Siapa Kau?
Aku melamun sambil menatap langit-langit kamar. Aku mengingat kembali hal yang seharusnya tak kuingat.
Tempo hari, aku bertemu seseorang yang kuharapkan tapi tak di waktu yang kuharapkan. Ia menatapku dengan mata terbelalak karena mendapatiku di tempat yang salah bersama dengan seseorang yang salah---baginya. Kontan saja kami bermusuhan, karena aku bersikap biasa saja sementara ia dengan ngotot menudingku mencetak kesalahan besar. Aku mengangkat alis tinggi-tinggi, mengacungkan harga diriku seolah aku yang berkuasa. Lalu ia pergi.
Kinar beranjak pergi dan aku menangisinya. Ya, aku menangisinya. Tapi tangis yang biasa orang sebut tangisan buaya. Tapi sungguh, aku tak rela Kinar pergi. Sudah lebih dari setahun kami bersama, rasanya sia-sia saja jika ia pergi seperti ini. Rindu menyiksa itu masih menghantuiku, rasa ingin memelas dan memintanya kembali juga begitu erat mencekikku. Kenangan-kenangan kabur bersamanya mengusikku. Senyumnya menghantuiku. Namun, rasa gengsi akan tampang seolah membuat semua itu pudar.
Kinar nggak cantik, tapi semua orang pasti setuju denganku bahwa ia enak saja dilihat. Kulitnya coklat terpanggang sinar matahrai karena pekerjaannya sebagai wartawan salah satu stasiun televisi. Senyumnya manis, begitu juga kelakuannya. Ia penyabar, pemaaf, dan penyayang. Tapi dari raut wajahnya kemarin seolah mengingatkanku bahwa ia tak main-main. Bahwa seseorang memiliki batas kesabaran. Kurasa sabarnya menghadapiku selama setahun lebih sudah habis. Itu menguatkan pernyataanku karena seusai bertengkar, ia benar-benar menghilang. Tak seperti biasanya setelah kami bertengkar, ia selalu berbalik, memelas, memohonku untuk memaafkannya dan kembali.
Ya, aku cinta pada Kinar. Sangat cinta padanya.
***
Dua tahun berlalu...
Wuih! Puas sekali! Tim futsal kami menang telak dengan musuh bebuyutan. Aku bangga karena aku-lah yang mencetak gol terbanyak dalam pertandingan kali ini. Rasanya senang sekali.
Kedua kubu pun memutuskan untuk berdamai. Kami saling peluk, tepuk bahu, dan bersalaman, senyum kebahagiaan terpancar jelas di wajah kami. Acap kali saat pelatih mengumumkan akan menraktir makan bersama seusai ini semua, kami makin senang saja. Kami jadi seketika norak, saking senangnya.
Ada yang menarik perhatianku. Salah satu pendukung tim lawan ada yang berparas... cantik sekali. Kulitnya putih bersih mirip model sabun kecantikan. Ia tersenyum manis saat mendapati tim yang didukungnya menerima kekalahan dengan lapang dada.
Aku meminta nomor ponselnya. Ia memberikannya. Sebulan penuh kami ber-SMS-an ria tanpa kutau siapa dia sebenarnya. Tapi aku tak pernah peduli.
***
Seharusnya, ini jadi hari yang paling memabukkan. Menjadi hari yang paling indah. Menjadi hari yang tak pernah kulupakan. Menjadi hari yang paling bersejarah. Karena akhirnya, setelah sekian lama aku selalu main kucing-kucingan, aku mendapatkan gadis yang benar-benar meyakinkanku. Meyakinkanku untuk menghentikan budaya berselingkuhku. Meyakinkanku untuk memutuskan hubungan dengan Garnetta, pacar---mantan---yang kutembak seminggu yang lalu. Meyakinkanku bahwa ia memang tidak ada duanya.
Kau tau siapa dia? Yaaaa, iya lah. Si cewek cantik pendukung musuh bebuyutan tim futsalku waktu itu. Sudah sebulan kami dekat.
Aku sudah punya prediksi bahwa ia takkan menolakku. Dari tindak tanduknya, pasti ia juga suka terhadapku. Dari caranya mengirim SMS balasan, pasti ia mengharapkanku. Dari caranya tersenyum dan memandangku, pasti ia menggilaiku.
Maka hari ini kami janji bertemu. Saat aku mengutarakan perasaanku, matanya yang berbinar cantik nan manis itu berubah tajam. Kelakuannya berubah brutal. Dia menindasku, menginjak-injakku, memukulku, menamparku, menunggangiku seperti aku ini kuda lalu membuatku bonyok dan tepar di lantai.
Amarahku tak terbendung. Memang siapa dia? Siapa dia berani menghajarku seperti ini? Dia belum tau siapa aku? Ha! Dasar perempuan sinting! Lihat saja!
Saat aku hendak bangkit berdiri ia menendang wajahku. Darah menyembur dari mulutku. Aku terengah-engah menatapnya.
"Tak sia-sia aku mengeluarkan banyak duit," katanya angkuh. Ia menyulut api untuk rokoknya, mengisapnya dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya kencang-kencang. Ia melempar senyuman mengejek. Aku menatapnya picik.
"Heh, perempuan jalang! Memang siapa kau??" hardikku.
Ia tersenyum mengejek lagi sambil menghembuskan asap rokok---kali ini santai. Ia menendang wajahku saat belum sempat aku menghindarinya. Aku terlentang dengan bersimbah darah, lalu ia menibanku sambil melempar senyum manis dibuat-buat.
"Kelakuanmu makin jadi," gumamnya.
Aku hendak menamparnya tapi ia menekan ujung rokoknya di pipiku. Panasnya membakar. Aku mengerang kesakitan.
"Bodoh," katanya. "Namaku Kinar."
@anggiiaaa
Komentar
Posting Komentar