Naksir (Anak) Guru Killer



Diam-diam aku menguap untuk ke delapan kalinya. Pelanggaran telak di kelas ini, sebenarnya. Guru killer itu masih terus berbicara di depan kelas. Inilah pertama kalinya aku bosan di tengah pelajaran tegang seperti ini. Gimana nggak tegang? Karena sekali kamu melakukan pelanggaran, hukumannya bakal setara ketika kamu membunuh kucing tetangga.

Bu Reni, guru yang terkenal killer-nya nggak ketulungan itu masih menjelaskan sesuatu yang tertera di papan tulis. Aku tidak bisa menekan rasa bosanku, meski pandangan beliau jelas-jelas tajam, hendak menerkam siswa yang melanggar seberingas kucing menerkam tikus gemuk. Wajahnya terlihat garang, tapi aku tak mampu menarik diriku sendiri. Ya ampun, maafkan saya, Bu...

Entah karena aku menguap terlalu keras–padahal sudah berusaha nggak terlihat dan tak terdengar–seolah mengerti apa yang kurasakan, Miko menoleh padaku. Ia nyengir. Aku membalasnya dengan senyuman lesu dan pasrah.

***

“Rika! Rika!”

Aku menoleh dalam perjalanan gontaiku untuk pulang. Aku sembari dari ruang guru, mengumpulkan tugas mahasusah dari Bu Reni. Atas permintaan Bu Reni sendiri aku datang ke singgasana beliau. Padahal yang biasanya disuruh mengumpulkan tugas teman-teman adalah perangkat kelas dan aku bukan salah satu di antaranya. Mungkin alasan utamanya adalah, aku kedapatan menguap belasan kali di kelasnya.

Ternyata Miko. Ia tersenyum sumringah menatapku, seolah aku ini kolam air di gurun pasir. Ia berlari menghampiri. Peluh dan napas yang tersendat-sendat berpadu dengan senyum manis legitnya.

Aku ikut tersenyum. Selalu begitu. Miko selalu membuatku senang hanya dengan senyumnya. Padahal rasa-rasanya langkahku tadi begitu berat, seperti aku sedang memanggul puluhan kilo beras. Tapi begitu melihatnya, seolah semua jadi terasa ringan. Mungkin setelah ini Miko dapat membuatku melangkah di udara.
 
“Kamu mau langsung pulang?”

Aku menimbang sebentar. “Sepertinya...”

Ia mengulum senyum. “Habis dari tadi kamu nguap terus.”

Aku ngakak. “Emang ada apa, Mik?”

Miko langsung terlihat serba salah. Ia menggaruk-garuk kepalanya. “Hm... mau kuantar?”

Jantungku copot dan melayang di udara. Wajahku merah padam. Aku tertunduk, tak berani menatapnya. Aku iseng mencari sesuatu di bawah untuk diperhatikan agar menjadi alasan tingkahku ini. Aku takut menatapnya, karena bisa-bisa, jantungku yang sedang mengudara itu bakalan pergi ke bulan sekarang.

“Rika?”

“Eh... i... iya?” Aku tergagap.

“Wajahmu kok merah?” tanya Miko polos. Wajahnya berubah panik. “Kamu sakit?” Tanpa tanggung-tanggung, telapak tangannya menyentuh dahiku.

Ah! Aku tau jantungku yang melayang sekarang sedang dimainkan segerombol burung. Naik, turun, naik, turun. Akibatnya, aku gelisah.

Aku tersedak. Jadinya terbatuk-batuk. Aku terlalu gugup. Tapi Miko menganggapnya sungguhan dan berlebihan, mengklaim aku batuk beneran.

“Kamu beneran sakit!” serunya tambah panik tapi nadanya lebih mirip menuduh.

“Enggak, Miko.” Mulutku megap-megap seperti ikan lepas dari air dan aku mengibaskan kedua tanganku.

“Lalu?”

“Eeeeeenggg... kamu mau mengantarku pulang?” Aku mengalihkan pembicaraan.

Ia tersenyum lagi. Lebar, sumringah, lembut, dan manis. “Tentu.”

Aku menelan ludah. Kamu boleh tertawa karena baru beberapa bulan aku mengenakan seragam putih abu-abu aku baru pertama kalinya mengalami hal ini; salah tingkah di depan cowok. Jadi sekarang aku bingung luar biasa harus menjawab apa.

“Kamu mau?” tanya Miko. Pertanyaan menandakan kemudahan, karena aku hanya harus menjawab “mau” atau “tidak”.

“Ma...”

“Miko?” Seseorang memotong kataku. Bu Reni, terlihat baru saja keluar dari ruang guru. Wajahnya yang garang dan matanya yang berapi-api memandangku. Sekarang aku tau, jantungku sedang diinjak-injak oleh sekelompok burung. Cekit cekit. Kacamata bacanya masih bertengger manis di wajahnya yang paruh baya.

“Ya, Ma?”

Sekarang jantungku terombang-ambing. Aku menelan ludah. Hoek! Tiba-tiba rasanya pahit.

“Ayo pulang,” perintah Bu Reni datar.

Aku sedikit bingung. Beliau belum menenteng tasnya tapi sudah mengajak Miko pulang. Aku jadi berfikir, beliau sengaja memisahkan aku dengan Miko (omong-omong kata “memisahkan” terdengar dramatis dan berlebihan).

Miko menghampiri Bu Reni saat sebelumnya tersenyum pamit kepadaku. Mereka berbicara berbisik-bisik. Aku menunggu dengan tegang. Aku bahkan sama sekali tak memandang mereka.

Akhirnya kudengar hembusan napas keras dari Bu Reni. Ketika aku menoleh, aku mendapati tatapan tajam membunuh milik beliau yang jelas-jelas diarahkan padaku. Spontan aku memalingkan muka. Lalu aku mendengar beliau berkata dengan santai tapi tajam, “Baik. Tapi jangan terlalu sore.”

Setelahnya Bu Reni masuk ke ruang guru lagi tanpa memandangku. Miko datang lagi sambil tersenyum, seolah cowok itu tau apapun yang aku rasakan, dan tau hanya dengan senyumnya segalanya terasa sirna. Ia berkata, “Kamu mau kan?”

Sejurus kemudian kami sudah ada di lapangan parkir. Miko menyodorkan helm padaku. Ternyata dia bawa dua buah helm. Sekarang aku sudah mulai berpikir dia telah mempersiapkannya sebelumnya.

“Miko?” tanyaku, belum mengenakan helm yang kupegang. Aku malah termenung menatap permukaannya yang mengkilat. Hm, helm baru? Sementara Miko mengaitkan tali helmnya, menatapku masih terus tersenyum. Oke, sekarang aku mulai curiga mengapa ketika menatapku ia terus tersenyum. Klik!

“Ya?”

“Boleh tanya sesuatu?”

Sekarang Miko benar-benar terdiam, menatapku dengan senyum masih menggantung di wajahnya. Terus terang, sekarang aku salah tingkah. “Tentu,” katanya.

“Kalo nggak salah dengar, kamu panggil Bu Reni tadi dengan sebutan “Ma”?” tanyaku ragu-ragu.

Miko tersenyum simpul. Ia naik ke atas jok sepedanya, lalu memberi isyarat untukku naik. Tapi aku masih diam, menunggu jawabnya.

“Tentu saja,” katanya dengan nada manis. Pandangannya ke depan sehingga aku harus beringsut ke depannya dan memiringkan muka.

“Ha?”

“Bu Reni itu ibuku.” Senyum manisnya kini tergantikan dengan senyum kebanggaan.

Jantungku yang melayang sekarang melorot jatuh ke jempol kaki.


@anggiiaaa

Komentar

  1. waktu SMP temen gw juga pernah naksir sama anak guru killer, awalnya gw ga percaya karena soalnya ngeliat bokapnya aja gw udah pipis di celana boro2 mo ngebet anaknya. tapi akhirnya mereka jadian juga walau ga bertahan lama

    BalasHapus
  2. wahh pengalaman naksir anaknyaa guru killer ya, aku sih gapernah, tapi ceritanya keren nihh

    BalasHapus
    Balasan
    1. alhamdulillah belom pernah juga ._.v makasih banyak sudah singgah :)

      Hapus

Posting Komentar