Butir Obat Terakhir
Semua
itu berkelebat dengan jelas di kepalaku. Ingatanku memutarkannya seakan-akan
aku yang melihat langsung, seolah akulah kameramennya. Aku yang sudah sedewasa
ini, merekam diriku yang dulu dengan kameraku,
milikku sendiri.
Dengan
gambar khas warna hitam putih kamera jadul, aku melihat diriku yang tersenyum
lebar, seperti sengaja memamerkan gigi-gigiku yang ompong akibat kebanyakan
makan permen pada semua orang. Dalam hati aku malu. Aku melihat betapa
bahagianya aku yang kecil polo situ berhasil menguasai sepeda. Dalam hati aku
bangga. Aku melihat aku menangis sekeras-kerasnya sehingga suaraku itu dapat
terdengar mulai dari Sabang sampai Merauke, hanya karena tetanggaku yang
menggigit tanganku sampai menyemburkan cairan merah hanya karena berebut
kalkulator, benda ajaib bagi kami kala itu. Dalam hati aku masih tetap kesal.
Aku melihat diriku dengan sadisnya menyeret kucing kecil ke dalam got, karena kala
itu kedua tanduk merah secara cepat tumbuh di kepala tanpa asal. Dalam hati aku
meringis. Aku melihat Ibuku yang tak pernah punya cita-cita sebagai penyanyi,
tapi suaranya yang membahana bisa memecahkan gendang telinga tatkala aku kabur
dari tangannya yang memegang sesendok nasi. Dalam hati, aku nyengir...
Aku
mencintai masa kecilku yang bahagia itu...
Perlahan
semua kenangan itu kabur dengan cepat, tergantikan oleh sinar putih yang
menyilaukan mata. Mataku menyipit, sedikit pusing karena cahaya itu langsung
menyerangku. Aku baru tersadar, aku baru bangun...
Jadi
hanya mimpi?
Aku
mencoba untuk terduduk. Aku di sebuah ruangan serba putih. Putih terang, seakan
segala detailnya bercahaya. Hm, identik dengan kamar rumah sakit yang sangat
akrab denganku. Bedanya, biasanya wajahnya pucat, sepucat wajah-wajah para pasien
pengharap kesembuhan. Kalau aku bukan di rumah sakit, aku di mana?
Pakaian
yang kugunakan juga bukan piama kesukaanku, yang bermotif beruang Teddy
banyak-banyak. Pakaianku sekarang serba putih juga, bercahaya juga.
Aku
memikirkan apa yang baru saja aku kerjakan. Aku tadi bangun tidur. Malamnya,
pasti Ibu membelai rambutku sambil membaca dongeng singkat pengantar tidurku
yang tak lagi lelap. Tapi aku tak ingat di mana aku dan Ibuku di mana tadi
malam... Jadi aku sama sekali tak mengerti di mana aku sekarang.
Di
sebelah tempat tidurku, ada barang yang menjadi sahabatku beberapa tahun ini
juga. Segelas air penuh dan beberapa butir obat Anti Retro Viral (ARV)*. Kutenggak
satu. Rasanya sama terhadap tubuhku, tetapi sesuatu yang berbeda menjalar
hangat dalam hatiku.
Aku
tertegun. Bahuku sampai terguncang, bibirku menjauh satu sama lain. Ruangan ini
penuh cahaya tanpa celah, tak ada jendela, tak ada pintu, tetapi mengapa saat
setelah kutenggak ARV dengan mata terpejam, dan saat aku membukanya kembali,
aku tidak sendiri lagi? Dan mengapa tiba-tiba ruangan ini memiliki pintu? Dan
mengapa ada 2 orang di sana, yang amat kukenal, yang amat kurindukan, berdiri
tegak penuh senyum hangat yang langsung membuatku ingin memeluk mereka detik ini
juga?
Kakek
dan nenekku yang lima tahun lalu meninggal. Mengapa mereka ada di sini?
Kuhampiri
mereka. Meski rindu ini menggelegak dalam dada, menyesakkan napasku, tapi rasa
penasaran seolah mengabut menutupi semuanya. Mereka masih mengulaskannya–senyum
favoritku. Aku ingin memeluk mereka, bercerita kepada mereka, aku yang terakhir
kali mereka temui benar-benar berbeda.
Dengan
senyum pilu dan air mata yang menepi hendak tumpah, aku merentangkan tangan.
Mereka masih tersenyum, lebih hangat, dan lebih sejuk kurasakan. Ketika hendak
mengikat mereka ke dalam gemgamanku, semua itu semu. Tubuhku menembus mereka.
Ruangan putih bercahaya itu lenyap dalam satu kedipan mata.
Kakiku
melayang. Tak menapak di udara. Ruangan putih itu lenyap, tapi aku malah merasa
hampa ketika melihat hiruk pikuk di rumahku tercinta. Seharusnya aku senang
bukan, tak terjebak di ruang nggak jelas itu selamanya? Air mataku kering, tapi
aku siap untuk menangis lagi. Apa karena aku harus berpisah lagi dengan kakek
dan nenek? Bukan. Bukan itu.
Rumahku
tampak ramai. Semua orang seakan-akan berekspresi sama. Di sini ada para
tetangga, teman-teman sekolahku, saudara-saudaraku yang setahuku rumahnya
berjarak tak wajar dari sini. Tapi mengapa wajah mereka begitu... sedih? Aku
saja belum menemukan alasan mengapa mereka bisa tersasar di rumahku sedemikian
ajaibnya. Apa ini sudah lebaran lagi? Makanya mereka berkumpul? Sebenarnya
rumahku bukan rumah dengan ukuran tepat untuk perkumpulan keluarga saat
lebaran, tapi jika memang itu kenyataannya, mengapa bukannya senyum yang mereka
pancarkan? Mengapa wajah sendu dan mata kosong yang mereka berikan padaku?
Mengapa pipi mereka basah, mata sebesar bola pingpong, dan hidung merah
tersendat-sendat mampet akan ingus?
Ada
apa ini?
Saat
melangkah tanpa beban, aku telah temukan sedikit pencerahan. Kulihat sendiri
tubuhku terbujur kaku tak bergerak, bagai patung yang belum jadi. Betapa
kurusnya aku, betapa pucatnya aku. Aku sudah mirip tengkorak mati teronggok tak
terawat. Sungguh menyedihkan.
Hatiku
teriris-iris tatkala tubuhku yang sepertinya sekeras marmer itu bermandikan air
kembang, lalu dibungkus dengan kain kafan. Aku meronta, menjerit, tinjuku
mengarah ke segala arah, tapi tak ada yang mau mendengarkan aku. Aku terus
menjerit-jerit, “Apa yang kalian lakukan? Aku belum mati! Aku belum mati! Aku
masih di sini! Hei, semua lihat aku! Aku masih di sini!!!”
Wajah
mereka kaku tertekuk, jadi mustahil bagiku menyangka mereka sedang akting
berpura-pura tak mendengarkan. Apa yang terjadi denganku?
Ibu
dan saudara-saudaraku masih tersedu, mengguncang tubuhku dengan keras, tapi
tubuhku itu masih diam. Semua orang di sekelilingku mulai melantunkan firman
Tuhan dengan merdu. Aku meremas pakaianku kuat-kuat, air mataku menetes bagai
hujan, tapi masih tak ada yang bisa mendengar isakku.
Tanganku
menggapai, lengan ibuku yang meremas kuat tangannya sendiri hingga timbul otot
kehijauan menjulur menyusuri kulitnya yang makin putih. Aku ingin bertanya dan
menjelaskan. Menjelaskan? Menjelaskan apa yang telah kualami, menjelaskan bahwa
baru saja aku bangun dari tidur yang terbawa oleh cerita dongeng miliknya,
salah satu mimpi kecilku jadi nyata tatkala kulihat kakek dan nenek tersenyum
hangat menyambutku.
Aku
menahan napas. Napasku makin sukar dicerna, seolah paru-paruku ini terisi penuh
dengan gumpalan-gumpalan kertas, sobekan dari tulisanku yang salah. Yang ingin
kujelaskan ini adalah jawaban atas pertanyaanku...
Aku
menunduk dalam-dalam. Semalam aku memang tidak di rumah sakit, rumah ketigaku
setelah rumahku dan sekolahku. Semalam aku masih menenggak ARV, permenku beberapa
tahun terakhir.. Semalam ibuku masih mendongeng sambil mengusap kepalaku,
kegiatan di luar kebiasaan setelah surat putusan tes VCT** itu keluar.
Hatiku
membiru. Aku bersimpuh di depan ibuku yang membisu. Aku berada tepat di depan
semua orang yang menyayangiku. Tanpa satupun yang bisa menyadari keberadaanku,
mendengarkan beberapa hal yang ingin kusampaikan...
Aku
menatap ibuku yang buram. Awalnya aku tersenyum malu, tapi akhirnya aku bicara
dengan bibir bergetar. Ibu... maafkan aku yang belum bisa membalas semua
jasamu. Membalas kebahagiaan yang tak terhingga yang selalu kauberikan padaku
tanpa pamrih. Terima kasih atas kasih sayang dan perhatian yang kauberikan
dengan kasih putih padaku...
Kuedarkan
pandanganku ke sekeliling. Aku... rindu. Aku rindu semua orang yang ada di
depanku sekarang, Ibu... Adik-adikku, maafkan aku. Maafkan aku yang belum bisa
menjadi kakak terbaik. Maafkan aku yang belum bisa menjadi kebangganmu,
panutanmu, pahlawanmu...
Dan
yang terakhir...
Aku
yang sedang berlutut ini... tiba-tiba saja bobotku tiap detik makin ringan
saja.
Ibu,
sampaikan pada teman-temanku, orang-orang aktivis Orang Dengan HIV&AIDS,
yang begitu sayangnya padaku. Sampaikan salamku, terima kasih, bersama kalian, aku bisa mengubah cara
pandangku terhadap kehidupan... Life is beautiful... Hidup itu indah. Itu yang kalian katakana pertama kali ketika semangat
hidupku mulai sirna.
HIV dan AIDS adalah malaikat kecil yang
dikirimkan Tuhan untuk mengikis habis dosa-dosaku. Dengan virus itu, Tuhan
mempertanyakan sejauh mana cinta dan kesetiaanku pada-Nya.
Meski dunia kita berbeda, hendaknya kita
saling bertegur sapa...
Tubuhku
makin terasa ringan. Sesuatu yang menggelitik muncul menari-nari di bawah
jaringan kulit punggungku. Lalu sesuatu itu benar-benar keluar, kudengar
kepakan. Sayap putihku. Dengan sayapku yang indah ini aku pergi melayang
terbang ke atas, menembus segalanya seolah mereka setipis kertas selembut
kapas... Aku benar-benar melayang.
Katakan pada mereka, Bu. Buat hidup ini lebih indah...........
@anggiiaaa
Ket:
*ARV atau Anti Retro Viral adalah obat penghambat pertumbuhan virus AIDS. Obat yang sejauh ini dunia dokter dapatkan tentang penyakit ganas ini.
**VCT atau Voluntary Counseling Testing. Tes untuk mengetahui pengidap HIV&AIDS. Hasil yang menunjukkan seseorang mengidap HIV adalah HIV+ (HIV plus atau HIV positif). Tes ini dilakukan secara sukarela.
Pencitraan
dari saya ketika mendengar puisi yang dibacakan oleh Mas Ian di Middle Competition Schools Caring For HIV&AIDS, Universitas Hang Tuah Surabaya 8 September 2013. Puisi ini saya rekam di ponsel, ada bagian-bagian yang tidak jelas terdengar. Tulisan yang bercetak miring adalah salah satu bagian yang saya suka, yang mampu membuat saya nyesek setiap kali mendengarnya. Apalagi Mas Ian menyuarakannya dengan mimik, ekspresi yang sempurna dan intonasi serta suara yang menggertarkan hati. Judul puisi ini, "Telegram dari Surga". Puisi fiksi karya seseorang, ketika saya bolak-balik memutar rekaman saya, saya tak dapat menangkap nama pengarangnya. Puisi ini... Sungguh! Amat indah! :')) Saya sungguh amat ingin mendapatkan naskahnya...
Komentar
Posting Komentar