Jerit Hati yang Kehilanganmu

Jiwanya sudah melayang nun jauh di awang-awang. Jejak napas dan suara tawanya menghilang. Kepergianmu membuatku terdampar dalam sudut paling kelam sehingga dunia harus tahu, aku kehilangan.

Di ujung, jalan, ini...*
Aku menunggumu
Aku menantimu...

Semuanya terasa semu. Beberapa jam setelah kepergianmu, aku masih terpaku. Detik jam terus merangkak membisu mengiringi kesepianku. Akankah kita bertemu lagi?

Di tengah, terik, matahari
Aku menyanyikan
Kisah tentang kita...

Tak ada lagi masakan khas yang menyambut kepulanganku ke rumah. Tak ada lagi derai doa juga nasihat. Tak ada lagi cium tangan, cium pipi...


Alunan denting suara hati
Mengulas kembali, jejak yang telah lalu
Untaian makna yang tercipta
Aku abadikan, di tempat terindah

Semua yang lalu itu terjebak berubah menjadi memori yang hanya bisa dikenang tanpa bisa terulang. Andai dalam langkah lumpuhku aku masih sempat meraih tanganmu, menggemgamnya, menciumnya...

Tuhan, kembalikan
Segalanya tentang dia, seperti sedia kala...

Jejaknya memang sudah tidak terlacak, nun jauh di awang-awang. Hanya langit sejauh mata memandang. Di sela tanganku terulur menggapai-gapai, berharap meraih tanganmu yang terentang. Berpacu segala sudut rumah tampak bias oleh air mata, terlebih tidak ada lagi sosokmu yang merengkuhku.

Izinkan aku tuk memeluknya
Mungkin tuk terakhir kali
Agar aku dapat merasakan
Cinta ini, selamanya...

Memangnya apalagi yang bisa kulakukan selain menangis dan melantunkan doa? Teringat senyum hangatmu yang sejukkan hati banyak orang, Tuhan tahu kau pantas bahagia dalam pelukanNya.

Mengapa sepahit ini mengecap rasa perpisahan? Kepergianmu terus membuatku bermain-main dengan kata "andai". Mengharap waktu bisa jungkir balik diulang lagi demi diriku untuk bisa membahagiakanmu. Mengapa niat itu baru sepenuhnya berkobar ketika kau telah tiada?

Ketika, malam, telah tiba
Aku menyadari, kau takkan kembali...

Penyesalan ini sungguh membunuhku. Menyudutkanku. Di usia ini pun aku belum bisa membahagiakanmu. Kau harus puas ketika aku hanya pulang membawa gelar nomor dua. Aku semakin tidak berdaya. Aku belum bisa membuatmu bangga.

Segala detail rumah pun seakan membisu. Ketika kutatap mereka satu persatu, mereka seolah mengisyaratkan bayangan kala terakhir kau menyentuh mereka. Kapan terakhir kali kau menyentuhku? Yang paling manis adalah ketika kau meminta digandeng karena kelelahan berjalan. Bicara soal pakaian yang kuinginkan. Salim cium pipi lambaian tangan... Jika salah satu dari itu bisa diulang...

Tuhan, kembalikan
Segalanya tentang dia, seperti sedia kala...

Ah... itupun sudah sebulan lebih berlalu. Ketika aku pulang ke rumah, bahkan aku sudah tidak bisa melihat wajahmu...

Aku rindu, walau kutahu itu tidak boleh. Aku selalu menghindari gumpalan menyesakkan yang memancingku untuk menangisimu. Tidak. Aku tidak boleh menangis. Jika pada akhirnya kau tidak bahagia di sini, setidaknya aku ingin kau bahagia di pangkuan Sang Pemilik lewat lantunan doaku.

Izinkan aku tuk memeluknya
Mungkin tuk terakhir kali
Agar aku dapat merasakan
Cinta ini, selamanya...

Uti, aku rindu meski tidak boleh. Uti, dapur yang terlalu dirimu akan selalu melemparku pada dirimu. Uti, aku rindu meski tidak boleh. Uti, aku masih ingin terus berusaha mengejar angka satu. Uti, aku rindu meski tidak boleh. Uti, biarkan aku mengucap satu kalimat yang belum bisa kukatakan semasa kau masih ada...

Izinkan aku...
Memeluknya...

Aku mencintaimu. Selalu. Mencintaimu...

Ketika, malam telah tiba
Aku menyadari
Kau takkan kembali...


Untuk Utiku yang luar biasa, Uti Kartinah
It's always be yours...
5/2/2014


Komentar