[Matahari Milikku] #4. Bingo!
Cerita Sebelumnya: #3. Siapa Lagi yang Bisa Mengamati Detail Sebegitu Banyak Kecuali Cewek yang Sedang Jatuh Cinta?
Aku nyengir pada Willy sebagai tanda minta maaf. Ia balas nyengir, lalu mengeluarkan ponsel. “Iya nih. Ada rencana mendaki, tapi belum jelas di mana. Soalnya masih harus melatih anggota-anggota yang baru. Pun rencana naik gunung itu setelah kita ujian nasional.”
Melody manggut-manggut.
Sayangnya, tidak ada niat bagiku untuk ikut nimbrung.
Di luar kelas, banyak siswa yang berkerumun di dekat jendela. Mereka semua memandangi isi kelasku. Saking banyaknya, ada siswa yang nggak kebagian tempat di dekat jendela rela jinjit-jinjit atau bahkan lompat-lompat demi bisa melakukan hal yang sama. Dari tingkah laku itu, sepertinya mereka mencari sesuatu. Atau lebih tepatnya, mencari seseorang.
Nggak cukup melihat di jendela, ada yang mondar-mandir di depan pintu kelas sambil pasang mata tajam-tajam ke dalam kelas. Ada yang nekat berdiri di ambang pintu, melongokkan kepalanya ke dalam, mencari-mencari. Bahkan ada yang nggak tahu malu dari kelas antah berantah masuk ke dalam kelas, mondar-mandir mirip debt collector mencari sasarannya untuk nagih utang. Ketika mereka tidak menemukan seseorang yang dicari, barulah mereka bertanya pada salah satu temanku.
Aku menoleh penuh minat terlebih penasaran pada cowok asing yang duduk sederet berjarak satu meja dari mejaku itu. Tapi sekarang ia membelakangiku, memandangi para cewek yang masih betah berdiri di luar kelas. Aku mencoba menggunakan nalar telepati sugesti abal-abal pada cowok itu. Menolehlah! Menolehlah!
[Matahari Milikku] #4. Bingo!
“Hei, Mel!” panggilku seraya menghampiri Melody lalu
duduk di sampingnya. Ini sudah jam istirahat pertama tapi aku baru masuk kelas.
Tadi pagi aku hanya masuk kelas untuk meletakkan tas, setelah itu ngacir ke
markas klub pecinta alam dan ngetem di sana. Akibatnya, aku izin 2 mata
pelajaran.
“Hei! Gimana? Mau ada rencana naik gunung?” tanya
Melody. Ia balik badan, yang awalnya menghadap pada Willy yang duduk di
belakang. Aku baru sadar telah memotong pembicaraan mereka.
Aku nyengir pada Willy sebagai tanda minta maaf. Ia balas nyengir, lalu mengeluarkan ponsel. “Iya nih. Ada rencana mendaki, tapi belum jelas di mana. Soalnya masih harus melatih anggota-anggota yang baru. Pun rencana naik gunung itu setelah kita ujian nasional.”
Melody manggut-manggut.
“Oh ya, ada apa aja tadi? Ada PR?”
“Ada PR presentasi biologi. Tadi juga ada materi
baru matematika. Ini nih, gue lumayan paham.” Melody mengeluarkan buku
catatannya dan menerangkan kembali padaku materi matematika yang diajarkan hari
ini. Ia juga menerangkan spesifikasi tugas presentasi biologi yang ternyata
dikumpulkan 3 hari dari sekarang. Untungnya besok tidak ada pelajaran
matematika, jadi aku meminjam buku catatan Melody untuk disalin di rumah.
Setelah memasukkan buku Melody ke dalam tas, aku
menyetel Mp3. Melihat gelagat bakal dicuekin sepanjang jam istirahat Melody
memutar badannya ke belakang lagi. “Lanjut, Will! Sampai mana kita tadi?”
Sayangnya, tidak ada niat bagiku untuk ikut nimbrung.
Aku mendengarkan lagu sambil memejamkan mata. Sok
menikmati lagu, gitu. Terkadang aku memandang sekeliling, memandang hiruk pikuk
kelas pada jam istirahat. Kakiku yang kebiasaan bergerak-gerak sendiri saat
mendengarkan lagu tiba-tiba terhenti. Suara lagu yang diputar tidak masuk
pendengaranku, seperti ada di dimensi lain. Konsentrasiku mendengarkan lagu,
buyar. Mendadak kok aku merasa aneh.
Di luar kelas, banyak siswa yang berkerumun di dekat jendela. Mereka semua memandangi isi kelasku. Saking banyaknya, ada siswa yang nggak kebagian tempat di dekat jendela rela jinjit-jinjit atau bahkan lompat-lompat demi bisa melakukan hal yang sama. Dari tingkah laku itu, sepertinya mereka mencari sesuatu. Atau lebih tepatnya, mencari seseorang.
Aneh yang kedua. Kenapa kerumunan ini didominasi
oleh cewek?
Nggak cukup melihat di jendela, ada yang mondar-mandir di depan pintu kelas sambil pasang mata tajam-tajam ke dalam kelas. Ada yang nekat berdiri di ambang pintu, melongokkan kepalanya ke dalam, mencari-mencari. Bahkan ada yang nggak tahu malu dari kelas antah berantah masuk ke dalam kelas, mondar-mandir mirip debt collector mencari sasarannya untuk nagih utang. Ketika mereka tidak menemukan seseorang yang dicari, barulah mereka bertanya pada salah satu temanku.
Ada apa sih ini? Justin Bieber pindah sekolah dan
nyasar di kelas ini ya?
Sejurus kemudian, salah seorang dari kerumunan yang
berbaris di dekat jendela berbicara dan menunjuk ke satu arah. Dan semua kepala
yang awalnya menghadap ke isi kelas serentak menoleh. Aku menyipitkan mata.
Ampun, kompak bener? Aku mulai curiga, jangan-jangan bukan Justin Bieber deh,
tapi Robert Pattinson.
Seorang cowok asing masuk ke dalam kelasku. Dan,
seolah ia magnet, semua mata orang-orang dalam kerumunan mengekori langkahnya.
Sadarlah aku, dialah biang kelasku jadi bahan tontonan. Saat cowok itu duduk,
kulihat sebagian dari kerumunan membubarkan diri. Sebagian yang lain masih diam
di tempat atau menyerobot tempat terdepan yang ditinggalkan. Kini kerumunan itu
cewek semua. Dan mereka semua kompak mengeluarkan ponsel. Segitu kompaknya aku
curiga, jangan-jangan mereka janjian dulu.
Aku menoleh penuh minat terlebih penasaran pada cowok asing yang duduk sederet berjarak satu meja dari mejaku itu. Tapi sekarang ia membelakangiku, memandangi para cewek yang masih betah berdiri di luar kelas. Aku mencoba menggunakan nalar telepati sugesti abal-abal pada cowok itu. Menolehlah! Menolehlah!
Tak terasa lagu di Mp3 telah berganti.
One two three
four!
Sepertinya acara telepatiku berhasil. Cowok itu membalikkan
badannya demi meraih tasnya. Senyum melengkung di wajahnya. Ada sesuatu yang
menyengat dalam diriku, memperingatkan bahwa senyum itu bukanlah senyum yang
asing.
As-ta-ga.
Tidak ada alasan apapun, pada saat ku diperkenalkan
Aku bagaikan tersambar petir
Aku bagaikan tersambar petir
Mulutku terbuka. Tepat pada satu titik di sebelahku
ini. Senyumnya membidik tepat di ulu hati. Badanku mendadak panas dingin. Untuk
sementara, penyakit jiwa para cewek di luar kelasku itu menular pada mataku.
Dia...!!
Cowok tipe idamanku itu, bagai ditarik ke tempat ini
Begitu cepat tanpa, kusadari
Begitu cepat tanpa, kusadari
Mungkin ada peringatan di alam bawah sadarnya, cewek
bangku sebelah sedang memandanginya. Untuk itu tanpa diduga, cowok itu
menengadahkan wajah, me-na-tap-ku, dan tersenyum sekilas. Mungkin bagi cewek
gampang GR pasti menyangka, “iiih dia senyumin gue”. Tapi bagi cewek normal dan
waras yang tahu betul manusia pasti memijak tanah (ya iyalah), mengindikasikan
bahwa senyum itu adalah senyum sapa. Senyum perkenalan.
Tapi kok, aku... dia...
Saat mata bertemu, dada berdegup kencang
Di dalam hati ini, tanpa sadar kuberteriak
Di dalam hati ini, tanpa sadar kuberteriak
I’m loving you!
Cowok
keren di Kafe Fortune Cookie!
Bingo! Bingo!
Akhirnya kita berjumpa lagi
Bingo! Bingo!
Tuk pertama kali akhirnya kusadari
Bingo! Bingo!
Sampai saat ini tak menoleh
Untungnya aku, terus menunggu
Takdir pun berpihak padaku
Akhirnya kita berjumpa lagi
Bingo! Bingo!
Tuk pertama kali akhirnya kusadari
Bingo! Bingo!
Sampai saat ini tak menoleh
Untungnya aku, terus menunggu
Takdir pun berpihak padaku
Love, love me do!
Entah kenapa cowok itu punya kekuatan kontak batin
yang kuat dengan Mp3-ku. Lagunya selalu pas. Kemarin Koisuru Fortune Cookie,
sekarang Bingo! Apa kita benar-benar jo...
Eh. Kalau begitu dia bukan jodoh denganku dong. Yang
punya kontak batin dengan dia kan Mp3 ini. Berarti dia berjodoh ama Mp3 ini
dong!
Konyol.
Omong-omong soal jodoh, aku teringat kertas yang
kudapat saat memakan fortune cookie di
KFC kemarin. Isinya kan...
Astaga...
Keberadaannya yang tiba-tiba juga di tempat yang tak
diduga membuatku berpikir. Karena selain dia pakai seragam yang sama, sekarang
ia mengajak ngobrol Erika, cewek yang duduk di belakangnya. Dan karena tasnya
ada di sana bahkan sebelum ia kulihat hari ini, itu artinya, dia anak baru. Di
kelas ini.
Aku menelan ludah dengan susah payah. Kebetulan yang
amat mengejutkan. Kata orang, nggak ada yang namanya kebetulan. Semua udah
direncanain oleh Tuhan.
Apa itu artinya...
Plis Kinal, tekan imajinasimu!
Kriiiiing!!!
Bel masuk menjerit-jerit. Aku segera melepas earphone dan mematikan Mp3. Sambil terus
mengobrol dengan Willy, Melody mengeluarkan buku bahasa Indonesianya. Aku
melakukan hal yang sama.
Aku berbalik setelah mengambil buku di tas,
seseorang telah menyetrum jantungku. Entah kapan atau bagaimana, tahu-tahu saja
muka cowok itu sudah di depanku!
Tubuhku menegang. Apa-apaan ini? Respon yang
membingungkan.
“Kinal!”
Aku berharap kedatangannya ke bangkuku untuk
mengajak kenalan. Kan aku belum tahu namanya. Biar aku nggak perlu ribet
menyebutnya Cowok KFC.
Sesuatu menepuk-nepuk bahuku. “Nal, Kinal?”
Deg deg deg. Aku yang berlebihan, atau jantungku,
entahlah. Seiring langkahnya yang tiba-tiba dibuat slow motion seperti di film
The Matrix, jantungku acak kadul. Juga tubuhku yang nggak ada angin nggak ada
hujan nggak ada motor butut lewat, jadi bergetar. Aku menelan ludah.
“KINAL!”
“AAAAHHH!!!” Aku menjerit karena kaget, lalu dengan
spontan mengayunkan tanganku ke arah suara yang begitu dekat dengan telingaku.
Plook!!
“Aduuuuuhhh!!!”
“Eeeeeh??” kataku, setengah sadar. Aku menoleh.
Wajah Dimas sudah merah di balik telapak tangannya.
Kalau aku merasa tidak bersalah, aku bakal
menertawainya. “Ya ampun, Dimaass!!! Sori dori mori biri-biri stoberi kacang
kapri!!”
Di sela tawanya, Melody berceletuk. “Lo jualan Nal?”
Tapi aku tidak mengindahkan. “Sakit ya?” tanyaku
takut-takut. Sementara ternyata Cowok KFC menghampiri Ayana yang duduk di
belakang Dimas. Ia hanya melihatku dan Dimas sekilas, tidak ikut tertawa karena
nggak melihat secara langsung aksi penggebukan salah alamat olehku terhadap
Dimas.
Dimas meringis dan mengusap wajahnya. “Nggak kok,
Nal! Nggak sakit!! Palingan hidung gue masuk ke dalem nih!”
“Jadi pesek dong lo?”
“Huahahahaha!!!” Dengan seru Melody dan Willy tertawa.
Dimas menatapku malas, menganggap ocehanku tidak lucu. Aku mengacungkan jari
membentuk huruf V.
“Ampun deh, Dim! Oya, lo ada apa manggil gue?”
“Nggak jadi deh!”
“Ya elah segitu marahnya?”
Dimas diam sebentar baru melanjutkan. “Nanya jawaban
PR Fisika nomor 8. Gue ragu-ragu soalnya.”
“Oke!” kataku senang sambil mengacungkan jempol. Aku
mengambil buku yang diminta dan memberitahu jawabanku. Ternyata sama jawaban,
tapi beda cara.
Aku berbalik badan sembari selesai dengan Dimas.
Saat itu tiba-tiba seorang mencungul di depanku, membuatku sedikit kaget.
Aku menengadahkan wajah. Oh, kapan ada hujan lalu
muncul sinar matahari, sehingga air hujan dan sinar bercampur dan membias?
Kenapa ada pelangi di depanku?
“Hai,” sapa cowok itu sambil tersenyum ramah.
Sialnya senyumku kaku sekali. “Hai.”
“Gue kok belum lihat lo ya dari jam pertama ini?”
tanyanya.
“Iya, gue baru dateng. Jam pertama tadi ada eskul.”
“Oh.”
“Biasa orang sibuk, jadwal padat.”
Cowok itu tertawa dan aku memandangi lesung
pipitnya.
“Oya, gue anak baru di sini. Kenalin ya.” Ia
mengulurkan tangan. Aku menyambutnya, dan saat itu juga ia membuat sengatan
listrik menjalar ke seluruh tubuhku.
“Nama lo?”
Ini sih vitamin B3. Benar-Benar Bingo.
“Kinal.”
“Dicky.”
Komentar
Posting Komentar