[Matahari Milikku] #21. Dicky dan Matahari Terbenam




H-2 Ujian Nasional.

Sepulang sekolah di hari terakhir proses belajar mengajar efektif. Entah mengapa saat bel pulang berbunyi, sesuatu berbisik dalam benakku. Mengingatkan bahwa, meski hari terakhir ini masih dengan suasana tegang detik-detik tibanya UN, aku merasa bakal merindukan ini. Merindukan belajar mengajar di dalam kelas, teman-teman SMA, masa-masa muda paling indah, kata orang... Aku sudah merasa begitu padahal belum tentu ini benar-benar “hari terakhir”. Kau tahulah maksudku.

Sebelum melenggang pergi guru terakhir yang mengisi hari Sabtu di kelasku ini berpesan panjang lebar. Bahkan waktu pulang harus molor setengah jam demi mendengar petuah-petuah bijaknya. Meski rasa-rasanya, telinga kami sampai tebal mendengar nasihat, petuah, kiat-kiat dalam menghadapi UN besok, tapi kurasa semua yang ada di kelas ini tetap mendengarkan, seolah belum cukup. Waktu yang diisi oleh penjelasan guru itu menambah ketegangan dalam diri, monster seperti apa yang bakal kami hadapi besok, yang konon jika gagal kami bisa hilang akal hingga bunuh diri. Mengusik mental yang semestinya sudah dibangun sedemikian rupa jauh-jauh hari, sebagian murid boleh jadi saat melamunkan hal ini akan kisut mentalnya, sebagian akan terbit semangat yang bahkan, lebih besar daripada sebelumnya.

Begitu selesai bicara, guru itu pamit dan katanya, doanya menyertai kami. Kami mengamini dalam hati. Dan semua murid di dalam kelas yang sudah siap dengan tasnya masing-masing dari setengah jam tadi, berjalan santai menuju pintu keluar.

Aku sengaja duduk diam sebentar, memandang kosong meja di hadapanku. Kelas hampir kosong, tinggal beberapa anak yang masih mengobrol satu sama lain. Bangku sebelahku sendiri sudah kosong. Sebelum pulang, Melody dan aku saling menepuk bahu dan melempar senyum penuh makna. Ada janji tersirat dalam mata kami berdua, kita berdua harus bisa dan sama-sama dapat predikat lulus.

“Nal!” Seseorang memanggil, membuatku tersentak dari lamunan. Aku menoleh menuju sumber suara. Bangku Daniel-Dicky, kedua pemiliknya sendiri sudah berdiri. Dan keduanya itu memandangku, yang satu datar, yang satu sedikit geli.

“Jangan ngelamun, ntar kesambet, besok jawab soal hitamin opsi ngasal sampai bentuk wajahnya Dicky,” kata Daniel, ngasal berat. Dicky melotot sementara Daniel cekikikan. Aku nyengir. Daniel juga yang memanggil namaku tadi.

Aku bahkan tidak sadar mereka salah satu forum yang belum keluar dari kelas ini.

“Gue duluan ya,” sapa Daniel sambil melambai kecil. Aku balas melambai, patah-patah, terlebih karena tidak biasanya Daniel begitu. Pamit pulang? Ngobrol dalam sehari dengan anak itu aja sudah untung. Pamit pulang?

Saat Daniel hilang dari pintu, Dicky cengar-cengir.

“Mau sampai kapan lo duduk di situ? Mau sampai bangunan sekolah ini runtuh dimakan usia?”

Aku mendengus pura-pura kesal, mengambil ransel dan beranjak berdiri. Dicky menjajari langkahku ketika di bingkai pintu.

“Sudah tahu bunga apa?”

Aku menoleh, mengernyit, tapi belum lima detik, aku tersadar. “Oh, itu. Entah, gue intip tadi pagi masih nguncup.”

“Belum tahu mahkotanya warna apa?”
 
Aku menggeleng.

Dicky manggut-manggut. “Paling semingguan lagi...”

“Ya habis UN ini paling udah mekar.”

“Jangan lupa lapor ke gue!”

“Lo kayak emaknya aja,” kataku tertawa. “Oke sip.”

“Gue duluan ya. Semangat buat hari Senin.”

Dicky berhenti melangkah dan mengacungkan kepalan tangannya padaku. Aku tersenyum takzim, dan meninju kepalan tangan itu dengan kepalan tanganku.

“Hati-hati ya,” katanya sebelum berlari pergi menuju pelataran parkir. Aku mengangguk.

Sebelum ia hilang di belokan depan gerbang sekolah dengan sepeda kayuhnya, ia melambai.

***

Hari pertama ujian nasional.

Waktu mengerjakan ujian sudah habis. Tanpa banyak suara, masih setengah tegang meskipun ujian hari ini sudah kami tandaskan karena pun kami ingat hari berikutnya masih menunggu.

Ketika malam hari aku belajar untuk mata pelajaran esok, suatu kali aku menengok ke bawah lewat jendela. Ke taman kecil milik mamaku. Pot besar dengan satu batang panjang menjulur dari tanahnya. Ada kuncup di pucuknya. Terletak di kaki pohon cemara, kuncupnya itu diterpa terang sinar lampu depan. Belum, belum kelihatan apa gerangan bunga itu, maupun warna dari mahkotanya.

Hari kedua, masih malam hari aku menilik lewat jendela, masih belum.

Hari ketiga, saat pulang dari sekolah. Kuncupnya sedikit merekah. Ketahuan, mahkotanya berwana kuning. Tapi baik aku maupun mamaku, belum tahu apa bunga itu.

Aku melaporkannya pada Dicky, ia hanya manggut-manggut. Saat kutanya, ia juga nggak tahu, apalagi ia nggak lihat secara langsung bagaimana bentuknya.

Hingga hari terakhir UN. Sialnya aku tidak punya pikiran memeriksa bunga itu. Kelegaan luar biasa menyergap mengalihkan perhatian.

Hari-hari berikutnya, hari tenang untuk anak kelas tiga. Mereka boleh datang, boleh tidak. Sementara proses belajar mengajar efektif kembali berjalan. Di hari ketiga minggu berikutnya setelah seminggu yang penuh ketegangan, aku sengaja masuk sekolah, janjian dengan Melody. Sebelum kami boleh jadi berpencar untuk melanjutkan meniti masa depan, bolehlah kami menghabiskan waktu dulu. Rencananya aku mau main ke rumah Melody. Esoknya ia ke rumahku. Esoknya kami bisa jalan-jalan, ke mana kek.

Dan ternyata saat memasuki salah satu kelas di deretan koridor yang lengang, aku menemukan tak hanya Melody di kelas. Ada Willy juga Dimas. Ayana, Jeje, Daniel. Dicky. Dan beberapa teman lain.

Kami mengobrol panjang lebar di bangku Daniel-Dicky merangkap bangku di belakangnya, bangku Jeje sampai tengah hari. Pembicaraan itu didominasi tawa, yang terkadang sampai meledak-ledak, sampai-sampai ditegur guru yang kebetulan lewat karena bakal mengganggu pelajaran kelas sebelas dan sepuluh.

Di tengah kami belum habis tertawa, aku terserang panggilan alam.

Aku meloncat turun–omong-omong aku duduk di meja Dicky–saat sebelumnya bilang pada Melody kalau aku ke toilet dulu. Gerakanku membuat lututku menyenggol tas Dicky di kursi depanku hingga jatuh. Dicky menghentikan tawa meski masih tersisa tawa di wajahnya, melihatku membungkukkan badan memungut tasnya yang enteng. Tasnya rupanya terbuka. Ia hanya membawa satu buku, itu pun langsung keluar begitu tas terjatuh. Aku menarik tasnya dan memungut buku itu, hendak memasukkannya kembali.

Namun, detik itu juga aku membeku. Panggilan alam itu gagal.

Familiar. Aku mengusap sampul depan buku yang ternyata buku agenda itu. Permukaannya agak kasar karena terbuat dari kulit. Tebal.

Lebih-lebih gambar sampulnya itu. Detik-detik berlalu aku masih terpaku pada buku ini. Lintasan waktu melemparku dengan keras ke suatu hari.

Yang membuat segala sesuatunya menjadi terang dan familiar.

Aku mendongak dan menatap penuh makna pada pemilik buku yang juga sedang terperangah menatapku. Aku, yang sedang memegang buku agenda bersampul matahari terbenam.

***

Suatu pagi selepas aku menangis melamunkan Arya, di dekat halte sekolah.

Kemeja flannel kotak-kotak hijau toska. Buku agenda bersampul matahari terbenam.

Mataku kembali terpaku pada buku yang kupegang. Setengah sadar namun dengan keyakinan seratus persen, aku merasa berhak tahu isi buku ini. Sebodoh amat isinya bukan matahari terbenam yang bakal menjawab pertanyaanku selama ini; apa yang membuat Arya menyukai matahari terbit. Ia menyuruhku mencari jawabannya sendiri, hingga pencarian jawaban itu tutup buku seiring berjalannya waktu dan ketidakhadirannya dalam radarku. Untuk itu aku mencari-cari orang penyuka matahari terbenam untuk menghubungkannya dengan jawaban Arya; alasan klise, agar lebih mudah.

Seperti yang pernah Melody bilang, belum tentu pemilik buku ini suka matahari terbenam. Kalau kita sedang di toko buku dan membeli buku agenda, apakah sampul sebagai salah satu alasan kita? Dan apakah, misalnya kita suka binatang cicak dan mau buku agenda kita bersampul cicak, buku itu ada di deretan toko buku? Sebelum ini aku belum pernah tahu buku agenda bersampul binatang cicak. Sampul matahari terbenam itu hanya kebetulan, dan bisa jadi, banyak orang yang memilikinya. Don’t judge book by it’s cover.

Tapi lain denganku, lain dengan buku yang sedang kupegang ini. Entah dari mana asalnya, aku merasa buku inilah yang aku cari. Buku yang sebelumnya pernah kusentuh. Saat kulitku menyentuhnya, buku itu seakan memiliki mulut dan ber-say helo padaku.

Dalam benakku, muncul berdesakan segala macam spekulasi.

Dicky merangsek turun dari meja Jeje, membuatnya berderit. Tuhan, saat itu juga segalanya di luar lingkaran kami serasa hilang. Kami seperti punya dimensi sendiri .Gurauan teman-teman berikut suara tawa yang masih membahana meski sudah ditegur, lenyap. Sekarang aku dan dia, senyap. Aku beranjak berdiri, meletakkan tas Dicky yang kosong melompong kembali ke kursinya, sementara buku itu masih kupegang erat-erat.

Mataku menatap Dicky penuh tanda tanya sekaligus takjub. Dalam bayanganku kini ia adalah cowok dengan kemeja flannel kotak-kotak hijau toska. Ternyata, yang digantung dengan gantungan baju di atas bingkai foto keluarga kecilnya, kemeja flannel itu, dan buku ini, dan cowok itu–di Kafe Fortune Cookie –, dan cowok ini...

Adalah orang yang sama.

Tanpa sadar aku tersenyum.

Dan kini aku menatapnya seperti adik yang menemukan kembali kakaknya yang lama hilang, seperti Siti Hajar menemukan kucuran air zam-zam di kaki si kecil Ismail setelah lari pontang-panting bukit Safa-Marwa. Orang yang punya jawaban atas teori abal-abalku tentang matahari. Orang yang mau tak mau membuatku kembali pada masa itu, masa-masa sulit, masa-masa Arya.

Tapi pandangan orang itu mengeras, rahangnya terkatup rapat. Senyumku langsung lenyap. Matanya garang menatap buku yang kupegang, sengaja menghindar dari tatapan mataku.

Perasaanku langsung anjlok.

Secepat kilat Dicky merentangkan tangan, meraih bukunya yang ada di tanganku. Namun secepat cahaya tekadku menggerakkan tanganku untuk menghindar. Alis Dicky bertaut tidak setuju, lewat matanya ia mengancamku untuk mengembalikkan bukunya. Aku meremas buku itu dengan tanganku, entah muncul keberanian dari mana aku malah menantang matanya.

Dicky menggertakkan giginya.“Kinal, balikin,” desisnya.

Oke, kenapa dia harus marah seperti itu? Kenapa ekspresinya setajam itu? Bukannya sedetik sebelum ia menemukan aku memungut bukunya ini ia sedang tertawa? Itu artinya, entah demi apa, buku ini penting dan orang sepertiku tidak boleh memegangnya, apalagi membuka isinya.

Ancamannya itu tidak berfungsi sama sekali, bahkan berbalik menyerangnya seperti bumerang. Aku malah tertantang. Sikap agresifnya keluar saat aku menolak memberikan bukunya ini, pasti ada yang ia sembunyikan. Oh, Tuhan, aku sudah berani mengambil kesimpulan sendiri bahkan sebelum ketemu jawabannya. Ini semua gara-gara matahari.

“Balikin, Nal,” kata Dicky, merentangkan tangannya lagi. Suaranya jauh lebih tenang. Dimensi kami mengendur karena aku merasa semua tatapan teman-teman tertumbuk pada kami. Rautnya semua penasaran, heran. Kecuali satu. Wajah Daniel pucat pasi, seperti warna putih cat tembok yang membosankan.

Alih-alih tak ingin semua ini berlangsung lebih lama karena aku geregetan ingin tahu isinya, belakangan aku sudah berlari keluar kelas, dengan kecepatan setara dengan lari maling jemuran.

“KINAAAALLL!!!!”

Seharusnya aku bisa goyah. Teriakan Dicky barusan menggelegar karena suaranya berat, juga dengan perintah tegas dan tajam mengindikasikan ini bukan main-main. Dicky benaran marah. Seisi kelas atau bisa jadi kelas sebelas yang berjarak dua kelas dari kelasku, kaget dan langsung diam, berikut dengan guru yang sedang mengajar. Ketika aku hampir mencapai belokan koridor, kudengar suara langkah cepat tergesa menggema. Dicky mengejarku. Wajahnya beringas. Membuatku berpikir, sepenting apa sih buku ini?

Sambil berlari nyaris mengelilingi setengah sekolah, aku berpikir keras. Kalau Dicky mengejarku sambil kesetanan begitu, pasti aku langsung bisa tertangkap dan aku tidak sempat membaca isi buku ini. Jadi, aku harus berlari lebih cepat juga menemukan tempat persembunyian. Tapi di mana??

Mataku menangkap dengan nafsu penanda di langit-langit koridor. Aku tancap gas belok kanan, merangsek masuk ke dalam dan mengunci pintunya rapat-rapat.

Dengan napas ngos-ngosan yang sayangnya harus diisi dengan bau kurang mengenakan, aku menatap sekali lagi buku yang kupegang. Iya, tidak salah lagi. Aku pernah bertemu buku ini. Tepatnya, memegang buku ini. Meski–lagi-lagi–pasti banyak buku agenda tebal bersampul matahari terbenam, aku tetap yakin, inilah buku yang aku cari!

Dengan perlahan aku membuka buku. Lembar pertama, nama pemilik buku ini. Lembar berikutnya...

Aku tidak percaya punya firasat sebagus ini.

Isinya tempat-tempat terbaik melihat matahari terbenam. Pertama, Jembatan U Bein di Myanmar. Ada fotonya juga, terlihat orisinil. Di bawah foto ada keterangan bahwa jembatan sepanjang 1,2 km ini terletak di Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar. Kedua, Bukit Moko, Caringin Tilu, Bandung. Di bawah fotonya ada tulisan bahwa Bukit Moko selain dapat menikmati matahari terbenam juga matahari terbit. Sejauh mata memandang juga kita bisa menikmati hamparan hijau perkebunan, pegunungan, dan gumpalan-gumpalan awan.

Kubalik lagi lembar berikutnya, aku hanya sempat membaca nama tempat dan memandang sekilas fotonya. Karena langkah kaki cepat akan datang sudah terdengar. Cagar Alam Maasai, Kenya. Dubai, Arab Saudi. Oia, Yunani. Uluru dan Kata Tjuta, Australia. Acci Trezza, Italia. Grand Canyon, Arizona...

“KINAL!”

Respon spontanitas, aku membalik buku dengan cepat dengan tangan gemetar. Nada suara Dicky belum berubah, malah tambah berang. Setengah buku agenda ini isinya tentang perburuan matahari terbenam. Lalu nyaris mencapai tiga perempat, tanganku berhenti membuka...

Ada fotoku. Ada banyak fotoku. Fotoku saat presentasi biologi di zaman batu itu. Fotoku membersihkan kamar mandi sewaktu dihukum karena terlambat. Fotoku membaca Lima Sekawan. Fotoku menunggu bis di halte. Fotoku di pantai antah berantah tersudut berdua dengan Melody dalam liburan konyol ala Mela. Fotoku tertawa bersama Melody, Willy, dan Dimas. Fotoku saat mengantre tiket bioskop dengan Dicky. Fotoku di kantin. Fotoku yang menangis di halte dengan payung kuping kucing dan bungkusan gula. Fotoku dengan Daniel yang berkostum Naruto–aku foto dengan ponsel Ayana dan ponsel Daniel. Fotoku merengut melihat Mela memasang aksi lipsing Heavy Rotation. Fotoku menerima hadiah-hadiah di ulang tahun Mela. Fotoku tanya jawab dengan Melody sebelum UN. Dan masih banyak lagi...

Di tengah banyak fotoku di beberapa lembar itu, ada tulisan tangan familier di lembar kedua album khusus fotoku. Tulisan nama panjangku, tempat tanggal lahir, alamat rumah, alamat email, hobi, makanan favorit, minuman favorit...

“KINAL!” Suara langkah mendekat hingga berhenti di depan pintu. Aku tersentak sampai bahuku terguncang. “Gue nggak peduli lo sembunyi di toilet cewek kek, ruang ganti kek, toilet guru cewek kek. GUE MAU LO BALIKIN BUKU GUE SEKARANG JUGA! JANGAN LANCANG!!!”

Namun telingaku tiba-tiba ditutup.

Aku membalik lembar selanjutnya. Masih foto-fotoku, di suasana dan tempat yang sama, hanya beda angle. Lalu kutemukan fotoku yang tidak sendirian maupun tidak bersama teman-teman sekolah. Melainkan, fotoku dengan seorang cowok yang...

Foto-fotoku dengan Arya.

Ada juga beberapa foto Arya sendirian. Ada keterangan di foto Arya yang terletak di sudut kiri atas lembar ini.

Ini nih sepupu gue yang paling keren. Namanya Arya.

Dan ada fotoku tersenyum dengan 2 jari membentuk huruf V di sudut kanan bawah satu lembar dengan foto Arya.

Ini dia, Devi Kinal Putri. Si cewek matahari...

Di lembar itu ada pembatas buku. Pembatas waktu yang pernah kupungut saat aku bertabrakan dengan Dicky. Pembatas buku kain putih gading dengan gambar matahari di tengah-tengah, dilukis sendiri.

Aku menatap gambar matahari itu lamat-lamat. Seolah ada sinar dari sana, sinar itu memercikan kesedihan mendalam. Silau oleh mataku, menerbitkan air mata yang mulus tercecer di kain putihnya.

Brak!!

“Kinal, gue nggak bercanda!! Keluar dan kembaliin buku gue atau gue dobrak nih pintu!!!”

Aku tiba-tiba menggigil sambil memeluk buku itu erat-erat. Kenyataan ini terlalu menyudutkanku. Aku merasa dibohongi. Dengan tangan gemetar aku membuka pintu dan mendapat “hadiah”. “Hadiah” wajah marah Dicky yang belum pernah aku lihat.

Begitu melihatku, dengan wajah keras–meski bisa kutangkap sekilas kegoyahannya saat melihat air mataku–ia menarik tanganku keras-keras yang, ampun, sakit sekali rasanya. Ia menarikku keluar dari bilik toilet dan memojokkanku di dinding. Lalu ia mengunciku dengan kedua tangannya, kedua tanganku masih memeluk buku beserta diriku yang menggigil, dan kedua mata itu belum beranjak berubah.

Dicky merampas bukunya dariku dengan kasar. Tapi saat melihat wajahku, yang kali ini ia lumat tandas-tandas, setengah dari perasaan marahnya amblas. Terlihat sangat jelas di wajahnya.Ia mendekatkan wajahnya padaku yang tak punya jalan keluar, terus menangis meringkuk seperti anak kecil yang akan dimarahi ayahnya.

“Lo tahu nggak privasi itu hak semua orang?” bisiknya padaku. Kujawab dengan desah napas tangisanku. “Itu artinya, barusan lo melanggar hak asasi manusia!!”

Aku mendongak, menyerahkan mataku yang basah kuyup kepadanya. Sekarang, seluruh ekspresi marahnya amblas, tidak ada sisa sedikitpun. Ia diam menatapku, terlalu datar. Aku balik menatapnya, mengisi jeda dengan tangis yang perlahan-lahan berubah menjadi sesenggukan.

Semua kata itu sama. Mengapa. Mengapa. Mengapa .Dan setiap kata mengapa membutuhkan jawaban sejelas-jelasnya. Tetapi paru-paruku sedang disumpal buntalan kertas, sesak bukan main, dan enggan melanjutkan ini lebih lanjut.

Dicky menurunkan tangannya, tapi tak kugunakan kesempatan itu untuk lari. Ekspresinya getir sekarang.

“Lo suka matahari terbenam,” bisikku.

Dicky tercengang sampai tubuhnya terdorong ke belakang satu langkah.

“Gue ralat, lo-cinta-matahari-terbenam. Maniak bahkan...,” isakku. “Dan lo...,” suaraku tiba-tiba menukik tajam ke atas, membunuh bak peluru. “Udah kenal Arya, bahkan sok pasang muka nggak tahu ketika gue cerita soal dia!!” Suaraku cempreng dan parau. Aku tersenyum lebar tidak percaya. Mata Dicky diselimuti kabut tanpa bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Dia suka matahari terbit!” Aku membentak, sampai Dicky memejamkan matanya.

Dicky menggeleng-geleng lemah, bibirnya bergetar. “Kinal...”

“Yang satu suka matahari terbit, satunya matahari terbenam. Dan ternyata mereka sepupuan!! HUAHAHAHAHA!!!” Aku tertawa, kehilangan kewarasan.

“Kinal...,” panggil Dicky lirih sambil merentangkan tangan, menggapai lenganku.

Dengan kasar kutepis tangannya. Dicky menghela napas kecewa. “Lo tahu. Gue kayak orang imbesil. Dibodohi dengan mudahnya, oleh temen-sekelas-gue. Bener-bener dungu, dibohongi nyaris setahunan ini...”

“Kinal...”

“Gue kayak orang naif.”

“Kinal...” Dicky memanggil dengan nada memohon.

“Lo tahu semua tentang gue. Latar belakang gue. Rumah gue. Dan lo pura-pura nggak tahu??”

“Kinal, plis...”

Aku menghela napas keras-keras. Kuusap air mataku dengan kasar. Lalu sedetik, kuhujamkan tatapan paling tajam yang pernah aku lakukan padanya. Bahu Dicky tergerak.

Tapi hanya sebentar. Air mataku runtuh lagi, dan aku berjalan melewatinya. Tapi ia menangkap tanganku, lagi-lagi membisikkan namaku. Suaranya seperti orang mau bunuh diri.

Aku menoleh padanya, kutatap lagi dirinya dengan tajam. “Lo juga tahu nggak kalo ketenangan pribadi merupakan hak setiap manusia??!”

Mulut Dicky terbuka, tapi hanya ada angin yang keluar dari sana. Ia melepas tanganku. Kemudian aku berjalan menjauhinya. Langkahku berangsur-angsur makin cepat hingga akhirnya aku berlari, terus berlari dan meninggalkannya jauh di belakang.
 
Berharap aku juga bisa meninggalkan Arya, nun jauh di belakang.


@anggianab #CerbungKinalProject

Komentar