Tiba-tiba Cinta
Ia tak sengaja lewat di depanku, tapi aku tak sanggup mengedipkan
mata, barang satu kali saja. Ia menunggangi sepeda motor model matic, jaket, helm, masker, tas, semua serba warna merah muda. Apa karena penampilannya yang mencolok?
Ia
memberhentikan diri di depan kios Mang Ujang, tepat di sebelahku.
Mulutku nyaris ternganga lebar, jantungku sudah tak karuan suaranya,
mengentak-entak bak drum yang ditabuh band aliran rock. Aku masih tak
sampai hati untuk mengedipkan mata, layaknya sedetik terlewat untuk
mengedip berarti aku melewatkan kuis berhadiah milyaran rupiah dengan
soal yang bisa dijawab anak SD. Seperti makan seharusnya memakai tangan
mana, misalnya.
Ia turun dan berkata pada Mang Ujang.
Pikiranku melayang-layang, sehingga aku tak menangkap suaranya di jarak
sedekat ini. Kemudian aku hanya bisa merutuki diri ketika ekor mataku
mengikuti bayangnya yang lenyap di ujung jalan.
Esoknya
ia lewat lagi, meski tak mampir lagi di kios Mang Ujang. Terus esoknya,
esok lagi, sehingga hampir setiap pulang sekolah aku menungguinya lewat
sambil nongkrong di warung Mang Ujang. Hm, ada apa ini? Siapa dia dan
ada apa denganku? Mengapa aku bisa menempatkan perhatian sedemikian
besarnya untuk cewek berhelm dan bermasker, yaitu yang wujud aslinya tak
kuketahui? Dasar cewek misterius.
Hm, cewek misterius. Keren juga.
Suatu
hari jantungku ingin melompat dari tempatnya tatkala kulihat ia
berhenti dan mengunjungi telepon umum. Maka untuk pertama kalinya ia
melepas helm---untuk bisa masuk ke dalam lingkup telepon umum, seakan
yang dibicarakannya kelewat rahasia---dan melepas masker untuk lebih
bebas berbicara. Aku merasa kakiku membawaku pergi dari tempat favoritku
akhir-akhir ini---kios Mang Ujang---dan menghampirinya. Kuterima
kenyataan aku menunggu dibelakangnya, menunggunya berbalik, dan melihat
wujud asli cewek misterius.
Saat ia berbalik, mataku bersinar cerah. Saat ia berbalik, ia menatapku bingung.
"Hai," kudengar diriku menyapa.
"Oh, hai," sapanya pelan, antara bingung campur heran.
Aku menyodorkan tanganku dengan percaya diri. "Namamu?"
Kukerutkan kening saat ia mengerang. "Ya ampun No, kamu ngapain di sini?"
Alisku bertaut, tapi kujawab pertanyaannya. "Itu sekolahku." Telunjukku menunjuk ragu karena bingung.
"Ooh."
Ia manggut-manggut. Melihat aku mengangkat alis tinggi-tinggi, ia
bicara lagi. "Kamu tanya namaku? Ya ampun aku Rina, anaknya Pak Handoko.
Rumahku terpisah hanya satu blok dari rumahmu."
Oh sial. Aku bahkan tak mengenali tetanggaku sendiri.
@anggiiaaa
Komentar
Posting Komentar