[Matahari Milikku] #2. Satu Perhatian, Satu Perhatian Penuh



“Itu kan cuman buku agenda yang bersampul matahari terbenam, Nal. Belum tentu kalau pemiliknya pemiliknya suka matahari terbenam.”

Aku melipat tangan di dada, mencerna jawaban itu di kepalaku. “Benar juga. Tapi, kenapa gue yakin banget ya kalau pemiliknya suka matahari terbenam?”

Melody terdiam menatapku sejenak. “Memang, ada apa sih dengan matahari terbenam?”

“Kebalikan dari Arya,” jawabku serta merta. “Gue harus ketemu cowok itu. Gue harus tanya kenapa dia suka matahari terbenam...”

“Itu relatif, Nal. Gue kan udah bilang kalau dia belum tentu suka matahari terbenam...”


“Jika tak dicoba tak akan tahuuuuuu,” aku malah bernyanyi. Melody kelihatan pasrah dan angkat bahu.

“Kinal!”

Aku menoleh dan menemukan wajah berseri-seri milik Beby. Aku membalas senyumnya sambil mengangkat alis.

“Lihat apa yang gue temuin di toko buku! Tarrraaaa!!!” Kedua tangan Beby yang awalnya bersembunyi di balik punggung ia tunjukkan padaku. Buku.

“Aaaaaaahhh!!! Ini kan...?”

“Iya doooong. Pinter kan Beby?”

“Tokcer! Pinjeeemmm.”

“Boleh. Ntar kita baca bareng aja, di Kafe Fortune Cookie?”

“Di mana aja deh.”

Beby tertawa. “Oke, sepulang sekolah ya.”

“Eh, gue pegang dulu dong bukunya?”

“Ogah!” Tampang Beby sok cemberut. “Ntar lo baca duluan lagi.”

***

Bel idaman semua siswa berbunyi. Aku keluar kelas bersama Melody dan Viny. Viny pamit duluan untuk pulang sementara Melody memilih menemaniku menunggu kedatangan Beby.

Tak lama, kelas Shania baru berakhir. Begitu melihat kami berdua, ia menghampiri kami. Belum lama aku dan Shania mengobrol, telunjuk Melody mencolek-colek bahuku.

“Eh, lihat deh!” bisiknya tanpa memandangku. Aku dan Shania langsung ikut melihat arah pandang Melody.

Tidak membutuhkan waktu banyak. Karena satu titik itu terasa bagai magnet mata bagi siapapun sekarang.

Segerombolan cewek. Cantik, pasti, udah kelihatan dari jauh sini. Terdiri dari 6-7 orang. Ada cewek yang selangkah lebih maju di sana, yang kutebak sebagai ketua geng.

Paling cantik? Entah. Paling tinggi? Nggak juga. Yang membuatku mengangkat alis adalah, seolah sudah tahu mereka diperhatikan sekian banyak mata–apalagi si ketua–ekspresinya jadi tebar pesona. Menebar senyum ke mana-mana. Seolah semesta mendukung, angin semilir menerbangkan rambut mereka. Udah mirip model iklan shampoo ala kadarnya.

Aku memincingkan mata. Kalau cewek-cewek di belakang ketua itu, aku kenal mereka. Tapi kalau si ketuanya kok... aku malah rasanya baru lihat ya?

Seolah bisa membaca pikiranku, Melody mendekatkan mulutnya ke telingaku. “Itu Mela. Belum ada seminggu jadi anak baru, lagaknya songong bener.”

Aku nyengir. Shania mengangguk-angguk setuju. Kupandangi sekeliling. Ada apa sih ini? Sebagian cowok memandang yang namanya Mela itu dengan... ah tahu sendiri deh. Sementara para cewek cuman menatap datar, sebagian sinis, sebagian tidak peduli, sebagian ketakutan. Eh... kok...?

“Cantik,” komentarku.

“Belum ada seminggu juga dia udah cari masalah. Kalau ada anak yang salah sedikit, langsung deh kena libas bibirnya yang tipis itu. Sebagian sih ngakunya belum ada yang berani bantah maupun cari masalah ama dia. Bokapnya ternyata penyumbang besar sekolah ini...”

“Ah, kayak di sinetron-sinetron aja.”

“Uang berbicaraaaaa,” celoteh seseorang yang ternyata mendengar kalimat Melody barusan. Tidak ada niat dariku untuk menoleh demi tahu siapa dia.

Kupandangi lagi Mela dengan selidik. Kalau dilihat lagi, memang, kelihatan banget ia sombong. Udah tahu ia cantik, tajir, cewek model idaman cowok, sekarang ia terang-terangan menunjukkannya. Seperti ada tulisan di jidatnya, “Ini Lho Gue. Nggak Dapet Gue, Lo Rugi.”

Udah gitu angin nggak berhenti niupin rambutnya pula. Makin tinggi rasa...

Bruk!
         
Ada suara napas tertahan. Kebanyakan berusaha menutup bibirnya rapat-rapat demi menahan tawa. Ada yang serta merta membungkam mulut sendiri dengan telapak tangan. Kecuali...
            
“Huahahahahahahaha!!!”
            
Aduh. Siapa yang barusan ketawa? Dan kenapa aku jadi pusat perhatian sekarang? Kutemukan mulutku terbuka lebar. Ya ampun. Karena sunyinya suasana, suara tawaku tadi membahana. Anehnya, hanya aku satu-satunya yang tertawa.
            
Habis gimana? Mungkin karena sibuk tepe-tepe alias tebar pesona, menebarkan senyum kanan kiri dan mata genit, Mela lupa kalau manusia berjalan harus melihat ke depan. Jadi deh, jidatnya yang mulus aduhai itu jadi sasaran pohon mangga di taman sekolah.
            
Yang lebih lucu lagi, coba lihat deh ekspresinya. Kepalang basah, malu banget! Ia meringis kesakitan mengusap jidatnya yang merah, sedetik kemudian bersikap stay cool. Duuuh, drama banget!
            
Tapi sekarang, ekspresinya berubah. Ia menatapku tajam seolah aku baru saja membunuh kucing kesayangannya. Dengan langkah dibuat santai, Mela menghampiriku. Tawaku berhenti pelan-pelan. Setelah sampai di depanku bersama para dedengkotnya itu, ia melipat tangan di dada, memandangiku dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan pandangan meremehkan.
           
“Lo Kinal, kan? Anak XII IPA 3?” tanyanya sinis.
            
“Iya, kok tahu? Emang gue terkenal ya?” Aku malah nyengir. Kulirik Melody seperti ingin menepuk jidatnya sendiri. Sementara Shania berkata “aduh” tanpa suara sambil menggaruk kepalanya.
            
Mela tersenyum sinis. “Sebagai anak baru yang berbudi pekerti dan cerdas, gue harus hafal dong seluk beluk sekolah ini. Termasuk para penghuninya.”
            
“Oh, perfeksionis.”
            
“Iya dong!” sahut Mela bangga. “Oh ya, back to the topic. Lo tadi ngetawain gue ya??”
            
Aku tertawa lagi. “Abis lo lucu banget. Lagi cantik-cantiknya jalan kayak putri solo begitu dengan rambut berkibar-kibar trus tiba-tiba nabrak pohon. Masa lo nggak tahu batang pohon itu benda keras?”
            
Ada suara tawa tertahan yang kuketahui bersumber dari kedua teman di kanan kiriku ini.
            
Mela mendelik. Posenya berubah menjadi berkacak pinggang dan jinjit untuk menantang mataku. “Berani banget lo?? Lo nggak tahu siapa gue??”
            
Aku mengangkat alis. “Lo Mela kan? Anak baru? Tapi sori, gue nggak tahu lo kelas berapa,” jawabku enteng. Di sebelahku, Melody mulai resah. Tapi ternyata yang mengambil tindakan adalah Shania.
            
“Udah, udah. Ini jam pulang, semua harus cepat pulang ke rumah masing-masing. Kalian semua ngapain pada bengong di situ? Udah-udah, bubaaarr!!”
            
“Kinal, gue belum selesai ama lo!” sentak Mela membuat beberapa anak yang melangkah kaki pergi jadi berhenti. Tapi mereka buru-buru angkat kaki lagi karena dapat tatapan maut Shania punya.
            
“Kinal!!” Beby datang dan berdiri di antara aku dengan Mela. Beby menatap Mela heran. “Lo kenapa, Mel? Jidat lo kenapa merah begitu?”
           
 Ekspresi Mela langsung panik. Ia memegangi jidatnya sendiri. “Sumpah lo?? Yang bener, By?”
           
 Beby mengangguk. “Iya. Lihat aja sendiri di cermin.”
            
“Ya ampuuuun. Gue harus nutupin pake poniiii!!” jerit Mela. Lalu dengan langkah cepat ia pergi. Dedengkotnya pada bingung, tapi toh ikut pergi juga. Beberapa meter, Mela berbalik lagi, masih memegangi jidatnya. “Kinal! Gue belum selesai ama lo!!!”
            
“Ada apa sih?” tanya Beby.
            
Aku hanya angkat bahu. “Oh ya. Jadi kan?”
            
“Aduh!” Beby mengeluh. “Sori banget, Naaaaall!!! Gue ditelepon ama nyokap, nanyain jadi nggak nemenin belanja. Gue lupa nih, kalau sebelumnya gue udah janji ama nyokap. Duuuuh maaaf yaaa. Besok deh. Janji.”
            
Kecewa? Iya. “Ya udah nggak papa. Tapi pinjem bukunya dong. Gue penasaran.”
            
“Yaaaa tapi kan...” Sejenak Beby menatap buku yang ada di tangannya. “Ya udah deh. Tapi janji nggak cerita isi bukunya ke gue! Gue mau tahu sendiri!”
            
Aku tertawa. “Okeeee.”
            
Beby menyerahkan buku itu padaku. “Oke, gue duluan ya. Nal, Shan, Mel!”
            
“Oke.”
            
“Yuuuk.”
            
“Lo jadi ke Kafe Fortune Cookie?” tanya Melody. Sementara Shania sedang melihat buku yang ada di tanganku.
            
“Iyap. Sambil ngopi,” Aku tertawa sendiri. “Yuk bareng sampai gerbang.”

***

Setelah memesan makanan dan minuman, aku mulai membaca lembar pertama. Ini kafe favoritku, Beby, Melody, Shania, dan teman-teman yang lain. Yang unik, di sini ada kue yang namanya Fortune Cookie, yang artinya kue keberuntungan. Di dalam kue itu ada secarik kertas tentang peruntungan kamu.
            
Aku selesai membaca dua lembar, pesanan datang. Saat pelayan pergi, dua orang masuk ke dalam kafe. Cowok. Mereka mengambil tempat tak jauh dari mejaku. Dan... uuuhh...
            
Anehnya, cowok berkemeja putih polos itu punya magnet berlawanan dengan mataku, sehingga aku tidak bisa mengalihkan pandangan.

            
Hari apa sih ini? Tadi Mela, sekarang dia. Hanya satu titik, satu perhatian penuh juga dariku.

Komentar