Semprotan Parfum
“Habis
beli parfum baru nih! Mo nyium wanginya?”
Rina
menggeleng acuh. “Ogah ah. Belinya di toko baru yang denger-denger murah ya?”
“Yuuuuupppp...”
Fani berkata bangga.
“Baunya
paling nggak enak!” cemooh Rina.
Fani
mendelik tapi matanya bersinar menantang. “Ih, nggak percaya? Coba deh!”
Rina
mengelak dan mencoba kabur dari Fani yang hendak menyemprotkan cairan yang
berwarna ungu itu. Kontan aku yang sedang menarik tas Rina sepanjang perjalanan
dari kelas menuju lab. Bahasa ikutan tertarik ke depan, hingga semprotan itu
mengenai mataku.
“Aaaaah!!”
Aku melepaskan tanganku dari tas Rina dan mengucek mataku. Buntut-buntutnya
jadi makin perih.
“Ya
ampun, Mik? Kamu nggak papa? Aku nggak sengajaaaaa, soriiiiii,” Fani menarik
lengan bajuku dan merangkul bahuku, memohon maaf.
Kucoba
membuka mata namun perih itu menusuk-nusuk mataku. Kupejamkan mata lagi,
mencoba menetralkannya. Sekian lama, akhirnya aku mengerjap-ngerjap,
menormalkan pandanganku.
“Mik?
Kamu nggak papa kan?” tanya Fani di sampingku.
Aku
tersenyum padanya. “Nggak papa kok.”
“Kamu
sih Rin, pake acara ngehindar,” tuduh Fani.
Rina
bengong. “Eh, yang ada kamu main semprot sembarangan. Kan aku bilang nggak mau!”
“Lho?”
Aku melontarkan kata yang tak seharusnya. Aku mengatakannya karena merasakan
sesuatu yang berbeda di sini. Aku yakin aku takkan mengalami pikun dini,
sebelum kena semprotan nyasar tadi, sore hari di sekolah ini terang benderang
di sinari matahari. Tapi kenapa, suasanannya jadi mau maghrib begini?
Dugaanku
makin kuat ketika kudapati kami hanya bertiga di sini. Di gedung sebrang lantai
3 sekolah kami. Aku yakin kami bukan barisan terakhir perjalanan ke lab.
Bahasa, tapi kenapa tiba-tiba kami... sendirian?
Apa aku memejamkan mata terlalu lama tadi, sehingga teman-temanku yang lain
sudah masuk ruangan semua?
Lalu
mengapa tiba-tiba matahari menghilang?
“Yang
lain ke mana?” Kali ini Fani yang bertanya.
Kurasa
tak hanya aku yang merasa aneh.
Rina
menghampiri pinggiran balkon, melihat ke bawah. “Sekolah jadi sepi begini?”
Rina nyaris terdengar berbisik, jika suasana hening tak mencekam pasti aku tak
dapat menangkap suaranya. Bisikan Rina mengundang angin sepoi-sepoi namun
terasa dingin di kulitku, membuat bulu kudukku seluruhnya berdiri.
Rina
yang ada di depan aku dan Fani menatap kami berdua. Penuh tanda tanya.
Angin
terus bertiup, mengundang panas yang langsung menjalar di perutku. Kantung
kemihku penuh.
“Faaan,
aku pengen pipiiiiiisss.” Aku merengek pada Fani.
Belum
sempat Fani menjawab, terdengar suara pintu dibuka lalu ditutup. Kami bertiga
kompak melihat ke arah sumber suara, melotot maksimal. Menggelitikku, sehingga
aku benar-benar ingin pipis di tempat. Apalagi hawa dingin yang terus menerpa, langkah-langkah
misterius itu lambat laun terdengar lebih dekat, lebih dekat, lebih dekat,
daan...
Kami
bertiga nyaris menjerit, tapi di waktu yang sama menghembus napas lega. Pak
Karim, guru Bahasa kami mendekat.
“Fan!
Seriusan nih, aku pengen pipiiiiiiiiiisss!!” rengekku lagi, teringat karena
kakiku mulai tak bisa diam.
“Ya
udah iya aku anterin.”
“Kalian
mau ke mana?” tanya Pak Karim sebelum satu di antara kami meminta izin.
Suaranya terdengar menggelegar dan menggema.
“Kamar
mandi, Pak.”
“Kalau
begitu bareng ya.”
Kami
semua kompak mengangkat alis.
“Maksud
saya bareng ke lantai bawah.”
Rina
nyengir, tapi kemudian berkata, “Lho, Pak ngapain ke bawah?”
“Kembali
ke ruangan guru.”
“Lho?
Ngapain Pak? Bukannya habis gini kita mau praktek?”
Alis
Pak Karim bertaut, tapi tak satupun kata keluar dari mulutnya. Beliau masih
bungkam sehingga mendahului menyusuri tangga turun. Kami pun tak mengatakan
apapun. Kalau aku, memang sudah kepepet kebelet pipis.
Pak
Karim menyusuri kelas-kelas di lantai dua yang pintunya seluruhnya terbuka,
tapi sepi tanpa satupun makhluk hidup di dalamnya. Aku masuk ke kamar mandi
tanpa kata lagi, keburu pipis di celana. Saat aku menyiram air, terdengar suara
yang mengagetkan aku. Tentu, sekolah begitu sunyi tanpa satu suara pun, dan
suara yang tiba-tiba datang itu begitu keras, memecah keheningan.
Kamar
mandi lantai dua berada di bawah tangga menuju lantai tiga. Kurasakan atap
kamar mandi ini bergetar, jadi kukira suara itu berasal dari hentakan kaki
seseorang yang hendak turun, meski bagiku terlalu keras bunyinya. Dengan
perasaan nggak enak aku keluar dari kamar mandi, menghampiri teman-temanku yang
lain.
“Yuk
pulang aja,” kata Fani enteng, tanpa ekspresi. Rina sibuk dengan ponselnya,
sementara aku membenahi letak rok yang belum rapi karena terburu-buru keluar
dari kamar mandi.
Kami
berbalik hendak turun, tapi sesuatu menghentikan langkahku. Mataku melotot
maksimal.
Brak!
“Ups!”
ucap Fani. Jam tangannya jatuh. “Waduh, kok mati?”
Sementara
Fani sibuk dengan jam tangannya, Rina sibuk dengan ponselnya, aku sibuk melotot
ke arah tangga menuju lantai tiga. Gigiku gemeletukan menahan udara dingin yang
menyerang, kakiku bergetar meski aku nggak kebelet pipis lagi, dan tubuhku
sukses membeku di tempat.
Seseorang
menatap kosong ke arahku. Bajunya compang-camping tercabik-cabik. Pipinya
tergores luka yang kuyakini diciptakan dengan pisau. Berdarah. Rambutnya kusut
menjuntai ke segala arah.
Ia menatapku. Kosong tanpa makna, tapi
untuk apa?
Pak
Karim datang tergesa-gesa ke arah kami. “Yuk, turun.”
“Bapaaak...”
Suaraku bergetar memanggilnya. Tanganku terulur memegangi lengan kemeja
panjangnya. Aku tahu bahwa aku tak ingin melihat semua ini, tapi aku tak juga
mengerti kenapa pandanganku terpaku ke sana.
“Ada
apa, Mik?”
Akhirnya
aku memalingkan wajah. Aku menangis di balik lengan Pak Karim, berbisik
padanya. “Bapak juga lihat kan...?”
Tak
ada jawaban, tapi aku merasa tubuhnya ikutan tegang. Jadi kurasa beliau tahu
maksudku dan juga ikut melihatnya.
“Oke,
Rina, Fani, Mika... Dengarkan aba-aba saya. Kode satu, kalian harus lari. Kode
dua, jangan coba-coba lihat ke arah sana, pura-puralah nggak peduli dan terus
melangkah.”
“Maksud
Bapak apa?” Kudengar Fani bertanya.
Aku
menoleh. “Fan, kamu nggak lihat? Itu di tangga...” isakku berbisik.
Rina
dan Fani kompak menurut untuk melihat, tapi ekspresi mereka sama sekali tak
sama denganku.
“Apaan
sih Mik?” tanya Rina heran.
“Kamu
nggak lihat juga, Rin?”
“Lihat
apaan sih? Nggak ada apa-apa!”
Aku
terpaku. Hawa makin dingin, udaranya bagai jarum-jarum kecil menusuk hingga ke
tulangku. Tapi napasku memburu, seolah baru saja menempuh puluhan kilometer
dengan berlari. Tubuhku kaku.
“Oke...,”
desis Pak Karim. “Sekarang! Kode satu!”
Duniaku
melayang. Berantakan. Miring pada porosnya, keluar dari jalurnya. Kepalaku
seolah linglung, otakku keluar dari tempatnya, dan jantungku siap untuk
dipenggal mati. Pak Karim, Rina, dan Fani kompak menghambur turun menuju ke
tangga. Tanpa aku.
Aku.
Seolah ada paku yang besar dan bermata panjang, memaku dari ubun kepalaku
sampai ujung kakiku. Aku terpaku. Di tempat. Sendirian.
Sosok
itu melayang di udara. Ketika ia di belakangku aku berlari sekuat tenaga tanpa
arah. Aku merutuki diri mengapa tak berkonsentrasi ketika Pak Karim meneriakkan
kode, dan mengapa saat aku akhirnya bisa lepas dari tanah yang kupijaki tadi,
aku tidak juga turun ke tangga. Aku berlari sampai ujung koridor hingga menemui
jalan buntu, sosok penuh darah itu masih menatapku kosong.
Dan
tangannya yang kotor karena tanah dan masih penuh bekas cabikan darah terulur
padaku yang menempel di dinding.
Jeritanku
melolong.
“MIKAAAAAA!!!!”
@anggiiaaa
Komentar
Posting Komentar