[Matahari Milikku] #20. Matahari Terbenam Membunuh Langit




“Gantungan bukan untuk diliatin, buruan dipasang.”

Aku tersentak dan pikiranku yang mengelana jauh terhenti. Dicky. Setelah mengatakan itu ia tersenyum, masih senyum yang sama dengan tadi pagi, senyum malaikat. Aku menurunkan pandangan, menggemgam bandul kecil itu dalam tanganku. Dicky beranjak duduk di tempat biasa, di bangku yang ditinggalkan pemiliknya tepat di depanku.

Ini pertama kalinya aku merasa kehadirannya membuatku terganggu. Apa karena ia membuyarkan lamunanku tentang gantungan ini? Untuk apa, kan lamunan ini bisa dilanjutkan nanti. Karena apa? Jangan-jangan... senyumnya itu??

Aku menghela napas keras dan merutuki diriku yang terlalu lemah. Itu hanya senyum... itu hanya senyum... Aku mencoba menyugesti diriku sendiri.

“Ntar gue anter lo pulang,” katanya tiba-tiba.


Kepalaku terangkat dan serta merta mataku melotot. “Ngapain?” tanyaku ketus.

Ekspresi Dicky malah geli. “Nggak ngapa-ngapain, cuman anterin lo pulang.”

Aku agak sensitif dengan kata “cuman”-nya itu. “Nggak, makasih.”

“Lo khawatir masih pada hal yang sama? Sepeda gue kan masih di tambal ban...”

“Ntar sore udah kelar kali,” aku mengejek.

“Emang. Tapi supaya lo nggak lagi protes, gue anter lo naik bus.”

Alisku tertaut jadi satu.

“Iya. Kita naik bus sama-sama.”

“Trus ntar lo pulang lagi naik bus gitu?” tanyaku setengah tertawa sinis.

“Yang penting gue nggak meras keringat boncengin lo kan? Udah nggak usah banyak protes, lo nggak bisa cegah gue naik bus ke rumah lo, busnya bukan punya lo,” kata Dicky cepat dan nadanya tajam. Ia beranjak berdiri dan melenggang pergi.

Aduh. Aku kan nggak bermaksud membuatnya marah...

Saat aku masih sibuk bergulat dengan diri sendiri untuk minta maaf atau tidak, Dicky ternyata melangkah kembali, langkahnya lebar dan cepat. Dan ia tidak bisa menyembunyikan raut bersalah di wajahnya itu.

Aku berusaha setenang mungkin.

“Lo laper? Gue mau ke kantin. Mau titip sesuatu?” katanya halus dan ia tersenyum geli. Senyumnya itu mau tak mau memanggil diriku yang lain dalam diriku, menarikku untuk ikut tersenyum. Sepertinya caranya berhasil dan ia dapat menangkapnya reaksiku ini dengan jelas, sehingga ia menoyor bahuku dan berkata, “Ketawa, ketawa aja kali.”

Dan tanpa ragu aku tersenyum lebar.

“Mau apa?” tanyanya.

“Hm, batagor aja deh. Minumnya terserah.”

Dicky mengangguk satu kali dan ia berbalik badan.

“Eh, Dick!” panggilku lagi dan spontan meraih tangannya. Ia berbalik lamban, dan aku buru-buru mengenyahkan tanganku dari pergelangannya. Melihatnya, kening Dicky mengerut.

Aku melirik ke samping, pada Melody yang mengangkat buku bahasa Indonesianya tinggi-tinggi. Menurutku ia tidak benar-benar membaca, bukunya itu hanya sebagai tameng. Buktinya ia agak meremang saat menyadari aku menatapnya lama, matanya bergulir ke sisi sekejap.

“Lo mau makan apa, Mel? Dicky yang bayar!” kataku sok sambil menepuk-nepuk lengan cowok yang berdiri di samping.

Melody langsung menurunkan bukunya. “Hm, boleh. Snack aja Dick sama air putih,” katanya. Lagaknya itu semakin menguatkan dugaanku ia pecah konsentrasi baca sejak saat Dicky datang.

Dicky melotot dan aku menyambutnya dengan tawa. Tapi toh ia berbalik pergi, dan sebelumnya, ia tersenyum lagi.

***

Dicky membututiku dan ikut berdiri di halte. Usahaku untuk pergi dari kelas sedetik setelah bel berbunyi sementara dia masih sibuk dengan barang-barang yang masih berserakan, sia-sia. Aku lupa kalau aku tak cukup beruntung untuk langsung mendapat bus saat sampai di halte. Melihatnya, Dicky tersenyum penuh kemenangan.

“Mana gantungannya? Kok belum dipasang?” ia berkata atau lebih tepatnya, memprotes. Lalu ia menggerakkan kelima jarinya, seperti preman minta uang jatah. Buru-buru aku mengeluarkan gantungan matahari bening itu dan menyerahkannya. Kemudian ia menarik tasku.

“Kan belum tentu gue pengen dipasang di tas sekolah gue, Dick...”

“Gue maunya lo pasang di sini,” katanya keras kepala sambil mengaitkan penarik resleting tasku dengan gantungannya. “Biar gue tahu kalo lo bener-bener masang dan gue bisa liat tiap hari.”

Aku menatapnya pura-pura kesal. Tapi kelihatannya ia tidak menyadari. Kami bungkam sampai akhirnya bus jurusan rumahku datang.

Setengah perjalanan kami habiskan dengan ngobrol dan bercanda, dia yang mulai. Boleh jadi kami berdua yang paling berisik di bus. Hingga akhirnya, seperti déjà vusaat ia mengantarku pulang pertama kali dengan sepeda kayuh, kami berhenti ngoceh karena perut kami sakit kebanyakan tertawa. Kami pun diam dan sepertinya, orang yang ada di bus sejak kami naik menghembus napas lega.

Aku melempar pandangan keluar jendela. Menggunakan waktu hening yang terbentang. Namun perlahan-lahan tangan kanan yang kuletakkan di pangkuan meremang .Lalu disusul sentuhan membuat hangat menjalar perlahan, makin lama, makin nyata. Aku menoleh pelan-pelan, dan menemukan tanganku yang sudah dibungkus tangan lain.

Dengan jantung nyut-nyutan aku menaikkan arah pandang menuju muka si pemilik tangan yang tak lain tak bukan orang di sampingku. Tepat saat itu dari arah jendela bus sisi lainnya memancar terang matahari sore. Bertepatan dengan sebelah muka Dicky.

Karena diterangi sinar matahari dari samping aku bisa melihat matanya yang terlihat jernih. Sejernih tetesan embun pagi. Cokelat warnanya dapat membuatku seperti mengecap rasa kopi tanpa harus meminumnya. Lebih-lebih... eskpresinya yang tak bisa kubaca.

Dicky menarik tanganku yang digemgamnya lebih dekat dengan tubuhnya. Lalu kurasa ia menggemgam lebih erat. Matanya tak sedikitpun teralih. Aku terpana.

Selanjutnya kami terjebak dalam keheningan super menjengahkan, setidaknya bagiku karena jantungku tidak bisa tenang. Aku memalingkan muka, masih menatap jalanan, menyembunyikan pipi merahku. Semesta mencatat waktu yang tercipta dengan tanganku yang masih terbungkus tangannya, dan aku yakin, hari ini takkan pernah kulupa.

***

Aku melompat turun dari bus diikuti Dicky dari belakang. Tangan kami berpisah, tentu saja. Kami menyusuri trotoar dulu untuk sampai gang rumahku. Sepanjang itu juga aku menunduk, meremas-remas tanganku sendiri.

Aku berbelok sambil terus menunduk, tanpa menoleh ke belakang. Masih terus bergelut dengan diri sendiri. Nggak biasanya Dicky begini. Dan mengapa... ia harus begini?

Beberapa meter sebelum mencapai rumah aku mendengar suara langkah tergesa-gesa. Aku menoleh dan mendapati Dicky lari ke arahku. Ia membawa plastik hitam besar dengan isi yang kelihatannya berat.

“Loh?” tanyaku begitu ia mencapaiku.

Dicky membungkuk sebentar untuk mengatur napas. “Pasti lo nggak nyadar kalo gue nggak ngikutin lo lagi sejak lo belok gang.”

“Haeh?” tanyaku linglung. “Emang lo ke mana?”

“Yuk!” katanya lalu berjalan begitu saja, mengacuhkan pertanyaanku.

Ia membuka pintu pagar untukku lalu membungkuk dan mengayunkan tangan seperti menyambut tuan puteri. Aku tertawa garing.

“Kok pintunya ditutup?” tanya Dicky sambil memandang kusen pintu rumahku.

“Ya. Mama pergi sama Papa.” Kataku, teringat SMS Mama kalau kunci pintu ada di bawah keset.

“Kok pagarnya nggak dikunci?”

“Artinya mereka nggak pergi jauh.”

Dicky manggut-manggut.

“Lo cowok paling aneh yang pernah gue tahu.”

Kedua alis Dicky terangkat. “Kenapa?”

“Ngapain kudu nganterin gue sementara rumah lo deket banget ama sekolah. Bela-belain naik bis pula!”

“Nah, elo gue anter pake sepeda kagak mau.”

“Gue juga punya rasa perikemanusiaan tahu. Masa lo harus anter-jemput gue pake sepeda kayuh? Iya kalo jaraknya deket, searah, nah ini udah jauh, kudu puter balik pula.”

“Kan gue yang minta,” bantahnya santai.

“Ya nggak bisa. Lo bukan supir, gue nggak gaji elo.”

“Gaji gue udah cukup,” katanya sambil tersenyum simpul.

Aku mengangkat sebelah alis.

“Dengan liat lo tiap hari, bagi gue udah cukup.”

Aku terhenyak, alisku turun. Lalu menatapnya dengan tatapan yang sama seperti di bus barusan.

“Oya, ini buat lo,” katanya lembut sambil menyodorkan plastik hitam yang daritadi ditentengnya. Aku berpikir ia berhenti sebentar sementara aku terus jalan tadi, karena mengambil barang ini.

Aku menerimanya dan membuka bungkusannya. Pot tanaman berwarna hitam sudah terisi tanah dan pupuk. Permukaannya lembab. “Pot?”

“Itu udah ditanam benih.”

“Tanaman apa?”

“Bunga.”

“Bunga apa?”

Dicky tersenyum misterius. “Entahlah, gue juga nggak tahu. Gue minta tolong, dirawat ya. Begitu bunganya mekar, kasih tahu gue bunga apa itu.”

Aku diam saja.

“Dijaga ya?” katanya, nadanya memohon.

Aku mengangguk sambil tersenyum.“Ya.”

“Mungkin bakal mekar sekitar 3 minggu lagi.Jangan lupa lapor!”

“Siap bos. Tapi kenapa lo minta tolong gue? Lo nggak bisa sendiri?”

Dicky tersenyum takzim. “Gue pulang dulu ya...”

Lagi-lagi pertanyaanku dijadikan kacang.

“Ya.”

“Dua minggu lagi UN.”

“Ya.”

“Semangat!”

“Ya. Lo juga.”

“Jaga kesehatan, belajar keras boleh, tapi jangan lupa makan,” katanya lembut dengan tangan terulur untuk mengusap sebelah pipiku. Mataku melotot lebar. Rasanya aku ingin melepas peganganku terhadap plastik yang membungkus pot, tapi ternyata, aku tidak bisa. Aku malah mencengkramnya kuat-kuat sampai kulitku memutih. Aku menahan napas ketika wajahnya kian dekat dengan wajahku.

***

Dengan serampangan, Dicky meletakkan tas sekolahnya di kursi belajar. Sesuatu mengusiknya saat perjalanan pulang tadi. Itu-itu lagi .Lantas Dicky merasa bosan, lalu meneguhkan diri. Ia bisa mengatasi ini! jeritnya tertahan.

Lalu cowok itu berdiri tegap dengan tangan terkepal seolah menantang, menatap keluar pintu kaca balkon yang bening.

Warna-warni jingga yang dilihatnya. Lingkaran merah itu tinggal setengah. Awan-awan bak kapas menyelimuti sebagian badannya. Matahari senja. Matahari terbenam menancapkan sembilu dengan jilatan cahayanya. Lihat ke arah langit sekarang! Matahari terbenam membunuh langit! Langit memerah, bersimbah darah!

Matahari terbenam membunuh langit.

Lalu dengan kaku Dicky memutar badannya ke samping. Saking kakunya, seperti terlihat anggota paskibra baru yang sedang ujian. Dengan napas memburu ditatapnya bingkai foto yang tertempel di dinding, di ujung ranjang.

Kedua tangan Dicky terkepal makin kuat hingga memutih, seiring tekadnya yang perlahan kuat hingga kemudian... menjadi sekeras batu.

“Gue suka cewek lo,” katanya pada bingkai foto dengan suara serak namun menantang. “Gue baru aja cium keningnya.”

Gubrak! Tas sekolah jatuh dari kursi belajar. Membuat bahu Dicky tersentak.

Dicky memejamkan mata kuat-kuat, badannya bergetar hebat. Ada yang marah.

Ada yang marah…

Ada yang marah…

Ini cuman delusi gue… ini cuman delusi… delusi!! bisik Dicky dalam hati.

Ini cuman delusi gue!

Zlap! Dicky membuka mata tiba-tiba, matanya berkobar marah.

“Gue suruh dia tanam bunga. Begitu dia tahu bunga apa itu, gue bakal ngomong semuanya,” jelas Dicky susah payah.

H e n i n g.

“Sekeras apapun lo cegah gue, gue nggak mundur. Nggak akan pernah bisa. Maafin gue,” Air mata mulai menetes menciptakan jalanan kecil di pipi cowok itu.“Gue nggak bisa menahan diri. Gue cinta dia. Gue cinta cewek lu!”

Wuuusss!!! Angin tiba-tiba masuk tanpa permisi menabrak pintu kaca balkon hingga terbuka. Bingkainya membentur keras tembok, kacanya bergetar hebat, membuat bunyi keras memekakan. Begitu keras, sehingga bagi Dicky ia merasa ditampar. Kembali Dicky memejamkan mata kuat-kuat, tanpa bisa menghentikan air mata yang mengucur.

Ada yang marah…

Ini cuman delusi!

Hingga matahari condong lalu lenyap menuju peraduan, Dicky masih terdiam seperti patung batu marmer. Ketika sinar bulan penuh yang cemerlang masuk melalui pintu balkon yang terbuka, baru Dicky menghempaskan diri duduk di pinggir ranjang. Masih menunduk.

Langit sudah mati. Redup. Hitam. Tanpa bintang. Bintang sudah jatuh. Bulan menyeringai sinis.

Matahari terbenam telah membunuh langit! Darahnya sudah surut namun meninggalkan bekas luka yang makin lama… makin hitam.

***

Belasan kilometer dari rumah Dicky, sejenak sebelum matahari pergi...

Aku sedang memandangi gantungan matahari yang diberikan Dicky tadi pagi. Aku lepas sejenak dari tas. Aku duduk di teras balkon, dengan kedua tangan menumpu pada teralis balkon. Tepat di belakang bandul itu, matahari terbenam menunggu detik demi detik dirinya singgah ke belahan bumi yang lain.

Bandul itu sebesar jempol kaki orang dewasa dan terbuat dari plastik. Tengahnya bulat berwarna oranye seperti warna matahari yang umumnya digambar anak-anak TK jika sedang disuruh menggambar pemandangan. Di sekeliling lingkaran itu ada kontur-kontur bergelombang berwana kuning, merefleksikan sinar matahari. Sambil memandanginya, aku mengingat kembali percakapanku dengan Dicky pagi tadi...
 
“Kenapa matahari?” tanyaku.

Bahu Dicky bergerak sedikit seperti terguncang namun ia berusaha menutupinya. “Ya, nggak papa. Tadi gue nemu di pinggir jalan...”

“Nemu??” tanyaku penuh penekanan.

“Maksudnya ada yang jualan di pinggir jalan. Kenapa? Lo nggak suka?”

“Suka kok.”

Hening sejenak. Seolah kami melupakan kewajiban masuk kelas segera dan memilih untuk mengisinya dengan sibuk berkutat pikiran masing-masing.

“Jangan sampai hilang,” pesan Dicky, akhirnya. “Itu matahari pemberian gue.”

Alisku terangkat.

“Matahari kecil dari gue...” katanya berbisik. Saat aku membuka mulut untuk bertanya, ia sudah meraih tanganku dan menyeretnya menuju kelas. Aku bisa saja menanyakannya sekarang sebelum sampai di kelas, tapi pada saat aku melihatnya dari belakangnya kini, serasa ada aura menguar dari tubuhnya, menyuruhku bungkam. Mulutku pun terkatup rapat.

Aku menghembus napas dan menurunkan gantungan itu dari pandanganku. Matahari tinggal beberapa detik lagi menghilang. Senja. Matahari terbenam...

Melihatnya aku mengingat sesuatu yang membuatku bergidik tadi di bus, dan kemarin saat sebelum Dicky menggoncengku pulang dari taman saat kami nyanyi-nyanyi nggak jelas itu. Seperti noktah yang sama dengan apa yang ada di depanku sekarang. Matahari terbenam. Matahari terbenam seolah ada di kandungan mata Dicky.

Aku tertegun. Lalu untuk apa aku bergidik? Dan lagi, di bus tadi matahari sore pun tepat di samping wajahnya. Memangnya kenapa?

Bruk!! Aku menoleh cepat dan menemukan salah satu buku pelajaran yang terjejer di meja belajarku terjatuh. Badanku tiba-tiba melemas seolah setengah jiwaku ditarik keluar, dan genggaman atas gantungan itu melemah. Bunyi tring berhasil membebaskanku dari ketercengangan dan aku mendapati gantungan itu memantul lantai balkon dan langsung jatuh ke bawah, ke tanah. Refleks aku merentangkan tangan untuk menggapai, tapi aku terlambat.

Buru-buru aku menghambur keluar dan turun menuju halaman depan. Aku meraih gantunganku dan kuusap dengan ibu jari karena ternodai oleh remah tanah. Aku kembali masuk sambil terus menggemgam gantungan dan menaiki anak tangga. Namun sampai di depan pintu kamarku yang terbuka, aku berhenti.

Sesuatu menahanku. Set! Matahari lenyap total. Mendadak sesuatu itu membuatku enggan masuk kamarku sendiri. Dan dengan bingung, aku melihat buku pelajaranku yang jatuh dari meja belajar.


@anggianab #CerbungKinalProject

Komentar