[Matahari Milikku] #20. Matahari Terbenam Membunuh Langit
Cerita Sebelumnya: [Matahari Milikku] #19. Bening Cahaya Matahari
“Gantungan bukan untuk diliatin, buruan
dipasang.”
Aku tersentak dan pikiranku yang
mengelana jauh terhenti. Dicky. Setelah mengatakan itu ia tersenyum, masih
senyum yang sama dengan tadi pagi, senyum
malaikat. Aku menurunkan pandangan, menggemgam bandul kecil itu dalam
tanganku. Dicky beranjak duduk di tempat biasa, di bangku yang ditinggalkan
pemiliknya tepat di depanku.
Ini pertama kalinya aku merasa
kehadirannya membuatku terganggu. Apa karena ia membuyarkan lamunanku tentang
gantungan ini? Untuk apa, kan lamunan ini bisa dilanjutkan nanti. Karena apa?
Jangan-jangan... senyumnya itu??
Aku menghela napas keras dan merutuki
diriku yang terlalu lemah. Itu hanya senyum... itu hanya senyum... Aku mencoba
menyugesti diriku sendiri.
“Ntar gue anter lo pulang,” katanya
tiba-tiba.
Kepalaku terangkat dan serta merta
mataku melotot. “Ngapain?” tanyaku ketus.
Ekspresi Dicky malah geli. “Nggak
ngapa-ngapain, cuman anterin lo pulang.”
Aku agak sensitif dengan kata
“cuman”-nya itu. “Nggak, makasih.”
“Lo khawatir masih pada hal yang sama?
Sepeda gue kan masih di tambal ban...”
“Ntar sore udah kelar kali,” aku
mengejek.
“Emang. Tapi supaya lo nggak lagi protes,
gue anter lo naik bus.”
Alisku tertaut jadi satu.
“Iya. Kita naik bus sama-sama.”
“Trus ntar lo pulang lagi naik bus
gitu?” tanyaku setengah tertawa sinis.
“Yang penting gue nggak meras keringat
boncengin lo kan? Udah nggak usah banyak protes, lo nggak bisa cegah gue naik
bus ke rumah lo, busnya bukan punya lo,” kata Dicky cepat dan nadanya tajam. Ia
beranjak berdiri dan melenggang pergi.
Aduh. Aku kan nggak bermaksud membuatnya
marah...
Saat aku masih sibuk bergulat dengan
diri sendiri untuk minta maaf atau tidak, Dicky ternyata melangkah kembali,
langkahnya lebar dan cepat. Dan ia tidak bisa menyembunyikan raut bersalah di
wajahnya itu.
Aku berusaha setenang mungkin.
“Lo laper? Gue mau ke kantin. Mau titip
sesuatu?” katanya halus dan ia tersenyum geli. Senyumnya itu mau tak mau
memanggil diriku yang lain dalam diriku, menarikku untuk ikut tersenyum.
Sepertinya caranya berhasil dan ia dapat menangkapnya reaksiku ini dengan
jelas, sehingga ia menoyor bahuku dan berkata, “Ketawa, ketawa aja kali.”
Dan tanpa ragu aku tersenyum lebar.
“Mau apa?” tanyanya.
“Hm, batagor aja deh. Minumnya terserah.”
Dicky mengangguk satu kali dan ia
berbalik badan.
“Eh, Dick!” panggilku lagi dan spontan
meraih tangannya. Ia berbalik lamban, dan aku buru-buru mengenyahkan tanganku
dari pergelangannya. Melihatnya, kening Dicky mengerut.
Aku melirik ke samping, pada Melody yang
mengangkat buku bahasa Indonesianya tinggi-tinggi. Menurutku ia tidak
benar-benar membaca, bukunya itu hanya sebagai tameng. Buktinya ia agak
meremang saat menyadari aku menatapnya lama, matanya bergulir ke sisi sekejap.
“Lo mau makan apa, Mel? Dicky yang
bayar!” kataku sok sambil menepuk-nepuk lengan cowok yang berdiri di samping.
Melody langsung menurunkan bukunya. “Hm,
boleh. Snack aja Dick sama air putih,”
katanya. Lagaknya itu semakin menguatkan dugaanku ia pecah konsentrasi baca
sejak saat Dicky datang.
Dicky melotot dan aku menyambutnya
dengan tawa. Tapi toh ia berbalik pergi, dan sebelumnya, ia tersenyum lagi.
***
Dicky membututiku dan ikut berdiri di
halte. Usahaku untuk pergi dari kelas sedetik setelah bel berbunyi sementara dia
masih sibuk dengan barang-barang yang masih berserakan, sia-sia. Aku lupa kalau
aku tak cukup beruntung untuk langsung mendapat bus saat sampai di
halte. Melihatnya, Dicky tersenyum penuh kemenangan.
“Mana gantungannya? Kok belum dipasang?”
ia berkata atau lebih tepatnya, memprotes. Lalu ia menggerakkan kelima jarinya,
seperti preman minta uang jatah. Buru-buru aku mengeluarkan gantungan matahari
bening itu dan menyerahkannya. Kemudian ia menarik tasku.
“Kan belum tentu gue pengen dipasang di
tas sekolah gue, Dick...”
“Gue maunya lo pasang di sini,” katanya
keras kepala sambil mengaitkan penarik resleting tasku dengan
gantungannya. “Biar gue tahu kalo lo bener-bener masang dan gue bisa liat tiap
hari.”
Aku menatapnya pura-pura kesal. Tapi
kelihatannya ia tidak menyadari. Kami bungkam sampai akhirnya bus jurusan
rumahku datang.
Setengah perjalanan kami habiskan dengan
ngobrol dan bercanda, dia yang mulai. Boleh jadi kami berdua yang paling berisik
di bus. Hingga akhirnya, seperti déjà vusaat
ia mengantarku pulang pertama kali dengan sepeda kayuh, kami berhenti ngoceh
karena perut kami sakit kebanyakan tertawa. Kami pun diam dan sepertinya, orang
yang ada di bus sejak kami naik menghembus napas lega.
Aku melempar pandangan keluar jendela. Menggunakan
waktu hening yang terbentang. Namun perlahan-lahan tangan kanan yang kuletakkan
di pangkuan meremang .Lalu disusul sentuhan membuat hangat menjalar perlahan,
makin lama, makin nyata. Aku menoleh pelan-pelan, dan menemukan tanganku yang
sudah dibungkus tangan lain.
Dengan jantung nyut-nyutan aku menaikkan
arah pandang menuju muka si pemilik tangan yang tak lain tak bukan orang di
sampingku. Tepat saat itu dari arah jendela bus sisi lainnya memancar terang
matahari sore. Bertepatan dengan sebelah muka Dicky.
Karena diterangi sinar matahari dari
samping aku bisa melihat matanya yang terlihat jernih. Sejernih tetesan embun
pagi. Cokelat warnanya dapat membuatku seperti mengecap rasa kopi tanpa harus
meminumnya. Lebih-lebih... eskpresinya yang tak bisa kubaca.
Dicky menarik tanganku yang digemgamnya
lebih dekat dengan tubuhnya. Lalu kurasa ia menggemgam lebih erat. Matanya tak
sedikitpun teralih. Aku terpana.
Selanjutnya kami terjebak dalam
keheningan super menjengahkan, setidaknya bagiku karena jantungku tidak bisa
tenang. Aku memalingkan muka, masih menatap jalanan, menyembunyikan pipi
merahku. Semesta mencatat waktu yang tercipta dengan tanganku yang masih
terbungkus tangannya, dan aku yakin, hari ini takkan pernah kulupa.
***
Aku melompat turun dari bus diikuti
Dicky dari belakang. Tangan kami berpisah, tentu saja. Kami menyusuri trotoar
dulu untuk sampai gang rumahku. Sepanjang itu juga aku menunduk, meremas-remas
tanganku sendiri.
Aku berbelok sambil terus menunduk,
tanpa menoleh ke belakang. Masih terus bergelut dengan diri sendiri. Nggak
biasanya Dicky begini. Dan mengapa... ia harus begini?
Beberapa meter sebelum mencapai rumah
aku mendengar suara langkah tergesa-gesa. Aku menoleh dan mendapati Dicky lari
ke arahku. Ia membawa plastik hitam besar dengan isi yang kelihatannya berat.
“Loh?” tanyaku begitu ia mencapaiku.
Dicky membungkuk sebentar untuk mengatur
napas. “Pasti lo nggak nyadar kalo gue nggak ngikutin lo lagi sejak lo belok
gang.”
“Haeh?” tanyaku linglung. “Emang lo ke
mana?”
“Yuk!” katanya lalu berjalan begitu
saja, mengacuhkan pertanyaanku.
Ia membuka pintu pagar untukku lalu
membungkuk dan mengayunkan tangan seperti menyambut tuan puteri. Aku tertawa
garing.
“Kok pintunya ditutup?” tanya Dicky
sambil memandang kusen pintu rumahku.
“Ya. Mama pergi sama Papa.” Kataku,
teringat SMS Mama kalau kunci pintu ada di bawah keset.
“Kok pagarnya nggak dikunci?”
“Artinya mereka nggak pergi jauh.”
Dicky manggut-manggut.
“Lo cowok paling aneh yang pernah gue
tahu.”
Kedua alis Dicky terangkat. “Kenapa?”
“Ngapain kudu nganterin gue sementara
rumah lo deket banget ama sekolah. Bela-belain naik bis pula!”
“Nah, elo gue anter pake sepeda kagak
mau.”
“Gue juga punya rasa perikemanusiaan
tahu. Masa lo harus anter-jemput gue
pake sepeda kayuh? Iya kalo jaraknya deket, searah, nah ini udah jauh, kudu
puter balik pula.”
“Kan gue yang minta,” bantahnya santai.
“Ya nggak bisa. Lo bukan supir, gue nggak
gaji elo.”
“Gaji gue udah cukup,” katanya sambil
tersenyum simpul.
Aku mengangkat sebelah alis.
“Dengan liat lo tiap hari, bagi gue udah
cukup.”
Aku terhenyak, alisku turun. Lalu
menatapnya dengan tatapan yang sama seperti di bus barusan.
“Oya, ini buat lo,” katanya lembut
sambil menyodorkan plastik hitam yang daritadi ditentengnya. Aku berpikir ia
berhenti sebentar sementara aku terus jalan tadi, karena mengambil barang ini.
Aku menerimanya dan membuka
bungkusannya. Pot tanaman berwarna hitam sudah terisi tanah dan
pupuk. Permukaannya lembab. “Pot?”
“Itu udah ditanam benih.”
“Tanaman apa?”
“Bunga.”
“Bunga apa?”
Dicky tersenyum misterius. “Entahlah, gue
juga nggak tahu. Gue minta tolong, dirawat ya. Begitu bunganya mekar, kasih tahu
gue bunga apa itu.”
Aku diam saja.
“Dijaga ya?” katanya, nadanya memohon.
Aku mengangguk sambil tersenyum.“Ya.”
“Mungkin bakal mekar sekitar 3 minggu
lagi.Jangan lupa lapor!”
“Siap bos. Tapi kenapa lo minta tolong
gue? Lo nggak bisa sendiri?”
Dicky tersenyum takzim. “Gue pulang dulu
ya...”
Lagi-lagi pertanyaanku dijadikan kacang.
“Ya.”
“Dua minggu lagi UN.”
“Ya.”
“Semangat!”
“Ya. Lo juga.”
“Jaga kesehatan, belajar keras boleh,
tapi jangan lupa makan,” katanya lembut dengan tangan terulur untuk mengusap
sebelah pipiku. Mataku melotot lebar. Rasanya aku ingin melepas peganganku
terhadap plastik yang membungkus pot, tapi ternyata, aku tidak bisa. Aku malah
mencengkramnya kuat-kuat sampai kulitku memutih. Aku menahan napas ketika
wajahnya kian dekat dengan wajahku.
***
Dengan serampangan, Dicky meletakkan tas
sekolahnya di kursi belajar. Sesuatu mengusiknya saat perjalanan pulang
tadi. Itu-itu lagi .Lantas Dicky merasa bosan, lalu meneguhkan diri. Ia bisa
mengatasi ini! jeritnya tertahan.
Lalu cowok itu berdiri tegap dengan
tangan terkepal seolah menantang, menatap keluar pintu kaca balkon yang bening.
Warna-warni jingga yang
dilihatnya. Lingkaran merah itu tinggal setengah. Awan-awan bak kapas menyelimuti
sebagian badannya. Matahari senja. Matahari terbenam menancapkan sembilu dengan
jilatan cahayanya. Lihat ke arah langit sekarang! Matahari terbenam membunuh
langit! Langit memerah, bersimbah darah!
Matahari terbenam membunuh langit.
Lalu dengan kaku Dicky memutar badannya
ke samping. Saking kakunya, seperti terlihat anggota paskibra baru yang sedang
ujian. Dengan napas memburu ditatapnya bingkai foto yang tertempel di dinding,
di ujung ranjang.
Kedua tangan Dicky terkepal makin kuat
hingga memutih, seiring tekadnya yang perlahan kuat hingga kemudian... menjadi
sekeras batu.
“Gue suka cewek lo,” katanya pada
bingkai foto dengan suara serak namun menantang. “Gue baru aja cium keningnya.”
Gubrak! Tas sekolah jatuh dari kursi
belajar. Membuat bahu Dicky tersentak.
Dicky memejamkan mata kuat-kuat,
badannya bergetar hebat. Ada yang marah.
Ada yang marah…
Ada yang marah…
Ini cuman delusi gue… ini cuman delusi…
delusi!! bisik Dicky dalam hati.
Ini cuman delusi gue!
Zlap! Dicky membuka mata tiba-tiba,
matanya berkobar marah.
“Gue suruh dia tanam bunga. Begitu dia
tahu bunga apa itu, gue bakal ngomong semuanya,” jelas Dicky susah payah.
H e n i n g.
“Sekeras apapun lo cegah gue, gue nggak
mundur. Nggak akan pernah bisa. Maafin gue,” Air mata mulai menetes menciptakan
jalanan kecil di pipi cowok itu.“Gue nggak bisa menahan diri. Gue cinta dia.
Gue cinta cewek lu!”
Wuuusss!!! Angin tiba-tiba masuk tanpa
permisi menabrak pintu kaca balkon hingga terbuka. Bingkainya membentur keras
tembok, kacanya bergetar hebat, membuat bunyi keras memekakan. Begitu keras,
sehingga bagi Dicky ia merasa ditampar. Kembali Dicky memejamkan mata
kuat-kuat, tanpa bisa menghentikan air mata yang mengucur.
Ada yang marah…
Ini cuman delusi!
Hingga matahari condong lalu lenyap
menuju peraduan, Dicky masih terdiam seperti patung batu marmer. Ketika sinar
bulan penuh yang cemerlang masuk melalui pintu balkon yang terbuka, baru Dicky
menghempaskan diri duduk di pinggir ranjang. Masih menunduk.
Langit sudah mati. Redup. Hitam. Tanpa
bintang. Bintang sudah jatuh. Bulan menyeringai sinis.
Matahari terbenam telah membunuh langit!
Darahnya sudah surut namun meninggalkan bekas luka yang makin lama… makin
hitam.
***
Belasan kilometer dari rumah Dicky,
sejenak sebelum matahari pergi...
Aku sedang memandangi gantungan matahari
yang diberikan Dicky tadi pagi. Aku lepas sejenak dari tas. Aku duduk di teras
balkon, dengan kedua tangan menumpu pada teralis balkon. Tepat di belakang
bandul itu, matahari terbenam menunggu detik demi detik dirinya singgah ke
belahan bumi yang lain.
Bandul itu sebesar jempol kaki orang
dewasa dan terbuat dari plastik. Tengahnya bulat berwarna oranye seperti warna matahari yang umumnya
digambar anak-anak TK jika sedang disuruh menggambar pemandangan. Di sekeliling
lingkaran itu ada kontur-kontur bergelombang berwana kuning, merefleksikan
sinar matahari. Sambil memandanginya, aku mengingat kembali percakapanku dengan
Dicky pagi tadi...
“Kenapa
matahari?” tanyaku.
Bahu
Dicky bergerak sedikit seperti terguncang namun ia berusaha menutupinya. “Ya,
nggak papa. Tadi gue nemu di pinggir jalan...”
“Nemu??”
tanyaku penuh penekanan.
“Maksudnya
ada yang jualan di pinggir jalan. Kenapa? Lo nggak suka?”
“Suka
kok.”
Hening
sejenak. Seolah kami melupakan kewajiban masuk kelas segera dan memilih untuk
mengisinya dengan sibuk berkutat pikiran masing-masing.
“Jangan
sampai hilang,” pesan Dicky, akhirnya. “Itu matahari pemberian gue.”
Alisku
terangkat.
“Matahari
kecil dari gue...” katanya berbisik. Saat aku membuka mulut untuk bertanya, ia
sudah meraih tanganku dan menyeretnya menuju kelas. Aku bisa saja menanyakannya
sekarang sebelum sampai di kelas, tapi pada saat aku melihatnya dari
belakangnya kini, serasa ada aura menguar dari tubuhnya, menyuruhku
bungkam. Mulutku pun terkatup rapat.
Aku menghembus napas dan menurunkan
gantungan itu dari pandanganku. Matahari tinggal beberapa detik lagi
menghilang. Senja. Matahari terbenam...
Melihatnya aku mengingat sesuatu yang
membuatku bergidik tadi di bus, dan kemarin saat sebelum Dicky menggoncengku
pulang dari taman saat kami nyanyi-nyanyi nggak jelas itu. Seperti noktah yang
sama dengan apa yang ada di depanku sekarang. Matahari terbenam. Matahari
terbenam seolah ada di kandungan mata Dicky.
Aku tertegun. Lalu untuk apa aku
bergidik? Dan lagi, di bus tadi matahari sore pun tepat di samping
wajahnya. Memangnya kenapa?
Bruk!! Aku menoleh cepat dan menemukan
salah satu buku pelajaran yang terjejer di meja belajarku terjatuh. Badanku
tiba-tiba melemas seolah setengah jiwaku ditarik keluar, dan genggaman atas
gantungan itu melemah. Bunyi tring berhasil membebaskanku dari ketercengangan
dan aku mendapati gantungan itu memantul lantai balkon dan langsung jatuh ke
bawah, ke tanah. Refleks aku merentangkan tangan untuk menggapai, tapi aku
terlambat.
Buru-buru aku menghambur keluar dan
turun menuju halaman depan. Aku meraih gantunganku dan kuusap dengan ibu jari
karena ternodai oleh remah tanah. Aku kembali masuk sambil terus menggemgam
gantungan dan menaiki anak tangga. Namun sampai di depan pintu kamarku yang
terbuka, aku berhenti.
Sesuatu menahanku. Set! Matahari lenyap
total. Mendadak sesuatu itu membuatku enggan masuk kamarku sendiri. Dan dengan
bingung, aku melihat buku pelajaranku yang jatuh dari
meja belajar.
@anggianab #CerbungKinalProject
Komentar
Posting Komentar