[Matahari Milikku] #18. "Rumah Lo, Rumah Gue, Rumah Sakit, Kuburan, Apa Penjara?"
Cerita Sebelumnya: [Matahari Milikku] #17. Otanjoubi Omedeteu
Keringat dingin mengucur deras dari
pelipisnya. Sambil terengah-engah Dicky mematikan ponselnya. Pembicaraannya
dengan Daniel usai sepuluh menit yang lalu.
Cowok itu membenamkan wajahnya ke
bantal, memikirkan teguran Daniel. Kemudian, kondisi Kinal. Kedua kalinya, ia
membuat cewek itu menangis.
Buk! Tinju Dicky harus diterima
mentah-mentah oleh kasur. Namun, jari-jari yang terkepal itu perlahan melemah,
hingga sepenuhnya tanpa daya. Dicky tertidur.
Seandainya tidak ada mimpi buruk, tidur
Dicky pasti akan lebih lama. Teror matahari datang lagi. Tinju yang ia beri
pada kasur kini dikembalikan kepadanya. Sakit, Dicky kembali terpuruk. Dengan
napas terengah-engah, Dicky menangis.
***
Malam harinya.
Dengan mata sembab, aku memandangi
langit di balkon kamarku. Tapi karena langit penuh bintang, yang artinya
mengingatkanku tentang pembicaraan dengan Dicky soal bintang jatuh, aku kembali
masuk ke kamar.
Aku berusaha menghindar memikirkan Dicky
sepanjang malam itu dengan memikirkan apa lebih baik besok aku bolos atau
sekolah. Bolos itu tidak mungkin. Bentar lagi UN, Kinal, jangan lagi memakai
alasan masalah pribadi pada pendidikanmu.
Aku terus memikirkan itu sampai aku
tertidur dengan posisi kaki tergantung di tepian kasur.
***
Mengutamakan belajar lebih penting,
akhirnya aku memutuskan untuk sekolah. Mencoba menghiraukan apa-apa saja yang
kuterima hari ini.
Rupanya Dicky hari ini tidak masuk. Ia
beneran sakit. Ada bagusnya juga, sedikit meringankan bebanku. Kabar dari Beby,
ternyata Mela masuk sekolah. Pada jam istirahat kedua, aku menunggu para cicit
itu datang untuk melabrakku. Sambil menunggu, aku membayangkan ekspresi
mereka. Tapi ternyata sampai bel masuk berbunyi, mereka tak nampak batang
hidungnya.
Hari ini entah mengapa perutku tidak
merengek minta asupan. Sementara Melody nampaknya tidak akan ke kantin sampai UN datang,
memanfaatkan waktu istirahat untuk belajar. Istirahat pertama ia membaca buku
matematika dan bahasa Inggris sekaligus. Istirahat kedua, setengah waktunya ia
membaca biologi, dan, sepertinya ia suntuk, setengah waktunya lagi ia meminjam
ponselku untuk bermain game.
***
Sepulang sekolah...
Aku berjalan melintasi lapangan sekolah
sambil mengaduk-aduk isi tasku. Aku baru ingat, apa aku sudah memasukkan
ponselku ke dalam tas ya? Di sela
kesibukanku berkutat dengan tas akibat penyakit lupaku, aku melewatkan sesuatu.
Sesuatu yang ternyata luput dari pandanganku.
Bruk!
Mungkin karena sibuk mengaduk tas tanpa
melihat jalan, aku menabrak seseorang. Hobi aneh ini kumat lagi. Tapi ini berbeda.
Tabrakan itu keras sekali hingga bahuku terasa nyeri. Aku sampai terhuyung
berbalik arah dan terjembab di tanah. Tasku yang terbuka terayun cepat seraya
tubuhku bergerak, barang-barangnya keluar dan berserakan begitu saja. Kulihat
cewek yang telah menabrakku itu melangkah cepat, menjauh. Terlebih tidak mau
tahu. Atau... sengaja?
Ternyata dapat kutemukan jawabannya
tanpa memerlukan waktu yang banyak.
Byor...!
Di saat aku masih terbengong-bengong, seseorang
mengguyurku dari belakang. Dingin menyentuh kulitku, bau tepung dan bau amis
menusuk hidungku. Cairan kental itu sukses melumuri seluruh badanku.
Seakan belum cukup parah saja, ketika
aku mendongak, seseorang melempar telur mentah busuk tepat mengenai
wajahku. Hidungku mengernyit. Dapat kurasakan dadaku sakit, darah mengalir cepat
lalu muncrat di wajahku. Pipi dan mataku panas.
Seakan semuanya belum sempurna saja,
lebih dari satu orang mengelilingiku dan menertawaiku .Aku mendengar suara
gemerisik, disusul tumpahan tepung beras menghujani tubuhku bak salju. Kutatap
sekeliling, barang-barang, buku-buku, nyaris semua isi tasku yang terlempar
keluar juga ikut “dimandikan” dengan semua ini. Kepalaku mendongak, menatap
segala penjuru. Nyaris semua orang menatapku dengan senyum tertahan meski banyak
juga yang menatapku iba.
“Fualla!! Ini kejutan dari gue, Kinal!
Tinggal dimasukin ke penggorengan, jadi ayam tepung deh!” ledek Mela sambil
menoyor kepalaku dengan kasar. Ia dan para dedengkotnya pun tertawa-tawa puas.
Juga cewek yang menabrakku tadi. Ternyata Ayen.
Inilah yang luput dari pandanganku. Bukan
mereka namanya kalau tidak ada pembalasan dendam. Tak mungkin kejadian kemarin
berlalu begitu saja. Parahnya lagi, absennya Dicky di kelas hari ini bisa
membuat Mela dan dedengkotnya leluasa menganiayaku.
Tak dapat kubendung lagi semua rasa yang
berkecamuk dalam benakku. Marah, malu, sedih... Detik pertama aku sudah nangis
sesenggukan. Mungkin akan menambah kualitas rasa maluku di depan orang, tapi
siapa peduli? Aku sudah kepalang basah, malu tujuh turunan. Ini lelucon paling
tidak lucu yang pernah ada.
Aku mencoba bangkit meski bahuku masih
bergerak-gerak. Ingusku lancar jaya. Tidak ada lagi benda yang bisa kugunakan
untuk mengusap. Di mana-mana adonan tepung. Ingusku bisa jadi tambahan rasa asin
adonan ini. Kumasukkan benda-bendaku yang sudah tak keruan bentuknya itu ke
dalam tas. Dengan tubuh bergetar aku coba berdiri.
Kutatap Mela dengan mata penuh nafsu
membunuh. Ia tidak pantas menjadi anak dari penyumbang besar sekolah yang
suaranya begitu berwibawa.
Mela menantang mataku, dengan makna
meremehkan. Keadaanku sekarang memang lebih buruk darinya, tapi jelas, dia bukan
tandinganku sekarang. Dan tidak ada yang bisa mengubah keputusanku, aku mundur
bukan karena kalah. Karena dia telah tunjukkan kepada siapapun kalau ia tak
lebih rendah daripada sampah sekalipun dengan memakai cara kotor seperti ini.
Seseorang tiba-tiba menerobos kerumunan
yang tanpa sengaja membentuk lingkaran dengan aku dan Mela plus dedengkotnya di
tengah. Kupikir ia hanyalah ilusi karena aku terjebak dalam fatamorgana yang
diciptakan mataku sendiri. Karena mataku tergenang penuh air mata. Tapi
bayangannya seiring nyata dengan jatuhnya air mataku yang menderas, menatapku
penuh kelembutan.
Aku masih menangis ketika Dicky sudah
ada di depanku. Ia memakai baju bebas dan membawa tas sekolahnya. Mela and the gank terpana. Wajahnya yang penuh
senyum kemenangan amblas sudah, terganti dengan wajah ketakutan. Mela mungkin
secara tak kasatmata mengecil bak liliput saking ngerinya melihat Dicky ada di
depannya sekarang.
Dengan tenang Dicky mengeluarkan jaket
ukuran besar dari tasnya. Ia sampirkan di bahuku, menyelimuti tubuhku. Setelah
itu ia merangkulku, mengajakku pergi. Tak dapat kutebak makna ekspresinya yang
kelewat datar bak papan tripleks itu. Sebelum pergi, ia hanya meninggalkan
tatapan tajamnya untuk Mela. Cewek itu langsung kejang-kejang.
“Hm. Gue pahlawan kesiangan ternyata,”
kata Dicky pelan. Aku diam saja.“Oke, lo pilih mana. Rumah lo, rumah gue, rumah
sakit, kuburan, apa penjara?”
Aku meliriknya tanpa minat. Masih sempat
juga ia ngelantur di saat seperti ini. “Lo kira gue pengguna narkoba apa.”
Dicky tertawa, entah kenapa di
telingaku, suaranya tidak seindah seharusnya. Selebihnya kami membisu sampai ia
memapahku masuk ke dalam mobil Avanza hitam yang terparkir di depan sekolah.
***
Ternyata ia membawaku ke rumahnya.
Mungkin ia tahu aku tidak mau ditanya banyak oleh mamaku perkara aku pulang
dengan balutan adonan roti. Ia menyuruhku membersihkan diri dan sementara
memakai kausnya dulu.
Ketika keluar dari kamar mandi, seorang
ibu berdaster hijau tua menyambutku dengan senyumnya. Dia ibu yang sama sewaktu
aku datang kemari saat Dicky sakit masuk angin waktu itu. Aku membalas senyum
seraya menolehkan kepala ke sisi lain. Di sebelah dapur rumah Dicky, ada pintu
untuk mengakses halaman belakang. Di halaman belakang itu pula aku melihat
seragamku sudah bersih tapi basah menggantung di jemuran.
“Mbak Kinal disuruh Mas Dicky ke atas,”
kata ibu itu. “Sini Mbak, handuknya biar saya jemur.”
Aku menyerahkan handuk itu. “Terima
kasih banyak. Oh, ya, nama ibu siapa?”
“Nama saya Kokom, pembantu keluarga
ini,” katanya memperkenalkan diri.
Aku mengangguk-angguk.“Ibu juga yang
menyuci seragam saya, ya?”
Bu Kokom nyengir dan terkesan jenaka.“Saya
disuruh Mas Dicky. Mbak Kinal langsung ke atas ya, saya mau melanjutkan cucian
saya.”
“Terima kasih banyak ya, Bu,” kataku
sekali lagi.
Bu Kokom hanya balas tersenyum. Sesuai
saran Bu Kokom, aku cepat-cepat menaiki tangga ke atas. Ketika sudah sampai di depan
pintu kamarnya, aku diam sejenak. Bau familiar masuk ke indera penciumanku. Aku
menunduk, melihat kaus putih kedodoran dan celana komprang selutut yang
kupakai. Aku tersenyum. Bau khas Dicky.
Aku mengetuk pintu dan jawaban dari
dalam menyuruhku masuk. Setelah pintu terbuka, terlihat ada cowok nongkrong di
balkon.
“Dick?”
“Masuk aja, Nal. Pintunya biarin kebuka.”
Aku manut. Kubiarkan pintu terbuka
sementara Dicky masih tidak menoleh. Ketika sampai di sampingnya, masih
berdiri, kulihat ternyata ia sedang minum teh dengan kaki dilipat.
Melihatnya, mau tak mau aku mengingat
kejadian hari ini. Dan sebab mengapa aku nyasar ke sini. Aku manyun .Dicky pasti
menertawakan aku sehabis ini. Mengingat keadaanku tadi. Setelah itu disusul
ingatan pandangan semua orang tadi.
Mandi pun tidak membuat suasana hatiku
jadi lebih baik.
“Gue mau pulang,” kataku, suaraku
pecah. Dengan kalem Dicky meletakkan cangkir tehnya ke meja, lalu menelengkan
kepala.
Ia menatapku, lama sekali.
Dicky menepuk-nepuk kursi di
sebelahnya.“Duduk dulu lah, Nal.”
“Gue mau pulang!” kataku, setengah
merengek setengah membentak.
Lagi-lagi Dicky menatapku tanpa makna
yang jelas. Ia lalu mengambil cangkir tehnya, dan menunjukkanya padaku. “Kinal,
ngopi yuk!” katanya dengan nada iklan kopi di tipi sambil nyengir. “Eh, ini teh
ya?”
Aku berusaha untuk tidak tersenyum.
Setelah menyesap tehnya lagi, ia meletakkan cangkirnya, menatapku yang maju tak
gentar. Ia menghela napas panjang, lalu beranjak berdiri. “Oke, kita pulang.”
Dicky melangkah masuk ke dalam kamar dan
meraih jaket yang disampirkan di kursi belajarnya. Aku mengekorinya seperti anak
tikus. Tapi mendadak aku berhenti melangkah ketika pandanganku mendarat pada
sesuatu yang digantung di ujung ranjang Dicky, tepatnya di paku di dinding, di
atas bingkai foto keluarga kecilnya.
“Nal? Jadi pulang nggak??” tanya Dicky
tiba-tiba. Aku tersentak dan melihatnya sudah di ambang pintu .Kutatap benda itu
sekali lagi dan cepat-cepat melangkah sebelum pandangan Dicky berubah panas.
Ah, pikirku. Jangan sempit kalau berpikir.
Baju itu juga banyak yang punya, kan?
***
Aku melotot ketika Dicky secara tidak
langsung menyuruhku turun dari sepeda kayuhnya. Lalu dengan santai ia berjalan
sambil menuntun sepedanya, berbelok ke padang rumput.
“Dick! Rumah gue lurus tahu, kok malah
ke sini sih??”
“Lo kok pengen cepet banget pulang ke
rumah? Sabar napa. Kita di sini dulu. Di mana-mana tuh, yang nebeng nurut ama
sopirnya.”
Aku cemberut. Dicky melihat tampangku,
tapi sikapnya cuek bebek. Sambil mengentak-entakkan kaki kuikuti langkahnya. Sepeda
ia parkirkan, lalu tak jauh dari situ, ia duduk bersila. Aku duduk di
sampingnya, terus menatapnya dongkol, berharap ia tahu, bagiku idenya kali ini
sama sekali tidak cemerlang.
Usut punya usut, Dicky malah tambah
cuek. Ia bahkan tidak melihatku sama sekali.
Aku menghela napas, pasrah. Karena
rumahku masih jauh dari sini, lebih baik aku nurut aja sama sopirnya.
“Kita ngapain sih di sini?”
“Nongkrong,” jawabnya enteng. “Lihat yang
ijo-ijo aja dulu, kali aja lo tenang.”
Aku memutar bola mata .Dicky tidak merespon. Yang
tenang melihat yang ijo-ijo rupanya dia, bukan aku.
“Lo kenapa nggak masuk, tadi?”Aku
membangun pembicaraan.
“Sakit flu.”
“Trus kenapa lo tiba-tiba di sekolah
tadi?”
Butuh dua detik bagi Dicky diam baru
menoleh padaku, lama sekali ia menatap mataku. Aku menunggu jawabannya, tapi
setelah ia memalingkan muka lagi ia tak bicara apapun. Apa jawabannya sudah ada
tapi tidak secara lisan, tapi secara tersirat lewat matanya tadi? Tapi kalau
dipikir-pikir, tak ada makna yang menumpangi matanya tadi. Ia memang hanya
menatap, bukan mau menjawab.
“Dick?”
Hingga lama, tanpa respon.
Aku menghela napas, berusaha
mengutarakan keherananku yang lain lagi. “Trus tadi kenapa lo bawa mobil? Trus
nganterin gue pulang pake sepeda...”
“Oh, lo mau dianterin pake mobil?”
potongnya, skeptis.
“Bukan gitu,” kataku kalem. “Habis gitu
kan kita ke rumah lo, yang deket banget ama sekolah. Ini yang jaraknya jauh
make sepeda, kan...”
Tanpa kusangka, Dicky menoleh cepat dan
mendekatkan wajahnya padaku. Air mukanya keras, seperti risih
ditanya-tanya. Badanku sampai condong ke belakang, ngeri ngeliatnya.
“Trus lo mau gitu sepanjang perjalanan
ke rumah gue meski deket penampilan lo kayak roti belom mateng?”
Aku manggut-manggut, keburu ngeri
daripada mengerti.
Dicky menghadap ke depan lagi.
Sebenarnya masih ada lagi yang perlu kukatakan... ah, nggak perlu deh. Tapi...
ah, nanti dia kayak gitu lagi. Tapi...
Takut-takut, aku kembali
bersuara. “Be-berarti... itu artinya... lo... tahu kalau gue mau dikerjain
Mela?”
Bahasa tubuh Dicky mengeras, tapi ia
berusaha tenang. Wajahnya kaget, tapi berusaha ia tutupi. “Udahlah.Yang perlu
lo lakuin sekarang cuman bersyukur dan bilang terima kasih ke gue!” katanya,
pedas.
Aku nyengir, menatapnya ngeri. Lalu,
kentara nggak ikhlas berkata, “Terima kasih.”
Ia diam saja.
Aku mengambrukkan diri ke rumput. Melihat
langit sore dengan matahari yang tidak terlalu terik. Melihat matahari, mau
tidak mau aku harus mengingat yang satu itu. Atau lebih tepatnya, yang dua
itu. Arya dan cowok misterius penyuka matahari terbenam.
Air mata mengalir begitu saja dari
pelupuk mataku.
Sebenarnya aku bingung untuk apa aku
menangis. Kenangan tentang Arya? Sudah berbulan-bulan bahkan aku tidak pernah
memikirkannya lagi. Karena... karena...
Tangisku makin kencang.
Tidak ada hal yang kutangisi. Tidak
matahari, Arya, cowok misterius, Mela dan cicit-cicit, atau apapun. Aku hanya
butuh menangis. Mungkin kau pikir aku aneh nggak ada angin nggak ada hujan nggak
ada petir nggak ada halilintar, nggak ada Superman lewat bisa-bisanya aku
menangis. Entahlah, ada penemuan baru rupanya kalau menangis kini sebagai
kebutuhan, bukan curahan rasa. Ah! Tak usah banyak komentar! Aku lagi mau
menangis aja!
Entah mengapa, Dicky menoleh padaku. Ia
kaget melihatku yang tidak ada angin, tak ada hujan, dan bla bla bla (sudah
ditulis di atas). Kutatap ia balik, masih dengan mata yang basah.
“Lo kenapa tiba-tiba ada di sekolah tadi
trus bawa mobil?” tanyaku merengek, mengacuhkan matanya yang bertanya.
Dicky melotot, tapi ia menjawab dengan
tenang. “Kan gue udah bilang kalau gue pahlawan kesiangan.”
Aku menyipitkan mata, curiga dan tidak
percaya. Dicky angkat bahu lalu ikut berbaring di sampingku.
Aku menyedot ingusku, dan kulihat ia
mengangkat alis. “Lo ketularan pilek gue?”
Aku tidak menjawab.
“Nal, lo nangis gara-gara gue nggak
ngejawab pertanyaan-pertanyaan lo itu?”
Lagi, aku tidak menjawab.
Ia menghembus napas pelan. “Nal, pasang
lagu ya,” katanya. Aku tidak tahu bagaimana caranya MP3-ku nyasar di kantongnya
sekarang. Ia membagi earphone
denganku, memilih lagu. Intro lagu yang familier masuk ke telingaku.
Lalu Dicky diam ikut mendengarkan,
sambil memandang langit bersih nyaris tanpa awan. Tapi kemudian suara gemuruh
datang dan pesawat melintas di langit yang kami pandangi.
Pandanganku kosong mengikuti ekor
pesawat. “Pesawat itu menjengkelkan ya.”
Dicky melirikku. “Kenapa?”
“Pesawat itu membawa pertemuan juga
perpisahan. Kata orang, mengapa ada pertemuan kalau ada perpisahan...”
“Lo kenapa jadi melankolis begitu sih,
Nal?”
Aku diam saja.
Sayonara, kau bisikkan
Ekspresimu saat itu
Sinar mentari tak sampai
Cinta itu tlah layu dan gugur...
Ekspresimu saat itu
Sinar mentari tak sampai
Cinta itu tlah layu dan gugur...
Mendengar kalimat terakhir itu,
sekelebat wajah Arya tiba-tiba melintas. Tanpa kuingin, tanpa kukehendaki, tanpa
tedeng aling-aling air mataku malah menderas. Kurasakan Dicky makin salah tingkah
karena tangisku makin kencang.
Jejak pesawatnya di langit, garis putih
lurus memanjang
Perasaan siapa yang, masih ada
Tanpa mampu menoleh ke belakang
Perasaan siapa yang, masih ada
Tanpa mampu menoleh ke belakang
Jejak pesawat sewaktu-waktu, seperti cakar tajam menusuk
Meninggalkan bekas tipis, luka baru
Dengan tatapan kosong diriku memandang...
Dicky melumatku dengan tatapan tajamnya,
seolah menyuruhku berhenti menangis. Apa peduliku? Siapa suruh mengajakku
kemari. Tujuanku pulang cepat-cepat kan untuk menangis di rumah!
Suatu tempat, kita berdua
Mungkin kan bertemu lagi
Karena di tempat kenangan
Terlalu banyak orang-orang...
Mungkin kan bertemu lagi
Karena di tempat kenangan
Terlalu banyak orang-orang...
Jantungku melonjak saat seseorang
tiba-tiba berteriak. Dan ternyata suara itu berasal dari sebelahku.
“Cinta itu jejak pesawat, satu gores
kuas yang tipis. Ke hari kita tak dapat kembali.Dengan sedih tak dapat
melangkah majuuuuu. Seperti jejak awan pesawat, bak sembunyikan air mata,” Dicky
menoleh dan tersenyum penuh makna padaku. “Jauh aku rentangkan, tangan kanan,”
iamengangkat tangan kanannya, seolah ingin meraih angkasa. “DIRIMU YANG TELAH MENINGGALKAN
KESEDIHAAAAANNN!!!”
Ampun, Dicky sadar nggak sih kalau teriak
begitu suaranya fals berat? Tetapi ekspresinya yang mendayu-dayu itu mau tak
mau membuatku tertawa.
“Nah, gitu dong, ketawa,” katanya,
mengusap air mataku dengan ibu jari. “AYO SEMUANYA, NYANYI SAMA-SAMA!!”
Semuanya? Stres kali, orang nggak ada
siapa-siapa. Tapi toh aku ikutan stress juga, dan bangga karenanya.
“Jejak pesawatnya di langit...”
“Garis putih lurus memanjang...”
sambungku.
“Perasaan siapa yang, masih ada...”
“Tanpa mampu menoleh ke belakang...”
Setelah bersahut-sahutan begitu, kami
bernyanyi bersama.“Jejak awan pesawat cinta, bagai mengejarnya dari
belakang.Walau sedih terlambat. Terdengarnya suara pesawat di langit dan
tangisan. Jejak awan pesawat, bak sembunyikan air mata. Jauh aku rentangkan,
tangan kanan, dirimu yang telah meninggalkan kesedihan...”
Dicky bangkit duduk, menatapku. Kesenangan
meletup-letup terpancar dari wajahnya. “Lega?”
Aku tersenyum lalu mengangguk perlahan.
Dicky mengusap puncak kepalaku dengan
lembut, lalu beranjak berdiri. Ia mengulurkan tangan untuk membantuku. Sebelum
aku naik di sadel belakang sepedanya, ia meremas tanganku sejenak.
Lewat itu iamembuatku menatapnya. Saat
itu juga, hap! Ia menangkap mataku dan tidak melepasnya. Begitu terus hingga
kurasakan sinar oranye merambat turun merayapi kami. Matahari terbenam.
Deg! Jantungku mengejang.
Komentar
Posting Komentar