[Matahari Milikku] #22. Matahari Terbit dan Terbenam




Aku berlari, terus berlari hingga nyeri betisku tidak kuhiraukan. Langkahku kelewat keras menggema di sepanjang koridor yang kulalui, koridor mereka yang sedang belajar, sampai-sampai mereka tersentak dan mengalihkan wajah ke jendela untuk melihat. Bahkan salah satu kelas ada yang gurunya sampai keluar hendak mendampratku tapi aku sudah kelewat jauh, jadi ia hanya berteriak marah dan mengacungkan tinjunya.

Nyaris sudah setengah sekolah kuputari dua kali, namun menghindari toilet cewek, tempat si matahari terbenam masih di sana dan kelasku sendiri. Aku tidak mau meski lariku kencang mereka akan tahu ini diriku, yang tersengal mencoba menyumpal sampah-sampah masa lalu ke dimensi lain, yang wajahnya tak keruan dan berlari terus tanpa arah, karena mataku penuh dengan air mata, tidak bisa menentukan tujuan yang pasti.

Akhirnya langkah kakiku membawaku menaiki undakan tangga. Tangga menuju lantai dua biasanya sudah cukup melelahkan, tapi kini aku hanya ingin berlari hingga bahkan sampai ujung dunia, lubang hitam luar angkasa, atau keluar dari galaksi bimasakti, apapun, yang bisa membuatku benar-benar sendiri. Hingga akhirnya tak ada lagi yang bisa kunaiki, mentok keatap lantai empat sekolah yang lapang. Untung tidak ada siapapun di sana.

Aku membungkukkan badan, semua aspek berebutan ingin masuk dalam diriku. Perasaan nano-nano; kesal, sedih, marah, kecewa, bercampur dengan kondisi fisik; betis pegal sampai bengkak, paru-paru sesak, tenggorokan kering, hati compang camping tidak bisa menemukan jalan untuk bersatu lagi. Berserakan di mana-mana, terlalu hancur. Semua aspek itu menderaku tanpa ampun, hingga rasa-rasanya aku ingin pingsan saja.


Aku duduk memeluk lutut, terus menangis hingga puas. Mungkin sebagian orang akan bilang aku berlebihan, dibohongi saja seperti ini apalagi dikhianati? Aku ingin berkata dibohongi dan dikhianati itu beda tipis tapi... ah terserahlah. Terserah apa kata orang aku hancur hanya gara-gara dibohongi. Tapi kalian harus tahu, semua ini ada hubungannya dengan masa lalu. Kalau kalian bilang aku cengeng dan payah masih dibebani masa lalu, terserah.

Kedua orang itu... Mendadak kedua sosok mereka hadir dalam gelap pandanganku karena aku memejamkan mata. Si matahari terbit dan matahari terbenam, keduanya ternyata satu batang dalam pohon keluarga. Si matahari terbit hilang entah ke mana, setelah membuat kisruh perasaanku. Si matahari terbenam datang, menawarkan sebentuk cinta yang berbeda yang membuatku lupa akan si matahari terbit. Namun sejatinya matahari terbenam ada karena matahari terbit, keberadaannya memang selalu berhubungan. Ia melemparku menuju garis katulistiwa sementara keduanya ada di timur dan barat, membuatku terdesak. Sejuta skenario diciptakan si matahari terbenam dibumbui kebohongan demi menutupi jati diri seorang matahari terbit di belakangnya, membuatku sakit hati.

Keduanya itu sekarang tersenyum dalam bayanganku. Bukan senyum mengejek tahu aku menangis tersedu-sedu di sini. Senyum mereka sehangat matahari, tapi keduanya jelas berbeda. Si matahari terbit yang dulu merupakan sumber semangatku, hangatnya hanya samar kurasakan. Ia kelewat basi dan karatan, karena sekarang aku sudah menuju detik-detik di ujung hari, meninggalkannya jauh. Dalam visualisasi itu senyum Arya melemah ketika kukatakan ia basi dan karatan. Tidak Arya, aku sudah berjalan, tidak terbelenggu terus dalam lubang bayanganmu menikmati matahari terbit. Waktu tidak selamanya berhenti.

Yang satunya lagi, hangatnya sampai menembus kalbu. Ia kelewat kuat nyaris membuatku melayang dan betah karenanya. Semburat jingga senja membuatku jatuh cinta. Dicky tertawa makin lebar sampai-sampai rasanya kedua ujung bibirnya menyentuh kedua telinganya. Iya Dicky, aku tahu. Aku sudah terjebak dalam buai jingga matahari terbenam sejak pertama kali aku bertemu denganmu.

Ketika itu kulihat kedua sosok itu mendekat satu sama lain. Mereka berangkulan bahu, terlihat akrab.Aura yang mereka ciptakan membuatku tahu keakraban mereka lebih dari sekedar teman. Mereka sahabat. Tidak, lebih buruk, lebih buruk lagi. Mereka... saudara sepupu...

Aku membenamkan wajahku lebih dalam lagi.

Matahari tengah hari di atasku sedang getol-getolnya ingin membuat orang-orang bumi kepanasan. Ia ingin tunjukan betapa agungnya ia, mengingatkan orang-orang bumi meski kau kepanasan, kau tak bisa hidup tanpa dia.

Dalam hati aku mengamini. Iya terus, terus kobarkan sinarmu, wahai matahari. Bahkan kalau perlu, panggang aku sampai gosong. Dan panggang kenyataan yang mengganggu diri ini; aku cinta mereka berdua.

***

Separo jiwa, Dicky mengerahkan seluruh tenaga untuk membuat paru-parunya berfungsi. Juga untuk menopang kaki ini untuk terus berdiri.

Separo jiwa, Dicky bersender payah di dinding dekat toilet cewek. Sudah setengah jam berlalu sejak cewek matahari pergi menangis meronta dari sana. Buku agenda kesayangannya ia pegang erat-erat. Hatinya hancur lebur, kepingannya berceceran tak tentu di mana rimbanya, macam asteroid di luar angkasa. Dan Dicky tidak tahu bagaimana ia bisa menyatukannya lagi demi menghadapi hari kalau cahaya itu benar-benar hilang. Cahaya cewek matahari.

Sejam berlalu, istirahat untuk kelas sepuluh dan sebelas. Banyak orang berlalu lalang di depannya, terlebih siswi-siswi yang hendak ke toilet. Beberapa merasa ragu menyampaikan niat ke toilet karena ada cowok payah berdiri di dekatnya. Seharusnya kalau diperhatikan baik-baik, Dicky tidak akan bergerak barang semili pun. Tubuhnya terlalu kaku. Separo jiwanya dibawa pergi.

Dua jam, sekolah senyap. Dicky memutuskan untuk berkeliling mencari. Tidak ada di manapun, sang dewi matahari hilang. Dicky sudah mendongak menatap matahari untuk bertanya, tapi benda bulat kuning itu hanya diam. Sepertinya ia ikut menyembunyikan si dewi matahari.

Tiga jam, Dicky sudah menunggu tiga jam. Namun ia takkan menyerah.

Empat jam...

Lima jam...

Dicky menghela napas lesu. Ia bangkit dari duduk, menatap sekeliling pelataran parkir belakang sekolah, tempat tersepi. Ia melenggang tanpa semangat menuju kelasnya. Beberapa menit lagi sekolah akan bubaran. Ia berharap bisa menemukan dewi matahari di kelas, maupun tasnya hilang karena ia sudah pulang, tak apa. Dicky akan berangkat menuju ke rumahnya setelah itu.

Kelas senyap. Hanya ada Jeje, Ayana, Melody, juga Daniel. Satu-satunya cowok di kelas itu duduk memojok di kelas membaca buku. Ada peluh di pelipisnya, mungkin ia sempat berlari-lari mencari Dicky. Penyesalan Dicky tambah dua kali lipat.

Saat tahu Dicky masuk kelas, Daniel langsung berdiri antusias. Pun cewek-cewek itu, mereka semua memandang Dicky. Dicky berhenti, merasa tak sanggup melanjutkan langkah. Daniel dan Melody menghampirinya.

“Mana Kinal? Kalian berdua kenapa??” tanya Melody bertubi-tubi. Panik, ia panik. Skenario terburuk sedang tersusun dalam pikirannya. Dicky hanya diam.

“Lo... jangan! Kalian berdua berantem kan? Tadi lo marah-marah begitu pasti... Kinal! Dia pasti kenapa-kenapa! Mana dia? Mana diaaa??” Melody berseru kencang mengguncang bahu Dicky. Yang ditanya melempem macam marionette kehilangan tali penggeraknya.

“Kinal pasti... dia nggak... dia pasti nggak baik-baik aja. Di mana dia? Dicky jawab gue!!!” Melody membentak, sekali lagi mengguncang tubuh Dicky. Ayana dan Jeje di belakang menatap ngeri sekaligus khawatir.

Hap! Tiba-tiba tangan Daniel menangkap tangan Melody. “Ikut gue, Mel.”

Melody melotot. “Apa maksud lo? Gue mau cari Kinal! Gue mau cari dia!!”

“Lo nggak bakal ketemu Kinal sampai kiamat! Dicky balik ke sini tanpa dia, dan liat aja tampangnya, kusut masai bikin orang geregetan mau nyetrika! Itu artinya Dicky udah coba cari, dan dia nggak berhasil! Dan lo bakal bernasib sama kalau lo nekat...,” Daniel menghela napas. “Ikut gue.”

“Dan...”

“Ikut gue!” Daniel menggeram. Sekarang situasi makin runyam. Melody memberontak, berusaha melepas tangannya dari Daniel, tapi Daniel punya kekuatan yang kuat pun ditambah ia seorang cowok. Melody bisa saja melepaskan tangannya, asal jika tangannya patah.

“Gue bakal jamin kalau Kinal baik-baik aja,” bisik Dicky akhirnya. Suaranya seperti cicitan tikus.

Melody melongo. Namun matanya berubah tajam, menggemgam erat janji yang barusan dilontarkan.

“Oke. Tapi gue nggak mau ke mana-mana, D-a-n-i-e-l. Gue tunggu Kinal sampai muncul.”

Daniel berdecak.“Lo hanya pengganggu, tahu? Ikut gue!”

“Apaan sih emangnya ke mana??”

“Kencan!!” seru Daniel sembarangan tapi ternyata berhasil membuat kekuatan Melody mengendur. Cewek itu membulatkan mata, dan tubuhnya sukses diseret Daniel keluar kelas.

Sepeninggal mereka berdua, dengan nanar ditatap Dicky manusia yang tersisa di kelas. Ayana tampak bingung kelewat sedih, sementara Jeje tampak tegas menantang Dicky.

Jeje maju mendekati Dicky. “Mana Kinal?” tanyanya tegas.

“Lo mending pulang, Je...”

“Nggak bisa lah...”

“Cukup Melody, lo nggak usah ikut campur.”

“Nggak bisa, Kinal temen gue. Lo harus bilang di mana dia...”

“Kalau gue tahu buat apa gue ke sini sendirian...?” Dicky mulai putus asa.

“Kalau gitu kenapa lo bisa jamin ke Melody kalau Kinal baik-baik aja??”

Lima detik, Dicky diam memandang Jeje. “Je, plis.Gue nggak tahu di mana dia tapi gue jamin, Kinal baik-baik aja. Pegang janji gue.”

“Lo bukan orang yang bisa dipercaya,” desis Jeje.

“Udahlah, Je...” Suara pelan Ayana terdengar. Ia menarik sebelah lengan Jeje dari belakang. “Bener kata Dicky, kalau dia tahu di mana Kinal sekarang, dia nggak akan balik sendirian. Percuma paksa dia bilang di mana Kinal...”

“Setidaknya dia bilang ke kita apa yang sedang terjadi kan, Chan?” kata Jeje tak sabaran.

Dicky menggeleng pelan. “Lo nggak perlu tahu Je. Yang perlu lo tahu, Kinal bakal baik-baik aja. Ini masalah kami berdua...”

Hampir dua puluh menit Jeje menyerang Dicky. Selama itu juga Ayana berpihak pada Dicky, membujuk Jeje untuk menghentikan orasinya. Dua lawan satu, mau tak mau akhirnya Jeje menutup perlawanannya. Ia meninggalkan Dicky sesaat sebelumnya ia melayangkan tatapan tajam seperti Melody, menggemgam janji Dicky.

Sepeninggal mereka berdua, Dicky berjalan gontai menuju kursi tempat tas Kinal. Ia meraih bandul kecil gantungan matahari yang tempo hari diberikannya. Diusapkannya dengan ibu jari.

Nal... lo di mana?

***

Sudah nyaris jam lima sore. Aku baru turun. Sekolah sudah berakhir sekitar 1 jam yang lalu. Ini artinya keadaan sepi dan aku bakalan aman kembali ke kelas untuk mengambil tas.

Saat tiba di koridor deretan kelas 3 IPA, langkah pelanku terhenti ketika tepat di depan pintu kelasku, ada sosok yang memandangiku. Cermat dan teliti. Tidak bisa kutebak apa maknanya.

Ia sudah memakai tas sekolahnya, dengan tas sekolahku disampirkan di salah satu bahunya. Gantungan berbentuk matahari tergantung di ujung. Aku merasa seseorang mengiris-iris hatiku lagi.

Dicky menjejalkan kedua tangannya ke dalam saku. Ia tenang menatapku, menunggu. Kubalas tidak suka lewat tatapan. Tapi bukan Dicky namanya kalau tidak keras kepala.

Aku sengaja melambatkan langkahku. Dicky resah kelihatan tidak sabaran. Ketika sudah sampai di depannya, aku lebih jelas melihat ke dasar matanya. Antara sendu, nestapa, marah, dan bersalah...

“Tolong tas gue,” kataku, suaraku serak tersangkut di tenggorokan.

“Nanti gue kasih. Gue perlu ngomong beberapa hal ama lo...”

“Gue buru-buru.”

“Gue anter lo pulang. Gue anter dengan kendaraan apapun. Kalo lo mau, gue juga bakal sewa pesawat jet biar lo cepet sampe rumah.”

Aku memandangnya tidak suka. Mau apa lagi sih dia? Ia benar-benar nggak punya perasaan.

Aku balik badan. Sebodo amat pulang tanpa bawa tas.

“Kinal!”

Aku mengacuhkannya. Terus berjalan ke depan dengan air mata yang entah kapan akan surut. Bahuku bergerak-gerak. Tangisku pecah tanpa bisa kuredam suaraku. Aku tidak bisa lagi menangis dalam diam. Suara tangisku yang pelan memecah keheningan sekolah yang sepi.

“Kinal?”

Aku mendongak dan mendapati wajah Ghaida yang muncul di persimpangan koridor. Ketika sudah jelas melihat wajahku, matanya membesar dan membulat. Serta merta ia memegang kedua lengan atasku.

“Lo kenapa? Kenapa wajah lo ancur begini?”

Lebih tepatnya, hatikulah yang hancur begini.

Aku menggeleng. “Lo kok belum pulang, Ghaida?”

“Iya, gue abisin waktu di markas. Lo kenapa Nal?”

“Ada apa?” Aku malah balik bertanya. Aku mengusap air mataku sambil tersenyum kecil mencoba menenangkan Ghaida.

“Itu... ehm... rencana naik gunung Semeru dibatalkan sama Anjas...”

Alisku bertaut.“Kenapa?”

“Ya karena mereka yang awalnya setuju kocar-kacir satu demi satu. Kebanyakan punya alasan nggak ada biaya karena mau masuk universitas...”

Aku mengangguk. “Oh...”

“Lo kenapa, Nal? Cerita sama gue...”

“Gue nggak papa kok,” jawabku. Aku menoleh ke belakang, melihat Dicky yang masih terpaku di tempatnya. Dengan mata masih tertancap padaku.

Ghaida ikut memandang Dicky, matanya menatapku dan Dicky bergantian. Heran.

“Dia...? Dia Dicky kan? Orang yang belakangan jadi pusat perhatian sekolah gara-gara Mela?” Dengan polosnya Ghaida berkata.“Kalian bertiga berantem lagi?”

“Enggak kok.Ghaida, boleh minta tolong?”

“Apa?”

“Tolong ambilin tas gue di Dicky,” kataku, tangisku menderas lagi menyebut namanya. Seolah ada yang salah dengan lidahku.“Gue mau pulang,” bisikku, terlalu pelan hingga seperti bicara pada diri sendiri.

Meski nggak ngerti sama sekali duduk perkaranya, Ghaida mengangguk yakin. Ada percikan marah dalam wajahnya juga langkahnya menuju Dicky. Dicky membuang muka. Tapi toh ia memandang Ghaida saat cewek itu sampai di depannya.

“Tolong, tasnya Kinal,” ujar Ghaida sopan sambil mengulurkan tangan.

“Dia punya dua tangan dua kaki, masih lengkap. Jangan ajarin dia manja, dia bisa ambil sendiri,” tandas Dicky pedas.

“Dia emang bisa ambil sendiri kalo nggak lo halangi.”

“Gue nggak menghalangi dia.”

“Apa yang lo mau sih dari dia?” kata Ghaida, lama-lama kesal.

Dicky menatap Ghaida tajam. “Mending lo balik ke dia, bilang kalo dia bisa ambil tasnya kalo dia mau ngomong ama gue.”

“Kalo lo penyebab mukanya jadi ancur begitu, lo nggak berhak maksa dia!”

Dicky terdiam sejenak. Melumat Ghaida dengan tatapan sedingin es. “Lo nggak usah ikut campur, Ghaida. Ini urusan gue ama dia!”

“Urusan lo yang menyangkut dia, itu juga urusan gue! Karena dia teman gue!” bela Ghaida berapi-api. Ia menarik tasku dengan kasar. “Nggak usah buang waktu, buruan kasih tasnya. Atau ia pulang tanpa tas!”

Dicky mengambil napas dalam-dalam dan dihembuskannya dengan pelan. Sebelum menuruti Ghaida ia memandangku sejenak. Tatapannya nelangsa. Aku buang muka.

Tanpa kata lagi Ghaida berbalik sambil menenteng tasku. Tapi langkahnya terhenti ketika tangannya ditarik dari belakang.

“Tolong bilang ama Kinal. Gue minta maaf. Gue mau anterin dia pulang...” bisik Dicky parau.

Ghaida mengambil tangannya, tidak melangkah, juga tidak berbalik. Lama Ghaida diam, ia menambahkan dengan pelan juga. “Soal maaf, gue nggak tahu. Soal pulang, kayaknya nggak...”

Ghaida melangkah pelan padaku. Keningnya berkerut ragu. Lalu tanpa alasan yang jelas ia menggeleng pelan. Ia menyodorkan tasku, lalu mengambil tanganku untuk digandengnya pulang.



@anggianab  #CerbungKinalProject

Komentar