[Matahari Milikku] #6. Jadilah Matahari



“Kun?”

Aku cemberut. “Namaku Kinal! Kenapa jadi “Kun” sih??” protesku.

Arya terbahak. “Namamu Kinal. Dipanggil “Nal”? Udah sering. Malah hampir semua orang yang kenal kamu manggilnya begitu. Atau “Kin”? Nggak cocok ah. Atau “Kan-Ken-Kon”? Aneh. Jadi aku panggil “Kun” aja, biar lain dari pada yang lain...”

Aku memutar bola mata, menganggap gagasannya jelek.

“Cuman aku kan yang manggil kamu “Kun”?” tanyanya, berbangga diri.

“Terserah deh.”

Arya tertawa kecil, lalu mengusap puncak kepalaku. Setelah itu hening sejenak karena kami sibuk dengan pikiran masing-masing.

Kupikir akulah yang memecah keheningan karena aku mulai tidak nyaman, tapi Arya bersuara duluan saat aku sudah membuka mulut. Kalimatnya sumbang, nggak nyambung dengan pembahasan yang lalu, juga tidak bisa disebut sebagai awal pembahasan yang baru.

“Jadilah matahari, Kun. Meski ditutupi awan mendung, tornado, atau apapun itu, dia selalu ada di sana.”



***

Set! Mataku terbuka langsung lebar, tanpa pakai acara mengerjap seperti kebiasaanku bangun tidur.

Di desah pertama aku bernapas pagi ini, sesuatu menjalar dalam tubuhku, membuatku hangat. Hangat yang berangsur-angsur menjengahkan. Kulirik kipas angin di ujung tempat tidur. Mati. Oh, mungkin aku kegerahan.

Tapi sudut hatiku yang lain berkata bahwa sumber hangat itu bukanlah dari kipas angin.

Aku bangkit dan duduk sebentar sebelum pergi ke kamar mandi. Sebenarnya nggak penting, tapi aku merasa perlu mendebat hal ini dengan diri sendiri. Mengapa Arya masih gemar menggentayangi?

Jika ia masih doyan menggangguku, kenapa harus mimpi bertajuk matahari?

Mengingat matahari, aku merasa terlempar dalam lorong waktu. Aku teringat dengan cowok misterius yang menabrakku sampai jatuh itu. Cowok berkemeja flannel kotak-kotak hijau toska. Yang punya buku bersampul matahari terbenam. Meski relatif, seperti yang Melody katakan, aku tetap yakin cowok itu suka matahari terbenam. Entah kenapa.

Aku mengusap rambutku yang basah karena keringat. Sekarang, aku mau apa? Tetap melanjutkan mencari alasan mengapa Arya suka matahari terbit? Dengan cara apa? Naik gunung, sampai puncak, memandangi matahari sampai mataku nyureng? Memangnya dengan begitu aku bakal dapat wangsit jawaban atas pertanyaan konyolku waktu itu pada Arya?

Kupikir aku punya cara lain, yaitu, menemui cowok yang punya agenda bersampul matahari terbenam. Kalau benar ia menyukai matahari terbenam, aku akan bertanya apa alasannya, lalu, secara tidak resmi kuanggap jawaban itu adalah lawan dari alasan Arya. Mentang-mentang matahari terbenam adalah lawan dari matahari terbit.

Berjuang tak sebercanda itu.

Aku beringsut turun dari ranjang. Kuhampiri jendela dan kusibakkan tirai. Sinar matahari langsung menerobos dari balik kaca, membuat mataku menyipit karena silau. Mengapa matahari sudah seterik ini?

Kepalaku berputar menuju jam meja di samping tempat tidur.

As-ta-ga.

***

Aku berlari sebisaku, berharap laju lariku bisa menandingi laju sepeda motor balap Valentino Rossi. Sambil fokus menatap ke depan aku berlari di sepanjang gang sempit, berharap begitu sampai ujung, kutemukan gerbang sekolahku.

Minta pintu ke mana saja sana ke Doraemon!

Aku kesiangan. Aku bangun bahkan setengah jam sebelum bel masuk. Padahal perjalanan dari rumah ke sekolah saja makan waktu minimal 45 menit. Belum mandinya, belum sarapannya. Untungnya pelajaran sudah kusiapkan semalam. Alamat aku mandi bebek dan nggak sarapan. Sudah nggak sarapan, dituntut untuk lari secepatnya pula. Kurasa bayangan guru piket killer-lah yang menjadi tenagaku dalam berlari sekarang.

Ada pikiran lebih baik nggak sekolah. Tapi aku sudah kelas 3! Sehari rasanya sayang banget dilewatkan untuk tidak bertandang ke sekolah. Selain pelajarannya yang sayang untuk tidak disimak, waktu dengan teman-teman juga sayang dilewatkan. Karena sebentar lagi kami pisah menuju jalan masing-masing, memilih kuliah, kerja, buka usaha sampingan, atau... menikah!!

“AAAHHH!!! BANG!!! BANG!! BIS BANG! BIIIIISS!!!” jeritku mati-matian, tanganku melambai-lambai, terus berlari mengejar bus yang berlalu begitu aku keluar dari gang.

Kenapa bis itu nggak berhenti dulu di halte sih? pikirku dongkol. Tapi begitu kernetnya melihatku dan ia mengetuk-ngetuk kaca dengan uang logam–aku kecewa sekali bukan Mang Isal–bis perlahan-lahan berhenti.

Ya ampun... Terlalu banyak “ikan sarden” di dalam!!

Kenapa ikan sarden? Seolah-olah bis ini adalah kaleng sarden, ikan sarden dijejalkan masuk ke dalam, biar muat begitu. Dan aku (anak) ikan sarden yang ketinggalan.

Aku terpana. Sebenarnya aku menyesal telah menyuruh berhenti bis ini. Saking sesaknya aku tidak menemukan celah berdiam di sana sampai ke sekolah. Tapi apa mau dikata? Aku tidak punya waktu banyak untuk menunggu bis lain lewat. Aku masuk ke dalam, menyelinap di antara banyak ikan sarden, dan aku kedapatan tempat bergelantungan dengan pegangan bis seperti monyet. Memang ada monyet di dalam kaleng sarden?

Mungkin saking stresnya aku kedapatan bis penuh dan jam mepet pikiranku jadi kacau begini. Mikir kaleng sarden dari mana coba? Atau jangan-jangan aku lapar karena belum sarapan? Uhh. Ini gara-gara Arya. Gara-gara aku terlalu nyaman bertemu dengannya lagi, meski hanya dalam mimpi.

***

Setelah dibentak-bentak, anak itu pergi ke sudut sekolah untuk mengambil sapu. Anak itu terlambat sepuluh menit, Pak Yono, selaku guru piket yang sialnya wakil kepala sekolah bagian kesiswaan menyuruhnya membersihkan seluruh area sekolah dari sampah.

Pak Yono lalu melangkah ke samping dan berhenti di depanku. Suara langkah sepatunya yang berat seolah aba-aba sebentar lagi jantungku bakal copot. Aku menunduk dalam-dalam, sudah takut dengan raut wajah Pak Yono dalam benakku.

“Kinal, kelas XII IPA-3?” Pak Yono bertanya. Kalimatnya membuatku teringat dengan kata-kata Mela sewaktu ia mau mendampratku karena telah menertawakannya setelah ia menubruk pohon tempo lalu.

Aku semakin menunduk, tidak menjawab. Lidahku kelu.

“Tidak tanggung-tanggung, terlambat 35 menit. Kenapa nggak nanti malam saja kamu datang ke sekolah?”

Mampus deh.

“Maaf Pak... sa... say... saya... a... kesiangan bangun...” jawabku terbata-bata.

“Kesiangan bangun? Mimpi apa kamu semalam? Mimpi hujan duit, huh?”

Mimpi bareng mantan! teriakku dalam hati.

Sebelum membentakku lagi, Pak Yono menghela napas. “Pergi ke gudang, ambil peralatan bersih-bersih. Kamu dihukum, membersihkan kamar mandi perempuan yang ada di sebelah sana!” perintah beliau sambil menunjuk ke serambi kiri sekolah.

Nah tuh. Kurang “beruntung” apa aku pagi ini?

***

Plok! “Dicari ternyata di sini.”

Aku menengadahkan dan menemukan wajah Dicky yang tersenyum. Lalu ia beranjak duduk di sebelahku. “Kenapa baca di sini? Nggak di perpus aja?” tanyanya saat sebelumnya menatap buku Lima Sekawan: Nyaris Terjebak miliknya yang kupinjam.

Aku mengangkat bahu ringan. “Taman sekolah pun lumayan sunyi.”

Aku baru masuk kelas saat jam istirahat pertama dengan peluh mengucur subur seperti pelari maraton. Akibatnya aku ketinggalan pelajaran dan baru bisa mengikuti pelajaran setelah istirahat pertama. Saat ini istirahat kedua, dan aku lebih memilih membaca buku di taman sekolah ketimbang pergi ke kantin demi memuaskan perut yang tak diisi dari pagi.

“Lo tadi telat? Dihukum bersihin kamar mandi?” tanya Dicky tanpa tedeng aling-aling.

Dalam hati aku dongkol, tapi toh kutandai halaman buku di mana aku sampai dengan pembatas dan menutupnya. Lalu menatap Dicky pura-pura marah. “Kalau sudah tahu mending nggak usah diperjelas.”

Dicky tertawa. “Memang apa yang buat lo telat?”

“Kesiangan bangun.”

“Tidur larut malam?”

“Bukan. Keenakan ngimpi.”

Kedua alis Dicky bertaut. “Mimpi? Mimpiin gue ya?”

“Narsis berat.”

“Memang mimpiin siapa?”

“Lulus nanti lo mau jadi wartawan ya? Atau presenter acara gosip?”

“Nggak. Pertama, gue nggak ada cita-cita jadi wartawan. Kedua, apalagi, selain gue nggak bakat nyerocos di depan kamera, elo bukan artis yang beritanya bisa dijadiin gosip.”

Aku memutar bola mata. Dicky nyengir lebar. Jeda berlangsung lama yang sesungguhnya menjengahkan, tapi berusaha aku nikmati. Aku memalingkan wajah, bersembunyi dari tatapan Dicky yang ternyata mengawasi.

“Kalo ada apa-apa, lo bisa cerita ama gue, Nal. Bukannya cewek kalau lagi ada pikiran selalu cerita ke orang lain?”

“Nggak semua cewek begitu,” sambarku cepat. “Dan nggak semua orang tepat dijadikan teman cerita.”

“Gue rasa, gue orang yang tepat.”

Aku mendesah pelan. Merasa dungu karena Dicky begitu mudahnya menangkap perasaan yang berkecamuk dalam pikiranku, yang juga merupakan alasan mengapa aku memilih taman sekolah ketimbang perpustakaan. Pikiranku yang keruh ingin dijernihkan oleh pandangan luas tanpa dibatasi rak berisi jejeran buku yang saling merapat.

“Mantan. Gue mimpi mantan.”

Spontan kedua alis Dicky terangkat ke atas lalu berkata seolah ia bisa membaca pikiranku. “Kalian putus lalu musuhan?”

Aku menggeleng pelan. “Lebih tepatnya, kisruh.”

Dicky diam sebentar entah apa yang dipikirkannya. Selanjutnya mulutku deras menceritakan kronologi yang selama ini dirasa menjadi beban pada punggungku. Mulai pertengkaran sepeleku dengan Arya yang memancing emosinya. Ia mengatakan kata perpisahan segampang bernapas. Lalu pergi begitu saja, tanpa terlihat sampai sekarang.

“...beberapa minggu kemudian gue baru berani coba datang ke rumahnya. Tapi rumahnya kosong,” jelasku dengan mata menerawang.

“Trus apa yang elo mimpiin tadi malem?”

“Secuplik kejadian yang lalu aja. Bahasa gaulnya, kenangan,” kataku nyengir tapi sejujurnya lebih pantas disebut tersenyum pahit. “Kalo lo pernah punya pacar, lo pasti tahu.”

Dicky melipat kedua bibirnya. Lama ia diam di sampingku. “Apa ini artinya... ia masih jadi bayang-bayang lo?”

Aku menoleh ketika mendapati suaranya yang berat. Dicky menunduk, enggan menatapku meski aku tahu ia mengerti jika aku menantangnya untuk balik menatapku.

Baik, Kinal. Kesalahan apalagi yang telah kauciptakan di hari yang cerah ceria sejahtera begini?

Aku terbatuk-batuk, suaranya terdengar dipaksa. Dicky akhirnya mendongak meski masih menolak memandangku. Aku menyembunyikan wajahku dari rambutku yang terurai sambil harap-harap cemas. Berharap aku punya alasan ngibrit dari sini segera.

“Lo belom bisa move on, Nal,” katanya, membuatku sadar apa yang barusan aku lakukan.

Aku tidak tahu apa yang membuat raut wajah dan nada bicaranya menurun drastis. Tapi bagiku, aku punya kesalahan lain. Kesalahanku sendiri, yang belum bisa kucap sebagai akibat perubahan Dicky juga.

Ngomongin mantan di depan gebetan itu bukan ide yang bagus.

Karena aku tidak punya jalan untuk lari, lebih baik aku memakai jalan tengah saja. Yaitu, mencairkan suasana. “Lo nggak ke kantin, Dick?”

Dicky menoleh, menatapku datar. “Nggak.”

“Kalau nggak salah, lo bilang tadi... lo nyariin gue?” kataku dengan nada kocak. Bahan bercanda yang buruk, pikirku kemudian.

Dicky nyengir. “Ya, gue mau tahu aja apa lo babak belur setelah bersihin kamar mandi.”

“Sialan.”

“Hai, Dicky!”

Kami berdua kompak memandang ke samping Dicky. Nada sapaan tadi di telingaku seperti bagian penyambutan acara kuis berhadiah. Tapi begitu melihat pemilik suara yang berjalan berlenggak-lenggok menuju kami, dengan menyodorkan wajah itu-itu saja hingga membuatku bosan, nada bicara tadi di telingaku berubah menjadi bagian penyambutan di acara lamaran nasib buruk oleh mak lampir.

“Lo nggak ke kantin? Kebetulan!” kata Mela menjawab pertanyaannya sendiri sambil menjentikkan jari. “Gue bawa makanan. Gue buat sendiri loooh. Terima, ya?” katanya sambil menyerahkan boks makanan.

Dicky menerimanya sambil nyengir dan mengucap terima kasih. Aku melengos. Oke, teatrikal panggung sandiwara akan segera dimulai...

“Eh, ada lo Nal?” sahut Mela sambil melirik. Aku pura-pura tidak mendengar. “Gimana? Udah bersih kamar mandinya?”

“Kok elo tahu kalo Kinal dihukum?” celetuk Dicky.

“Ya tahulah! Tadi Naomi lapor pas dia ke kamar mandi. Eh, Dick, Kinal ini jangan-jangan keturunan babu, lagi!”

Aku melotot ganas kepadanya, disambut pelototan juga. Dicky yang menyadari atmosfer berbeda kala itu merentangkan tangannya.

“Kalian kalau ketemu kenapa selalu berantem sih?” tanya Dicky.

“Dia yang mulai!”

Pelototanku makin lebar dan mungkin mataku nyaris melonjak keluar, mendapati karena aku bicara barengan dengan Mela barusan.

Dicky menatap kami satu persatu. “Emangnya ada apa sih? Punya dendam pribadi?”

“Dia nyebelin!”

Dicky ngakak. “Ngomongnya barengan lagi. Jangan-jangan... kalian jodoh lagi!!”

Mela menghunuskan tatapan mengancamnya pada Dicky sementara aku melayangkan pandangan sengit. Dicky mengibas-ngibaskan tangan, seolah kewalahan. Aku beranjak berdiri dan Dicky menatapku bingung.

“Mau ke mana, Nal?”

Aku tidak menjawab dan langsung melangkah pergi. Dicky memanggil namaku, tapi aku acuhkan. Mela tersenyum penuh kemenangan.

Huh. Menyingkir bukan berarti kalah!!

“Dick, di makan dong makanannya,” kata Mela genit.

Dicky nyengir dan membuka isi boks makanan itu. Sandwich. Bikin ngiler, tapi Dicky nggak nafsu makan. Cowok itu menutup kembali boks makanan sambil celingak-celinguk, membuat Mela heran. Kepalanya berhenti bergerak dan senyum terbentang di wajahnya ketika mendapati dua siswa cewek duduk di salah satu bangku taman tak jauh dari tempat di mana ia berada.

Dicky segera menghampiri kedua cewek itu dan menyodorkan boks makanan diikuti lebarnya mulut Mela yang terbuka. “Eh ini ada makan siang gratis. Dimakan ya, jangan dibuang! Kalo udah, kembaliin boks makanan pada pemiliknya. Tuh pemiliknya,” cerocos Dicky pada kedua cewek itu lalu menunjuk Mela yang masih bengong di tempat. “Mel, lo IPS berapa??”

Yang ditanya malah kaku tak bergerak. Dicky angkat bahu dan melanjutkan, “Itu Mela, anak XII IPS yang punya boks makanan. Ya udah ya, gue duluan. Dimakan!” katanya lalu pergi begitu saja.

Kini Mela punya teman untuk melongo sejenak, yaitu kedua cewek yang baru saja diberi makanan gratis.

Dicky berlari keluar taman sekolah, matanya mencari-cari. Hingga akhirnya ia menemukan seseorang yang baru saja menjadi teman bicaranya di taman sekolah. Dicky tersenyum dan segera menghampiri, tapi mendadak niat itu diurungkan. Dicky berhenti beberapa langkah di belakang cewek itu tapi terus membuntuti. Dilihatnya cewek itu berjalan pelan menenteng buku Lima Sekawannya sambil mengusap wajahnya pelan.

Diikutinya langkah cewek itu yang mengarah ke kelas mereka. Dicky terdiam dengan mulut terkatup rapat, memandangi sepatu cewek itu yang terus bergerak. Tapi jelas, bukan sepatu cewek itu yang sedang malang melintang di pikirannya.



Setidaknya Dicky sudah mendapat satu jawaban dari sekian pertanyaan yang berkeliaran bising di kepalanya.


@anggianab #CerbungKinalProject


Cerita Selanjutnya: [Matahari Milikku] #7. Dua Sisi

Komentar