[Matahari Milikku] #19. Bening Cahaya Matahari
Esok paginya sebelum jam masuk. Saat
asyik-asyik tanya jawab dengan Melody seputar pelajaran kimia, Sonya menepuk
pundakku dari belakang. Ketika aku menoleh, ia menyodorkan wajah pucatnya
padaku. Aku dan Melody langsung terpana.
“Ada apa?” tanyaku khawatir, memegang
tangannya.
Sonya mengernyit, seperti tidak setuju
dengan pertanyaanku barusan. Aku dan Melody bertukar pandang.
“Nal... elo... elo...” Ia nampak ragu.
“Gue?”
“Iya.”
“Ada apa?”
“Elo... huff,” Sonya menghembus napas
pelan.“Elo, ehm,” Sonya berdeham. Kalau yang ia sampaikan tidak berarti lebih
atau bahkan tanpa arti, dan ia bersikap berlebihan begini, awas saja. Kalau dia
begini kan aku mengira dia membawa kabar kalau Superman akan menjemputku pulang
sekolah nanti.
“Elo dipanggil BK.”
Blar! Kalimatnya bagai petir,
menghancurkan pikiran kotorku ketika bagaimana jadinya kalau aku dijemput
pulang oleh Superman. Aku menelan ludah. Di saat yang sama pula, kalimat itu
membuatku memaralelkan penyebabnya. Apa lagi?
Tubuhku langsung kaku.
Wajah Sonya makin pucat. “Dan, Nal...
Ada bokap Mela juga di sana.”
Tuh kan.
Aku mengusap wajahku dengan lelah,
Melody nampak mengepalkan tangannya di atas meja. Sebelah tangannya lagi
terentang untuk merangkul bahuku.
“Lo dateng?” tanyanya, ragu.
“Iyalah,” kataku berusaha setenang dan
seceria mungkin serta mengulaskan senyum, tapi langsung dipatahkan dengan
suaraku sendiri. Aku mengatakannya dengan suara serak.
Melody menggigit-gigit bibir
bawahnya.“Lo... yakin?”
“Mau nggak mau,” kataku sambil angkat
bahu. Pasrah.
“Gue anterin?”
“Nggak! Jangan! Ntar lo kecipratan
lagi!”
“Kecipratan apa?”
“Ntar kalo lo ikutan dikeluarin dari
sekolah juga gimana?”
Kalimatku tadi spontan membuat Melody
dan Sonya tercekat. Bahkan Melody mengeluarkan suara seperti sedang dicekik.
“Kinal!” sambar Melody, matanya
marah. “Nggak–jangan–nggak! Nggak mungkin! Kenapa lo berpikir sejauh itu?” Samar-samar
kulihat air membasahi matanya, dan bayangan benaknya bagaimana jadinya kalau
itu benar.
Sonya menepuk pundakku lagi, kali ini
kelewat keras .Matanya menyala. Sepertinya dia ikutan marah deh. “Nggak mungkin!
Keterlaluan kalau sampai mereka ngelakuin itu! Lo udah kelas tiga, dua minggu
lagi UN, bahkan nggak ada waktu untuk mengurus kepindahan lo ke sekolah lain!”
Tuh kan.
“Iya Nal. Nggak mungkin. Lo nggak bakal
dikeluarin dari sekolah,” tandas Melody.
“Jadi kemungkinan buruknya?”
Mereka berdua langsung nampak
berpikir. Kulihat ibu jari Sonya dibawah dagu, telunjuknya terentang di bawah
hidung, sedang jari-jari lainnya terlipat. Tipe-tipe memang sedang berpikir.
“Di skors?”
“Waktu mepet banget. Nggak mungkin.”
“Bersihin kamar mandi, eng, lagi?”
Aku nyengir memandang Melody. Itu hukuman
sudah kudapat waktu aku terlambat sekolah dulu.
“Bersihin seluruh penjuru sekolah?”
“Kerja rodi-romusha ada lagi ya?”
“Cuci piring kantin.”
Aku tertawa kecil .Lalu bangkit
berdiri. “Udahlah. Gue kudu ke sana, apapun resikonya. Percuma menghindar, guru
BK bakal kemari dan seret gue. Bentar lagi juga masuk,”–aku melihat jam
tangan–“malah kepalang malu dilihatin anak-anak.”
“Gue anterin, ya.”
“Nggak usah, Mel. Sumpah, beneran, nggak
usah,” aku mengibaskan tangan dan tersenyum tulus. Hatiku sampai tersentuh
melihat perhatiannya.
“Ini ada surat dari BK jadi jangan
khawatir lo dikira bolos kelas. Ntar gue sampein,” kata Sonya sambil tersenyum.
“Terima kasih,” aku berbisik.
***
Tepat Kinal lenyap dari pintu kelas,
dengan terampil Daniel memutar ponsel di tangannya dan menekan sebuah nomor.
“Lo di mana?” Daniel berbisik di
sambungan telepon, bahkan sebelum yang ditelepon mengatakan halo.
“Di tambal ban, ban sepeda gue bocor.”
Daniel buru-buru bangkit dan setengah
berlari keluar kelas saat sebelumnya melihat Melody dan Sonya yang sedang
ngobrol. “Tinggalin aja dulu, bentar lagi masuk.”
“Emang kenapa? Tumben...”
“Kinal...” Lalu Daniel bercerita semua
yang ia dengar tentang pemanggilan BK pada Kinal, juga yang paling buruk, ada
sangkut pautnya dengan Mela dan kejadian ulang tahun di aula olahraga kemarin
lusa.
Mendengarnya, Dicky agak limbung. Di
ujung pembicaraan ia mengucapkan banyak-banyak terima kasih (termasuk atas info
tentang Kinal bakal dikerjai Mela kemarin, Dicky belum bilang terima kasih)
pada Daniel. Sebenarnya ia ingin minta saran tapi Dicky mengakhiri pembicaraan
karena sayup-sayup didengarnya bel masuk berdering. Dicky menyuruh Daniel
segera masuk kelas.
Sejenak Dicky nampak diam namun
perlahan-lahan, seperti bias pelangi Dicky menetaskan senyum.
“Pak, kerjanya santai aja, nggak usah
buru-buru,” katanya pada bapak penambal ban.
“Loh? Katanya tadi saya disuruh cepet,”
Bapak itu kelihatan bingung.
“Nggak papa, Pak, teman saya barusan
telepon kalau guru piketnya lagi diare.”
Meski masih bingung, bapak itu
manggut-manggut dan rada memelankan kinerjanya, tak lagi grasak-grusuk. Dicky
mengusap tangannya. Benaknya melayang pada Kinal.Dicky khawatir, sebenarnya.
Tunggu gue... batinnya.
***
Sampai terdengar bel masuk berdering,
aku masih mondar-mandir di depan pintu BK. Aku kehilangan percaya diri yang
kupunya sewaktu aku di kelas tadi. Aduuuuuuuhh...
“Kinal? Ada apa, kamu mau masuk?” Bu
Hasna, salah satu pengurus BK menegurku tiba-tiba.
Alamak...
“Eh, iya, Bu,” kataku.
“Ya udah masuk aja, nggak dikunci kok,”
katanya memutar kenop pintu, suaranya mengandung tawa. Aku menyambutnya tapi
suara tawaku tersendat-sendat seperti keselek garpu.
Bu Hasna masuk dan langsung menghambur
ke mejanya. Aku menganggukkan kepala pada Bu Eka, guru BK lain yang kayaknya akan
mengurus masalahku ini. Beliau ikut mengangguk dan tersenyum. Itu pasti senyum
palsu huhuhu.Aku menutup pintu dan Bu Eka mempersilahkan aku duduk.
Tepat aku duduk, seorang pria paruh baya
serta merta berdiri. Ia pria yang sama yang waktu itu menarik Mela keluar aula
olahraga. Ayah Mela. Ia berbicara pada ponsel, memegang kenop pintu, menoleh
sejenak pada Bu Eka minta permisi, lalu keluar.
“Tunggu sebentar, ya,” kata Bu Eka. Tidak
hanya kepadaku. Di samping kursi Ayah Mela tadi ada seorang cewek acuh tak acuh
memandang ke arah lain. Mela. Matanya sembab.
Huuuh. Seharusnya aku yang begitu!
Lama kami hening, yang ada hanya suara
gemuruh mesin dari CPU komputer Bu Hasna. Aku merasa resah karena ayah Mela tak
kunjung selesai bicara di luar. Beliau lagi cerita tentang riwayat hidupnya dari
lahir sampai sekarang ya?
“Bu, sebenarnya ada apa?” Aku berbisik
pada Bu Eka yang ada di sampingku.
“Sudah, lebih baik tunggu Pak Budi
dulu.”
Pak Budi? Eng... namanya Pak Budi.
Cklek! “Maaf lama menunggu,” kata Pak
Budi sambil tersenyum minta maaf pada Bu Eka. Eh, kayaknya salah. Lebih-lebih
sebenarnya, padaku.
Pak Budi duduk di sebelah anaknya,
anaknya itu tetap tak bereaksi. Sepertinya ia disihir jadi patung pualam. Bagus
deh! Sebaiknya sihirnya ampuh selamanya.
“Langsung saja, ya,” kata Pak Budi pada
Bu Eka, minta persetujuan.Bu Eka mengangguk dan mempersilahkan.
Pak Budi membungkuk menatapku yang ada
di depannya, kedua sikunya menumpu pada paha. “Sebelumnya, perkenalkan nama saya
Budi. Saya ayah dari Melanie,” Ia mengulurkan tangan.
Untungnya ia tidak memperkenalkan diri
sebagai penyumbang besar sekolah ini. Aku menyambut uluran tangannya dan
tersenyum tulus. Aku kan membenci anaknya, bukan bapaknya. “Saya Kinal.”
Pak Budi berdeham sebentar. “Begini, Nak
Kinal. Saya... eh saya sebelumnya mohon maaf membuat Nak Kinal harus bolos jam
pelajaran pertama...”
“Tidak masalah, Pak. Kami sudah kirim
surat izin ke kelasnya.”
Kenapa yang jawab malah Bu Eka? Padahal
aku ingin berkata, “Ya ya, saya keberatan.Apalagi ini jam-jam terakhir saya di
sekolah ini sebelum Bapak menendang saya keluar.”
“Iya, saya maaf sekali. Soalnya saya
tidak ada waktu kosong. Selain itu, hal ini harus disampaikan segera...”
Deg! Aku menelan ludah. Sebenarnya
pikiran bakal dibentak, dilaknat, atau dikeluarkan dari sekolah pudar dari
benakku saat mendengar Pak Budi menyebut namanya tadi. Tapi, siapa tahu itu
hanya kamuflase?
“Saya kemari... mohon maaf. Mohon maaf
atas nama saya, keluarga besar saya, dan anak saya ini, Melanie,” tangan Pak
Budi menepuk pelan lutut Mela. Dan Mela tampak ternganggu.
Aku melongo. Nggak salah denger nih? Aku
lagi pakai headset dengerin drama
radio dengan judul “Babu yang Tertindas”?
“Saya sudah–akhirnya–mengetahui apa-apa
saja yang dilakukan anak saya ini kepada Nak Kinal. Yang saya nilai sebagai
kekeliruan. Pastinya Nak Kinal merasa terganggu kan?”
Aku tertawa pelan, lagi-lagi
tersendat-sendat.
“Apalagi saat kemarin acara ulang tahun
Melanie di aula olahraga... saya melihat sendiri anak saya menjambak rambut Nak
Kinal. Saya waktu itu sungguh... benar-benar merasa sedih. Saya tak menyangka
anak saya yang kesehariannya di rumah, atau lebih tepatnya di depan saya begitu
manis tapi kepada orang lain seperti itu.”
Kulihat Mela bersembunyi untuk
mendengus.
“Saat itu juga saya mengetahui
seluruhnya dari salah satu teman kelas Melanie...”
“Siapa, Pa?” potong Mela. Suaranya
meruncing.
“Saya tidak akan menyebutkan namanya,” dengan
tegas Pak Budi berkata, tidak menghiraukan Mela. “Dan saya merasa semua yang
dilakukan Mela sama sekali tidak pantas, kepada siapapun, apalagi masalahnya
sepele dan saya rasa nggak perlu dibesar-besarkan,”–wajah Dicky melintas dalam
pikiranku–“Oleh karena itu saya mohon, mohon sekali pada Nak Kinal untuk
memaafkan Melanie dan saya.”
Emang bapak salah apa? Sebenarnya aku
ingin mengatakannya, tapi kesannya kok nggak sopan. Aku tersenyum dan mengangguk
pelan pada Pak Budi.
“Melanie, minta maaf sama Nak Kinal.”
Mela tak bereaksi.
“Melanie...” Pak Budi menggeram.
Mela menyodorkan tangannya, matanya
enggan melihatku. Benar-benar nggak ikhlas. Ia melakukan ini bukan atas nama
perdamaian, tapi perintah ayahnya.
“Yang benar! Mana ada etika minta maaf
seperti itu??!”Suara bariton Pak Budi membentak keras, membuat aku dan Bu Eka
tersentak hebat. Sedangkan Mela hanya kaget, terlebih mungkin malu karena
diperlakukan kasar oleh ayahnya di sini, apalagi di depan musuhnya.
Mela beranjak berdiri dan
menghampiriku. Aku ikut berdiri dan menyambut tangannya. Bahkan kurang dari
sedetik ia melepas tangannya begitu saja, seolah dengan bersentuhan kulit
denganku ia akan terkena alayphobia–eh–HIV atau AIDS.
“Mana ada minta maaf hanya salaman
begitu saja? Lebaran pun perlu mengucap mohon maaf lahir batin!” Pak Budi
merongrong.
Mela berbalik lagi, tapi ia tak mau
salaman lagi. Tanpa memandangku ia berkata, “Gue minta maaf.”
“Yang ikhlas...” suara berat Pak Budi
terdengar.
“Nal, gue minta maaf,” Mela memelankan
intonasinya.
“Yang benar...”
Mela menghembus napas pelan.
Perlahan-lahan ia mencoba menatapku. Masih setengah nggak ikhlas, tapi ada
kemajuan. Aku menyingkirkan dugaan kalau ia melakukannya–menatapku–juga karena
desakan ayahnya, bukan minta maaf sebenarnya.
“Gue minta maaf, Nal,” katanya lirih.
Aku tersenyum.“Sama-sama, gue juga.”
Mela setengah tersenyum lalu kembali
duduk di sebelah ayahnya.
“Maaf, Nak Kinal. Saya juga tahu kalau
Melanie dan teman-temannya juga mengerjai Nak Kinal kemarin. Apa orang tua Nak
Kinal tahu?”
“Oh, tidak kok Pak. Saya singgah di
rumah teman dulu...”
Mela meremas kain roknya.
“Sebenarnya saya juga ingin bertemu
orang tua Nak Kinal, tapi bagaimana yah,” Pak Budi tersenyum payah, lalu
sesuatu yang dipikirkannya langsung muncul. Ponselnya berdering lagi.
“Hm, kapan-kapan saya akan bertandang ke
rumah untuk bicara pada orang tua Nak Kinal... Saya akan minta alamatnya
nanti... ya? Bu Eka?”
“Tentu, tentu, Pak Budi...”
“Saya permisi dulu, mohon maaf sama
sekali tidak sopan.”
“Tidak, Pak, tidak apa-apa. Silahkan.”
Sebelum pergi Pak Budi menjabat
tanganku. Pandangan teduhnya membuatku ingat pada ayahku dan matanya begitu
serupa tanpa cela dengan anaknya. Entah mengapa dari situ aku berpikir...
sebenarnya Mela anak yang baik.
***
“Cepat! Minta surat izin masuk pada Bu
Hasna!” Suara bariton menggelegar dari luar ruang BK. Kupikir itu suara Pak
Budi, tapi kalau dipikir-pikir, Pak Budi bukan staf maupun guru sekolah. Mana
mungkin bicara seperti itu.
Kalau dari kalimatnya sih, hm...
kayaknya aku pernah dengar. Pernah kalimat itu ditujukan padaku... Oh!
Terdengar ketukan pintu saat aku
beranjak berdiri. Begitu pintu terbuka, bermunculan sekitar lima anak berwajah
kucel. Pak Yono di belakang mereka. Tuh kan.
Dengan teratur mereka memasuki ruang BK
sambil menundukkan wajah. Kecuali satu orang. Empat dari mereka kelihatannya malu
melihatku yang siswa menyaksikan mereka dihukum Pak Yono, tapi kecuali yang
satu itu. Ia serta merta memandangku dan nyengir lebar. Huh. Kalau dia urat
malunya hilang ke mana juga dari dulu.
Mereka mengantri meminta surat izin
masuk pada Bu Hasna. Sementara itu ketika aku hendak keluar, Dicky ber-ssst
ssst ria. Aku menoleh, dia memberi isyarat padaku untuk menunggunya di luar. Ketika
Pak Yono menggeram, Dicky cepat-cepat memalingkan muka.
***
Sambil menenteng ranselnya, ia keluar
dari ruang BK dan mengusap keringat di dahi. Begitu melihatku, ia nyengir.
Aku menyilangkan tangan di dada, sok
galak. “Rumah deket sini kok telat. Lupa ya pernah nyeramahin gue supaya datang
pagi ke sekolah?”
“Lo inget rupanya,” katanya lembut.
Aku terkesiap. Aku membubarkan lenganku,
setengah ragu namun akhirnya, melangkah pergi. Tapi ia menarik lenganku.
“Nal,” panggilnya pelan. “Maafin gue...”
Pagi-pagi begini sudah banyak orang yang
minta maaf padaku...
Aku melepas tangannya dariku. Dan tak
bicara apapun.
Dicky menghela napas berat. “Pas mau
masuk ruang BK tadi gue ngeliat Mela ama bokapnya. Mereka ngapain elo?”
“Nggak penting.”
“Penting lah. Kedatangan mereka ke sini
kan gara-gara gue.”
Ada perasaan aneh menyusup benakku
karena secara harfiah, akhirnya Dicky mengakui lewat lisan. “Mereka...” kataku
pelan.
Dicky maju selangkah dan memegang kedua
bahuku erat-erat. Matanya nyaris melotot menatapku. “Jangan bilang...”
“Mereka minta maaf kok,” potongku cepat.
Aku berpikir dia akan menduga aku dikeluarkan dari sekolah, maka aku memotong.
Pegangannya mengendur. “Hah?”
“Iya.Mereka minta maaf.”
“Mela?” Mukanya sama sekali nggak percaya.
“Iya.”
Dicky tertawa pelan, nadanya
sinis. “Bagus deh.”
Aku mengangkat bahu. Tangannya sudah
bebas dari pundakku maka aku memutuskan untuk cepat kembali ke kelas.Tapi
tangannya menahanku lagi.
“Buru-buru amat. Kita sekelas! Jalan
bareng lah...”
Aku hanya mengangguk.
“Eeeeng... lo... kenapa telat?” tanyaku
saat kami sudah setengah perjalanan.
“Ban gue bocor, jadi tadi gue ngetem
dulu di tambal ban. Eh, lama-lama ditunggu orangnya bilang kalau ban luarnya
kudu ganti. Ya udah sepeda gue di sana dulu, gue lari ke sini...”
“Pantes muka lo kucel banget.”
“Kan tadi gue juga dihukum Pak Yono
gegara telat.”
“Hukum apa?”
“Bersihin sampah-sampah. Gue bagian
taman...”
“Beruntung nggak dihukum bersihin kamar
mandi.”
“Gue kan telat cuman lima sepuluh
menitan, emang elo.”
Aku memutar bola mata.
“Nal?”
“Eng?”
“Gue udah dimaafin kan?”
Aku tersenyum takzim. “Udahlah, nggak
ada yang perlu dipemasalahin lagi kan? Beberapa menit lalu sudah resmi jadi
masa lalu.” Setelahnya, aku nyengir.
Dicky bergidik, entah mengapa. Lalu ia
merogoh sakunya, mengeluarkan sesuatu. Sesuatu itu kecil sehingga Dicky
menggemgamnya sampai tidak kentara. Ia mengambil sebelah lenganku, diletakkannya
benda itu di telapak tangan, dan jarinya mendorong jariku untuk menutup.
Aku menatapnya bingung, tapi ia hanya
memandangku datar. Aku membuka lenganku dan membentangkan benda itu. Ternyata
gantungan, saat aku membentangkannya, bandulnya yang bening lincah turun. Saat
itu, masih entah mengapa, sinar matahari datang menembus bandul bening itu,
emas, cantik, bersinar dan... hangat.
Matahari. Bandul itu berbentuk matahari.
Aku memandang Dicky dengan perasaan
campur aduk, tanganku yang memegang gantungan itu mendadak beku. Tapi Dicky
membalas tatapanku dengan senyumnya, senyum terlembut sampai-sampai sentuhannya
menembus benakku. Badanku melemas dan mulutku nyaris melongo. Tanganku yang beku
turun tiba-tiba, bak murid karate yang terpesona dengan kelihaian gurunya, aku pun
takluk. Sebelah tangan Dicky mengusap bahuku dan ia terus menggantung senyum
ajaib itu. Kalau saatnya tepat, aku ingin jatuh pingsan.
@anggianab #CerbungKinalProject
Cerita Selanjutnya: [Matahari Milikku] #20. Matahari Terbenam Membunuh Langit
Cerita Selanjutnya: [Matahari Milikku] #20. Matahari Terbenam Membunuh Langit
Komentar
Posting Komentar