Kawin Lari
Aku termenung menatap lututku
di kamarku yang gelap karena sengaja kumatikan lampunya.
Aku
sedih. Sangat sedih. Hal yang kutakutkan akhirnya terjadi.
Seperti
yang kukhawatirkan ketika aku mengambil keputusan menerima cinta Andi, sekarang
terjadi. Aku takut mamaku tidak setuju. Menurutnya, aku ini bisa mendapatkan
cowok yang mendekati kata perfek. Tampang ada, masa depan ada, dompet ada,
humor ada, supel ada, setia iya, bertanggungjawab iya. Pokoknya yang bisa
menjadi suami idaman kelak. Selama ini mama mengatur ini itu, jika aku sedang
dekat dengan cowok yang menurutnya “nggak banget”, mama menentang. Akibatnya
aku jomblo berlama-lama.
Tapi
saat kulihat dan kurasakan bagaimana rasaku terhadap Andi, aku sudah tidak
dapat mentolerir. Aku tahu ini artinya bunuh diri. Mengumpankan daging segar
kepada singa yang lapar. Tapi apa dayaku?
Bisakah
mama mengerti sedikit saja apa yang aku rasakan? Bahwa cinta nggak melulu
melihat fisik terlebih dahulu? Aku tahu apa yang mama inginkan hal baik
semuanya, yang toh akhirnya juga untukku. Tapi mengertikah mama, bahwa cinta
tak selamanya bahagia di luar saja? Tapi di hati juga?
Apa
jadinya jika aku bersanding dengan cowok kriteria mama, tapi tak kucintai?
Kenapa nggak sekalian mama aja yang pacaran dengan cowok itu?
Mama
bilang, cinta bisa kapan saja tumbuh seiring jalannya waktu. Tapi kalau
ternyata nggak tumbuh-tumbuh? Mau mengertikah mama bahwa aku tak bisa mencintai
dengan instan? Mama saja kalau begitu yang jalani.
Secara
fisik, masa depan bla bla, Andi memang sama sekali kurang. Pokok bukan maunya
mamaku. Tapi ia menyayangiku, itu yang penting. Nggak seperti kebanyakan cowok
yang datang padaku pada modus semua. Semua yang mereka berikan padaku
seolah-olah menunjukkan, ini loh mereka. Jika mereka perhatian seolah-olah menunjukkan,
ini lho aku cowok perhatian. Aku cowok baik. Aku nurut. Aku setia. Bla bla bla.
Nanti kalau lagi tengkar, diungkit-ungkit deh. “Aku udah nurutin kamu, udah
terus dengerin kamu, bla bla bla”. Trus putus deh, dengan alasan ceweknya yang
nggak mau ngerti dan nggak tahu balas budi.
Atau
mereka yang datang mendekati dengan alasan kebanggaan untuk diperlihatkan
kepada teman-temannya. Atau mereka yang keranjingan mencicipi segala
warna-warni seorang cewek. Semua cowok yang datang padaku, modus semua!
Beda
dengan Andi. Ia tulus apa adanya, tak ada maksud di belakang segala yang ia
berikan padaku. Ia berikan atas dasar ikhlas, karena ia menyayangiku. Suatu
saat ia tak pernah mengungkit apa yang telah ia berikan. Ia melakukannya seolah-olah,
memang sebagaimana harusnya dia begitu. Bukan mereka yang berlaku, seharusnya
bagaimana.
Cowok
begitu zaman sekarang susah dicari!
Oke,
fisik memang nggak mendukung. Mengertikah mama bahwa rasa adalah tolakan awal dari kebahagiaan?
“Makan
tuh cinta!” kata Mama jika aku meroeng-roeng.
Ah,
kalau begini caranya, aku sudah tidak tahan. Mau cari cowok yang perfek? Cari
aja keliling dunia sampai tua, nggak bakalan deh! Ke laut aje!
Maka
dengan geram dan emosi yang meluap-luap menyesakkan dadaku, tanpa berpikir kuraih
tas ranselku yang paling besar. Kujejalkan pakaian-pakaian semauku. Lalu aku
mengendap-ngendap keluar, sukses minggat dari rumah. Keluar kota bersama Andi,
mau kawin lari. Karena dipastikan sampai tahun 2020 pun, mama takkan merestui
kami.
Saat
aku berada di taksi, aku merogoh tas ranselku untuk mengambil ponsel. Tetapi
sesuatu mengusikku, ketika aku lihat salah satu pakaian yang familier di
mataku. Kemeja putih dengan satu kantung di dada kiri, ada lambing OSIS warna
coklat di sana.
Komentar
Posting Komentar