[Matahari Milikku] #6. Jadilah Matahari
Cerita Sebelumnya: [Matahari Milikku] #5. Dicky (dan) Mela
“Kun?”
Aku cemberut. “Namaku Kinal! Kenapa jadi “Kun”
sih??” protesku.
Arya terbahak. “Namamu Kinal. Dipanggil “Nal”? Udah
sering. Malah hampir semua orang yang kenal kamu manggilnya begitu. Atau “Kin”?
Nggak cocok ah. Atau “Kan-Ken-Kon”? Aneh. Jadi aku panggil “Kun” aja, biar lain
dari pada yang lain...”
Aku memutar bola mata, menganggap gagasannya jelek.
“Cuman aku kan yang manggil kamu “Kun”?” tanyanya,
berbangga diri.
“Terserah deh.”
Arya tertawa kecil, lalu mengusap puncak kepalaku.
Setelah itu hening sejenak karena kami sibuk dengan pikiran masing-masing.
Kupikir akulah yang memecah keheningan karena aku
mulai tidak nyaman, tapi Arya bersuara duluan saat aku sudah membuka mulut.
Kalimatnya sumbang, nggak nyambung dengan pembahasan yang lalu, juga tidak bisa
disebut sebagai awal pembahasan yang baru.
“Jadilah matahari, Kun. Meski ditutupi awan mendung,
tornado, atau apapun itu, dia selalu ada di sana.”
***
Set! Mataku terbuka langsung lebar, tanpa pakai
acara mengerjap seperti kebiasaanku bangun tidur.
Di desah pertama aku bernapas pagi ini, sesuatu
menjalar dalam tubuhku, membuatku hangat. Hangat yang berangsur-angsur
menjengahkan. Kulirik kipas angin di ujung tempat tidur. Mati. Oh, mungkin aku
kegerahan.
Tapi sudut hatiku yang lain berkata bahwa sumber
hangat itu bukanlah dari kipas angin.
Aku bangkit dan duduk sebentar sebelum pergi ke
kamar mandi. Sebenarnya nggak penting, tapi aku merasa perlu mendebat hal ini
dengan diri sendiri. Mengapa Arya masih gemar menggentayangi?
Jika ia masih doyan menggangguku, kenapa harus mimpi
bertajuk matahari?
Mengingat matahari, aku merasa terlempar dalam
lorong waktu. Aku teringat dengan cowok misterius yang menabrakku sampai jatuh
itu. Cowok berkemeja flannel kotak-kotak hijau toska. Yang punya buku bersampul
matahari terbenam. Meski relatif, seperti yang Melody katakan, aku tetap yakin
cowok itu suka matahari terbenam. Entah kenapa.
Aku mengusap rambutku yang basah karena keringat. Sekarang,
aku mau apa? Tetap melanjutkan mencari alasan mengapa Arya suka matahari
terbit? Dengan cara apa? Naik gunung, sampai puncak, memandangi matahari sampai
mataku nyureng? Memangnya dengan begitu aku bakal dapat wangsit jawaban atas
pertanyaan konyolku waktu itu pada Arya?
Kupikir aku punya cara lain, yaitu, menemui cowok
yang punya agenda bersampul matahari terbenam. Kalau benar ia menyukai matahari
terbenam, aku akan bertanya apa alasannya, lalu, secara tidak resmi kuanggap
jawaban itu adalah lawan dari alasan Arya. Mentang-mentang matahari terbenam
adalah lawan dari matahari terbit.
Berjuang tak sebercanda itu.
Aku beringsut turun dari ranjang. Kuhampiri jendela
dan kusibakkan tirai. Sinar matahari langsung menerobos dari balik kaca,
membuat mataku menyipit karena silau. Mengapa matahari sudah seterik ini?
Kepalaku berputar menuju jam meja di samping tempat
tidur.
As-ta-ga.
***
Aku berlari sebisaku, berharap laju lariku bisa
menandingi laju sepeda motor balap Valentino Rossi. Sambil fokus menatap ke
depan aku berlari di sepanjang gang sempit, berharap begitu sampai ujung,
kutemukan gerbang sekolahku.
Minta pintu ke mana saja sana ke Doraemon!
Aku kesiangan. Aku bangun bahkan setengah jam
sebelum bel masuk. Padahal perjalanan dari rumah ke sekolah saja makan waktu minimal
45 menit. Belum mandinya, belum sarapannya. Untungnya pelajaran sudah kusiapkan
semalam. Alamat aku mandi bebek dan nggak sarapan. Sudah nggak sarapan,
dituntut untuk lari secepatnya pula. Kurasa bayangan guru piket killer-lah yang menjadi tenagaku dalam
berlari sekarang.
Ada pikiran lebih baik nggak sekolah. Tapi aku sudah
kelas 3! Sehari rasanya sayang banget dilewatkan untuk tidak bertandang ke
sekolah. Selain pelajarannya yang sayang untuk tidak disimak, waktu dengan
teman-teman juga sayang dilewatkan. Karena sebentar lagi kami pisah menuju
jalan masing-masing, memilih kuliah, kerja, buka usaha sampingan, atau...
menikah!!
“AAAHHH!!! BANG!!! BANG!! BIS BANG! BIIIIISS!!!”
jeritku mati-matian, tanganku melambai-lambai, terus berlari mengejar bus yang
berlalu begitu aku keluar dari gang.
Kenapa bis itu nggak berhenti dulu di halte sih?
pikirku dongkol. Tapi begitu kernetnya melihatku dan ia mengetuk-ngetuk kaca
dengan uang logam–aku kecewa sekali bukan Mang Isal–bis perlahan-lahan
berhenti.
Ya ampun... Terlalu banyak “ikan sarden” di dalam!!
Kenapa ikan sarden? Seolah-olah bis ini adalah
kaleng sarden, ikan sarden dijejalkan masuk ke dalam, biar muat begitu. Dan aku
(anak) ikan sarden yang ketinggalan.
Aku terpana. Sebenarnya aku menyesal telah menyuruh
berhenti bis ini. Saking sesaknya aku tidak menemukan celah berdiam di sana
sampai ke sekolah. Tapi apa mau dikata? Aku tidak punya waktu banyak untuk
menunggu bis lain lewat. Aku masuk ke dalam, menyelinap di antara banyak ikan
sarden, dan aku kedapatan tempat bergelantungan dengan pegangan bis seperti
monyet. Memang ada monyet di dalam kaleng sarden?
Mungkin saking stresnya aku kedapatan bis penuh dan
jam mepet pikiranku jadi kacau begini. Mikir kaleng sarden dari mana coba? Atau
jangan-jangan aku lapar karena belum sarapan? Uhh. Ini gara-gara Arya.
Gara-gara aku terlalu nyaman bertemu dengannya lagi, meski hanya dalam mimpi.
***
Setelah dibentak-bentak, anak itu pergi ke sudut
sekolah untuk mengambil sapu. Anak itu terlambat sepuluh menit, Pak Yono,
selaku guru piket yang sialnya wakil kepala sekolah bagian kesiswaan
menyuruhnya membersihkan seluruh area sekolah dari sampah.
Pak Yono lalu melangkah ke samping dan berhenti di depanku.
Suara langkah sepatunya yang berat seolah aba-aba sebentar lagi jantungku bakal
copot. Aku menunduk dalam-dalam, sudah takut dengan raut wajah Pak Yono dalam
benakku.
“Kinal, kelas XII IPA-3?” Pak Yono bertanya.
Kalimatnya membuatku teringat dengan kata-kata Mela sewaktu ia mau mendampratku
karena telah menertawakannya setelah ia menubruk pohon tempo lalu.
Aku semakin menunduk, tidak menjawab. Lidahku kelu.
“Tidak tanggung-tanggung, terlambat 35 menit. Kenapa
nggak nanti malam saja kamu datang ke sekolah?”
Mampus deh.
“Maaf Pak... sa... say... saya... a... kesiangan
bangun...” jawabku terbata-bata.
“Kesiangan bangun? Mimpi apa kamu semalam? Mimpi
hujan duit, huh?”
Mimpi bareng mantan! teriakku dalam hati.
Sebelum membentakku lagi, Pak Yono menghela napas.
“Pergi ke gudang, ambil peralatan bersih-bersih. Kamu dihukum, membersihkan
kamar mandi perempuan yang ada di sebelah sana!” perintah beliau sambil
menunjuk ke serambi kiri sekolah.
Nah tuh. Kurang “beruntung” apa aku pagi ini?
***
Plok! “Dicari ternyata di sini.”
Aku menengadahkan dan menemukan wajah Dicky yang
tersenyum. Lalu ia beranjak duduk di sebelahku. “Kenapa baca di sini? Nggak di
perpus aja?” tanyanya saat sebelumnya menatap buku Lima Sekawan: Nyaris
Terjebak miliknya yang kupinjam.
Aku mengangkat bahu ringan. “Taman sekolah pun
lumayan sunyi.”
Aku baru masuk kelas saat jam istirahat pertama
dengan peluh mengucur subur seperti pelari maraton. Akibatnya aku ketinggalan
pelajaran dan baru bisa mengikuti pelajaran setelah istirahat pertama. Saat ini
istirahat kedua, dan aku lebih memilih membaca buku di taman sekolah ketimbang
pergi ke kantin demi memuaskan perut yang tak diisi dari pagi.
“Lo tadi telat? Dihukum bersihin kamar mandi?” tanya
Dicky tanpa tedeng aling-aling.
Dalam hati aku dongkol, tapi toh kutandai halaman
buku di mana aku sampai dengan pembatas dan menutupnya. Lalu menatap Dicky
pura-pura marah. “Kalau sudah tahu mending nggak usah diperjelas.”
Dicky tertawa. “Memang apa yang buat lo telat?”
“Kesiangan bangun.”
“Tidur larut malam?”
“Bukan. Keenakan ngimpi.”
Kedua alis Dicky bertaut. “Mimpi? Mimpiin gue ya?”
“Narsis berat.”
“Memang mimpiin siapa?”
“Lulus nanti lo mau jadi wartawan ya? Atau presenter
acara gosip?”
“Nggak. Pertama, gue nggak ada cita-cita jadi
wartawan. Kedua, apalagi, selain gue nggak bakat nyerocos di depan kamera, elo
bukan artis yang beritanya bisa dijadiin gosip.”
Aku memutar bola mata. Dicky nyengir lebar. Jeda
berlangsung lama yang sesungguhnya menjengahkan, tapi berusaha aku nikmati. Aku
memalingkan wajah, bersembunyi dari tatapan Dicky yang ternyata mengawasi.
“Kalo ada apa-apa, lo bisa cerita ama gue, Nal.
Bukannya cewek kalau lagi ada pikiran selalu cerita ke orang lain?”
“Nggak semua cewek begitu,” sambarku cepat. “Dan
nggak semua orang tepat dijadikan teman cerita.”
“Gue rasa, gue orang yang tepat.”
Aku mendesah pelan. Merasa dungu karena Dicky begitu
mudahnya menangkap perasaan yang berkecamuk dalam pikiranku, yang juga
merupakan alasan mengapa aku memilih taman sekolah ketimbang perpustakaan.
Pikiranku yang keruh ingin dijernihkan oleh pandangan luas tanpa dibatasi rak
berisi jejeran buku yang saling merapat.
“Mantan. Gue mimpi mantan.”
Spontan kedua alis Dicky terangkat ke atas lalu
berkata seolah ia bisa membaca pikiranku. “Kalian putus lalu musuhan?”
Aku menggeleng pelan. “Lebih tepatnya, kisruh.”
Dicky diam sebentar entah apa yang dipikirkannya.
Selanjutnya mulutku deras menceritakan kronologi yang selama ini dirasa menjadi
beban pada punggungku. Mulai pertengkaran sepeleku dengan Arya yang memancing emosinya.
Ia mengatakan kata perpisahan segampang bernapas. Lalu pergi begitu saja, tanpa
terlihat sampai sekarang.
“...beberapa minggu kemudian gue baru berani coba
datang ke rumahnya. Tapi rumahnya kosong,” jelasku dengan mata menerawang.
“Trus apa yang elo mimpiin tadi malem?”
“Secuplik kejadian yang lalu aja. Bahasa gaulnya,
kenangan,” kataku nyengir tapi sejujurnya lebih pantas disebut tersenyum pahit.
“Kalo lo pernah punya pacar, lo pasti tahu.”
Dicky melipat kedua bibirnya. Lama ia diam di
sampingku. “Apa ini artinya... ia masih jadi bayang-bayang lo?”
Aku menoleh ketika mendapati suaranya yang berat.
Dicky menunduk, enggan menatapku meski aku tahu ia mengerti jika aku
menantangnya untuk balik menatapku.
Baik, Kinal. Kesalahan apalagi yang telah
kauciptakan di hari yang cerah ceria sejahtera begini?
Aku terbatuk-batuk, suaranya terdengar dipaksa.
Dicky akhirnya mendongak meski masih menolak memandangku. Aku menyembunyikan
wajahku dari rambutku yang terurai sambil harap-harap cemas. Berharap aku punya
alasan ngibrit dari sini segera.
“Lo belom bisa move
on, Nal,” katanya, membuatku sadar apa yang barusan aku lakukan.
Aku tidak tahu apa yang membuat raut wajah dan nada
bicaranya menurun drastis. Tapi bagiku, aku punya kesalahan lain. Kesalahanku
sendiri, yang belum bisa kucap sebagai akibat perubahan Dicky juga.
Ngomongin mantan di depan gebetan itu bukan ide yang
bagus.
Karena aku tidak punya jalan untuk lari, lebih baik
aku memakai jalan tengah saja. Yaitu, mencairkan suasana. “Lo nggak ke kantin,
Dick?”
Dicky menoleh, menatapku datar. “Nggak.”
“Kalau nggak salah, lo bilang tadi... lo nyariin
gue?” kataku dengan nada kocak. Bahan bercanda yang buruk, pikirku kemudian.
Dicky nyengir. “Ya, gue mau tahu aja apa lo babak
belur setelah bersihin kamar mandi.”
“Sialan.”
“Hai, Dicky!”
Kami berdua kompak memandang ke samping Dicky. Nada
sapaan tadi di telingaku seperti bagian penyambutan acara kuis berhadiah. Tapi
begitu melihat pemilik suara yang berjalan berlenggak-lenggok menuju kami,
dengan menyodorkan wajah itu-itu saja hingga membuatku bosan, nada bicara tadi
di telingaku berubah menjadi bagian penyambutan di acara lamaran nasib buruk
oleh mak lampir.
“Lo nggak ke kantin? Kebetulan!” kata Mela menjawab
pertanyaannya sendiri sambil menjentikkan jari. “Gue bawa makanan. Gue buat
sendiri loooh. Terima, ya?” katanya sambil menyerahkan boks makanan.
Dicky menerimanya sambil nyengir dan mengucap terima
kasih. Aku melengos. Oke, teatrikal panggung sandiwara akan segera
dimulai...
“Eh, ada lo Nal?” sahut Mela sambil melirik. Aku
pura-pura tidak mendengar. “Gimana? Udah bersih kamar mandinya?”
“Kok elo tahu kalo Kinal dihukum?” celetuk Dicky.
“Ya tahulah! Tadi Naomi lapor pas dia ke kamar
mandi. Eh, Dick, Kinal ini jangan-jangan keturunan babu, lagi!”
Aku melotot ganas kepadanya, disambut pelototan
juga. Dicky yang menyadari atmosfer berbeda kala itu merentangkan tangannya.
“Kalian kalau ketemu kenapa selalu berantem sih?”
tanya Dicky.
“Dia yang mulai!”
Pelototanku makin lebar dan mungkin mataku nyaris
melonjak keluar, mendapati karena aku bicara barengan dengan Mela barusan.
Dicky menatap kami satu persatu. “Emangnya ada apa
sih? Punya dendam pribadi?”
“Dia nyebelin!”
Dicky ngakak. “Ngomongnya barengan lagi.
Jangan-jangan... kalian jodoh lagi!!”
Mela menghunuskan tatapan mengancamnya pada Dicky
sementara aku melayangkan pandangan sengit. Dicky mengibas-ngibaskan tangan,
seolah kewalahan. Aku beranjak berdiri dan Dicky menatapku bingung.
“Mau ke mana, Nal?”
Aku tidak menjawab dan langsung melangkah pergi.
Dicky memanggil namaku, tapi aku acuhkan. Mela tersenyum penuh kemenangan.
Huh. Menyingkir bukan berarti kalah!!
“Dick, di makan dong makanannya,” kata Mela genit.
Dicky nyengir dan membuka isi boks makanan itu.
Sandwich. Bikin ngiler, tapi Dicky nggak nafsu makan. Cowok itu menutup kembali
boks makanan sambil celingak-celinguk, membuat Mela heran. Kepalanya berhenti
bergerak dan senyum terbentang di wajahnya ketika mendapati dua siswa cewek
duduk di salah satu bangku taman tak jauh dari tempat di mana ia berada.
Dicky segera menghampiri kedua cewek itu dan
menyodorkan boks makanan diikuti lebarnya mulut Mela yang terbuka. “Eh ini ada
makan siang gratis. Dimakan ya, jangan dibuang! Kalo udah, kembaliin boks
makanan pada pemiliknya. Tuh pemiliknya,” cerocos Dicky pada kedua cewek itu
lalu menunjuk Mela yang masih bengong di tempat. “Mel, lo IPS berapa??”
Yang ditanya malah kaku tak bergerak. Dicky angkat
bahu dan melanjutkan, “Itu Mela, anak XII IPS yang punya boks makanan. Ya udah
ya, gue duluan. Dimakan!” katanya lalu pergi begitu saja.
Kini Mela punya teman untuk melongo sejenak, yaitu
kedua cewek yang baru saja diberi makanan gratis.
Dicky berlari keluar taman sekolah, matanya
mencari-cari. Hingga akhirnya ia menemukan seseorang yang baru saja menjadi
teman bicaranya di taman sekolah. Dicky tersenyum dan segera menghampiri, tapi
mendadak niat itu diurungkan. Dicky berhenti beberapa langkah di belakang cewek
itu tapi terus membuntuti. Dilihatnya cewek itu berjalan pelan menenteng buku
Lima Sekawannya sambil mengusap wajahnya pelan.
Diikutinya langkah cewek itu yang mengarah ke kelas
mereka. Dicky terdiam dengan mulut terkatup rapat, memandangi sepatu cewek itu
yang terus bergerak. Tapi jelas, bukan sepatu cewek itu yang sedang malang
melintang di pikirannya.
Setidaknya Dicky sudah mendapat satu jawaban dari
sekian pertanyaan yang berkeliaran bising di kepalanya.
Komentar
Posting Komentar