Wait
Sudah setengah jam aku menunggu. Setengah jam dari jam yang kuperkirakan setelah dihitung dengan jam perjalanan. Tadi dia berangkat jam 4 sore tepat. Kuhitung-hitung perjalanan dari rumahnya ke rumahku sekitar 45 menit. Seharusnya dia datang jam 5 kurang lima belas, tapi sekarang sudah jam 5 lebih lima belas. Artinya aku menunggu 1 jam lebih lima belas menit lamanya. Tapi ia tak kunjung datang.
Aku sudah berusaha untuk berpikir positif. Mungkin macet, mungkin ada kecelakaan di jalan, mungkin ada operasi ranmor oleh polisi sehingga harus mengantre, mungkin ada suporter bola yang memenuhi ruas jalan sehingga padat, mungkin ada demo, mungkin ada tawuran... Dan aku juga segera menyingkirkan negatifku. Bagaimana kalau mungkin ia terlibat kecelakaan, mungkin ia tertangkap polisi tak membawa SIM, mungkin ia tak sengaja celaka dengan suporter bola, mungkin ia korban demo, mungkin ia terlibat tawuran, atau mungkin ia tak datang! Oh, ya Tuhan apa yang kupikirkan? Jangan, jangan sampai semua itu terjadi! Aku lebih memilih opsi negatif yang terakhir daripada ia mengalami bahaya.
Aku menggigit-gigit bibir bawahku dengan resah. Tubuhku pun tak bisa diam. Selalu cari alasan untuk bergerak. Aku gelisah. Berulang-ulang kunyalakan layar ponselku dan menemui kenyataan yang sama. Ia belum menelpon. Ia belum mengirim pesan. Ia belum menghubungi. Ia belum sampai. Atau ia belum berangkat!
Argh, aku kalut. Kau tau bagaimana rasanya menunggu kan? Apalagi menunggu hal yang ditunggu-tunggu. Sungguh membuatku repot. Aku tak bisa diam. Lama-lama aku bisa tertekan.
Aku menoleh pada jam dinding. Sekarang sudah jam setengah 6. Artinya sudah satu setengah jam aku menunggu. Apakah hambatan di jalan sedemikian berpengaruh? Aku sudah lelah. Apa sebaiknya aku tidur saja? Sebenarnya mata ini sudah merengek untuk diistirahatkan setelah sekian lama terbuka melakukan hal sia-sia. Apalagi badan ini, kelelahan karena sedari tadi disko. Kaki ini yang bolak-balik berjalan menuju pintu. Kepala ini yang bolak-balik menoleh jam atau melongok keluar pintu atau jendela. Sekian lama menegang membuatku lelah.
Aku sudah tak tahan. Akhirnya di jam 6 tepat, 2 jam aku menunggu kuhubungi ponselnya. Ditelepon, tak diangkat. Berkali-kali aku melakukannya. Tak ada respon. Maka akhirnya aku mengirimnya pesan.
Lima belas menit menunggu dengan melamun, ponselku bergetar. Buru-buru aku meraihnya yang tergeletak di atas meja rias. Kutatap menu pesan kontak masuk yang berbentuk percakapan.
pk: 18.00
Jd k sini?
pk: 18.15
Maaf ga bisa. bnyk krjaan nih. lain kali y...
Aku menatap diriku sendiri di depan cermin meja rias. Aku menghabiskan waktu cukup banyak untukku yang terlihat lumayan cantik di depan kaca sekarang. Mengapa tak ia katakan sedari tadi?
***
Malam ini terlihat begitu kelabu. Aku menatap langit tak berbintang dengan tubuh yang tak bisa diam. Aku menggigit-gigit bibir bawahku dengan resah. Kutatap berulang-ulang layar ponselku. Ia belum menelepon. Ia belum mengirim pesan. Ia belum menghubungi. Atau ia belum berangkat?! Ya Tuhan, apa yang kupikirkan? Tak mungkin ia setega itu. Aku sudah resah gelisah di sini selama 2 jam lamanya dari jam janjian tak mungkin ia belum berangkat.
Kuperiksa kontak masuk. Kubuka pesan tentang janjian kami. Aku takut bahwa aku salah tempat. Aku takut aku salam jam. Tapi ingatanku masih segar! Tak mungkin dengan mudahnya aku lupa segala sesuatu yang bersangkutan dengannya. Sret. Tuh kan benar! Di sebrang Halte pemuda, depan kafe Last One, jam 7 malam. Kubuka menu home dan kutatap jam digitalnya. Sekarang jam sembilan lebih sepuluh menit.
Seharusnya aku sudah ada di rumah setelah bersenang-senang dengannya. Tapi kenyataannya aku masih gelisah, resah, tegang, dan tertekan menunggunya di sini. Menunggu sesuatu yang ditunggu-tunggu. Ke mana sih dia?
Aku tak peduli jika ia datang nanti aku hanya bisa menikmati waktu diantarnya pulang karena tak jadi bersenang-senang. Yang penting bersama dia. Tapi ke mana dia sekarang? Apa ia lupa dengan janjinya? Tidak! Oh, tidak! Jangan! Duh, aku harus tetap berpikiran positif. Mungkin ia benar-benar mengalami kendala yang susah diselesaikan.
Ini malam minggu. Selain tegang dan resah menunggu, aku menahan pilu menatap berpasang-pasang kekasih berlalu-lalang di hadapanku. Tapi aku tetap positif, sebentar lagi aku juga akan seperti mereka. But, where are him? Hei, i'm here! I still waiting for you. Come on!!
Aku menghela napas. Akhirnya aku menghubungi ponselnya. Dan aku langsung spot jantung karena operator mengatakan ponselnya tak aktif. Aku nyaris nangis. Tak mungkin ia setega ini...
Aku memandang lurus ke depan. Apa sebaiknya aku pulang saja? Kuhembuskan napas lagi dan hendak menyebrang untuk menyetop bus. Setelah sampai di halte dan menunggu, kudengar elakan tawa riang di sampingku. Kutolehkan kepala dan kulihat sepasang kekasih yang kukenal. Lho? Bukannya itu dia? Sedang bersama siapa dia? Cewek lain??!! Masa dia salah tarik??
Mereka rupanya juga sedang menunggu bus. Sang pria merangkulkan lengannya ke sepanjang bahu wanita, sedangkan sang wanita tampak nyaman bersandar di dada sang pria. Benar-benar mesra. Romantis. Pemandangan yang membuatku naik darah.
"Jo?" Aku menghampiri dengan sejuta sumpah serapah.
Dia tampak panik. Spontan ia melepaskan rangkulannya. Si wanita menatapnya heran, apalagi ketika ia melihatku. Tapi dia tampak berusaha tenang. Ia tersenyum padaku. Senyum palsu.
"Sori, siapa ya?"
Aku merasa seperti dihantam ratusan godam berduri. Si wanita terlihat menunggu.
"Aku Rina. Kamu lupa sama janjian kita di depan kafe Last One di sebrang Halte Pemuda jam 7 malam?" tanyaku, berusaha setenang mungkin.
"Rina? Oh, Rina!" Ia seperti baru saja bertemu kawan lama. "Sori?" Ia tampak heran menatapku yang seharusnya heran menatapnya. "Bukannya kita udah putus?"
Aku menatapnya tak percaya. Oke, sepertinya aku perlu meralat kata-kata operator saat aku menghubungi ponsel Jo. Agar lebih baik...
"Nomor yang Anda tuju, sedang selingkuh. Namun apa yang Anda tunggu? Cari saja yang baru..."
@anggiiaaa
Komentar
Posting Komentar