[Matahari Milikku] #5. Dicky (dan) Mela

Cerita Sebelumnya: [Matahari Milikku] #4. Bingo!




Jadi namanya Dicky.

Dicky itu nama orang terkenal bukan sih? Yang suka ngomong nggak jelas berbelit-belit itu. Yang bilang kospirasi hati yang menimbulkan labil ekonomi lalu berdampak pula pada statusisasi. Namanya Dicky Prasetyo.

Oh, itu Vicky Prasetyo ding.

Pelajaran bahasa Indonesia selesai. Begitu Bu Indah melenggang keluar kelas, Jeje yang merupakan bendahara kelas maju ke depan sambil membawa setumpuk kertas.



“Haloooo, minta perhatian semuanya!!!” jerit Jeje. Ketika kelas sudah sunyi senyap, baru Jeje melanjutkan. “Pak Karno hari ini nggak masuk, tapi PR-nya tetap dikumpulin ke depan ya. Sebagai gantinya ada tugas...”

“Heeeaaaaaahhhh.”

“Tunggu dulu dong, gue belum selesai ngomong,” lanjut Jeje menghentikan keluhan seisi kelas. “Tugasnya berkelompok kok. Satu kelompok minimal 2 orang maksimal 4 orang. Harus dikumpulkan hari ini!”

“Tetep aja namanya tugas, Je!” sahut Daniel, yang sekarang sebangku dengan Dicky yang langsung disetujui oleh teman-teman lainnya dengan anggukan.

“Yang penting kan kalian nggak perlu ngerjain sendiri,” sahut Jeje cuek sambil membagikan kertas soal pada teman-teman sekelas.

Kepala Willy tiba-tiba menyembul di antara aku dan Melody. “Kita bareng kalian ya?”

“Okeeeeeeh,” jawabku berbarengan dengan Melody.

Giliran bangkuku yang didatangi Jeje. “Satu kelompok berapa?”

“Empat. Gue, Melody, Willy, Dimas.”

“Sip.” Jeje menyerahkan soal yang terdiri dari lima lembar itu. “Jangan lupa tulis nama anggota kelompok.”

“Siap bos!”

Aku dan Melody memutar bangku masing-masing, menghadap Willy dan Dimas. Sementara Melody menulis nama kelompok, aku curi-curi pandang ke arah Dicky. Kelompoknya juga empat orang dengan ia dan Daniel menghadap ke belakang bersama Erika dan Jeje. Aku buru-buru mengalihkan pandangan begitu ada perasaan mengapa bukan aku saja yang di posisi Erika atau Jeje.

“Oke, kita mulai, ya!” Melody beraba-aba.

“Dickyyyyy!!!!”

Aku, Melody, Dimas dan Willy serempak menoleh, meski nama kami bukan yang dipanggil tersebut. Pasalnya, yang memanggil nama itu suaranya melengking dengan bumbu nada centil. Benar saja. Begitu Mela dan Ayen, salah satu anggota gengnya, nyelonong masuk ke kelas aku memutar bola mata.

Kupandangi seisi kelas. Sebagian dari mereka konsen lagi dengan soal Fisika sementara sebagian lagi memandangi Mela yang sekarang sudah di samping Dicky dengan tatapan ingin tahu.

“Gue kira ada pelajaran, eeh rupanya jam kosong,” kata Mela semanis mungkin lengkap dengan senyum yang (menurutnya) manis, membuatku mual.

Dicky nyengir. “Memangnya kenapa kalo gue ada pelajaran?”

“Ya nggak papa sih. Tadi gue nggak sengaja lewat sini, eeeh jam kosong. Ya udah gue mampir aja.”

“Emang abis dari mana?”

Duh, aku dongkol mendengar Dicky perhatian gitu pada Mela. Anak baru sih, nggak tahu aja gimana cewek itu!

Aku mengangkat alis ketika Mela terperanjat. Kemudian ia garuk-garuk kepala dengan kikuk. “Eeeeengg, abis dari mana yaaa... Eeeh, gue lupa,” katanya sambil nyengir. “Kita dari mana, Yen?” tanyanya menoleh pada Ayen.

“Bukannya kita emang sengaja lewat sini?”

Ppppppfffftttt...

Aku membuang muka sambil menutupi mulutku dengan telapak tangan. Hal yang sama dilakukan oleh ketiga teman kelompokku. Inilah modus berujung mampus. Si Ayen juga kenapa bisa sepolos itu. Lihat deh, Mela menutupi malunya sambil cengar-cengir!

“Eh, Mela!” Tiba-tiba Daniel berbalik badan, memandangi Mela juga Ayen. “Kita emang jam kosong, tapi kita dikasih tugas! Mending lo balik deh ke kelas. Kelas lo ada gurunya, kan? Sebagai anak baru yang baik dan mengerti budi pekerti mending lo balik dari pada ganggu kita ngerjain soal!”

Nah loh. Daniel hebat bener.

Mela melotot tajam. “Gue nggak ganggu elo! Gue kan cuman mau ketemu Dicky! Jangan ke-GR-an yaa!!!”

“Dicky itu sebangku ama gue, lo punya mata nggak sih? Mau nggak mau suara lo masuk juga ke kuping gue! Sana, balik ke kelas!” kata Daniel sambil mengibaskan tangan seperti mengusir kucing. Mela langsung cemberut.

Saat sebelumnya mencibir kepada Daniel, raut wajah Mela berganti cerah begitu hendak bicara dengan Dicky. “Kita ketemu pulang sekolah, ya? Daaaahhh.”

Aku meringis melihatnya.

“Jadi genap 4 kali ke sini deh tuh!” sahut Willy tiba-tiba.

Aku mengangkat alis. “Maksudnya?”

“Dicky itu alasan Mela kenapa dia udah nangkring pagi-pagi buta di kelas ini. Gue juga nggak tahu Mela dapet info ada anak baru keren masuk kelas ini,” jawab Melody.

“Pagi-pagi tadi, trus dua kali pas waktu pergantian jam pelajaran dia lewat sini sambil dadah-dadah gitu.” Kali ini Dimas.

“Udah ngalah-ngalahin tamu aja, harus lapor dua kali 24 jam ama RT,” tambah Willy.

Aku mendengus. Kesal.

***

Esok harinya...

“Nggak ke kantin, Nal?”

Begitu mengetahui siapa yang bertanya, aku berusaha untuk tidak mengigit bibir.

“Nggak. Nggak laper.”

Dicky beranjak dari kursinya, dengan langkah pelan menghampiriku. Ini jam istirahat pertama, kelas sepi. Hanya ada kami berdua.

“Emang lagi ngapain?” tanyanya begitu sudah berdiri di depanku. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.

“Mau mulai baca buku.”

“Buku? Buku apa?”

“Lima Sekawan.”

“Punya Enid Blyton itu?” tanya Dicky, agak kaget. Dengan penuh minat ia duduk di kursi depanku, menatapku dengan mata menagih jawaban. Untungnya bukan utang ye.

“Iyalah. Lima Sekawan kan cuman punya Enid Blyton.”

Dicky memiringkan wajahnya begitu kukeluarkan buku yang hendak kubaca itu. Ia tersenyum simpul. “Seri Rawa Rahasia, ya? Udah baca!” sahutnya sambil menjentikkan jari.

“Oh, lo hobi baca juga?”

“Dikit-dikit sih. Udah baca yang Nyaris Terjebak?” tanyanya yang kujawab dengan gelengan. “Bagus tahu! Gue punya di rumah...”

“Seriusan? Pinjeeeemmm...”

“Boleh, boleh. Sejam tiga rebu ye.”

“Lo kira warnet?”

Dicky ngakak. Lalu sejenak menatap kursi kosong di sebelahku. “Melody ke kantin ama siapa?”

“Ayana. Lo sendiri nggak ke kantin?”

“Lagi males. Nggak tahu kenapa. Lagian gue nggak tega ninggalin lo sendirian di kelas begini,” katanya, membuatku terpana. Hanya sedetik tapi. Syukurlah kalau rasaku tidak terlalu membumbung tinggi mengudara. Ketika kudapati matanya yang bersinar menggoda aku segera tersadar. Aku memutar bola mata, disambut tawa olehnya. “Ntar kalo lo kesurupan gimana?”

“Paling gue dikerubutin, gitu aja. Kalo gue kesurupan, gue pengen nyekik lo, gitu aja,” ujarku santai.

Dicky terbahak. “Emang gue kenapa?”

Karena lo udah bikin gue kayak orang bego! Kataku setengah menjerit. Dalam hati tapi. “Lupain deh,” kataku sambil mengibaskan tangan.

“Dickyyyyyyyyyy!!!!”

Aku dan Dicky kompak menoleh ke arah sumber suara. Mela datang (lagi), kali ini dengan Naomi dan Acha. Mataku spontan memandang bangku Dicky. Kosong, aku kecewa tak ada Daniel di sana. Mela nyelonong masuk dengan senyum lueeebaaarrr sekali, berjalan anggun nyaris menari bak ballerina. Aku curiga ia menemukan Dicky di kelas pada jam istirahat dalam banyangannya ia menemukan Dicky di taman penuh bunga, sehingga ia bisa menari-nari seperti itu menyontek film India. Sementara Naomi dan Acha berjalan santai di belakangnya. Untung ya mereka nggak ngikutin ulah stress ketuanya.

Dicky balas senyum, lebih ke arah meringis. Aku ikutan meringis meski dalam hati dongkol juga. Ganggu aja deh!

“Dicari-cari ternyata di sini,” kata Mela genit.  Naomi dan Acha mengambil duduk terdekat.

Dicky hanya balas nyengir.

Mela melirikku, lalu, dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat ia menambahkan, “Eeeeeh, Dicky nggak sendirian rupanya!” tanyanya, tak dapat menyembunyikan nada sinisnya.

Lo kira gue setan apa? Nggak kasatmata gitu? Dongkolku.

“Lo siapa? Duh siapa ya? Ooooh iyaa!! Kinal kaaann!!”

Kayaknya si Mela ini kudu mendaftar agen artis buat jadi pemain sinetron kacangan deh.

“Wah, sayang banget lo masih muda udah pikun? Padahal rambut lo kan belum ubanan. Atau jangan-jangan, lo udah ubanan tapi lo tutupin ama cat rambut ya?” kataku kurang ajar sambil menunjuknya dengan bolpoin.
Alis Mela bertaut, keningnya berkerut, wajahnya merengut. Sementara Dicky ngakak membuat monyong bibir Mela nambah lima senti.

“Kayak artis dong? Artis kan biasanya begitu, sebenarnya udah ubanan tapi ditutupin ama cat rambut,” kata Dicky menambah rentetan ledekanku. Dengan begitu kayaknya Mela mau gigit jari tangan sendiri deh.

“Iya!” kataku setuju. “Masih mending kalo cat rambut item, kan masih pelajar. Kalau artis kan bisa warna-warni. Oya, Mel, kenapa lo nggak cat rambut lo jadi ijo aja?”

Dicky ngakak lagi. “Ijonya ijo tuaan aja, Mel. Trus tambain mata di ujungnya. Udah mirip Medusa berambut ular.”

Nah, kalau gini kan wajah Mela udah semerah kepiting rebus, memendam rasa antara marah juga malu. Naomi dan Acha juga lagi ketawa-ketiwi. Untung bosnya ini membelakangi mereka, coba kalo Mela sampai tahu anak buahnya ikut ngetawain dia. Bisa masuk penjara atas kasus pencemaran nama baik, mungkin.

“Dicky nggak ke kantin?” tanya Mela kemudian, saat sebelumnya berdeham-deham menyuruh kami menghentikan tawa.

“Nggak,” jawab Dicky singkat, padat, dan nggak jelas. Masih tersisa tawa di wajahnya.

“Ke kantin yuk!”

Dicky tersenyum sambil menggeleng pelan.

“Ayooo doooongg!!!” kata Mela, membungkuk dengan siku sebagai tumpuan di atas mejaku. Dengan begitu otomatis menghalangi Dicky dariku. “Pliiiiss! Gue traktir deh!”

“Gue nggak lo traktir, Mel?”

Dengan kecepatan kurang dari satu detik kilometer per jam kepala Mela berputar ke arahku. Tatapan tidak percaya. “Idih, siapa elo??!”

“Gue Kinal,” jawabku, kalem.

Dicky tertawa lagi. Mela berdiri lagi, menatapku jengkel sambil berkacak pinggang. Roman-romannya kantung emosinya lagi penuh lalu mau pecah tuh. Pipinya bergelembung, ingin segera memuntahkan lahar amarah padaku.

Tapi di saat yang tepat Dicky bersuara. “Lo nggak ke kantin, Nal?”

“Enggak ah.”

“Bareng gue aja yuk,” katanya, membuatku nyaris melongo. Jantungku melompat-lompat. “Ama Mela juga,” tambahnya kemudian.

Gubrak deh, nggak jadi seneng.

Kening Mela mengernyit memandang Dicky tidak setuju. “Kok ama dia juga sih??!”

Dicky tidak menanggapi protes Mela. Ia beranjak berdiri. “Yuk? Keburu bel masuk. Baca bukunya di rumah aja. Sekalian gue pinjemin punya gue besok.”

***

Keluar kelas menuju kantin, awalnya akulah yang ada di samping Dicky. Lalu dengan sembarangan Mela menyerobot di antara kami, dengan genit mengamit tangan Dicky. Dicky diam saja. Mela menjulurkan lidahnya padaku, kusambut dengan dengusan.

Posisiku yang diserobot itu menempatkanku berjalan di belakang mereka berdua, di samping Naomi juga Acha.

“Yang sabar aje, ye, Nal,” kata Acha. Nah loh, kenapa logatnya jadi Betawi begitu?

Aku mengibaskan tangan. “Iya deh.”

Di sepanjang perjalanan menuju kantin, banyak mata merambati sosok kedua orang di depanku ini. Cewek dan cowok sama jumlahnya. Dan nyaris semua dari mereka gigit jari.

Lama-lama aku bosan dengan suasana ini. Entah keberanian dari mana, mungkin dipicu rasa cemburu karena Mela kelewatan genit pakai acara gandengan segala, aku mengikuti jejaknya, yaitu menyeruak di antara mereka. Atau lebih tepatnya, mendapatkan kembali posisiku.

Dicky tercengang. Tangannya terlepas dari tangan Mela. Belum ada lima detik aku di sampingnya Mela menarik tanganku dari belakang dengan keras. Aku balas menarik, menarik lenganku kembali maksudnya. Mela melotot, aku balas melotot.

“Lo apa-apan sih, Nal?”

“Lo tuh yang apa-apaan!!”

Melihat tanda-tanda bakal ada acara seru, para siswa yang baru mau ke kantin atau selepas dari kantin atau yang lagi lewat sejenak menghentikan langkahnya. Mela berkacak pinggang, menaikkan dagu, menantangku. Aku menatapnya datar, menahan diri untuk tidak menjambak rambutnya.

Masa iya sih aku harus berkelahi di sini hanya perkara “siapa yang bisa jalan di sebelah Dicky menuju kantin”? Kok kedengarannya nggak etis banget. Aku baru sadar, tindakanku ini tidak semestinya. Jadi aku harus berpikir cepat sekarang, bagaimana caranya hal yang kutakutkan tidak akan terjadi.

Kriiiiing!!!

“Udah bel. Nggak jadi ke kantin, deh. Masuk kelas yuk!” kata Dicky, lalu, begitu saja ia berjalan balik menuju kelas.

Aku dan Mela kompak melongo.

Ya ampun, tuh cowok cuek banget! Tengsin!!!!!

Untungnya tidak selamanya aku dan Mela melongo di tempat. Perlahan-lahan siswa yang berkumpul membubarkan diri, ada yang bingung, ada yang senyam-senyum, ada yang penasaran, ada yang kecewa. Yang terakhir ini mungkin doyan ngelihat adu sumo di tipi kali, meski bukan sumo, perkelahian antar cewek begini bagi mereka adalah tontonan seru.

Mela memalingkan wajahnya dariku dengan acuh. Lalu dengan cuek dan dagu di angkat ia berjalan menuju kelasnya, setelah sebelumnya (sengaja) menabrak bahuku. Aku mengikuti kepergiannya dengan jengkel, lalu menghentakkan kaki menuju kelas.

Beberapa langkah mendekati Dicky, aku mempercepat langkah. Meski sebenarnya ia tak berdosa (tindakannya tadi sebenarnya dosa sih, menurutku), ia jadi sasaran balas dendamku. Aku menubruk bahunya dari belakang.

Dicky tersentak, tapi begitu melihatku yang menghentakkan kaki seperti anak kecil memancingnya untuk tertawa. Ia menjejeri langkahku. “Marah Nal? Laper ya? Makanya marah.”

Nih cowok nggak peka apa benar-benar nggak tahu sih?

“Nggak! Kenyang gue, lihat muka Mela!” jawabku ketus.

Dicky tertawa lagi. Nih cowok kalo nggak ketawa, cuek, seenaknya lagi.

“Maaf deh, Nal.”

Aku tahu permintaan maafnya tadi bukan karena tindakannya yang ngeloyor balik ke kelas begitu saja, maka aku bertanya, “Buat apa?”

“Lo nggak jadi ke kantin, makanya laper.”

Aku mengerutkan kening. Dia tahu dari mana kalau aku laper? Emang salahnya ya, kalau aku nggak jadi ke kantin? Memang dia tadi menelpon petugas TU untuk cepat-cepat memencet tombol bel masuk?

Selain hobi ketawa, cuek, seenaknya, si Dicky ini jalan pikirannya tidak bisa kutebak. Jadi aku pasrah saja, enggan mendebat. “Terserah lo deh.”

Sesampainya di kelas aku langsung duduk di samping Melody. Melody yang lagi mengutak-atik ponselnya mengangkat wajah.

“Dari mana lo?”

“Mau ke kantin. Tapi nggak jadi.”

“Kenapa?”

“Udah bel.”

“Salah sendiri gue ajak tadi nggak mau,” katanya, lalu meraba laci bangku. Ia menyodorkan sebungkus plastik padaku. “Nih gorengan. Kali aja lo kelaperan.”

“Waaah, lo sobat yang pengertian banget, Mel! Pantes jadi psikolog!”

Melody menatapku heran. “Emang apa hubungannya bawain gorengan ama jadi psikolog?”

“Apapun deh!” jawabku nggak jelas lalu mencomot satu gorengan. Berharap Pak Kusno yang sehabis ini mengisi kelas mengalami diare sehingga terlambat masuk.

Wah, kurang ajar nih doain guru yang jelek-jelek.

Aku tergoda untuk melirik Dicky. Maka dengan perlahan berusaha tidak kentara aku meliriknya. Ternyata ia sedang memandangku juga. Ia tersenyum, lembut. Matanya mengisyaratkan sesuatu, seraya ia mengalihkan padangan ia mengirim pesan tak kasatmata.



Tring! Aku punya pesan permintaan maaf darinya yang tak kumengerti.


@anggianab #CerbungKinalProject

Cerita Selanjutnya: [Matahari Milikku] #6. Jadilah Matahari

Komentar