Nasi Goreng

"Lilian!" panggil Jaka sambil berjalan mendekat dengan senyum sumringah. Lilian menoleh dan membalas senyum. Setelah sampai Jaka duduk di samping Lilian di bangku meja makan rumah Lilian. Ia menyodorkan sebungkus makanan. Lilian menatap Jaka tak paham.

"Nasi goreng. Kamu belum makan kan?" tanya Jaka masih tersenyum.

Lilian menegang. Tenggorokannya seketika terasa kering, sehingga ia perlu berkali-kali membasahinya kembali dengan air liur. Lilian gamang. Hatinya serasa dipukul sesuatu yang keras, berulang-ulang. Dia terus menatap sebungkus nasi goreng itu dengan penuh makna dan ungkapkan pilu yang sulit untuk dijelaskan.


Jaka menangkap reaksi tersebut sempat menggantungkan senyumnya. Tapi kemudian ia senyum seraya menghembus napas. "Kata Mama kamu, kamu suka nasi goreng. Betul kan?"

Lilian membuka mulut, tapi tak sanggup mengucap apapun. Rahangnya mengeras. Lidahnya kelu. Kata-katanya terjebak. Ia tergagap sesaat.

Lilian berusaha tersenyum karena Jaka mulai curiga. "Hm, ya. Terima kasih."

"Dimakan ya." Jaka berkata lembut.

Hm, ya. Jika aku sanggup...

Lilian masih diam. Ia hanya menggemgam tas plastik yang mengantungi sebungkus nasi itu. Jaka terus memperhatikannya. Dalam hati Lilian kesal sendiri. Ia mengumpat habis-habisan, menyuruh Jaka pergi karena ia tak bisa berkata secara langsung. Sudah baik dibawakan makanan, tak mungkin mengusirnya. Tapi Lilian ingin sendiri. Ia ingin sendiri bersama nasi goreng di depannya, menangis bersama benda mati itu. Lilian tertunduk, sesekali melirik Jaka yang enggan pergi. Membuat gemgaman Lilian terhadap bungkus plastik berubah cengkraman.

Rasanya lama Jaka lamat-lamat memperhatikan Lilian. Jarum jam yang hanya berbunyi di rumah sunyi itu. Lilian masih sibuk dengan umpatan batinnya. Jaka sibuk memperhatikan calon istrinya. Mulut Jaka akhirnya terbuka, hendak mengutarakan isi hatinya ketika ponsel yang berada dalam kantung kemejanya berbunyi. Lilian lega, dalam hati.

Sejurus kemudian Jaka lenyap. Hanya ada Lilian, dan bungkus nasi goreng di depannya. Mata Lilian menerobos pemandangan lewat jendela dapur dengan kosong. Bibir Lilian pucat, temaram dan datar. Tak ada raut wajah bahagia. Padahal sudah dibawakan makanan.

Lilian menatap bungkus nasi itu. Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya keluar juga. Lilian menangis, sesenggukan, hingga napasnya sukar dikendalikan. Ia membenamkan wajahnya ke kedua tangannya. Nasi goreng tak jadi dimakannya.

Sekejap Lilian bangkit dan bertekad tak ingin melahapnya. Ia ingin menyimpannya. Ia ingin membawanya tidur. Menemaninya tidur seperti boneka. Membawanya ke mana saja, seperti benda favorit. Lilian tak akan bisa berlaku jika tak ada benda ini. Tak peduli akan busuk baunya. Sudah sejak lama Lilian tak bertemu nasi goreng. Biarlah sebungkus nasi goreng ini menjadi miliknya sekarang. Tak seorang pun yang boleh melarang perbuatannya ini, ataupun menyentuhnya. Nasi goreng ini milik Lilian.

Nasi goreng ini satu-satunya kenangan dari Arya. Hanya dengan menatap nasi goreng ini, Lilian bahagia bisa memutar kembali disaat-saat ia sering mengunjungi Arya. Di masa remaja itu. Waktu mereka pacaran. Sampai detik ini tidak boleh ada yang melarang Lilian terus mencintai Arya. Tak terkecuali Jaka, yang akan mempersuntingnya 2 bulan ke depan.

Nasi goreng ini satu-satunya kenangan dari Arya. Cinta pertama Lilian, seorang tukang nasi goreng yang menghilang sewaktu Ayah Lilian diangkat menjadi presiden.

 

@anggiiaaa

Komentar