[Matahari Milikku] #18. "Rumah Lo, Rumah Gue, Rumah Sakit, Kuburan, Apa Penjara?"






Keringat dingin mengucur deras dari pelipisnya. Sambil terengah-engah Dicky mematikan ponselnya. Pembicaraannya dengan Daniel usai sepuluh menit yang lalu.

Cowok itu membenamkan wajahnya ke bantal, memikirkan teguran Daniel. Kemudian, kondisi Kinal. Kedua kalinya, ia membuat cewek itu menangis.

Buk! Tinju Dicky harus diterima mentah-mentah oleh kasur. Namun, jari-jari yang terkepal itu perlahan melemah, hingga sepenuhnya tanpa daya. Dicky tertidur.
 
Seandainya tidak ada mimpi buruk, tidur Dicky pasti akan lebih lama. Teror matahari datang lagi. Tinju yang ia beri pada kasur kini dikembalikan kepadanya. Sakit, Dicky kembali terpuruk. Dengan napas terengah-engah, Dicky menangis.


***

Malam harinya.

Dengan mata sembab, aku memandangi langit di balkon kamarku. Tapi karena langit penuh bintang, yang artinya mengingatkanku tentang pembicaraan dengan Dicky soal bintang jatuh, aku kembali masuk ke kamar.
Aku berusaha menghindar memikirkan Dicky sepanjang malam itu dengan memikirkan apa lebih baik besok aku bolos atau sekolah. Bolos itu tidak mungkin. Bentar lagi UN, Kinal, jangan lagi memakai alasan masalah pribadi pada pendidikanmu.

Aku terus memikirkan itu sampai aku tertidur dengan posisi kaki tergantung di tepian kasur.

***

Mengutamakan belajar lebih penting, akhirnya aku memutuskan untuk sekolah. Mencoba menghiraukan apa-apa saja yang kuterima hari ini.

Rupanya Dicky hari ini tidak masuk. Ia beneran sakit. Ada bagusnya juga, sedikit meringankan bebanku. Kabar dari Beby, ternyata Mela masuk sekolah. Pada jam istirahat kedua, aku menunggu para cicit itu datang untuk melabrakku. Sambil menunggu, aku membayangkan ekspresi mereka. Tapi ternyata sampai bel masuk berbunyi, mereka tak nampak batang hidungnya.

Hari ini entah mengapa perutku tidak merengek minta asupan. Sementara Melody nampaknya  tidak akan ke kantin sampai UN datang, memanfaatkan waktu istirahat untuk belajar. Istirahat pertama ia membaca buku matematika dan bahasa Inggris sekaligus. Istirahat kedua, setengah waktunya ia membaca biologi, dan, sepertinya ia suntuk, setengah waktunya lagi ia meminjam ponselku untuk bermain game.

***

Sepulang sekolah...

Aku berjalan melintasi lapangan sekolah sambil mengaduk-aduk isi tasku. Aku baru ingat, apa aku sudah memasukkan ponselku ke dalam tas ya?  Di sela kesibukanku berkutat dengan tas akibat penyakit lupaku, aku melewatkan sesuatu. Sesuatu yang ternyata luput dari pandanganku.

Bruk!

Mungkin karena sibuk mengaduk tas tanpa melihat jalan, aku menabrak seseorang. Hobi aneh ini kumat lagi. Tapi ini berbeda. Tabrakan itu keras sekali hingga bahuku terasa nyeri. Aku sampai terhuyung berbalik arah dan terjembab di tanah. Tasku yang terbuka terayun cepat seraya tubuhku bergerak, barang-barangnya keluar dan berserakan begitu saja. Kulihat cewek yang telah menabrakku itu melangkah cepat, menjauh. Terlebih tidak mau tahu. Atau... sengaja?

Ternyata dapat kutemukan jawabannya tanpa memerlukan waktu yang banyak.

Byor...!

Di saat aku masih terbengong-bengong, seseorang mengguyurku dari belakang. Dingin menyentuh kulitku, bau tepung dan bau amis menusuk hidungku. Cairan kental itu sukses melumuri seluruh badanku.

Seakan belum cukup parah saja, ketika aku mendongak, seseorang melempar telur mentah busuk tepat mengenai wajahku. Hidungku mengernyit. Dapat kurasakan dadaku sakit, darah mengalir cepat lalu muncrat di wajahku. Pipi dan mataku panas.

Seakan semuanya belum sempurna saja, lebih dari satu orang mengelilingiku dan menertawaiku .Aku mendengar suara gemerisik, disusul tumpahan tepung beras menghujani tubuhku bak salju. Kutatap sekeliling, barang-barang, buku-buku, nyaris semua isi tasku yang terlempar keluar juga ikut “dimandikan” dengan semua ini. Kepalaku mendongak, menatap segala penjuru. Nyaris semua orang menatapku dengan senyum tertahan meski banyak juga yang menatapku iba.

“Fualla!! Ini kejutan dari gue, Kinal! Tinggal dimasukin ke penggorengan, jadi ayam tepung deh!” ledek Mela sambil menoyor kepalaku dengan kasar. Ia dan para dedengkotnya pun tertawa-tawa puas. Juga cewek yang menabrakku tadi. Ternyata Ayen.

Inilah yang luput dari pandanganku. Bukan mereka namanya kalau tidak ada pembalasan dendam. Tak mungkin kejadian kemarin berlalu begitu saja. Parahnya lagi, absennya Dicky di kelas hari ini bisa membuat Mela dan dedengkotnya leluasa menganiayaku.

Tak dapat kubendung lagi semua rasa yang berkecamuk dalam benakku. Marah, malu, sedih... Detik pertama aku sudah nangis sesenggukan. Mungkin akan menambah kualitas rasa maluku di depan orang, tapi siapa peduli? Aku sudah kepalang basah, malu tujuh turunan. Ini lelucon paling tidak lucu yang pernah ada.

Aku mencoba bangkit meski bahuku masih bergerak-gerak. Ingusku lancar jaya. Tidak ada lagi benda yang bisa kugunakan untuk mengusap. Di mana-mana adonan tepung. Ingusku bisa jadi tambahan rasa asin adonan ini. Kumasukkan benda-bendaku yang sudah tak keruan bentuknya itu ke dalam tas. Dengan tubuh bergetar aku coba berdiri.

Kutatap Mela dengan mata penuh nafsu membunuh. Ia tidak pantas menjadi anak dari penyumbang besar sekolah yang suaranya begitu berwibawa.

Mela menantang mataku, dengan makna meremehkan. Keadaanku sekarang memang lebih buruk darinya, tapi jelas, dia bukan tandinganku sekarang. Dan tidak ada yang bisa mengubah keputusanku, aku mundur bukan karena kalah. Karena dia telah tunjukkan kepada siapapun kalau ia tak lebih rendah daripada sampah sekalipun dengan memakai cara kotor seperti ini.

Seseorang tiba-tiba menerobos kerumunan yang tanpa sengaja membentuk lingkaran dengan aku dan Mela plus dedengkotnya di tengah. Kupikir ia hanyalah ilusi karena aku terjebak dalam fatamorgana yang diciptakan mataku sendiri. Karena mataku tergenang penuh air mata. Tapi bayangannya seiring nyata dengan jatuhnya air mataku yang menderas, menatapku penuh kelembutan.

Aku masih menangis ketika Dicky sudah ada di depanku. Ia memakai baju bebas dan membawa tas sekolahnya. Mela and the gank terpana. Wajahnya yang penuh senyum kemenangan amblas sudah, terganti dengan wajah ketakutan. Mela mungkin secara tak kasatmata mengecil bak liliput saking ngerinya melihat Dicky ada di depannya sekarang.

Dengan tenang Dicky mengeluarkan jaket ukuran besar dari tasnya. Ia sampirkan di bahuku, menyelimuti tubuhku. Setelah itu ia merangkulku, mengajakku pergi. Tak dapat kutebak makna ekspresinya yang kelewat datar bak papan tripleks itu. Sebelum pergi, ia hanya meninggalkan tatapan tajamnya untuk Mela. Cewek itu langsung kejang-kejang.

“Hm. Gue pahlawan kesiangan ternyata,” kata Dicky pelan. Aku diam saja.“Oke, lo pilih mana. Rumah lo, rumah gue, rumah sakit, kuburan, apa penjara?”

Aku meliriknya tanpa minat. Masih sempat juga ia ngelantur di saat seperti ini. “Lo kira gue pengguna narkoba apa.”

Dicky tertawa, entah kenapa di telingaku, suaranya tidak seindah seharusnya. Selebihnya kami membisu sampai ia memapahku masuk ke dalam mobil Avanza hitam yang terparkir di depan sekolah.

***

Ternyata ia membawaku ke rumahnya. Mungkin ia tahu aku tidak mau ditanya banyak oleh mamaku perkara aku pulang dengan balutan adonan roti. Ia menyuruhku membersihkan diri dan sementara memakai kausnya dulu.

Ketika keluar dari kamar mandi, seorang ibu berdaster hijau tua menyambutku dengan senyumnya. Dia ibu yang sama sewaktu aku datang kemari saat Dicky sakit masuk angin waktu itu. Aku membalas senyum seraya menolehkan kepala ke sisi lain. Di sebelah dapur rumah Dicky, ada pintu untuk mengakses halaman belakang. Di halaman belakang itu pula aku melihat seragamku sudah bersih tapi basah menggantung di jemuran.

“Mbak Kinal disuruh Mas Dicky ke atas,” kata ibu itu. “Sini Mbak, handuknya biar saya jemur.”

Aku menyerahkan handuk itu. “Terima kasih banyak. Oh, ya, nama ibu siapa?”

“Nama saya Kokom, pembantu keluarga ini,” katanya memperkenalkan diri.

Aku mengangguk-angguk.“Ibu juga yang menyuci seragam saya, ya?”

Bu Kokom nyengir dan terkesan jenaka.“Saya disuruh Mas Dicky. Mbak Kinal langsung ke atas ya, saya mau melanjutkan cucian saya.”

“Terima kasih banyak ya, Bu,” kataku sekali lagi.

Bu Kokom hanya balas tersenyum. Sesuai saran Bu Kokom, aku cepat-cepat menaiki tangga ke atas. Ketika sudah sampai di depan pintu kamarnya, aku diam sejenak. Bau familiar masuk ke indera penciumanku. Aku menunduk, melihat kaus putih kedodoran dan celana komprang selutut yang kupakai. Aku tersenyum. Bau khas Dicky.

Aku mengetuk pintu dan jawaban dari dalam menyuruhku masuk. Setelah pintu terbuka, terlihat ada cowok nongkrong di balkon.

“Dick?”

“Masuk aja, Nal. Pintunya biarin kebuka.”

Aku manut. Kubiarkan pintu terbuka sementara Dicky masih tidak menoleh. Ketika sampai di sampingnya, masih berdiri, kulihat ternyata ia sedang minum teh dengan kaki dilipat.

Melihatnya, mau tak mau aku mengingat kejadian hari ini. Dan sebab mengapa aku nyasar ke sini. Aku manyun .Dicky pasti menertawakan aku sehabis ini. Mengingat keadaanku tadi. Setelah itu disusul ingatan pandangan semua orang tadi.

Mandi pun tidak membuat suasana hatiku jadi lebih baik.

“Gue mau pulang,” kataku, suaraku pecah. Dengan kalem Dicky meletakkan cangkir tehnya ke meja, lalu menelengkan kepala.

Ia menatapku, lama sekali.

Dicky menepuk-nepuk kursi di sebelahnya.“Duduk dulu lah, Nal.”

“Gue mau pulang!” kataku, setengah merengek setengah membentak.

Lagi-lagi Dicky menatapku tanpa makna yang jelas. Ia lalu mengambil cangkir tehnya, dan menunjukkanya padaku. “Kinal, ngopi yuk!” katanya dengan nada iklan kopi di tipi sambil nyengir. “Eh, ini teh ya?”

Aku berusaha untuk tidak tersenyum. Setelah menyesap tehnya lagi, ia meletakkan cangkirnya, menatapku yang maju tak gentar. Ia menghela napas panjang, lalu beranjak berdiri. “Oke, kita pulang.”

Dicky melangkah masuk ke dalam kamar dan meraih jaket yang disampirkan di kursi belajarnya. Aku mengekorinya seperti anak tikus. Tapi mendadak aku berhenti melangkah ketika pandanganku mendarat pada sesuatu yang digantung di ujung ranjang Dicky, tepatnya di paku di dinding, di atas bingkai foto keluarga kecilnya.

“Nal? Jadi pulang nggak??” tanya Dicky tiba-tiba. Aku tersentak dan melihatnya sudah di ambang pintu .Kutatap benda itu sekali lagi dan cepat-cepat melangkah sebelum pandangan Dicky berubah panas.

Ah, pikirku. Jangan sempit kalau berpikir. Baju itu juga banyak yang punya, kan?

***

Aku melotot ketika Dicky secara tidak langsung menyuruhku turun dari sepeda kayuhnya. Lalu dengan santai ia berjalan sambil menuntun sepedanya, berbelok ke padang rumput.

“Dick! Rumah gue lurus tahu, kok malah ke sini sih??”

“Lo kok pengen cepet banget pulang ke rumah? Sabar napa. Kita di sini dulu. Di mana-mana tuh, yang nebeng nurut ama sopirnya.”

Aku cemberut. Dicky melihat tampangku, tapi sikapnya cuek bebek. Sambil mengentak-entakkan kaki kuikuti langkahnya. Sepeda ia parkirkan, lalu tak jauh dari situ, ia duduk bersila. Aku duduk di sampingnya, terus menatapnya dongkol, berharap ia tahu, bagiku idenya kali ini sama sekali tidak cemerlang.

Usut punya usut, Dicky malah tambah cuek. Ia bahkan tidak melihatku sama sekali.

Aku menghela napas, pasrah. Karena rumahku masih jauh dari sini, lebih baik aku nurut aja sama sopirnya.

“Kita ngapain sih di sini?”

“Nongkrong,” jawabnya enteng. “Lihat yang ijo-ijo aja dulu, kali aja lo tenang.”

Aku memutar bola mata .Dicky tidak merespon. Yang tenang melihat yang ijo-ijo rupanya dia, bukan aku.

“Lo kenapa nggak masuk, tadi?”Aku membangun pembicaraan.

“Sakit flu.”

“Trus kenapa lo tiba-tiba di sekolah tadi?”

Butuh dua detik bagi Dicky diam baru menoleh padaku, lama sekali ia menatap mataku. Aku menunggu jawabannya, tapi setelah ia memalingkan muka lagi ia tak bicara apapun. Apa jawabannya sudah ada tapi tidak secara lisan, tapi secara tersirat lewat matanya tadi? Tapi kalau dipikir-pikir, tak ada makna yang menumpangi matanya tadi. Ia memang hanya menatap, bukan mau menjawab.

“Dick?”

Hingga lama, tanpa respon.

Aku menghela napas, berusaha mengutarakan keherananku yang lain lagi. “Trus tadi kenapa lo bawa mobil? Trus nganterin gue pulang pake sepeda...”

“Oh, lo mau dianterin pake mobil?” potongnya, skeptis.

“Bukan gitu,” kataku kalem. “Habis gitu kan kita ke rumah lo, yang deket banget ama sekolah. Ini yang jaraknya jauh make sepeda, kan...”

Tanpa kusangka, Dicky menoleh cepat dan mendekatkan wajahnya padaku. Air mukanya keras, seperti risih ditanya-tanya. Badanku sampai condong ke belakang, ngeri ngeliatnya.

“Trus lo mau gitu sepanjang perjalanan ke rumah gue meski deket penampilan lo kayak roti belom mateng?”

Aku manggut-manggut, keburu ngeri daripada mengerti.

Dicky menghadap ke depan lagi. Sebenarnya masih ada lagi yang perlu kukatakan... ah, nggak perlu deh. Tapi... ah, nanti dia kayak gitu lagi. Tapi...

Takut-takut, aku kembali bersuara. “Be-berarti... itu artinya... lo... tahu kalau gue mau dikerjain Mela?”

Bahasa tubuh Dicky mengeras, tapi ia berusaha tenang. Wajahnya kaget, tapi berusaha ia tutupi. “Udahlah.Yang perlu lo lakuin sekarang cuman bersyukur dan bilang terima kasih ke gue!” katanya, pedas.

Aku nyengir, menatapnya ngeri. Lalu, kentara nggak ikhlas berkata, “Terima kasih.”

Ia diam saja.

Aku mengambrukkan diri ke rumput. Melihat langit sore dengan matahari yang tidak terlalu terik. Melihat matahari, mau tidak mau aku harus mengingat yang satu itu. Atau lebih tepatnya, yang dua itu. Arya dan cowok misterius penyuka matahari terbenam.

Air mata mengalir begitu saja dari pelupuk mataku.

Sebenarnya aku bingung untuk apa aku menangis. Kenangan tentang Arya? Sudah berbulan-bulan bahkan aku tidak pernah memikirkannya lagi. Karena... karena...

Tangisku makin kencang.

Tidak ada hal yang kutangisi. Tidak matahari, Arya, cowok misterius, Mela dan cicit-cicit, atau apapun. Aku hanya butuh menangis. Mungkin kau pikir aku aneh nggak ada angin nggak ada hujan nggak ada petir nggak ada halilintar, nggak ada Superman lewat bisa-bisanya aku menangis. Entahlah, ada penemuan baru rupanya kalau menangis kini sebagai kebutuhan, bukan curahan rasa. Ah! Tak usah banyak komentar! Aku lagi mau menangis aja!

Entah mengapa, Dicky menoleh padaku. Ia kaget melihatku yang tidak ada angin, tak ada hujan, dan bla bla bla (sudah ditulis di atas). Kutatap ia balik, masih dengan mata yang basah.

“Lo kenapa tiba-tiba ada di sekolah tadi trus bawa mobil?” tanyaku merengek, mengacuhkan matanya yang bertanya.

Dicky melotot, tapi ia menjawab dengan tenang. “Kan gue udah bilang kalau gue pahlawan kesiangan.”

Aku menyipitkan mata, curiga dan tidak percaya. Dicky angkat bahu lalu ikut berbaring di sampingku.

Aku menyedot ingusku, dan kulihat ia mengangkat alis. “Lo ketularan pilek gue?”

Aku tidak menjawab.

“Nal, lo nangis gara-gara gue nggak ngejawab pertanyaan-pertanyaan lo itu?”

Lagi, aku tidak menjawab.

Ia menghembus napas pelan. “Nal, pasang lagu ya,” katanya. Aku tidak tahu bagaimana caranya MP3-ku nyasar di kantongnya sekarang. Ia membagi earphone denganku, memilih lagu. Intro lagu yang familier masuk ke telingaku.

Lalu Dicky diam ikut mendengarkan, sambil memandang langit bersih nyaris tanpa awan. Tapi kemudian suara gemuruh datang dan pesawat melintas di langit yang kami pandangi.

Pandanganku kosong mengikuti ekor pesawat. “Pesawat itu menjengkelkan ya.”

Dicky melirikku. “Kenapa?”

“Pesawat itu membawa pertemuan juga perpisahan. Kata orang, mengapa ada pertemuan kalau ada perpisahan...”

“Lo kenapa jadi melankolis begitu sih, Nal?”

Aku diam saja.

Sayonara, kau bisikkan
Ekspresimu saat itu
Sinar mentari tak sampai
Cinta itu tlah layu dan gugur...

Mendengar kalimat terakhir itu, sekelebat wajah Arya tiba-tiba melintas. Tanpa kuingin, tanpa kukehendaki, tanpa tedeng aling-aling air mataku malah menderas. Kurasakan Dicky makin salah tingkah karena tangisku makin kencang.

Jejak pesawatnya di langit, garis putih lurus memanjang
Perasaan siapa yang, masih ada
Tanpa mampu menoleh ke belakang

Jejak pesawat sewaktu-waktu, seperti cakar tajam menusuk
Meninggalkan bekas tipis, luka baru
Dengan tatapan kosong diriku memandang...

Dicky melumatku dengan tatapan tajamnya, seolah menyuruhku berhenti menangis. Apa peduliku? Siapa suruh mengajakku kemari. Tujuanku pulang cepat-cepat kan untuk menangis di rumah!

Suatu tempat, kita berdua
Mungkin kan bertemu lagi
Karena di tempat kenangan
Terlalu banyak orang-orang...

Jantungku melonjak saat seseorang tiba-tiba berteriak. Dan ternyata suara itu berasal dari sebelahku.

“Cinta itu jejak pesawat, satu gores kuas yang tipis. Ke hari kita tak dapat kembali.Dengan sedih tak dapat melangkah majuuuuu. Seperti jejak awan pesawat, bak sembunyikan air mata,” Dicky menoleh dan tersenyum penuh makna padaku. “Jauh aku rentangkan, tangan kanan,” iamengangkat tangan kanannya, seolah ingin meraih angkasa. “DIRIMU YANG TELAH MENINGGALKAN KESEDIHAAAAANNN!!!”

Ampun, Dicky sadar nggak sih kalau teriak begitu suaranya fals berat? Tetapi ekspresinya yang mendayu-dayu itu mau tak mau membuatku tertawa.

“Nah, gitu dong, ketawa,” katanya, mengusap air mataku dengan ibu jari. “AYO SEMUANYA, NYANYI SAMA-SAMA!!”

Semuanya? Stres kali, orang nggak ada siapa-siapa. Tapi toh aku ikutan stress juga, dan bangga karenanya.

“Jejak pesawatnya di langit...”

“Garis putih lurus memanjang...” sambungku.

“Perasaan siapa yang, masih ada...”

“Tanpa mampu menoleh ke belakang...”

Setelah bersahut-sahutan begitu, kami bernyanyi bersama.“Jejak awan pesawat cinta, bagai mengejarnya dari belakang.Walau sedih terlambat. Terdengarnya suara pesawat di langit dan tangisan. Jejak awan pesawat, bak sembunyikan air mata. Jauh aku rentangkan, tangan kanan, dirimu yang telah meninggalkan kesedihan...”

Dicky bangkit duduk, menatapku. Kesenangan meletup-letup terpancar dari wajahnya. “Lega?”

Aku tersenyum lalu mengangguk perlahan.

Dicky mengusap puncak kepalaku dengan lembut, lalu beranjak berdiri. Ia mengulurkan tangan untuk membantuku. Sebelum aku naik di sadel belakang sepedanya, ia meremas tanganku sejenak.

Lewat itu iamembuatku menatapnya. Saat itu juga, hap! Ia menangkap mataku dan tidak melepasnya. Begitu terus hingga kurasakan sinar oranye merambat turun merayapi kami. Matahari terbenam.

Deg! Jantungku mengejang.


 @anggianab #CerbungKinalProject 


Cerita Selanjutnya: [Matahari Milikku] #19. Bening Cahaya Matahari

Komentar