Si Pemimpin Upacara

"Grak!"

Suaranya selalu serak di kata itu. "Hormat, grak!", "Tegak, grak!", "Istirahat di tempat, grak!". Dan setiap mendengarnya, tenggorokan saya geli dan di saat bersamaan juga ingin tertawa.

Tapi saya nggak bisa lihat dia. Saya di barisan-barisan belakang upacara, sementara ia, selaku pemimpin, tentu di depan. Pada saat amanat, pembina berbicara hampir setengah jam lamanya, tak peduli barisan mulai amburadul dan banyak bermunculan forum yang suaranya tak terkendali. Bahkan sampai ada dua siswa yang pingsan. Melihat itu, pembina menghimbau bagi yang merasa fisiknya lemah diperbolehkan mundur dari barisan. Setelah iutu, amanat belum rampung, lanjut terus meski sudah jatuh korban dan semua peserta kehilangan minat mendengarkan, bahkan sejak sepuluh menit awal amanat.

Sambil menunggu amanat selesai, saya melamun. Mata saya berkeliling memandangi petugas-petugas upacara yang nampak berbeda dari yang lain karena mengenakan blazer. Para pemimpin barisan, protokol, pembaca UUD, pembaca doa, paduan suara plus dirijen, pengibar bendera, pembawa teks pancasila. Kecuali dia. Si pemimpin upacara, yang hanya saya ketahui suaranya yang serak saat berteriak "grak".

Lalu saya berpikir, apa jadinya ya kalau semua yang berblazer-blazer ini yang pingsan? Bukan hal biasa sih, saya beberapa kali kok menyaksikan.


Tiba-tiba muncul keinginan, saya ingin mereka semua pingsan. Apa motifnya? Mungkin supaya pembina upacara cukup peka tidak menjemur kami lebih lama di sini dalam keadaan puasa, jikalau dua korban jatuh pingsan tidak cukup. Kalau yang berblazer-blazer itu pingsan semua, bahkan sebelum penghormatan terakhir pun upacara langsung bubar. Yakan, yakan, yakan?

Tapi tentunya, itu mustahil banget. Seperti saya berharap dapat memotong bulan dengan ujung kuku saya, lalu saya makan (emang rasa bulan enak?).

Namun, kembali saya lihat mereka semua, para petugas upacara. Semuanya dapat tempat aman dari sinar matahari, kecuali para pemimpin barisan yang tampak menyipitkan mata karena silau. Yang satu lagi aman. Bagi saya, berkurang alasan mereka untuk pingsan karena tak kuat berdiri panas-panas. Harapan gagal. Upacara ini nggak mengenakan topi loh. Termasuk saya, yang bahkan lupa di mana topi saya berada.

Kemudian, ada satu lagi petugas yang tidak aman dari sinar matahari. Hm, posisinya berpotensi besar untuk pingsan. Si pemimpin upacara itu. Yang tidak saya ketahui rupanya.

Saya sudah pernah lihat pemimpin upacara pingsan di tengah-tengah upacara. Kemudian, posisinya diganti. Hm, nanti siapa ya yang bakal menggantikannya andaikata ia pingsan? Mungkin si ketua OSIS yang berdiri anteng di sebelah protokol itu, yang barusan diejek salah satu teman sebagai si sok sibuk. Bukan hal tabu, itu memang nama belakang ketua OSIS bagi siswa awam.

Jadi, mana kerennya? Lagian saya kurang ajar banget berharap mereka semua pingsan. Lagipula, isi amanatnya bermanfaat kok. Saya jahat ternyata ToT

Menuju penghujung upacara, "grak" terakhir terdengar saat penghormatan pada pembina. Suaranya masih serak. Dan begitu ia melenggang meninggalkan lapangan dan pemimpin barisan membubarkan kami, akhirnya saya melihatnya walau sepintas.

Jika ada upacara lagi esok dengan petugas yang sama, saya tidak akan berdoa mereka semua pingsan meski amanatnya sepanjang sejarah bumi. Saya hanya ingin si pemimpin upacara itu yang pingsan. Entah mengapa.


Komentar