[Matahari Milikku] #17. Otanjoubi Omedeteu


Beby memberitahu Naomi kalau aku hendak menyampaikan sesuatu padanya namun tanpa Mela, pada jam istirahat pertama di salah satu bagian tersepi sekolah–area parkir belakang yang gelap dan kumuh. Kupilih Naomi karena pikirku dia wakil dari Mela langsung. Tapi ternyata yang akan bernegosisasi denganku adalah Acha, sedang Naomi berdiri anteng di sebelahnya. Aku datang bersama Melody–rada kaget juga mereka mau memenuhi permintaanku–sedangkan Ayen membawa Mela sibuk sendiri di kantin sehingga tidak mencurigai dua anak cicitnya yang hilang.

Sampai aku di depan mereka, Acha menyilangkan tangannya. “Ada apa?” tanyanya dingin.

Sempat terpikir olehku untuk menyesali tindakan ini, tapi kalau menyesali pun, memang aku punya alternatif lain? Aku bahkan belum memikirkan apa-apa saja yang hendak kukatakan, sambutan pidato bagaimana yang harus mereka dengar, dan bagaimana antisipasiku kalau mereka menangkap aura bersalah dariku. Bahwa aku melakukan hal ini untuk mundur dari acara yang disebut mereka kompetisi. Cih, aku ingin meludahi wajah mereka satu persatu.

“Gue denger dari Beby kalian mau ngadain pesta kejutan buat Mela. Beby, Shania, Viny, Ayana, diundang buat nyanyi lagu ulang tahun. Kalian buka lowongan lagi?”

Semua wajah di tempat ini terkesiap kecuali Melody. Aku sendiri juga heran dengan apa yang kukatakan.

“Lo mau apa?” tanya Naomi galak.

Slow down,” pintaku berusaha santai dan mengulaskan senyum. “Gue...”

“Lo pasti ngerencanain sesuatu kan buat ngancurin acara yang bakal kami buat??” bentak Naomi, salah satu kakinya maju selangkah, dan saat itu juga tangan Acha terentang untuk mencegah. Naomi melayangkan protes lewat matanya, namun Acha tak menanggapi. Ia terus menatapku serius.

Akhirnya, meski kelihatan banget nggak ikhlas Naomi mundur selangkah lagi. Tangan Acha disilangkan lagi. “Jadi lo mau ikutan nyanyi juga? Berpartisipasi dalam acara kami?”

Sekarang logatnya mirip moderator diskusi. “Seperti itulah...”

“Apa tujuan lo?” potong Acha tajam.

Bahuku melorot. Gengsi, gengsi, gengsi. Sudahlah Kinal, adakalanya mengalah bukan berarti kalah. “Gue benci kompetisi yang kalian buat. Kalau Mela mau ambil Dicky, terserah gue nggak menghalangi. Gue bukan emaknya. Gue rasa dia salah paham...”

“Apa dengan begitu lo bisa nyembuhin luka Mela akibat perkataan lo?” tanya Naomi, suaranya lebih tenang.
Aku diam sebentar. “Gue... dengerin dulu. Tujuan gue ikutan kalian bikin pesta kejutan buat dia untuk minta maaf. Minta maaf udah nyulut dia dan minta menyudahi kelakuan kekanakan ini. Soal perkataan gue waktu itu yang nyulut adanya permusuhan beginian... nggak akan gue tarik...”

Acha, Naomi, Melody, membelalakkan matanya.

Aku mengangkat bahu, berusaha tenang dengan atmosfer permusuhan yang sedang dibangun kedua orang di depanku. “Memang begitu pendapat gue tentang dia sejak awal gue ketemu dia...”

“Tapi...”

Lagi-lagi tangan Acha terentang untuk Naomi. “Itu urusan lo ama Mela lah. Gue nggak mau tahu,” jawab Acha. Naomi menatapnya tajam tersirat apa-ini-namanya-temen? Tapi kayaknya sedari tadi Acha nggak anggap Naomi ada. “Untuk permintaan lo satu itu kami harus diskusi dulu, bareng Ayen dan tim sukses kami lainnya”–tim sukses macam pemilu ye?–“jadi kita nggak bisa jawab sekarang. Ntar gue kabarin lewat Beby.”

Setelah itu mereka berdua pergi begitu saja tanpa pamit. Hore aku digantungin.

***

Sepulang sekolah, Beby berlari ke kelasku dan berkata kalau pihak Acha menyetujui permintaanku. Aku diminta datang ke rumah Ayen malam nanti untuk rapat. Katanya, Melody juga boleh ikut.

Malamnya kami datang ke rumah Ayen. Rapat berlangsung dua jam lebih yang harus kuterima kalau aku sebenarnya dianggap nggak ada. Keberadaanku di sini mungkin hanya keterpaksaan. Semua yang hadir di sana dimintai pendapat kecuali aku. Melody? Kecipratan aku lah, dikarenakan dia dulu juga pernah menjambak rambut Ayen.

Rapat itu menghasilkan teknisi acara yang akan diadakan di aula olahraga. Undangan sudah disebar, aku pun ikut menyebar. Caranya dengan bisik-bisik tetangga dan mengancam jangan membocorkannya pada Mela. Seharusnya acara ancam-mengancam begini kan kerjaan para cicit itu, tapi malah ditumpahkan padaku. Kurasa aku tahu alasannya. Sebelum mengaku bersalah pada Mela, aku mengaku dulu pada semua orang.

“Bukannya kalian musuhan? Kok lo nyebarin berita ini seakan dukung sih?” Atau, “Lo nyerah, Nal?” Atau, “Lo berubah pikiran?” Atau aku penakut lah, nggak konsisten lah, dan sebagainya. Semua pernyataan itu kutanggapi dengan senyum ikhlas saja.

Dan akhirnya, tibalah hari H...

***
Aku tiba di sekolah pada jam 6 pagi. Disuruh dateng jam segitu padahal acaranya kan mulai jam delapanan. Saat tiba, aku baru tahu siapa saja yang disebut Acha sebagai tim sukses acara kejutan ini. Selain cicit-cicit itu, para guru juga ikutan! Bahkan kayaknya ada susunan panitianya juga lhoo... Ini pasti permintaan khusus dari bokapnya Mela.

Aku dan sesama penyanyi ulang tahun lainnya diajak ke aula olahraga. Ruangan itu ternyata sudah rampung didekor sedemikian rupa. Meja-meja sudah ditata untuk hidangan. Segala sound system–ada peralatan DJ juga, benar-benar party–sudah siap dan tinggal eksekusi. Yang kurang di sini mungkin para undangan dan kue besar nan elegan. Pikirku sih, pasti kuenya, yah, maksimal enam tumpuk deh.

Sebelum bel masuk, kami yang bertugas pada hari itu brifing sebentar. Membuatku sedikit iri, seperti ulang tahun orang besar aja. Rencananya selepas jam 8 nanti sekolah dibebaskan dari pelajaran. Duh, udah kelas tiga begini malah kebanyakan jam kosong. Tapi para guru itu lebih nggak sanggup nggak menerima permintaan bokapnya Mela dari pada nggak sanggup lihat siswanya nggak bisa menguasai pelajaran dengan baik.

Lalu, beginilah rencana pesta kejutan ini...

Sekitar jam delapan nanti kelas Mela ada pelajaran olahraga. Tapi mereka nggak menggunakan aula olahraga, tapi lapangan basket sekolah. Tentu hal ini juga berkat kesepakatan dengan guru olahraga anak IPS. Setengah sembilan, semua undangan diharap sudah ada di aula olahraga, kecuali segelintir teman sekelas Mela, agar tak menarik kecurigaan. Mereka baru diperbolehkan masuk aula olahraga ketika Naomi dan Ayen sukses menutup mata Mela dengan kain dari belakang. Selanjutnya dengan mata tertutup Mela dipaksa masuk ke aula olahraga, dengan cara dirancang seperti diseret–biar ada kesan kasarnya gitu. Begitu Mela masuk, sesuai dengan aba-aba Bu Indah sebagai sie acara, Beby diminta menghitung mundur dan Naomi atau Acha membuka kain penutup mata tersebut. Tepat pada saat itu, para penyanyi mulai melantunkan lagu selamat ulang tahun.

“SIAPA NIH???!!!!” teriak Mela saat Ayen berhasil menutup matanya dengan kain. Naomi mengibaskan tangannya, menyuruh teman-teman sekelasnya masuk aula olahraga.

Ayen mencekal kuat lengan Mela, tanpa suara, menggiring Mela berjalan ke aula olahraga.

“Aduh, gue mau dibawa ke mana? Heh, kalian siapa? Mau nyulik gue?? Berani amat lo nyulik gue di sekolah?? Banyak orang tahu di sini... Heeeiiii!!! Teman-teman tolongin guee!!!!” Mela menjerit histeris, suaranya kedengeran sampai aula olahraga padahal jaraknya dengan lapangan lumayan jauh.

“Kalian siapa? WOY KALIAN TULI???”

“Siapa sih nih? Kinal ya? Kalian suruhan Kinal? Heh, cewek kecentilan, lo mau coba nyulik gue? Oh, jadi gini cara lo mau menang dari gue? Busuk!”

Teman-teman di aula olahraga kompak nyengir mendengarnya. Aku sendiri ikutan nyengir. Dan... berusaha setenang mungkin.

Selanjutnya masih banyak sumpah serapah Mela lainnya. Hingga mendekati aula olahraga, kayaknya Mela nyerah.

“Dicky... tolong... gue diculik...” katanya, suaranya bergetar.

Kenop pintu aula diputar, Bu Indah menyuruh semuanya bersiap, terutama kami, para penyanyi. Begitu pintu dibuka, ketiganya ada di sana, Ayen dan Naomi masih mencengkram tangan Mela kuat-kuat. Sementara pelipis Mela basah keringat dan pipinya dialiri air mata.

Ketiganya berhenti di tempat yang telah ditentukan, yaitu serong kanan dari meja kue tart lima lapis yang tingginya bahkan melebihi tinggi Mela sendiri. Bu Indah mengacungkan jempolnya pada Beby. Beby mendekatkan mulutnya pada mikrofon, berhitung mundur dari lima sampai satu. Mendengarnya, ekspresi Mela berubah.

Hitungan terakhir terdengar, kami mendekatkan mulut ke mikrofon. Bersama dengan musik yang mengalun. Naomi melepas kain penutup mata, terlihat mata Mela mengerjap sebentar beradaptasi kembali dengan cahaya. Matanya basah.

Kami menyanyikan lagunya JKT48 yang berjudul Namida Surprise. Artinya seperti air mata kebahagiaan gitu.

Happy happy Basuday
Lilin yang di atas kuenya
Sekali tiup, matikan semuanya
Ayo dimulai pesta hanya untuk dirimu!

Happy happy Basuday
Rencana telah berhasil
Ulang tahunmu, sudah pasti diingat
Kawan-kawan sebanyak ini semua bernyanyi untukmu!
Di pipimu ada, Namida Sapuraizu

Happy birthday to you... Happy birthday to you...
Happy birthday dear my friend...
Happy birthday, to you...

Happy happy Basuday
Kami ucap good luck untukmu
Serentak ucapkanlah “Selamat ya!”
Dengan sepenuh cinta “Selamat ya!”

Happy happy Basuday
Kami ucap good luck untukmu
Ayo peluk erat “Selamat ya!”
Terakhir sekali lagi “Selamat ya!”

Selamat ulang tahun!!!

Mungkin untuk pertama kalinya aku melihat senyum tulus di wajah Mela. Air matanya mengucur deras lagi dan ia mengucap terima kasih.

Tugasku selesai. Entahlah, apa yang terjadi selanjutnya dan apakah harapanku bakal terwujud. Memang Mela tadi benar-benar kaget melihatku ikut menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Semoga ia tidak menyalahartikan.

Otanjoubi omedeteu, Mela.

***

Sebelum tiup lilin, ada ungkapan terima kasih dari Mela. Ia berbicara dengan mikrofon dengan suara tersendat-sendat, masih saja menangis. Di sebelahnya, ayahnya merangkul bahunya dan mengusapnya agar tenang. Alhasil ungkapan terima kasih terucap kacau balau, karena Mela belum bisa menahan tangis.

Setelahnya, ungkapan terima kasih dari ayah Mela. Tak kuduga suara beliau begitu berwibawa. Lalu Mela diminta mengucap permohonan doa sebelum lilin ditiup. Diiringi tepuk tangan, kue dipotong. Setelahnya acara bebas, jadi hadirin menyerbu hidangan segera. Mungkin panitia agak menyesal mengundang cacing-cacing kelaparan (baca: teman-teman sekolahku) ke sini. Ada beberapa menyalami Mela langsung. Ada juga yang memberi kado, juga para cicit itu yang heboh sekali. Mereka berpelukan, Mela sejenak mengumbar sumpah serapahnya lagi, namun kemudian senyum itu muncul lagi. Ia banyak-banyak bilang terima kasih pada para sahabatnya itu.

Ketika acara berlangsung satu jam, aku yang sedang ngobrol dengan Shania merasa ada yang aneh. Aku mengusap tengkukku karena tiba-tiba merinding. Aku menoleh ke segala arah, dan menemukannya. Ternyata aku sedang dipandangi.

Ketahuan, dengan malu-malu dan kelihatan sekali ia menahan gengsinya kuat-kuat, Mela berjalan padaku. Ia tersenyum, agak kaku.

“Terima kasih banyak ya, Kinal! Gue nggak nyangka lo mau ikutan bikin kejutan buat gue!” katanya sambil menyalami tanganku.

Aku jadi salah tingkah. “Ee-eeh, iya. Sama-sama.”

“Eeeeng... Sebagai tanda terima kasih, lo mau kan di samping gue selama acara ini berlangsung?”

Gubrak! Bilang aja dia mau jadiin aku babu menerima hadiah-hadiahnya! Tapi toh aku menerimanya.

Sekian lama di samping Mela, aku merasa takjub dengan kerapihan kerja “tim sukses” pesta ini. Lumayan banyak yang memberi kado untuk Mela, dan mereka membawa barang-barang yang ukurannya beraneka ragam itu ke sekolah pagi ini tanpa diketahui oleh si empunya acara. Tak disangka pula, meski seperti yang aku tahu lumayan banyak yang membenci Mela mereka mau melakukan ini. Hm...

Saat lama menunggu ada yang datang memberi selamat dan kado lagi, aku melihat Dicky dari kejauhan. Ia membawa satu kotak ukuran sedang berwarna merah marun. Tapi... ada yang aneh. Ia berjalan agak sempoyongan. Wajahnya juga pucat. Sakit?

Kudengar kesibukan asing di sampingku. Ternyata tidak hanya aku yang melihat Dicky, karena Mela sedang merapikan diri.

Keluar deh sifat aslinya.

Mungkin aku dan Mela sama berdebarnya ketika Dicky mendekat. Setelah selangkah lagi, Dicky mengulaskan senyum lembut. Mela tersipu-sipu. Aku malah nyengir, menyembunyikan rasa kalah yang perlahan menyusup. Tapi tanpa kusangka Dicky berhenti tepat di depanku. Senyumnya masih menggantung, mengirim sinyal bahwa senyum barusan masih di tujuan yang sama. Yaitu, aku.

Sedetik kemudian Dicky berhasil merengkuhku dalam pelukannya. Mela melotot dan melongo maksimal. Dicky menepuk-nepuk kepalaku dengan lembut sambil berbisik, “Selamat ulang tahun, ya.”

GUBRAK!!

Aku segera melepaskan diri. “Dick, yang ulang tahun itu Mela! Bukan gue!”

“Oooh,” jawab Dicky tenang. Anehnya, aku tidak menangkap ekspresi rasa bersalah pada wajahnya. Lalu ia menoleh, memandang Mela. Mela langsung ganti ekspresi dan kembali merapikan diri. Dicky tersenyum dan bergeser dariku pada Mela. Sudut bibir Mela tertarik tajam ke atas. Ia siap merentangkan tangan, menyambut pelukan...

Hap! Dicky menangkap salah satu tangan Mela yang terentang untuk disalami. “Selamat ulang tahun ya, Mel.”

Aku melipat bibir kuat-kuat. Memperhatikan adegan itu setengah tersenyum, setengah meringis, setengah mengumpat.

Senyum Mela pudar. Terganti dengan senyum yang jelas dipaksakan.

“Ini, gue cuman bisa kasih ini,” Dicky menyerahkan kotak merah marunnya. “Semoga panjang umur ya, makin dewasa juga. Trims.”

“Iya, terima kasih.”

Sepeninggal Dicky, belum habis tertawa tertahanku dan keherananku, Mela segera membalikkan badannya, membuat selera humorku hangus.

“Gue tarik kata-kata gue! Lo tetep perusuh hubungan gue ama Dicky!!!”

***

Mela menjerit sejadinya. Alunan musik dari operator terhenti. Semua mata tertuju pada kami. Hal itu membuatku panas dingin.

Mela, meruntuhkan semua ekspresi malaikatnya hari ini, garang menatapku. Ia frustasi. Tangis bahagianya yang membekas kini tak berarti apa-apa bagiku. Juga usaha yang kulakukan hari ini, maaf itu gagal aku dapatkan.

Klap! Terdengar suara pintu aula ditutup. Sialan, Dicky kabur gitu aja.

Dan sekarang, wajah di depanku itu bahkan lebih menyeramkan daripada wajahnya saat datang padaku seusai dia ikutan lomba cover dance. Tangis Mela pecah lagi, lalu tangannya terentang, tanpa sempat aku antisipasi ia menjambak rambutku kuat-kuat.

Suara gemerisik terdengar, ternyata ayah Mela yang berusaha menarik tangan anaknya dari rambutku. Mela nggak nurut, ayahnya berusaha membujuknya. Hadirin yang menonton ikutan panik dan bingung. Apa dalam susunan acara ada pegelaran drama yang berjudul anak tiri?

Semua suara lenyap dalam telingaku. Aku kepalang malu. Disaksikan juga lebih dari sepuluh guru, acara ini hancur. Sebelum menerima cerita sebenarnya pasti semua tuduhan kerusakan ini mengarah padaku. Mataku berkaca-kaca. Setelah sukses melepaskan tangan anaknya, ayah Mela membawa anaknya yang masih meronta-ronta itu keluar dari aula. Klap! Pintu aula ditutup lagi.

Dia yang hari ini berulang tahun, dia yang hari ini bertambah usianya, ternyata masih kekanakan. Untuk hal itu, aku kecewa.

Setelah beberapa saat hening, Bu Indah menyampaikan pengumuman lewat mikrofon. Karena hidangan masih lumayan banyak tersisa, acara dilanjutkan meski pemeran utama dibawa ayahnya pergi, entah ke mana. Terdengar sambutan ricuh dari semua. Huh, dasar cacing. Sepertinya mereka nggak ambil pusing soal kejadian barusan, yang penting bisa makan gratis.

Sedangkan para cicit itu ngedumel sendiri, yang pastinya melimpahkan kekesalan mereka padaku. Dengan rambut dikibaskan mereka ikut keluar aula, mengejar Mela. Klap!

Bu Indah menghampiriku dan bertanya apa yang terjadi. Aku menjelaskan dengan napas sesak. Setelah tahu, senyum jail wanita paruh baya itu terentang. Lalu, seperti para hadirin, kayaknya dia juga nggak ambil pusing. 

Tapi aku bisa melihat kekecewaan dalam matanya.

Kemudian, di sudut paling sepi aula olahraga, aku duduk sambil dirangkul Melody. Menangis.

***

Daniel membalikkan badan, memunggungi apa yang baru saja dilihatnya. Dua cewek yang duduk di pojokan, yang satu menangis keras.

Daniel merogoh saku seragamnya, mengeluarkan ponsel, dan mengetik sebuah nomor dengan tenang. Didekatkannya ponsel dengan telinganya.

“Halo?” Suara sebrang begitu lemah terdengar.

“Lo di mana?”

“Di rumah.”

“Lo sengaja ya, meluk Kinal?”

“Hah?”

“Nggak mungkin lo lupa ini acara ulang tahun siapa. Kalo mau berbuat sesuatu dipikir dulu dong.”

“...”

“Fatal nih. Mela jambak rambut Kinal...”

“...”

“Mela kayak orang gila. Trus bokapnya bawa dia pergi.”

“Acaranya brenti?”

“Nggak. Mubazir dong hidangannya.”

“... Kinal...?”

“Dia nangis. Deres banget air matanya. Gue udah perhatiin dari tadi dan...” Sejenak Daniel menoleh ke belakang. “...sampai sekarang belum brenti.”

“...”

“Lo sakit?”

“...”

“Ini bener-bener fatal, Dick. Ngaku ke gue kalo lo sengaja!”

“Emang.”

“Lo cari mati? Lo kayak nggak tahu sifatnya Mela aja. Dan lagi, lo lakuin itu di depan matanya. Parahnya lagi, ini hari ulang tahunnya! Lo tahu nggak sih apa arti ulang tahun bagi para cewek??”

Di sebrang, Dicky menyahut tertawa pelan. “Lo bener-bener pakar cewek.”

“Tutup mulut lo! Ini nggak bercanda! Ini serius!!!”

“...”

Daniel menghembus napas pelan. “Ini acara ada bokapnya juga. Lo nggak memperhitungkan akibat yang diterima Kinal??”

Hening sejenak.

“Gue pastiin, Kinal nggak akan kenapa-kenapa.”

Tapi Daniel sudah terlanjur kecewa. Dicky masih mengambil tindakan seenaknya, tanpa dipikir dulu.

“Gue coba telpon dia.”

Klik! Sambungan diputus.

Daniel bersandar pada tembok aula di belakangnya. Beberapa saat kemudian, terdengar suara ponsel. Sumbernya dari kedua cewek yang masih duduk di pojokan itu. Kinal melihat layar ponselnya. Tapi ia malah meletakkan ponselnya di meja, melanjutkan tangisannya. Ponsel itu dibiarkan menjerit-jerit dan bergetar disko, hingga tiga kali.


Setelahnya ponsel Daniel yang berbunyi. Belum sempat Dicky bicara Daniel berucap dengan nada sarkastik. “Gue setuju dia nggak angkat telpon lo...”


Komentar