, kamu paling suka angka tujuh...,” terdengar suara sedotan ingus Juna. “Dan tujuh adalah tanggal ulang tahunmu...”
Tangis Rani meledak. Bahunya bergerak naik turun. Teman-teman yang ada di belakangnya jadi nggak tega. Sebagian dari mereka tau pasti. Vera malah sudah beranjak berdiri untuk menemani Rani di sana, tapi Ray menarik lengannya hingga ia terduduk kembali. Seakan cowok itu ikhlas saja, tapi itulah yang dilakukannya. Ray berbesar hati.
“Aku langsung balik lagi ke toko kue itu,” susah payah Juna menjelaskan di sela tangisnya. “Rani...,” katanya. “Ke rumahku dong,” nadanya sekarang terdengar bergurau.
Rani tertawa kecil sambil menangis. “Ngapain?” tak sadar nada Rani menggoda.
“Ada kue tart di sini,” Juna menoleh ke meja makan rumahnya. Kue tart ukuran lumayan besar itu berdiri gagah di sana. “Aku takkan pernah lupa kamu suka tart coklat,”
Suara tangis Rani membelai Juna lembut.
“Ju-na...,” desah Rani, seakan ada yang ingin disampaikannya untuk mengobati luka yang menganga.
“Ya Rani?” tanya Juna lembut.
Hening. Rani nggak sanggup. Rani malah nggak yakin apa yang akan dikatakannya nanti membuat perubahan baik. Atau malah mengacaukan semua. Rani tak ingin mengacaukannya. Apapun bagi Rani sekarang, meski hanya mendengar suara Juna, ini momen langka dan berkesan sepanjang sejarah ulang tahunnya sejak bertemu Juna. Meski sakit, rasanya luar biasa saja!
“Rani...,” panggil Juna setelah hening lama, akhirnya.
“Ya, Juna?”
“Aku sayang kamu...,”
***
Hidup
Juna porak-poranda. Narkoba menciptakan hidup ilusi baginya. Baginya, hanya
satu harapan di hidupnya; Rani. Tapi cewek itu pergi.
Obat-obatan terlarang yang dikonsumsinya membuat ingatannya makin kabur. Ia jadi ingat sedikit tentang hidupnya. Tak terkecuali kenangannya bersama Rani. Tentang Rani. Hanya sedikit sekarang yang ia tau. Ulang tahun Rani, warna favorit Rani, musik kesukaan Rani, hari jadian mereka... semua sudah pergi dalam otak Juna. Obat itu membuat Juna terlunta-lunta. Ia jadi hidup bagai boneka.
Tapi satu yang tak pernah Juna lupa karena selain di ingatan, hal ini melekat erat di hatinya, jiwanya. Rani adalah segala imaji, harapan besar, titik tolak belakang hidup keras yang dijalaninya sejak kecil, cahaya terang lorong sunyi gelap, dan bintang paling terang bagi Juna. Rani membuatnya semakin lebih hidup karena keberadaannya. Membuat Juna semakin lebih mati sejak kehilangannya.
Bagi Rani, Juna cinta pertamanya. Meski segala tentang Juna bertolak belakang dalam segala keinginannya, syarat-syaratnya, baginya sejak bertemu Juna, bahagia gampang saja. Dekat dengan Juna, bahagia, itu saja.
Tiga tahun mereka long distance relationship. Tiap tahun juga mereka punya hari spesial yang selalu disempatkan mereka berdua; ulang tahun jadian dan ulang tahun Rani.
***
Vera
mengelus rambut Rani yang melamun di atas meja dengan kepala bertumpu kedua
lengan. Rani menatap lurus-lurus foto Juna dengannya. Foto itu diambil saat
ulang tahun Rani tahun lalu. Betapa
Rani ingin kembali ke masa itu.
Vera seakan ingin memaklumi apa yang dirasakan sahabatnya ini. Meski terkadang terdengar tak masuk akal, tapi toh akhirnya Vera cuman bisa pasrah. Gampang saja Rani bahagia dengan Juna; dengan bersamanya. Gampang saja Rani sakit dengan Juna; dengan bersamanya. Semuanya seakan membingungkan dan tak bisa dimengerti. Juna cowok ajaib bagi Vera.
Ponsel Rani berbunyi. Vera tak melihat reaksi Rani sama sekali. Malah sekarang cewek itu mulai membelai wajah Juna di foto. Vera menghela napas dan mengangkat telepon.
“Ya?” kata Vera. Dahi Vera merengut mendengar orang seberang berkata. Lalu Vera menarik napas tertahan. Wajahnya seketika pucat. “Oke!”
Seketika Vera marah Rani tetap tak bereaksi. “Rani!”
Rani tetap diam. Vera mengambil
napas dalam-dalam. “Juna sekarat di rumahnya.”
Vera sekarang bergidik ngeri melihat reaksi Rani
***
Segalanya
terjadi dengan kabur...
Rani mengguncang tubuh Juna, menatap cowok itu dengan muka yang benar-benar berantakan; air mata, ingus, keringat, jadi satu. Juna menatap Rani lembut dan lemah, membelai wajah Rani dengan tangannya.
“Rani...,”
“Jangan pergi Jun...,”
“Aku tau...,” kata Juna. “Kan aku sudah janji...,”
Rani memeluk Juna keras-keras. Juna tersenyum bahagia. Dirasakannya tangis cewek itu lekat-lekat dan dipahaminya.
“Rani?”
Rani menatap Juna lurus-lurus.
“Itu kue tartnya.,” kata Juna menunjuk lemah meja makan. Rani menoleh. Tart itu membusuk. Jamur sudah menutupi kelezatannya. Sudah seminggu berlalu. “Selamat ulang tahun, Sayang...,”
Kalimat itu...
“Terima kasih...,” jawab Rani, mengikuti alur déjà vu.
Juna berusaha bangkit berdiri. “Ayo kita tiup lilinnya.”
“Juna!” Rani menghentikan aksi Juna. Ia menatap cowok itu dengan tatapan... terluka.
“Maafin aku udah lupa ulang tahun kamu, Sayang. Sekarang aku mau melunasinya. Ayo kita rayain ulang tahunmu sama-sama,”
“Junaaa...,” keluh Rani. “Ulang tahunku sudah seminggu yang lalu. Yang penting sekarang kita ke rumah sakit ya...,”
Dahi Juna mengerut menatap Rani bingung. “Untuk apa, Rani?” Juna mengatakannya seolah yang diucapkan Rani tadi lelucon yang nggak lucu. “Percuma saja.”
“Tapi kamu udah janji nggak bakal tinggalin aku!” bentak Rani sambil menangis dan mengguncang bahu Juna.
Juna tersenyum, seakan kembali menemukan cahaya kecilnya. “Aku kan emang nggak akan tinggalin kamu. Aku kan, selalu, ada di sana,” kata Juna menunjuk tepat hati Rani.
“Junaaaa...,”
“Raniiiii...,” balas Juna sambil terkekeh geli. Rani menepuk bahu Juna pelan.
“Rani,” ulang Juna menangkap tangan Rani. Tatapan cowok itu jadi kosong. Tak ada rona warna lagi di wajahnya. Pucat sekali.
Lalu Juna mengecup tangan Rani. “Aku sayang kamu, Ran...,”
Tangis Rani meledak. Ia menangis sejadinya, sampai bernapas saja susah. Ditatapnya cowok yang tatapan dan kesadarannya tinggal setengah itu. “Aku juga sayang kamu, Jun...,”
Juna tersenyum. Matanya separuh terpejam. “Boleh aku minta sesuatu buat kamu?”
“Apa?”
Juna mengelus telapak tangan Rani. “Terus tulis cerita bagus setiap ulang tahun kamu ya...,”
“Juna...,”
Juna hanya tersenyum. Lalu mata itu sepenuhnya tertutup.
Ternyata kalimat itu yang terakhir keluar dari mulutnya.
Rani meronta. Ia mengguncangkan terus tubuh Juna. Menepuk-nepuk pipi Juna. Menjeritkan nama Juna.
Gampang saja Rani bahagia dengan Juna; dengan bersamanya. Gampang saja Rani sakit dengan Juna; dengan bersamanya. Semua terdengar tak masuk akal, membingungkan dan sulit dipahami. Namun yang selalu saja mereka pegang erat-erat dan terus mereka percaya; rasa penuh warna menciptakan dinamika itu seakan membuat mereka jika bersama terasa utuh. Rani cinta Juna. Juna cinta Rani.
Juna, for the last time, I'm telling you, I love you all my time...
@anggiiaaa
Komentar
Posting Komentar