[Matahari Milikku] #7. Dua Sisi



Di dalam kamar yang seperti sengaja dilingkupi pekatnya kegelapan, cowok itu terpekur. Dengan kedua tangan bertaut satu sama lain ia duduk di ujung tempat tidurnya. Kepalanya menunduk dalam-dalam. Jika ada yang bisa melihat soal apa yang sedang bersarang di kepala cowok itu, luas kamarnya pun tak cukup menampung banyaknya yang berseliweran.

Cowok itu memain-mainkan kesepuluh jarinya. Lalu ia mengusap wajah dengan satu tangannya dengan ekspresi lelah. Ia memberanikan diri untuk mengangkat wajah, lalu menatap satu titik yang kini tepat di depannya. Terus menatap benda yang tertempel di dinding itu dengan berbagai makna, yang terlampau diabaikan.

Dicky sebenarnya ingin mengenyahkan pikiran juga tatapan dari benda itu, tapi biarlah waktu ini terisi dengan begitu adanya. Seolah matanya mahir memandang dalam kegelapan. Namun, setidaknya untuk satu hal itu benar. Dalam kegelapan maupun terang, benda itu tetap bisa dilihatnya. Tidak bisa dengan kedua bola mata, bisa dengan mata hati.


Andaikata orang itu tidak terpancing. Kalau tidak? Andaikata Dicky ada di sana sewaktu orang itu dalam bahaya. Kalau tidak? Andaikata ada cukup cahaya supaya orang itu selamat. Kalau tidak? Andaikata Dicky bisa mengantisipasi dengan sikap protektif dan firasat yang cukup. Kalau tidak? Andaikata Dicky MENGETAHUI apa yang akan terjadi sehingga ia akan di sana, kalau perlu menukar semuanya. Kalau tidak?

Semua jawaban itu sudah terhampar tak kasatmata, menghantuinya setiap hari, sudah Dicky pahami, namun belum bisa Dicky hindari.

Dicky menghela napas dalam-dalam. Setelah mengusap wajah lelahnya sekali lagi, ia menyambar tas sekolah yang telah ia siapkan di kursi belajar. Ia berjalan ke samping tempat tidurnya, lalu menyibak tirai, menjadikan ruangan itu tak lagi gelap. Dengan makna tak tertangkap Dicky memandang benda bulat paling bercahaya yang sedang bertahta di langit.

Matahari.

Sebelum pergi keluar kamar, sejenak ia daratkan pandangannya kembali ke benda itu. Berbeda dalam kegelapan tadi, Dicky menatap benda itu dengan mata... yang sarat akan kata maaf.

***

Aku berjalan menyusuri koridor sekolah yang masih sepi. Entah trauma atau cuman kebetulan, aku menghindari adanya peristiwa memalukan kemarin dengan... memasang tiga beker di dalam kamar! Mulai di samping tempat tidur, yang lebih mudah digetok supaya mati. Sebagai alternatif jika aku tetap nekat melanjutkan tidur, ada beker di atas meja belajar di ujung tempat tidur, tapi bisa digetok supaya mati kalau aku repot-repot sampai berjalan menuju ke arahnya. Sebagai alternatif lain, aku memasang beker di atas lemariku yang tinggi, karena cara mematikannya kudu naik ke atas kursi dulu. Kalau dengan ketiga beker yang dipasang dengan jarak waktu lima menit aku masih belum melek, kupikir aku harus memajang foto Pak Yono besar-besar di kamarku.

Berlebihan sebenarnya, tapi tidak ada salahnya kan untuk mengantisipasi? Meskipun aku tak yakin apakah aku harus bermimpi Arya setiap malam.

Karena sibuk tersenyum-senyum sendiri mengingat ketiga beker di rumah, aku jadi tidak memperhatikan jalan. Bruk! Entah mengapa aku punya hobi menubruk orang yang sedang berjalan. Tapi untungnya kali ini aku tidak harus jatuh. Seseorang menarik tanganku sebelum tubuhku terhempas bebas mencium lantai.

Ternyata Dicky.

Ia melepas tanganku begitu saja, berlalu tanpa ekspresi sambil menenteng sebuah buku tebal yang kutebak bukan buku pelajaran. Meski begitu aku sempat menangkap adanya lingkaran hitam di bawah kedua bola matanya. Ia berjalan berlawanan arah denganku, aku bingung ia tak langsung ke kelas. Mau ke mana dia? Kenapa air mukanya sudah keruh pagi-pagi begini?

Aku mengangkat bahu lalu melanjutkan langkah. Ekspresinya tadi membuatku tak ada niat bertanya-tanya, meski nanti kami bertemu di kelas. Namun belum sampai aku melangkah, sesuatu di bawah lantai di ujung sepatuku tertangkap oleh mataku.

Aku memungutnya. Secarik kain polos berwarna putih gading dengan satu gambar ditengah-tengah, dilukis sendiri dengan cat.

Bergambar matahari.

***

“Punya lo?”

Dicky tersentak. Mungkin karena tiba-tiba aku menyodorkan secarik kain itu tepat di bawah bola matanya yang sedang menunduk menekuri buku pelajaran. Ia menatapku sejenak sebelum menerima kain itu.

“Kok ada di elo?”

“Mungkin jatuh pas kita tabrakan tadi pagi,” jawabku enteng. “Memangnya itu apa?”

“Pembatas buku,” katanya, nadanya dingin. Ia memasukkan kain itu begitu saja di loker meja. Alisku terangkat. Saat ini sedang ada jeda pergantian pelajaran setelah jam istirahat pertama. Aku baru sempat mengembalikan kain itu karena guru-guru kelewat tepat waktu datang, lalu di jam istirahat, Dicky menghilang entah ke mana. Dan dari jam masuk sampai sekarang, aku tidak menemukan ada perubahan positif dari raut wajahnya.

Ada apa dengannya?

“Nal, Bu Retha sudah datang,” katanya tiba-tiba dengan suara pelan. Kepalaku langsung berputar dan mendapati guru Biologiku sudah di ambang pintu. Aku buru-buru menghambur ke bangku.

Setelah mengucapkan salam dan memeriksa bukunya, Bu Retha menanyakan kesiapan kami melakukan presentasi, tugas yang diberikan tempo hari. Semuanya dengan lantang mengucap siap. Bu Retha memberitahukan bahwa urutan tampil acak, tidak sesuai absen. Dan siswa yang tampil pertama, jatuh pada namaku.

Aku mempersiapkan karton yang sudah aku kerjakan, membentangkannya di papan tulis. Sebelum memulai, aku menghela napas dalam-dalam. Suasana kelas sunyi senyap. Aku bersyukur teman-teman mau mendengarkan.

Selama presentasi, aku tak mampu menahan godaan untuk sesekali memandang Dicky. Cowok itu kadang-kadang sedang membaca buku; melihatku; membaca lagi; melihat langit-langit; mengetuk-ngetuk dagu dengan telunjuk seolah berpikir; mendesah; atau bahkan ia langsung membuang muka begitu matanya bertabrakan dengan mataku, seperti menyembunyikan sesuatu. Beberapa tindakannya rada menggangguku dalam melakukan presentasi, tapi aku buru-buru mengalihkan padangan dengan menatap Melody yang memandangku penuh minat.

Setelah sesi tanya jawab dan kesimpulan dari presentasi, aku mengucap terima kasih diiringi tepuk tangan. Syukurlah, berjalan lancar. Aku menggulung kembali kartonku, melenggang menuju bangkuku, dan sejenak melirik Dicky. Cowok itu tersenyum sumringah balas menatapku, sangat amat berbeda dengan sikapnya yang belum ada sejam yang lalu.

Keningku mengerut. Kenapa secepat itu perubahan cuaca hatinya?

***

Sepulang sekolah.

Ciiiiitttt!!! Rem beradu dengan karet ban sepeda kayuh, bergesekan dengan aspal. Aku menoleh.

“Hei, Nal!” sapa Dicky. Wajahnya sumringah dengan kedua tangan memegang stang. “Ngapain di halte?”

“Nungguin mobil presiden, kali aja lewat, gue bisa bareng buat sampe rumah,” jawabku asal. Dicky tertawa. “Kalau di halte nungguin apa kalo nggak nungguin angkutan umum!”

“Kali aja lo nungguin mobil presiden biar bisa bareng sampe rumah,” katanya sambil nyengir. “Naik!” katanya tiba-tiba sambil menunjuk sadel belakang dengan kepala.

Seolah belum konek, aku memandangnya tak mengerti.

“Naik. Gue anter sampe rumah.”

Jantungku melompat secepat lompatan kelinci tatkala datang hujan wortel dadakan. “Haa?”

“Ha he ha he! Buruan kok!”

“Tapi rumah gue jauh! Makanya gue naik bis.”

“Emang rumah lo di mana?”

“Jalan kebun jeruk.”

“Rumah gue jalan kebun apel kok. Jadi kita searah.”

“Emang ada jalan kebun apel???”

Dicky menggaruk kepalanya sambil tersenyum lebar. “Gue yang bikin deh, besok kalo gue jadi presiden.”

“Kalo lo pake sepeda kayuh begini, pasti rumah lo deket.”

“Nggak selalu,” jawabnya enteng. “Mumpung ada yang mau nganterin lo secara sukarela, kok ditolak sih? Kan lumayan lo bisa irit ongkos naik bus.”

“Iya deh, iya! Cerewet!” kataku sok garang padahal sih senang bukan main. Aku naik di belakangnya, lalu sebentar aja aku melompat turun. Teringat sesuatu.

“Eh, Dick, tapi...”

Wus! Dicky mengayuh sepedanya begitu saja. Ia meninggalkanku yang terbengong-bengong di halte. Beberapa orang di sekitar ikutan tersenyum. Setengah tertawa aku berlari, menyusulnya.

“Diiiiick!!! Kok gue lo tinggal sih???”

“Eeeeehhh??” Ciiit!! Dicky mengerem sepedanya lagi. “Kok di situ, Nal? Udah gue suruh naik juga.”

“Iya, gue tadi turun lagi.”

“Pantesan kok enteng banget.”

Aku tergelitik untuk menjitak kepalanya. “Gue mau bareng lo, tapi satu syarat.”

“Apa?”

“Bener rumah lo searah ama gue?”

“Emang kenapa sih? Lo mau mampir?”

“Bukaaann!!” kataku geregetan. “Kalo rumah lo deket sini kan kasian elo-nya. Apalagi naik sepeda gini.”

“Gue udah biasa kali,” katanya sambil tersenyum. “Cuman kayaknya lo pulang telat aja, kalo rumah lo jauh seperti yang lo bilang.”

“Gue sih nggak papa, elo-nya...”

“Gue juga nggak papa.”

Aku tersenyum. Tanpa pikir panjang lagi kembali duduk di belakangnya. “Syaratnya, pas udah sampe rumah gue ntar, bilang di mana rumah lo yaa.”

“Itu sih gampang!” katanya sambil mengacungkan jempol. “Seratus meter sepuluh ribu ya, Nal!”

Aku memutar bola mata. “Lo bakat jadi supir taksi!”

Dicky tertawa dan kami menerjang jalanan menggunakan sepeda kayuhnya. Sesekali kami ngakak dengan suara lantang. Saat itu, aku tidak percaya Dicky sempat berlaku aneh tadi pagi.

Dicky mengayuh sepedanya dengan arah yang kutunjukkan. Karena seperti yang sudah kubilang bahwa rumahku jauh dari sekolah, percakapan kami dalam setengah perjalanan dibabat habis waktu. Kami hening sejenak dengan kondisi perut yang sakit kebanyakan tertawa.

“Nal, bawa earphone? Nggak enak diem-dieman begini,” katanya tiba-tiba dengan suara gugup.

“Ada. Buat berdua ya.” Di belakangnya, aku merogoh tasku dan mengeluarkan MP3-ku. Kupasang satu earphone di telinganya. Lagu pertama mengalun.

“Oh, lo suka ama JKT48?” tanyanya.

“Yap.”

“Sama nih, gue juga suka.”

“Oya?”

“Ya. Kita banyak kesukaan ya. Buku, musik. Jangan-jangan...”

“Jangan bilang kalau kita jodoh!” kataku tanpa sadar. Pipiku langsung merona, untungnya aku di belakang punggungnya dan ini sepeda kayuh, sehingga tidak ada kaca spion. Aku menggetok-getok kepalaku sendiri sambil merutuk diri.

Dicky tertawa keras. “Lo kan jodohnya ama Mela, Nal.”

“Idiiiiiiih. Rasional dong!”

“Lho, sekarang isu kayak begitu bagi gue nggak jadi minoritas lagi.”

“Dan elo salah satunya?”

“Amit-amit!”

Giliran aku yang tertawa. Kami menghabiskan sisa waktu perjalanan sambil bernyanyi bersama.

“Pertigaan depan belok kiri, Dick.”

“Masih jauh?”

“Ya belok kiri itu dah nyampe. Kenapa? Lo capek ya?” tanyaku khawatir juga merasa bersalah.

“Ah, enggak.”

Kami berhenti tepat di depan rumahku. Ia melepas earphone baru aku turun dari boncengan.

“Nah, ini rumah gue,” kataku memperkenalkan rumahku.

Dicky manggut-manggut. “Bisa nih, main ke sini sekali-kali?”

“Boleh dong. Tapi jangan lupa bawa makanan yang banyak.”

“Idih, bukannya harusnya tuan rumah yang bawain tamunya makanan?”

“Ini era baru, jadi bisa dibalik.”

Dicky pura-pura mendengus. “Oke deh, gue balik langsung ya. Sori nggak bisa mampir dulu.”

“Eeeeh, lo lupain janji!”

Dicky bertanya lewat matanya, dilengkapi juga dengan pertayaan. “Janji apa?”

“Rumah lo. Di mana?”

“Ooooh,” katanya santai. “Di jalan kesatria. Mana nyokap lo?”

Aku mengernyit sebentar, seperti tahu nama jalan itu. Tapi di mana ya? “Di mana itu?”

“Mana nyokap lo?” tanya Dicky lagi mengacuhkan pertanyaanku.

Aku masuk ke dalam rumah, lambat-lambat sambil terus mengingat-ingat. Setelah kuberitahu, Mama berkenalan dengan Dicky dan cowok itu berpamitan. Setelahnya Mama langsung kembali ke dalam dengan alasan sedang memasak, takut gosong.

“Lo kenapa sih, Nal?” tanya Dicky begitu aku menemuinya masih di depan rumahku.

“Kayaknya gue tahu jalan rumah lo.”

Dicky tersenyum simpul. “Pinjem ponsel lo?”

“Buat apa?”

“Udah, mana buruan.”

Aku menyodorkan ponsel dan ia mengetik dengan cepat lalu dikembalikan padaku. “Nomor gue udah gue save di ponsel lo. Kalo lo udah inget di mana jalan kesatria, SMS atau telepon gue,” katanya enteng lalu mengayuh sepedanya. “Gue balik, Nal!”

“Makasih! Hati-hati!”

Aku buru-buru masuk ke dalam rumah. Setelah berganti baju, aku membantu Mama masak di dapur. Ternyata yang membuat Mama memasak sore-sore begini adalah untuk masak bubur buat tetangga yang sedang sakit.

“Ma, jalan kesatria itu mana ya? Kok Kinal kayak pernah tahu...”

Tanpa menoleh, Mamaku menjawab, “Bukannya jalan kesatria itu beda satu gang ama sekolahmu? Jalan kesatria kan sebelah jalan mawar, rumah tantemu.”

Setelah itu, aku menjerit-jerit, untungnya di dalam hati. Buru-buru aku kembali ke kamar dan menyambar ponselku. Dicky berbohong, bilangnya rumahnya dekat dengan rumahku!!!

***

Sambil menghela napas yang tidak bisa dibilang lega, Dicky menghempaskan tasnya ke kursi belajar. Setelah itu ia berjalan menuju sisi kamarnya, ke balkon yang mengarah pada taman belakang rumah yang luas.

Belum ada lima menit, ponsel di saku celananya bergetar. Ada SMS dengan nomor tidak dikenal. Tapi kemudian ia tersenyum geli karena pengirim mencantumkan namanya di ujung SMS.

Namun, entah mengapa senyumnya pudar seiring tak ada niat untuk membalas SMS itu. Mungkin nanti, pikirnya. Maka dimasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.

Perlahan, Dicky memutar kepalanya ke belakang punggungnya. Tepat pada benda yang tertempel di dinding, di ujung tempat tidurnya. Meski yang ditatapnya benda mati, mata cowok itu menyiratkan seolah ada adu argumentasi dengan benda itu. Atau... adu argumentasi dengan dirinya sendiri?

Dicky membuang muka dan kembali memandang halaman belakang rumahnya. Di satu sisi ia merasa bersalah, di sisi lain seolah... siapapun tak terkecuali dirinya bisa saja ada di posisi sesulit ini. Di dua sisi ini... entah kapan ia akan terbebas.

Dicky merogoh saku celananya dan memutuskan mengirim SMS balasan. Setelah pemberitahuan pesan telah terkirim, sekali lagi ia tatap sederet nama di ujung SMS yang baru masuk itu. Dicky meremas ponselnya erat-erat, lalu menoleh lagi pada benda mati yang tertempel pada dinding di ujung ranjangnya itu.


“Beri sedikit waktu,” ucapnya lirih, nyaris berbicara pada diri sendiri.


@anggianab #CerbungKinalProject


Cerita Selanjutnya: [Matahari Milikku] #8. Bintang Jatuh

Komentar