Area Laknat
“Ingat! Jangan larut!”
Mulutku
monyong sekian senti mendengar peringatan dari Ibuku. Langkahku kuseret keluar
rumah, melangkah ke halte bus tak jauh dari rumahku berada.
Sekarang
pukul 12 siang. Aku sekolah siang, jam segini adalah padatnya aktivitas dan
gumpalan asap bercampur polusi di jalanan. Sambil menunggu bus, aku memainkan
bibir, kugeser kanan kiri sambil memikirkan alasan apa yang akan kuberikan pada
Ibu. Rencananya sepulang sekolah aku hendak ikut teman-temanku main di mal,
mencoba konter karaoke baru di sana. Dan mumpung gratis alias ada yang bayarin.
Aku masih normal, jadi jelas aku nggak menolak. Eh saat aku minta izin, Ibu
menolak mentah-mentah. Nggak kayak biasanya, padahal sudah berkali kutekankan
kalimat “ini gratis!” tapi Ibu tetap aja ngotot melarangku pergi. Alhasil, awal
kegiatanku di sekolah hari ini sukses kujalani dengan perasaan amburadul.
Jalanan
tampak ramai, tapi aku di halte seorang diri. Aku celingak-celinguk, sampai
pakai acara jinjit segala untuk melihat batang hidung bus langganan (emang bus
punya idung?). Tapi belum muncul juga. Kadang aku mengibaskan tangan di depan
hidungku, menghindari polusi yang hendak menyeludup. Kadang aku menatap cemas
jam tanganku. Jarumnya kupelototi agar tak bergulir jauh-jauh lagi tapi dia
malah menyerangku balik. Otak sudah pusing memikirkan alasan, semangatku
kocar-kacir, perasaanku gelisah karena nggak biasanya aku menunggu bus selama
ini, gimana kalau aku balik lagi saja ke rumah, dan mainan lagi ama kasur? Hmm,
terlihat menggiurkan.
Seseorang
tampak mendekat ke arahku, tapi ia berhenti tepat di sampingku. Ia ikut berdiri
bersamaku. Aku malah nggak tenang jika duduk, jadi aku menikmati rasa pegal
yang mulai menjalar pada otot-otot kakiku. Karena nggak ada kerjaan lain, tanpa
direncanakan sebelumnya aku memperhatikan orang di sebelahku. Cowok. Tubuhnya
tinggi tapi ceking. Kulitnya cokelat terpanggang sinar matahari. Bibirnya
menghitam. Aku tak bisa melihat matanya, karena topi merahnya sepertinya
sengaja dipakai sebegitu ke bawahnya, menutupi pandangannya.
Sedetik
kemudian, mungkin karena bulunya meremang kupandangi secara berlebihan itu, ia
menoleh. Ia mendongak, matanya merah dan terbuka lebar. Matanya juga
berkantung, dan kantung beserta di bawahnya terhadap lingkaran hitam yang
lebar. Seolah lingkaran itu dibuat sendiri karena terlihat mencolok dan
kentara. Aku bergidik. Si pemilik mata marah kuperhatikan.
Sesuatu
bergerak menuju kami, tanpa menoleh aku pun tahu, yang datang adalah yang
kutunggu. Orang itu mendengus kesal, dengusannya mengecamku. Ia beringsut maju
dan melompat ke dalam bus.
Aku
terpaku, jantungku masih tegang, otakku masih penuh dengan memori tadi sehingga
tak ada perintah untuk tubuhku melangkah ke dalam. Kondektur menawarkan, tapi
aku menggeleng lemah. Bus itu melaju, kutatap punggungnya, dan aku merasa mata
mengerikan itu masih menatapku.
Pagi
yang buruk.
***
“Nanti
jadi, kaaaann?”
Aku
tersenyum mendengar teriakan Monik seraya ia menghampiri mejaku dengan Penny
saat jam istirahat. Ia membawa mangkuk soto.
“Tentu,
tentu,” jawab Penny.
“Sip.”
Monik mengacungkan jempolnya. Tangannya yang lain menyuap suapan pertama
sotonya, tapi pandangannya bukan pada kami. Tapi ke arah lain. “Uhuk!” Tanpa
diduga ia tersedak.
Aku
dan Penny spontan bergerak. Penny mengulurkan es tehnya, sedangkan aku
menyodorkan tisu dan menepuk bahunya.
Monik
minum dengan brutal, dan mengusap mulutnya dengan lengan baju secara kelewat
keras. Matanya berapi-api dan sadis kembali melihat ke arah yang sama.
Tanpa
kata, aku dan Penny langsung melihat ke arah yang sama. Oooh...
“Udahlah
Mon. Sampe kapan lo naksir pacar orang?” celetuk Penny.
“Iya
Mon. Sampe kapan juga lo berdoa jelek menghancurkan kebahagiaan orang?”
Monik
diam sebentar sambil menunduk, seolah meratapi diri sendiri. Sedangkan mataku
mulai merambati sosok Kak Indra dan Kak Tania lagi. Monik naksir Kak Indra awal
kelas satu, sedangkan kami semua sekarang sudah kelas 2. Kak Indra dan Kak
Tania sekarang kelas 3, mereka pacaran mulai kelas satu.
Penny
dengan lembut meremas tangan Monik. “Ntar karaoke-an kan? Have fun!”
Monik
mendongak, tersenyum paksa.
***
Sepulang
sekolah jam 6 kurang, aku memutuskan untuk memberi alasan jujur pada Ibu. Aku
tak bisa menghindari. Aku ingin ikut teman-temanku dengan janji, jika sudah
selesai maka aku langsung pulang. Kukirim alasan itu lewat SMS.
Ibu
tak menjawab. Entah sudah menerima pesan itu atau tidak. Aku berharap Ibu
mengizinkanku.
Aku
dan Gina, salah satu temanku yang ikut rombongan menunggu yang lainnya di
samping aula sekolah. Ada 5 orang lain, yaitu Fani dan Yola yang satu kelas,
dapat satu jam ekstra pelajaran gara-gara kelas mereka membuat ulah. Penny
masih ada pertemuan remaja masjid di masjid sekolah. Monik dan Heni masih beli
es di depan sekolah. Dehidrasi, katanya.
Angin
bertiup perlahan, membuatku spontan merapatkan jaket ke tubuhku. Kutolehkan
kepala, kulihat Gina ikut nyengir karena melakukan hal yang sama. Sekolah pada
hari gelap terlihat begitu... seram. Pakai acara ada angin segala, mendirikan
bulu kuduk kami. Di hati kami sama-sama menggema doa, mengharap yang lain-lain
lekas kembali.
Untungnya,
bukan aku dan Gina saja yang ada di sekitar aula. Di dekat aula ada lapangan,
beberapa anak cowok sedang berolahraga malam, main basket. Mereka tertawa-tawa,
melontarkan kata kotor, khas cowok gitu. Perasaanku rada lega, jadi kalau ada
apa-apa dengan angkernya suasana di sini bisa minta bantuan dengan mereka. Tapi
kok... malah mikir yang aneh-aneh kalau bakal
terjadi apa-apa?
Sejurus
kemudian bola basket yang berwarna biru itu terlihat mengangkasa, melayang
menuju kami. Tapi untungnya bola itu tidak mencium salah satu puncak kepala
kami, tapi melayang ke samping Gina, ke arah lorong parkiran belakang di
samping aula. Salah satu dari mereka yang kutahu bernama Jeremy mendekat,
nyengir pada kami.
Melihat
Je mendekat, kontan membuat Gina bangkit dan secara sukarela mengejar bola yang
menggelinding itu. Hehe, Gina naksir Je. Aku jadi cengar-cengir.
Gina
terus mengejar bola yang belum masuk ke area jangkauannya. Sampai Gina mengejar
bola itu menuju lorong parkiran bagian dalam, ke bagian remang karena
penerangan di sana sudah lama padam tapi belum kunjung diperbaiki dan terkenal
mengerikan di seantero sekolah.
Je
dan aku saling memandang, lalu bergegas dengan kompak menghampiri Gina. Masih
satu langkah, jeritan suara Gina melengking di udara, membuat tegang dan
suasana hening mendadak tercipta. Anak-anak cowok mengerem tawa, aku dan Je
terpaku di tempat, sama-sama melotot tegang.
Sedetik
kemudian kami hampiri Gina. Cewek itu terlihat membeku di tempat. Sekujur
tubuhnya gemetar. Dia membelakangi bola yang masih terus menggelinding, Gina menghadap
kami. Ia menunduk dalam-dalam, sampai-sampai kelihatannya untuk menatap kami
saja ia tak berani.
Kuhampiri
Gina, kulingkarkan lenganku ke bahunya yang kaku dan keras bak marmer. “Gina?
Ada apa?”
Tangis
Gina pecah, tanganku yang melingkarinya ikut-ikutan bergetar. Perlahan dengan
gerakan putus-putus bak robot Gina mencoba menolehkan kepala, tapi berhenti
tidak sampai matanya melihat ke belakang, seolah Gina hanya memandangi tanganku
yang ada di bahunya. Dengan takut-takut aku mengikuti matanya, melihat sesuatu
di belakang punggung Gina.
Atmosfer
saat itu seakan mencekikku seketika. Lampu yang mati-nyala apalagi cahayanya
yang remang-remang itu semakin membuat suasana makin mengerikan. Aku ikut
bergetar bersama Gina, bukan karena mengikuti Gina lagi.
Mataku
melotot lebar. Jeritanku sudah di ujung lidah, tapi entah apa yang membuatku
menelannya kembali bulat-bulat. Sayangnya jeritanku itu tersangkut di
tenggorokkan, membuat napasku terlalu sesak.
Dug!
Bola basket akhirnya berhenti karena menabrak sepatu dari kaki yang melayang
itu.
Gina
masih terisak, sekarang menggeleng tak percaya. Tangisnya perlahan makin keras.
Tiap
detik lampu itu menyala meski detik berikutnya mati lagi, aku terus berusaha
menguatkan hatiku.
Hal
ini membuatku sadar, restu dari orang tua amatlah penting. Penyesalan
menyergapku, siap membuatku tertunduk dan meminta maaf pada Ibu.
Detik
ini akhirnya jeritanku pecah juga, melengking dan mengudara.
Pasangan
paling serasi itu, yang membuat iri semua kalangan, mereka digantung tanpa daya
dengan posisi saling menghadap. Meski aku tahu napas mereka sudah hilang, darah
segar mengalir mengering sehingga membentuk jalan kecil di pelipis
masing-masing, nyawa mereka melayang dengan paksa, membuat mata itu masih
terbuka, masih saling menatap, sampai ajal datang pun mereka akan terus
bersama.
@anggiiaaa
Komentar
Posting Komentar