[Matahari Milikku] #7. Dua Sisi
Cerita Sebelumnya: [Matahari Milikku] #6. Jadilah Matahari
Di dalam kamar yang seperti sengaja dilingkupi
pekatnya kegelapan, cowok itu terpekur. Dengan kedua tangan bertaut satu sama
lain ia duduk di ujung tempat tidurnya. Kepalanya menunduk dalam-dalam. Jika
ada yang bisa melihat soal apa yang sedang bersarang di kepala cowok itu, luas
kamarnya pun tak cukup menampung banyaknya yang berseliweran.
Cowok itu memain-mainkan kesepuluh jarinya. Lalu ia
mengusap wajah dengan satu tangannya dengan ekspresi lelah. Ia memberanikan
diri untuk mengangkat wajah, lalu menatap satu titik yang kini tepat di
depannya. Terus menatap benda yang tertempel di dinding itu dengan berbagai
makna, yang terlampau diabaikan.
Dicky sebenarnya ingin mengenyahkan pikiran juga
tatapan dari benda itu, tapi biarlah waktu ini terisi dengan begitu adanya.
Seolah matanya mahir memandang dalam kegelapan. Namun, setidaknya untuk satu
hal itu benar. Dalam kegelapan maupun terang, benda itu tetap bisa dilihatnya.
Tidak bisa dengan kedua bola mata, bisa dengan mata hati.
Andaikata orang itu tidak terpancing. Kalau tidak?
Andaikata Dicky ada di sana sewaktu orang itu dalam bahaya. Kalau tidak?
Andaikata ada cukup cahaya supaya orang itu selamat. Kalau tidak? Andaikata
Dicky bisa mengantisipasi dengan sikap protektif dan firasat yang cukup. Kalau
tidak? Andaikata Dicky MENGETAHUI apa yang akan terjadi sehingga ia akan di
sana, kalau perlu menukar semuanya. Kalau tidak?
Semua jawaban itu sudah terhampar tak kasatmata,
menghantuinya setiap hari, sudah Dicky pahami, namun belum bisa Dicky hindari.
Dicky menghela napas dalam-dalam. Setelah mengusap
wajah lelahnya sekali lagi, ia menyambar tas sekolah yang telah ia siapkan di
kursi belajar. Ia berjalan ke samping tempat tidurnya, lalu menyibak tirai, menjadikan
ruangan itu tak lagi gelap. Dengan makna tak tertangkap Dicky memandang benda
bulat paling bercahaya yang sedang bertahta di langit.
Matahari.
Sebelum pergi keluar kamar, sejenak ia daratkan
pandangannya kembali ke benda itu. Berbeda dalam kegelapan tadi, Dicky menatap
benda itu dengan mata... yang sarat akan kata maaf.
***
Aku berjalan menyusuri koridor sekolah yang masih
sepi. Entah trauma atau cuman kebetulan, aku menghindari adanya peristiwa
memalukan kemarin dengan... memasang tiga beker di dalam kamar! Mulai di
samping tempat tidur, yang lebih mudah digetok supaya mati. Sebagai alternatif jika
aku tetap nekat melanjutkan tidur, ada beker di atas meja belajar di ujung
tempat tidur, tapi bisa digetok supaya mati kalau aku repot-repot sampai berjalan
menuju ke arahnya. Sebagai alternatif lain, aku memasang beker di atas lemariku
yang tinggi, karena cara mematikannya kudu naik ke atas kursi dulu. Kalau
dengan ketiga beker yang dipasang dengan jarak waktu lima menit aku masih belum
melek, kupikir aku harus memajang foto Pak Yono besar-besar di kamarku.
Berlebihan sebenarnya, tapi tidak ada salahnya kan
untuk mengantisipasi? Meskipun aku tak yakin apakah aku harus bermimpi Arya
setiap malam.
Karena sibuk tersenyum-senyum sendiri mengingat
ketiga beker di rumah, aku jadi tidak memperhatikan jalan. Bruk! Entah mengapa
aku punya hobi menubruk orang yang sedang berjalan. Tapi untungnya kali ini aku
tidak harus jatuh. Seseorang menarik tanganku sebelum tubuhku terhempas bebas
mencium lantai.
Ternyata Dicky.
Ia melepas tanganku begitu saja, berlalu tanpa
ekspresi sambil menenteng sebuah buku tebal yang kutebak bukan buku pelajaran.
Meski begitu aku sempat menangkap adanya lingkaran hitam di bawah kedua bola
matanya. Ia berjalan berlawanan arah denganku, aku bingung ia tak langsung ke
kelas. Mau ke mana dia? Kenapa air mukanya sudah keruh pagi-pagi begini?
Aku mengangkat bahu lalu melanjutkan langkah.
Ekspresinya tadi membuatku tak ada niat bertanya-tanya, meski nanti kami
bertemu di kelas. Namun belum sampai aku melangkah, sesuatu di bawah lantai di
ujung sepatuku tertangkap oleh mataku.
Aku memungutnya. Secarik kain polos berwarna putih
gading dengan satu gambar ditengah-tengah, dilukis sendiri dengan cat.
Bergambar matahari.
***
“Punya lo?”
Dicky tersentak. Mungkin karena tiba-tiba aku
menyodorkan secarik kain itu tepat di bawah bola matanya yang sedang menunduk
menekuri buku pelajaran. Ia menatapku sejenak sebelum menerima kain itu.
“Kok ada di elo?”
“Mungkin jatuh pas kita tabrakan tadi pagi,” jawabku
enteng. “Memangnya itu apa?”
“Pembatas buku,” katanya, nadanya dingin. Ia
memasukkan kain itu begitu saja di loker meja. Alisku terangkat. Saat ini
sedang ada jeda pergantian pelajaran setelah jam istirahat pertama. Aku baru
sempat mengembalikan kain itu karena guru-guru kelewat tepat waktu datang, lalu
di jam istirahat, Dicky menghilang entah ke mana. Dan dari jam masuk sampai
sekarang, aku tidak menemukan ada perubahan positif dari raut wajahnya.
Ada apa dengannya?
“Nal, Bu Retha sudah datang,” katanya tiba-tiba
dengan suara pelan. Kepalaku langsung berputar dan mendapati guru Biologiku
sudah di ambang pintu. Aku buru-buru menghambur ke bangku.
Setelah mengucapkan salam dan memeriksa bukunya, Bu
Retha menanyakan kesiapan kami melakukan presentasi, tugas yang diberikan tempo
hari. Semuanya dengan lantang mengucap siap. Bu Retha memberitahukan bahwa
urutan tampil acak, tidak sesuai absen. Dan siswa yang tampil pertama, jatuh
pada namaku.
Aku mempersiapkan karton yang sudah aku kerjakan,
membentangkannya di papan tulis. Sebelum memulai, aku menghela napas
dalam-dalam. Suasana kelas sunyi senyap. Aku bersyukur teman-teman mau
mendengarkan.
Selama presentasi, aku tak mampu menahan godaan
untuk sesekali memandang Dicky. Cowok itu kadang-kadang sedang membaca buku;
melihatku; membaca lagi; melihat langit-langit; mengetuk-ngetuk dagu dengan
telunjuk seolah berpikir; mendesah; atau bahkan ia langsung membuang muka
begitu matanya bertabrakan dengan mataku, seperti menyembunyikan sesuatu.
Beberapa tindakannya rada menggangguku dalam melakukan presentasi, tapi aku
buru-buru mengalihkan padangan dengan menatap Melody yang memandangku penuh
minat.
Setelah sesi tanya jawab dan kesimpulan dari
presentasi, aku mengucap terima kasih diiringi tepuk tangan. Syukurlah,
berjalan lancar. Aku menggulung kembali kartonku, melenggang menuju bangkuku,
dan sejenak melirik Dicky. Cowok itu tersenyum sumringah balas menatapku,
sangat amat berbeda dengan sikapnya yang belum ada sejam yang lalu.
Keningku mengerut. Kenapa secepat itu perubahan
cuaca hatinya?
***
Sepulang sekolah.
Ciiiiitttt!!! Rem beradu dengan karet ban sepeda
kayuh, bergesekan dengan aspal. Aku menoleh.
“Hei, Nal!” sapa Dicky. Wajahnya sumringah dengan
kedua tangan memegang stang. “Ngapain di halte?”
“Nungguin mobil presiden, kali aja lewat, gue bisa
bareng buat sampe rumah,” jawabku asal. Dicky tertawa. “Kalau di halte nungguin
apa kalo nggak nungguin angkutan umum!”
“Kali aja lo nungguin mobil presiden biar bisa
bareng sampe rumah,” katanya sambil nyengir. “Naik!” katanya tiba-tiba sambil
menunjuk sadel belakang dengan kepala.
Seolah belum konek, aku memandangnya tak mengerti.
“Naik. Gue anter sampe rumah.”
Jantungku melompat secepat lompatan kelinci tatkala
datang hujan wortel dadakan. “Haa?”
“Ha he ha he! Buruan kok!”
“Tapi rumah gue jauh! Makanya gue naik bis.”
“Emang rumah lo di mana?”
“Jalan kebun jeruk.”
“Rumah gue jalan kebun apel kok. Jadi kita searah.”
“Emang ada jalan kebun apel???”
Dicky menggaruk kepalanya sambil tersenyum lebar.
“Gue yang bikin deh, besok kalo gue jadi presiden.”
“Kalo lo pake sepeda kayuh begini, pasti rumah lo
deket.”
“Nggak selalu,” jawabnya enteng. “Mumpung ada yang
mau nganterin lo secara sukarela, kok ditolak sih? Kan lumayan lo bisa irit
ongkos naik bus.”
“Iya deh, iya! Cerewet!” kataku sok garang padahal
sih senang bukan main. Aku naik di belakangnya, lalu sebentar aja aku melompat
turun. Teringat sesuatu.
“Eh, Dick, tapi...”
Wus! Dicky mengayuh sepedanya begitu saja. Ia
meninggalkanku yang terbengong-bengong di halte. Beberapa orang di sekitar ikutan
tersenyum. Setengah tertawa aku berlari, menyusulnya.
“Diiiiick!!! Kok gue lo tinggal sih???”
“Eeeeehhh??” Ciiit!! Dicky mengerem sepedanya lagi.
“Kok di situ, Nal? Udah gue suruh naik juga.”
“Iya, gue tadi turun lagi.”
“Pantesan kok enteng banget.”
Aku tergelitik untuk menjitak kepalanya. “Gue mau
bareng lo, tapi satu syarat.”
“Apa?”
“Bener rumah lo searah ama gue?”
“Emang kenapa sih? Lo mau mampir?”
“Bukaaann!!” kataku geregetan. “Kalo rumah lo deket
sini kan kasian elo-nya. Apalagi naik sepeda gini.”
“Gue udah biasa kali,” katanya sambil tersenyum.
“Cuman kayaknya lo pulang telat aja, kalo rumah lo jauh seperti yang lo
bilang.”
“Gue sih nggak papa, elo-nya...”
“Gue juga nggak papa.”
Aku tersenyum. Tanpa pikir panjang lagi kembali
duduk di belakangnya. “Syaratnya, pas udah sampe rumah gue ntar, bilang di mana
rumah lo yaa.”
“Itu sih gampang!” katanya sambil mengacungkan
jempol. “Seratus meter sepuluh ribu ya, Nal!”
Aku memutar bola mata. “Lo bakat jadi supir taksi!”
Dicky tertawa dan kami menerjang jalanan menggunakan
sepeda kayuhnya. Sesekali kami ngakak dengan suara lantang. Saat itu, aku tidak
percaya Dicky sempat berlaku aneh tadi pagi.
Dicky mengayuh sepedanya dengan arah yang
kutunjukkan. Karena seperti yang sudah kubilang bahwa rumahku jauh dari sekolah,
percakapan kami dalam setengah perjalanan dibabat habis waktu. Kami hening
sejenak dengan kondisi perut yang sakit kebanyakan tertawa.
“Nal, bawa earphone?
Nggak enak diem-dieman begini,” katanya tiba-tiba dengan suara gugup.
“Ada. Buat berdua ya.” Di belakangnya, aku merogoh
tasku dan mengeluarkan MP3-ku. Kupasang satu earphone di telinganya. Lagu pertama mengalun.
“Oh, lo suka ama JKT48?” tanyanya.
“Yap.”
“Sama nih, gue juga suka.”
“Oya?”
“Ya. Kita banyak kesukaan ya. Buku, musik. Jangan-jangan...”
“Jangan bilang kalau kita jodoh!” kataku tanpa
sadar. Pipiku langsung merona, untungnya aku di belakang punggungnya dan ini
sepeda kayuh, sehingga tidak ada kaca spion. Aku menggetok-getok kepalaku
sendiri sambil merutuk diri.
Dicky tertawa keras. “Lo kan jodohnya ama Mela,
Nal.”
“Idiiiiiiih. Rasional dong!”
“Lho, sekarang isu kayak begitu bagi gue nggak jadi
minoritas lagi.”
“Dan elo salah satunya?”
“Amit-amit!”
Giliran aku yang tertawa. Kami menghabiskan sisa
waktu perjalanan sambil bernyanyi bersama.
“Pertigaan depan belok kiri, Dick.”
“Masih jauh?”
“Ya belok kiri itu dah nyampe. Kenapa? Lo capek ya?”
tanyaku khawatir juga merasa bersalah.
“Ah, enggak.”
Kami berhenti tepat di depan rumahku. Ia melepas earphone baru aku turun dari boncengan.
“Nah, ini rumah gue,” kataku memperkenalkan rumahku.
Dicky manggut-manggut. “Bisa nih, main ke sini
sekali-kali?”
“Boleh dong. Tapi jangan lupa bawa makanan yang
banyak.”
“Idih, bukannya harusnya tuan rumah yang bawain
tamunya makanan?”
“Ini era baru, jadi bisa dibalik.”
Dicky pura-pura mendengus. “Oke deh, gue balik
langsung ya. Sori nggak bisa mampir dulu.”
“Eeeeh, lo lupain janji!”
Dicky bertanya lewat matanya, dilengkapi juga dengan
pertayaan. “Janji apa?”
“Rumah lo. Di mana?”
“Ooooh,” katanya santai. “Di jalan kesatria. Mana
nyokap lo?”
Aku mengernyit sebentar, seperti tahu nama jalan
itu. Tapi di mana ya? “Di mana itu?”
“Mana nyokap lo?” tanya Dicky lagi mengacuhkan
pertanyaanku.
Aku masuk ke dalam rumah, lambat-lambat sambil terus
mengingat-ingat. Setelah kuberitahu, Mama berkenalan dengan Dicky dan cowok itu
berpamitan. Setelahnya Mama langsung kembali ke dalam dengan alasan sedang
memasak, takut gosong.
“Lo kenapa sih, Nal?” tanya Dicky begitu aku
menemuinya masih di depan rumahku.
“Kayaknya gue tahu jalan rumah lo.”
Dicky tersenyum simpul. “Pinjem ponsel lo?”
“Buat apa?”
“Udah, mana buruan.”
Aku menyodorkan ponsel dan ia mengetik dengan cepat
lalu dikembalikan padaku. “Nomor gue udah gue save di ponsel lo. Kalo lo udah inget di mana jalan kesatria, SMS
atau telepon gue,” katanya enteng lalu mengayuh sepedanya. “Gue balik, Nal!”
“Makasih! Hati-hati!”
Aku buru-buru masuk ke dalam rumah. Setelah berganti
baju, aku membantu Mama masak di dapur. Ternyata yang membuat Mama memasak
sore-sore begini adalah untuk masak bubur buat tetangga yang sedang sakit.
“Ma, jalan kesatria itu mana ya? Kok Kinal kayak
pernah tahu...”
Tanpa menoleh, Mamaku menjawab, “Bukannya jalan
kesatria itu beda satu gang ama sekolahmu? Jalan kesatria kan sebelah jalan
mawar, rumah tantemu.”
Setelah itu, aku menjerit-jerit, untungnya di dalam
hati. Buru-buru aku kembali ke kamar dan menyambar ponselku. Dicky berbohong,
bilangnya rumahnya dekat dengan rumahku!!!
***
Sambil menghela napas yang tidak bisa dibilang lega,
Dicky menghempaskan tasnya ke kursi belajar. Setelah itu ia berjalan menuju
sisi kamarnya, ke balkon yang mengarah pada taman belakang rumah yang luas.
Belum ada lima menit, ponsel di saku celananya
bergetar. Ada SMS dengan nomor tidak dikenal. Tapi kemudian ia tersenyum geli
karena pengirim mencantumkan namanya di ujung SMS.
Namun, entah mengapa senyumnya pudar seiring tak ada
niat untuk membalas SMS itu. Mungkin nanti, pikirnya. Maka dimasukkan kembali
ponselnya ke dalam saku.
Perlahan, Dicky memutar kepalanya ke belakang
punggungnya. Tepat pada benda yang tertempel di dinding, di ujung tempat
tidurnya. Meski yang ditatapnya benda mati, mata cowok itu menyiratkan seolah
ada adu argumentasi dengan benda itu. Atau... adu argumentasi dengan dirinya
sendiri?
Dicky membuang muka dan kembali memandang halaman
belakang rumahnya. Di satu sisi ia merasa bersalah, di sisi lain seolah...
siapapun tak terkecuali dirinya bisa saja ada di posisi sesulit ini. Di dua
sisi ini... entah kapan ia akan terbebas.
Dicky merogoh saku celananya dan memutuskan mengirim
SMS balasan. Setelah pemberitahuan pesan telah terkirim, sekali lagi ia tatap
sederet nama di ujung SMS yang baru masuk itu. Dicky meremas ponselnya
erat-erat, lalu menoleh lagi pada benda mati yang tertempel pada dinding di
ujung ranjangnya itu.
“Beri sedikit waktu,” ucapnya lirih, nyaris
berbicara pada diri sendiri.
Komentar
Posting Komentar