Balas Dendam Mantan
Riki membencinya. Sangat membencinya.
Kenapa? Ya, bagaimana bisa Dini yang menarik Riki masuk ke dalam kehidupan Riki
lalu mengempaskan Riki untuk keluar dari hidupnya. Dini pikir Riki benda mati? Dini
pikir Riki nggak punya hati? Dini pikir Riki boneka? Dini pikir yang
dikorbankan oleh Riki selama ini hanya seonggok SAMPAH yang bisa dibuang kapan
saja?
Tempo hari, entah dengan keyakinan apa,
Riki melangkah ke suatu rumah angker, yang terkenal didiami oleh dukun
terkenal. Dengan setengah sadar dan pikiran ke mana-mana Riki duduk di depan
dukun sangar itu, bicara dengan nada ngelantur, tapi pasti. Maka sang dukun
menyerahkan boneka setelah Riki menyerahkan lembar terakhir foto Dini yang Riki
punya. Sekarang kedua benda itu tergeletak di meja yang tak jauh dari tempatnya
duduk sekarang. Ditambah satu benda lagi. Silet...
Apa sekarang sudah waktunya?
Dengan tangan gemetar, diambilnya
ketiga barang itu. Ketika menatap boneka kumal itu, mata Riki menatap nanar.
Apalagi saat menatap silet yang matanya masih terlihat mengilap dan baru...
Rasa bersalah terlihat jelas di mata Riki. Tapi ketika melihat foto Dini...
Mata Riki terang-terangan mendelik lebar, amarah terlihat mengilat-ngilat. Foto
itu tersenyum manis, tapi terlihat tersenyum mengejek dalam mata Riki yang
sudah dipenuhi amarah. Dini tersenyum kemenangan menertawakan Riki yang kalah!
Riki teriak, sekuat tenaga. Semua orang
boleh bilang Riki gila, nggak waras, berlebihan, tapi tahu apa soal perasaan
Riki? Dengan sadis dihunuskannya silet di boneka kumal itu, kapuk keluar dari
dalamnya. Riki membayangkan bahwa usus Dini yang keluar dari tubuhnya.
Di sisi lain, Dini terlihat meronta.
Kesakitan. Dini memegangi perutnya yang serasa perih. Ada apa ini?
Riki semakin beringas. Sekarang
diletakkanya silet dan dicekiknya boneka itu. Selalu dibayangkan oleh Riki,
anggota tubuh Dini yang sedang disiksanya.
Sedangkan Dini mulai memegangi lehernya
yang serasa ditali kuat. Mata Dini sampai naik ke atas, saking sakitnya. Sampai
udara tak sampai masuk mengisi paru-parunya.
Riki mulai menghujam perut boneka
berkali-kali.
Dini mengaduh kesakitan, perutnya sakit
lagi. Suara kesakitan yang keluar terdengar tercekat.
Sambil menangis, Riki bangkit berdiri
menginjak-injak berkali-kali boneka itu, sebagaimana yang sering Dini lakukan padanya,
menginjak-injak perasaannya.
Dini kejang-kejang, seluruh bagian
tubuhnya terguncang, Dini terbatuk-batuk, mulutnya megap-megap kehabisan napas.
Langkah terakhir, Riki mengambil pisau
dengan kasar, matanya yang merah menatap boneka yang kumal, bulukan, yang sudah
tak ada rupanya itu tajam-tajam. Riki menggertakkan gigi, lalu dengan brutal
mengiris leher boneka, sampai putus.
Boneka tanpa leher itu dibuang. Riki
limbung, pusing, kepalanya seperti diputar-putar berporos pada lehernya. Riki
menyambar sebungkus serbuk dari meja, dengan mupeng menenggaknya, lalu
tertawa-tawa. Matanya mengilat menatap silet, tanpa berpikir, silet itu
dibuatnya untuk mengiris pergelangan tangan, tepat di nadinya.
Riki ambruk, tanpa daya, jiwanya sudah
mati sejak dulu, setelah Dini pergi.
Sedangkan Dini merasakan sakit pada
lehernya berteriak keras, menjerit sejadinya. Suaranya pecah, matanya melotot
tegang karena seluruh sarafnya serasa mati. Dini ambruk. Pingsan.
“And,
cut! Luar biasa, Dini! Pertahankan
emosimu, kita segera ke scene
berikutnya...”
Seluruh kru bertepuk tangan. Dini
tersenyum bangga. Proyek filmnya seminggu lagi bakal rampung.
@anggiiaaa
Komentar
Posting Komentar