Musibah Air Bah
Rasanya
baru saja kami menikmati semua ini. Tapi tempat di mana kami berada kini
berguncang hebat. Kami kontan panik meski hal ini dialami kaum kami begitu
biasa. Seharusnya kami pun terbiasa.
Tapi
kami tetap panik.
Kaum
kami memang sering mengalami bencana. Banyak mereka yang mati kalau tidak
ketiban benda raksasa, gas beracun, atau tenggelam. Selalu begitu. Tapi
untunglah kaum kami tidak punah. Meski sering ditindas dari pada menguasai,
kami memiliki kekompakan yang diakui oleh kaum lainnya. Selain itu kami punya
kemampuan menyerang lawan dengan halus, nampak kecil, sepele, tapi jika efeknya
hebat dan berkelanjutan, bisa parah dampaknya.
Kehidupan
memang begitu. Ada yang memiliki kekurangan dan kelebihan.
Beginilah
kami sekarang. Kami berlarian ke sana kemari, mencoba keluar dengan memanjati
dinding yang menjulang tinggi namun licin itu. Kami mendahulukan wanita dan
anak-anak dulu, baru yang para pria menyusul. Sebenarnya agak berat meninggalkan
kenikmatan di bawah sana, tapi guncangan itu menandakan sesuatu yang buruk
telah terjadi. Belajar dari yang lalu-lalu. Apalagi ketika tangan raksasa itu
sudah ada di depan mata kami.
Benar
saja. Beberapa saat kemudian teman-teman yang terlambat menyelamatkan diri
tenggelam bersama genangan yang sedang kami nikmati itu. Mereka
berteriak-teriak minta tolong ketika air datang bagai tsunami menimpa mereka. Bagai
air terjun raksasa yang turunnya memiliki kecepatan yang setara dengan
kecepatan yang dipakai Lorenzo dalam pertandingan MotoGP. Mereka kalap. Mereka
berusaha berenang sebisanya untuk sampai ke dinding yang licin menjulang tinggi
itu, menyusul yang lainnya.
Tapi
makhluk kecil seperti kami, bisa apa?
Yang
lain-lain mendengar lolongan minta tolong itu hanya bisa pasrah. Kami bisa saja
menolong, tapi dengan kemungkinan selamat yang kecil. Karena kami semua,
anggota kaum sama sekali tidak bisa berenang. Kami hanya berpikir, mungkin
memang saatnya begitu. Kaum kami bisa hadir dan pergi dengan cepat setiap
waktu. Sepertinya kejadian semacam ini sudah dianggap alamiah.
Mereka
yang terjebak itu tidak selamat. Yang lain-lain yang merasa tidak terima mulai
menyerang. Dalam menyerang pun kita juga mendapat resiko. Syukur-syukur bisa
lolos, kalau tidak kita pun juga ikutan mati seperti teman-teman yang tenggelam
itu, bedanya kini dengan cara ditiban benda besar yang berat yang diduga tangan
manusia yang kami gigit.
Makhluk
kecil seperti kami, yang sekarang ini kehilangan banyak anggota, kami para
semut, tak bisa melawan manusia yang baru saja mengisi gelas berisi sisa susu
kental manis yang sedang kami nikmati tadi dengan air di kolam besar yang
sering mereka sebut tempat cuci piring. Yang menenggelamkan sebagian teman
kami.
wihh ternyata semut hahaha , tapi bacaannya unik, nice :D
BalasHapushehe, terimakasih banyak :D
HapusNice post :)
BalasHapusSaya tertipu di bagian awal :p nggak tau kalo ternyata tokohnya semut..
Kejutan! Terimakasih sudah singgah :)
Hapus