[Matahari Milikku] #22. Matahari Terbit dan Terbenam
Cerita Sebelumnya: [Matahari Milikku] #21. Dicky dan Matahari Terbenam
Aku berlari, terus berlari hingga nyeri
betisku tidak kuhiraukan. Langkahku kelewat keras menggema di sepanjang koridor
yang kulalui, koridor mereka yang sedang belajar, sampai-sampai mereka
tersentak dan mengalihkan wajah ke jendela untuk melihat. Bahkan salah satu
kelas ada yang gurunya sampai keluar hendak mendampratku tapi aku sudah kelewat
jauh, jadi ia hanya berteriak marah dan mengacungkan tinjunya.
Nyaris sudah setengah sekolah kuputari
dua kali, namun menghindari toilet cewek, tempat si matahari terbenam masih di
sana dan kelasku sendiri. Aku tidak mau meski lariku kencang mereka akan tahu
ini diriku, yang tersengal mencoba menyumpal sampah-sampah masa lalu ke dimensi
lain, yang wajahnya tak keruan dan berlari terus tanpa arah, karena mataku
penuh dengan air mata, tidak bisa menentukan tujuan yang pasti.
Akhirnya langkah kakiku membawaku
menaiki undakan tangga. Tangga menuju lantai dua biasanya sudah cukup
melelahkan, tapi kini aku hanya ingin berlari hingga bahkan sampai ujung dunia,
lubang hitam luar angkasa, atau keluar dari galaksi bimasakti, apapun, yang
bisa membuatku benar-benar sendiri. Hingga
akhirnya tak ada lagi yang bisa kunaiki, mentok keatap lantai empat sekolah
yang lapang. Untung tidak ada siapapun di sana.
Aku membungkukkan badan, semua aspek
berebutan ingin masuk dalam diriku. Perasaan nano-nano; kesal, sedih, marah,
kecewa, bercampur dengan kondisi fisik; betis pegal sampai bengkak, paru-paru
sesak, tenggorokan kering, hati compang camping tidak bisa menemukan jalan
untuk bersatu lagi. Berserakan di mana-mana, terlalu hancur. Semua aspek itu
menderaku tanpa ampun, hingga rasa-rasanya aku ingin pingsan saja.
Aku duduk memeluk lutut, terus menangis
hingga puas. Mungkin sebagian orang akan bilang aku berlebihan, dibohongi saja
seperti ini apalagi dikhianati? Aku ingin berkata dibohongi dan dikhianati itu
beda tipis tapi... ah terserahlah. Terserah apa kata orang aku hancur hanya
gara-gara dibohongi. Tapi kalian harus tahu, semua ini ada hubungannya dengan
masa lalu. Kalau kalian bilang aku cengeng dan payah masih dibebani masa lalu,
terserah.
Kedua orang itu... Mendadak kedua sosok
mereka hadir dalam gelap pandanganku karena aku memejamkan mata. Si matahari
terbit dan matahari terbenam, keduanya ternyata satu batang dalam pohon
keluarga. Si matahari terbit hilang entah ke mana, setelah membuat kisruh
perasaanku. Si matahari terbenam datang, menawarkan sebentuk cinta yang berbeda
yang membuatku lupa akan si matahari terbit. Namun sejatinya matahari terbenam
ada karena matahari terbit, keberadaannya memang selalu berhubungan. Ia
melemparku menuju garis katulistiwa sementara keduanya ada di timur dan barat,
membuatku terdesak. Sejuta skenario diciptakan si matahari terbenam dibumbui
kebohongan demi menutupi jati diri seorang matahari terbit di belakangnya,
membuatku sakit hati.
Keduanya itu sekarang tersenyum dalam
bayanganku. Bukan senyum mengejek tahu aku menangis tersedu-sedu di
sini. Senyum mereka sehangat matahari, tapi keduanya jelas berbeda. Si matahari
terbit yang dulu merupakan sumber semangatku, hangatnya hanya samar kurasakan.
Ia kelewat basi dan karatan, karena sekarang aku sudah menuju detik-detik di
ujung hari, meninggalkannya jauh. Dalam visualisasi itu senyum Arya melemah
ketika kukatakan ia basi dan karatan. Tidak Arya, aku sudah berjalan, tidak
terbelenggu terus dalam lubang bayanganmu menikmati matahari terbit. Waktu tidak
selamanya berhenti.
Yang satunya lagi, hangatnya sampai
menembus kalbu. Ia kelewat kuat nyaris membuatku melayang dan betah karenanya.
Semburat jingga senja membuatku jatuh cinta. Dicky tertawa makin lebar
sampai-sampai rasanya kedua ujung bibirnya menyentuh kedua telinganya. Iya
Dicky, aku tahu. Aku sudah terjebak dalam buai jingga matahari terbenam sejak
pertama kali aku bertemu denganmu.
Ketika itu kulihat kedua sosok itu
mendekat satu sama lain. Mereka berangkulan bahu, terlihat akrab.Aura yang
mereka ciptakan membuatku tahu keakraban mereka lebih dari sekedar teman. Mereka
sahabat. Tidak, lebih buruk, lebih buruk lagi. Mereka... saudara sepupu...
Aku membenamkan wajahku lebih dalam
lagi.
Matahari tengah hari di atasku sedang
getol-getolnya ingin membuat orang-orang bumi kepanasan. Ia ingin tunjukan
betapa agungnya ia, mengingatkan orang-orang bumi meski kau kepanasan, kau tak
bisa hidup tanpa dia.
Dalam hati aku mengamini. Iya terus,
terus kobarkan sinarmu, wahai matahari. Bahkan kalau perlu, panggang aku sampai
gosong. Dan panggang kenyataan yang mengganggu diri ini; aku cinta mereka
berdua.
***
Separo jiwa, Dicky mengerahkan seluruh
tenaga untuk membuat paru-parunya berfungsi. Juga untuk menopang kaki ini untuk
terus berdiri.
Separo jiwa, Dicky bersender payah di
dinding dekat toilet cewek. Sudah setengah jam berlalu sejak cewek matahari
pergi menangis meronta dari sana. Buku agenda kesayangannya ia pegang
erat-erat. Hatinya hancur lebur, kepingannya berceceran tak tentu di mana
rimbanya, macam asteroid di luar angkasa. Dan Dicky tidak tahu bagaimana ia
bisa menyatukannya lagi demi menghadapi hari kalau cahaya itu benar-benar
hilang. Cahaya cewek matahari.
Sejam berlalu, istirahat untuk kelas
sepuluh dan sebelas. Banyak orang berlalu lalang di depannya, terlebih
siswi-siswi yang hendak ke toilet. Beberapa merasa ragu menyampaikan niat ke
toilet karena ada cowok payah berdiri di dekatnya. Seharusnya kalau
diperhatikan baik-baik, Dicky tidak akan bergerak barang semili pun. Tubuhnya
terlalu kaku. Separo jiwanya dibawa pergi.
Dua jam, sekolah senyap. Dicky
memutuskan untuk berkeliling mencari. Tidak ada di manapun, sang dewi matahari
hilang. Dicky sudah mendongak menatap matahari untuk bertanya, tapi benda bulat
kuning itu hanya diam. Sepertinya ia ikut menyembunyikan si dewi matahari.
Tiga jam, Dicky sudah menunggu tiga jam.
Namun ia takkan menyerah.
Empat jam...
Lima jam...
Dicky menghela napas lesu. Ia bangkit
dari duduk, menatap sekeliling pelataran parkir belakang sekolah, tempat
tersepi. Ia melenggang tanpa semangat menuju kelasnya. Beberapa menit lagi
sekolah akan bubaran. Ia berharap bisa menemukan dewi matahari di kelas, maupun
tasnya hilang karena ia sudah pulang, tak apa. Dicky akan berangkat menuju ke
rumahnya setelah itu.
Kelas senyap. Hanya ada Jeje, Ayana,
Melody, juga Daniel. Satu-satunya cowok di kelas itu duduk memojok di kelas
membaca buku. Ada peluh di pelipisnya, mungkin ia sempat berlari-lari mencari
Dicky. Penyesalan Dicky tambah dua kali lipat.
Saat tahu Dicky masuk kelas, Daniel
langsung berdiri antusias. Pun cewek-cewek itu, mereka semua memandang Dicky.
Dicky berhenti, merasa tak sanggup melanjutkan langkah. Daniel dan Melody
menghampirinya.
“Mana Kinal? Kalian berdua kenapa??”
tanya Melody bertubi-tubi. Panik, ia panik. Skenario terburuk sedang tersusun
dalam pikirannya. Dicky hanya diam.
“Lo... jangan! Kalian berdua berantem
kan? Tadi lo marah-marah begitu pasti... Kinal! Dia pasti kenapa-kenapa! Mana
dia? Mana diaaa??” Melody berseru kencang mengguncang bahu Dicky. Yang ditanya
melempem macam marionette kehilangan tali penggeraknya.
“Kinal pasti... dia nggak... dia pasti
nggak baik-baik aja. Di mana dia? Dicky jawab gue!!!” Melody membentak, sekali
lagi mengguncang tubuh Dicky. Ayana dan Jeje di belakang menatap ngeri sekaligus
khawatir.
Hap! Tiba-tiba tangan Daniel menangkap
tangan Melody. “Ikut gue, Mel.”
Melody melotot. “Apa maksud lo? Gue mau
cari Kinal! Gue mau cari dia!!”
“Lo nggak bakal ketemu Kinal sampai
kiamat! Dicky balik ke sini tanpa dia, dan liat aja tampangnya, kusut masai
bikin orang geregetan mau nyetrika! Itu artinya Dicky udah coba cari, dan dia
nggak berhasil! Dan lo bakal bernasib sama kalau lo nekat...,” Daniel menghela
napas. “Ikut gue.”
“Dan...”
“Ikut gue!” Daniel menggeram. Sekarang
situasi makin runyam. Melody memberontak, berusaha melepas tangannya dari
Daniel, tapi Daniel punya kekuatan yang kuat pun ditambah ia seorang cowok.
Melody bisa saja melepaskan tangannya, asal jika tangannya patah.
“Gue bakal jamin kalau Kinal baik-baik
aja,” bisik Dicky akhirnya. Suaranya seperti cicitan tikus.
Melody melongo. Namun matanya berubah
tajam, menggemgam erat janji yang barusan dilontarkan.
“Oke. Tapi gue nggak mau ke mana-mana,
D-a-n-i-e-l. Gue tunggu Kinal sampai muncul.”
Daniel berdecak.“Lo hanya pengganggu,
tahu? Ikut gue!”
“Apaan sih emangnya ke mana??”
“Kencan!!” seru Daniel sembarangan tapi
ternyata berhasil membuat kekuatan Melody mengendur. Cewek itu membulatkan mata,
dan tubuhnya sukses diseret Daniel keluar kelas.
Sepeninggal mereka berdua, dengan nanar
ditatap Dicky manusia yang tersisa di kelas. Ayana tampak bingung kelewat sedih,
sementara Jeje tampak tegas menantang Dicky.
Jeje maju mendekati Dicky. “Mana Kinal?”
tanyanya tegas.
“Lo mending pulang, Je...”
“Nggak bisa lah...”
“Cukup Melody, lo nggak usah ikut
campur.”
“Nggak bisa, Kinal temen gue. Lo harus
bilang di mana dia...”
“Kalau gue tahu buat apa gue ke sini
sendirian...?” Dicky mulai putus asa.
“Kalau gitu kenapa lo bisa jamin ke
Melody kalau Kinal baik-baik aja??”
Lima detik, Dicky diam memandang
Jeje. “Je, plis.Gue nggak tahu di mana dia tapi gue jamin, Kinal baik-baik
aja. Pegang janji gue.”
“Lo bukan orang yang bisa dipercaya,”
desis Jeje.
“Udahlah, Je...” Suara pelan Ayana
terdengar. Ia menarik sebelah lengan Jeje dari belakang. “Bener kata Dicky,
kalau dia tahu di mana Kinal sekarang, dia nggak akan balik sendirian. Percuma
paksa dia bilang di mana Kinal...”
“Setidaknya dia bilang ke kita apa yang
sedang terjadi kan, Chan?” kata Jeje tak sabaran.
Dicky menggeleng pelan. “Lo nggak perlu
tahu Je. Yang perlu lo tahu, Kinal bakal baik-baik aja. Ini masalah kami
berdua...”
Hampir dua puluh menit Jeje menyerang
Dicky. Selama itu juga Ayana berpihak pada Dicky, membujuk Jeje untuk
menghentikan orasinya. Dua lawan satu, mau tak mau akhirnya Jeje menutup
perlawanannya. Ia meninggalkan Dicky sesaat sebelumnya ia melayangkan tatapan
tajam seperti Melody, menggemgam janji Dicky.
Sepeninggal mereka berdua, Dicky
berjalan gontai menuju kursi tempat tas Kinal. Ia meraih bandul kecil gantungan
matahari yang tempo hari diberikannya. Diusapkannya dengan ibu jari.
Nal... lo di mana?
***
Sudah nyaris jam lima sore. Aku baru
turun. Sekolah sudah berakhir sekitar 1 jam yang lalu. Ini artinya keadaan sepi
dan aku bakalan aman kembali ke kelas untuk mengambil tas.
Saat tiba di koridor deretan kelas 3
IPA, langkah pelanku terhenti ketika tepat di depan pintu kelasku, ada sosok
yang memandangiku. Cermat dan teliti. Tidak bisa kutebak apa maknanya.
Ia sudah memakai tas sekolahnya, dengan
tas sekolahku disampirkan di salah satu bahunya. Gantungan berbentuk matahari
tergantung di ujung. Aku merasa seseorang mengiris-iris hatiku lagi.
Dicky menjejalkan kedua tangannya ke
dalam saku. Ia tenang menatapku, menunggu. Kubalas tidak suka lewat tatapan. Tapi
bukan Dicky namanya kalau tidak keras kepala.
Aku sengaja melambatkan langkahku. Dicky
resah kelihatan tidak sabaran. Ketika sudah sampai di depannya, aku lebih jelas
melihat ke dasar matanya. Antara sendu, nestapa, marah, dan bersalah...
“Tolong tas gue,” kataku, suaraku serak
tersangkut di tenggorokan.
“Nanti gue kasih. Gue perlu ngomong
beberapa hal ama lo...”
“Gue buru-buru.”
“Gue anter lo pulang. Gue anter dengan
kendaraan apapun. Kalo lo mau, gue juga bakal sewa pesawat jet biar lo cepet
sampe rumah.”
Aku memandangnya tidak suka. Mau apa
lagi sih dia? Ia benar-benar nggak punya perasaan.
Aku balik badan. Sebodo amat pulang
tanpa bawa tas.
“Kinal!”
Aku mengacuhkannya. Terus berjalan ke
depan dengan air mata yang entah kapan akan surut. Bahuku
bergerak-gerak. Tangisku pecah tanpa bisa kuredam suaraku. Aku tidak bisa lagi
menangis dalam diam. Suara tangisku yang pelan memecah keheningan sekolah yang
sepi.
“Kinal?”
Aku mendongak dan mendapati wajah Ghaida
yang muncul di persimpangan koridor. Ketika sudah jelas melihat wajahku, matanya
membesar dan membulat. Serta merta ia memegang kedua lengan atasku.
“Lo kenapa? Kenapa wajah lo ancur
begini?”
Lebih tepatnya, hatikulah yang hancur
begini.
Aku menggeleng. “Lo kok belum pulang,
Ghaida?”
“Iya, gue abisin waktu di markas. Lo
kenapa Nal?”
“Ada apa?” Aku malah balik bertanya. Aku
mengusap air mataku sambil tersenyum kecil mencoba menenangkan Ghaida.
“Itu... ehm... rencana naik gunung
Semeru dibatalkan sama Anjas...”
Alisku bertaut.“Kenapa?”
“Ya karena mereka yang awalnya setuju
kocar-kacir satu demi satu. Kebanyakan punya alasan nggak ada biaya karena mau
masuk universitas...”
Aku mengangguk. “Oh...”
“Lo kenapa, Nal? Cerita sama gue...”
“Gue nggak papa kok,” jawabku. Aku
menoleh ke belakang, melihat Dicky yang masih terpaku di tempatnya. Dengan mata
masih tertancap padaku.
Ghaida ikut memandang Dicky, matanya
menatapku dan Dicky bergantian. Heran.
“Dia...? Dia Dicky kan? Orang yang
belakangan jadi pusat perhatian sekolah gara-gara Mela?” Dengan polosnya Ghaida
berkata.“Kalian bertiga berantem lagi?”
“Enggak kok.Ghaida, boleh minta tolong?”
“Apa?”
“Tolong ambilin tas gue di Dicky,”
kataku, tangisku menderas lagi menyebut namanya. Seolah ada yang salah dengan
lidahku.“Gue mau pulang,” bisikku, terlalu pelan hingga seperti bicara pada
diri sendiri.
Meski nggak ngerti sama sekali duduk
perkaranya, Ghaida mengangguk yakin. Ada percikan marah dalam wajahnya juga
langkahnya menuju Dicky. Dicky membuang muka. Tapi toh ia memandang Ghaida saat
cewek itu sampai di depannya.
“Tolong, tasnya Kinal,” ujar Ghaida
sopan sambil mengulurkan tangan.
“Dia punya dua tangan dua kaki, masih
lengkap. Jangan ajarin dia manja, dia bisa ambil sendiri,” tandas Dicky pedas.
“Dia emang bisa ambil sendiri kalo nggak
lo halangi.”
“Gue nggak menghalangi dia.”
“Apa yang lo mau sih dari dia?” kata
Ghaida, lama-lama kesal.
Dicky menatap Ghaida tajam. “Mending lo
balik ke dia, bilang kalo dia bisa ambil tasnya kalo dia mau ngomong ama gue.”
“Kalo lo penyebab mukanya jadi ancur
begitu, lo nggak berhak maksa dia!”
Dicky terdiam sejenak. Melumat Ghaida
dengan tatapan sedingin es. “Lo nggak usah ikut campur, Ghaida. Ini urusan gue
ama dia!”
“Urusan lo yang menyangkut dia, itu juga
urusan gue! Karena dia teman gue!” bela Ghaida berapi-api. Ia menarik tasku
dengan kasar. “Nggak usah buang waktu, buruan kasih tasnya. Atau ia pulang
tanpa tas!”
Dicky mengambil napas dalam-dalam dan
dihembuskannya dengan pelan. Sebelum menuruti Ghaida ia memandangku sejenak.
Tatapannya nelangsa. Aku buang muka.
Tanpa kata lagi Ghaida berbalik sambil
menenteng tasku. Tapi langkahnya terhenti ketika tangannya ditarik dari
belakang.
“Tolong bilang ama Kinal. Gue minta
maaf. Gue mau anterin dia pulang...” bisik Dicky parau.
Ghaida mengambil tangannya, tidak
melangkah, juga tidak berbalik. Lama Ghaida diam, ia menambahkan dengan pelan
juga. “Soal maaf, gue nggak tahu. Soal pulang, kayaknya nggak...”
Ghaida melangkah pelan padaku. Keningnya
berkerut ragu. Lalu tanpa alasan yang jelas ia menggeleng pelan. Ia menyodorkan
tasku, lalu mengambil tanganku untuk digandengnya pulang.
@anggianab #CerbungKinalProject
Komentar
Posting Komentar