Bintang #2
Cerita sebelumnya: Bintang #1
Samuel
melangkah bersama beberapa potong baju di tangannya. Ia menuju kasir. Langkah
yang awalnya berjalan pasti itu berubah perlahan ketika dilihatnya seorang
cewek sedang bercanda dengan penjaga kasir di depan meja kasir.
“Bintang?” tanya Samuel, spontan
dengan suara lantang pula, menerobos suara musik pop yang sedang mengalun di
distro itu.
Bintang menghentikkan candaannya. Ia
juga tertegun mendapati Samuel di sini, tapi senyumnya belum memudar. Senyum
yang melemah itu jadi cemerlang lagi, bahwa tak ada masalah lah jika Samuel
nyasar di sini.
“Oh, hei Sam.”
Samuel mau nggak mau ikutan senyum.
Dia sempat berdiri terpaku memperhatikan Bintang. Cewek itu, seperti biasa.
Sepatu semi boot berresleting cokelat muda, jins ketat merah marun, rajutan gombrong
garis-garis.
Bintang ngerasa nggak enak Samuel
diam saja dan malah keliatan sibuk memperhatikannya. Bintang melirik temannya
yang di belakang meja kasir. Temannya cuman angkat bahu sambil mesem.
“Hm, mo bayar?” tanya Bintang
akhirnya.
Samuel buyar lamunannya. Ia tersipu.
“Eh... iya...,” katanya menyerahkan baju-baju itu ke meja kasir.
Sementara baju belanjaannya
dihitung, Samuel memperhatikan cewek yang tingginya sebahunya ini sedang
mengutak-atik ponsel touch screen-nya.
Samuel maju mundur untuk mengajaknya bicara. “Kok di sini, Bin?”
Bintang mendongak sambil tersenyum
tipis. “Iya, gue sering ke sini. Lo?”
“Baru beberapa kali sih.”
“Beli-beli baju di sini?”
“Nggak, beli nasi kuning. Ya beli
baju lah... Ini kan distro.”
Bintang terkekeh pelan. Samuel terus
mengelak jika perasaannya tambah gugup.
“Semuanya 245 ribu 5 ratus.”
Samuel agak kaget saat petugas kasir
menyebutkan nominal belanjaannya. Ia merogoh saku dan mengeluarkan dompetnya.
Dan menyerahkan beberapa lembar uang.
“Lo senggang, Bin?”
“Hm...,” Bintang memutar-mutar,
memainkan bola matanya sejenak. “Bisa jadi.”
“Ke sini naik apa?”
“Sepeda kayuh.” Kali ini Bintang
nyengir.
Untuk kesekian kalinya, petugas
kasir mengagetkan Samuel. “Ini kembaliannya. Terima kasih, silahkan datang lagi.”
Samuel mengangguk ringan sambil
tersenyum. Ia menatap Bintang. “Rumah lo deket sini?”
“Bisa jadi.”
Samuel nyengir. “Mo ikut gue?”
Bintang menyipitkan matanya, tapi
tidak mengarah ke Samuel. Kebiasaan Bintang kalo ditanya orang. “Ke mana?”
“Makan?” tanya Samuel hati-hati.
Senyum mengembang di bibir Bintang.
Lebar. “Tepat sekali.”
Samuel ngikik. “Oh jadi laper?”
“Bisa jadi.”
Setelah mengangguk sambil tersenyum
untuk pamit dengan kasir, Samuel melangkah keluar dari distro. Bintang beranjak
ke sebelah temannya yang jadi petugas kasir, mengambil tasnya yang ada di bawah
meja tersebut. Setelah digoda malu-malu oleh temannya itu, Bintang keluar
menemui Samuel yang rupanya menunggunya di samping distro.
“Itu sepeda kayuh lo?” tanya Samuel
menunjuk sepeda kayuh yang lebih terlihat teronggok di gang amat sempit di
sebelah distro. Bintang nyengir.
“Mo makan di mana?” tanya Samuel.
“Terserah, kan lo yang ngajak.”
“Ya jangan gitu juga dong, kan lo
yang gue ajak.”
Bintang nyengir lagi. “Terserah deh,
deket-deket sini aja. Di persimpangan sana.” Bintang menunjuk belokan di ujung
gang. “Ada kafe baru tapi enak.”
“Ke sana aja?”
“Oke.”
“Jalan kaki ya?”
Bintang memutar bola mata sambil
melangkah. “Nggak, ngesot.”
Samuel ngakak. Ia mengejar Bintang
yang berjalan cepat dan menjejeri langkahnya. “Sering main ke distro tadi? Yang
jadi kasir itu temen lo?” Samuel mencoba membuka percakapan.
“Iya.”
“Ngapain aja?”
“Cuman sekedar jenguk Vira aja sih,
atau nggak, main. Kadang ngecek rutin.”
Samuel mengangkat alisnya. “Ngecek?
Distro itu punya lo?”
Bintang tersenyum lebar. “Masih
jalan setahun. Akhir-akhir ini gue jarang ke sana. Kan lagi musim kelulusan.”
Samuel manggut-manggut. “Jadi
akhirnya lo jadi lulusan terbaik ya?”
Bintang terdiam. Pipinya memerah. “Kok
lo tau?” tanya Bintang tanpa bisa menahan senyumnya.
Samuel tersenyum simpul. “Mamanya
Nino kan yang bilang kemaren...”
“Oh.”
Mereka sudah sampai di kafe. Kafe
bernuansa cokelat muda yang charming
itu diiringi lagu slow. Tipe-tipe kafe tenang. Aroma kopi dan berbagai makanan
berbaur menjadi satu terhirup dalam paru-paru Samuel dan Bintang.
“Ambil meja mana?” tanya Samuel.
“Deket jendela aja. Boleh?”
“Tentu,” kata Samuel tersenyum
manis. Entah kenapa Bintang langsung memalingkan wajahnya.
Mereka makan sambil ngobrol, meski
hal itu sama sekali tidak diperbolehkan. Tapi melalui ini, Samuel tau, selain
unik Bintang juga enak diajak ngobrol. Mesti nyambung. Bintang juga lucu dan
nggak terlalu tertutup. Tambah nilai plus bagi Samuel.
Bintang menahan tawa saat ia sedang
mengunyah brownisnya. Ia menutup mulut agar kue berwarna cokelat kehitaman itu
nggak keluar menyembur Samuel. Samuel sendiri geli melihat tingkah Bintang.
Kemudian, terdengar suara dering telepon. Ponsel Bintang.
“Oh,” kata Bintang saat melihat layar
ponselnya lalu memilih opsi jawab. “Halo? Iya, Yon?”
Spekulasi bermunculan di pikiran
Samuel. “Yon”? Apa itu berarti Dion?
“Oh iya, gue baru aja keluar dari
distro. Iya, Vira masih di sana kok. Lagi makan. Nggak sih, ama Samuel. Tadi
ketemu di distro.” Bintang melirik Samuel.
Samuel menelan ludah. Ya, pasti
nggak salah lagi.
“Samuel??” Dion bertanya heran di
sebrang. Alisnya bertaut, keningnya berkerut, dan hatinya seperti terparut.
Ngapain Samuel sama Bintang sekarang? Apa yang dibilang Bintang tadi? Mereka
sedang makan?
Lalu bermunculan
pertanyaan-pertanyaan beruntun. Kalau seperti itu, katanya mereka nggak sengaja
ketemu di distro Bintang. Trus sekarang mereka makan. Siapa yang ngajak duluan?
Nggak mungkin banget kalo Bintang. Pasti Samuel! Tapi bukannya Samuel tempo
hari nggak suka ama Bintang? Boro-boro ngajak makan, buat ngomong aja kayaknya
nggak mau. Lantas, apa artinya semua itu?
“Dion? Lo masih di sana?” Suara
Bintang mengagetkan Dion yang tercenung.
“Ah, iya, Bin. Kalian makan di
mana?”
“Kafe baru deket distro itu loh. Tau
kan?”
“Oh, iya iya.”
“Lo mo ke sini?”
Zlap! Satu kalimat tanya dari
Bintang yang memunculkan reaksi berbeda. Awalnya, Samuel dan Dion sama-sama
tertegun. Tapi Dion berangsur senang karena hal yang diinginkan dari awal ditawarkan
sendiri oleh Bintang, sedangkan Samuel nampak tak suka. Baginya, Dion merusak
waktunya.
“Boleh?” tanya Dion hati-hati.
Bintang mengernyit, tentu nggak bisa
diliat Nino tapi bisa diliat Samuel. “Siapa bilang nggak boleh?”
Gue! jawab Samuel dalam hati.
Dion mengepalkan tangannya dengan
semangat sambil merapal “yes yes yes” tanpa suara. “Oke, otw...”
“Oke tiati.”
“Dion mo ke sini?” tanya Samuel
lirih saat sambungan diputuskan. Bintang mengangguk cepat.
Dion semangat. Samuel kesal.
@anggiiaaa
Komentar
Posting Komentar