Di Balik Semak
Sebentar-sebentar, kepala Rana menyembul dari balik
semak. Kedua mata itu terus mengawasi. Meski setengah wajahnya tertutup semak, semua
orang pasti bisa melihat senyum lebar melengkung di wajah remajanya.
Rana bersembunyi di balik semak, dengan mata yang
selalu siaga. Terus melihat ke dalam bangunan di sebrang jalan. Sebuah kafe
yang belum pernah Rana masuki. Tapi perhatiannya langsung tersita begitu
sewaktu kali ia melintas di depannya, dan menangkap sosok mahadewa di balik
kacanya yang bening.
Esok harinya di jam yang sama saat ia pernah
melintas, Rana pura-pura melintas lagi di depan kafe itu. Mahadewa itu masih di
sana. Sendirian. Kacamata kotak membingkai apik kedua matanya. Tangan cowok itu
terangkat memegangi pelipis, perhatiannya tersita penuh oleh majalah yang
sedang dibacanya. Rana terpana.
Karena tidak ingin cepat-cepat kehilangan bayangan
indah itu, Rana berjingkat-jingkat mengambil jalan memutar, menuju semak
belukar di sebrang kafe. Lalu bersembunyi di sana. Rela betah di sana
berlama-lama, hanya demi merekam semua gerak-gerik mahadewa, dari awal, sampai
tubuh itu menjauh pergi meninggalkan kafe. Meninggalkan Rana.
Rana bersembunyi di balik semak, dengan mata yang
selalu siaga. Sekarang tiap pulang sekolah Rana rutin harus bergelut dengan batang-batang
semak yang mencuat sembarangan, terkadang menggores-gores kulitnya. Juga nyamuk
yang berterbangan seenaknya. Tapi semua itu tak urung dirasakan Rana. Dunianya
hidup semarak pada sosok mahadewa di balik kaca kafe sebrang.
“Heeei ketahuan!” Seseorang menepuk pundak Rana,
membuatnya tersentak. Ternyata Mita, teman sebangkunya di sekolah. “Diperhatiin
akhir-akhir ini setiap bel pulang langsung cepet-cepet ngibrit. Ternyata ngetem
dulu di sini,” Mita nyengir lebar. “Ngapain...?”
“Ssssttt!” bisik Rana dengan telunjuk menempel di
bibir. Ia meraih tubuh Mita, menyuruhnya menunduk, bersembunyi di balik semak.
Mita mengikuti dengan bingung.
Rana bersembunyi di balik semak, dengan mata yang
selalu siaga. Rana bercerita pada Mita soal rutinitasnya sepulang sekolah
sebulan terakhir ini. Mita tiba-tiba seperti Rana, sedikit-banyak kepalanya
menyembul dari semak.
“Dari kacamatanya yang tebal pasti dia kutu buku,”
bisik Mita.
“Setiap aku ke sini, dia selalu baca buku atau
majalah. Sendirian. Selalu sendirian. Sambil minum kopi, kadang dua gelas
sampai empat gelas.”
“Jam kunjungannya rutin?”
“Ya. Jam pulang sekolah kita sampai jam lima sore
nanti.”
Mata Mita membulat takjub. “Kamu begitu terus
sebulanan ini?”
Senyum Rana menetas, menatap Mita dengan cahaya
berkilat-kilat.
“Masuk yuk,” Mita tiba-tiba bersuara saat hening
beberapa saat.
Rana langsung kaku, ekspresinya gugup. “Ngapain?”
“Ya ketemu cowok itu. Atau minimal, kamu bisa lihat
dia dari jarak lebih dekat. Trus pesen apa kek di sana. Daripada kamu ngeliatin
dia dari sini, kayak maling aja,” Plok! Mita menepuk nyamuk yang hinggap di
tangannya. “Sekali-kali mengintai sambil masuk, Ran. Kalau kamu nggak berani
nyapa langsung, kalau kamu sering ke sana, lama-lama kan saling kenal.”
Rana diam. Ia bimbang. Mita tak sabaran. Ditariknya
kawan sebangkunya itu masuk ke dalam kafe.
Di langkah yang terkesan buru-buru, tubuh Rana makin
kaku begitu masuk ke dalam kafe. Aroma kopi yang nikmat menguar dari mana-mana.
Rana terdiam di ambang pintu, dengan kepala tertoleh pada cowok yang tepat ada
di sisi pintu, di sebelah kaca kafe yang lebar. Masih sibuk membaca.
Mita kembali menarik tangan Rana, menuju meja yang
sepertinya sengaja dipilih Mita tepat di samping meja cowok itu. Rana memprotes
Mita lewat sorot mata, tapi Mita malah mengibaskan tangan.
Setelah pramusaji berlalu sambil membawa catatan
pesanan mereka, Rana terus mengawasi. Mungkin alam bawah sadar cowok itu
mengingatkan, ada anak berseragam SMA sedang memperhatikannya. Maka cowok itu
menoleh, matanya bertabrakan dengan mata Rana.
Rana terkesiap, tapi ia tidak bisa mengalihkan
pandangannya. Mata jernih terbingkai kacamata itu memerangkap dirinya. Rana
terpana. Lalu, tanpa tedeng aling-aling cowok itu melukis senyum di wajahnya.
Untuk Rana.
Senyum yang pertama dilihat Rana karena keseharian
cowok itu menekuri buku dengan serius. Dengan ragu, kaget, dan terkesima
sudut-sudut bibir Rana berkedut-kedut naik ke atas. Mereka saling melempar
senyum.
Rana berbalik, menghadap meja miliknya. Ada perasaan
lega. Rana melempar senyum terima kasih untuk Mita.
***
Esoknya Rana datang lagi, tapi tidak bisa masuk
kafe. Tidak mungkin kalau tiap hari Rana masuk ke dalam kafe, bisa jebol uang
sakunya. Meski dengan konsekuensi diberi senyum seperti kemarin. Mungkin
seminggu sekali, pikir Rana.
Cowok itu masih di sana, masih menekuri bukunya.
Rana berpikir, apa ia tidak bosan? Lalu muncul pertanyaan retoris lainnya.
Sebaliknya, apa Rana juga tidak bosan?
Jika diberi pertanyaan begitu, Rana akan menggeleng
sambil tersenyum takzim.
Mendekati jam empat, sosok bidadari melenggang
anggun memasuki kafe itu. Dilihat Rana cowok itu mendongak dari bukunya lalu
melambaikan tangan. Bidadari itu beranjak duduk di sebelah cowok itu. Mereka
berbagi meja, berbagi tawa, berbagi cerita.
Rana bersembunyi di balik semak, dengan mata yang
selalu siaga. Meski setengah wajahnya tertutup semak, semua orang pasti bisa
melihat sudut-sudut bibirnya tertekuk ke bawah. Tidak habis jam lima, Rana
gontai meninggalkan semak. Membawa perasaan hampa.
Rana bersembunyi di balik semak, dengan mata yang
selalu siaga. Bibir Rana tertekuk ke bawah, pandangannya meratap. Mahadewa tak
lagi sendirian menekuri buku. Ada mahadewi di sampingnya. Mereka berdua berbagi
meja, berbagi tawa, berbagi cerita.
Rana bersembunyi di balik semak, dengan mata yang
selalu siaga. Bibir Rana tertekuk ke bawah, pandangannya meratap. Belum sampai
jam empat mahadewa sudah undur diri dari kafe. Mengajak mahadewi pergi.
Untuk pertama kalinya Rana lepas landas keluar dari
balik semak. Memandangi kedua punggung yang menjauh dari pintu kafe.
Bergandengan tangan.
Komentar
Posting Komentar