Secret Admirer: My Mysterious Man 5



Cindy muntab.
            “Dwiky!!” teriaknya histeris dengan suara bergetar. “Kamu pembohong!!”
            “Cindy, kita bisa bicarain ini baik-baik,” kata Dwiky melepas tanganku dan beranjak ke depan, menghampiri Cindy dengan langkah perlahan.
            “Bisa dari Hongkong?!” Cindy mulai menangis. “Kamu nggak pernah kapok cewek-cewekmu itu aku bunuh satu-satu?! Hah?!”
            “Cindy!”
            “Dwiky, aku nggak bodoh!” kata Cindy sambil menunjuk-nunjuk dadanya. “Sudah cukup Mama menjadi pelajaranku! Jangan harap aku bisa tertipu!”
            “Cindy, itu Mamamu. Tapi bisakah kamu lihat dari sudut pandangku? Kamu egois!” kata Dwiky dengan nada tinggi. Aku ternganga. Tubuhku menegang.
            Aku ini memangnya siapa? Kok bisa nyasar di pertengkaran hubungan orang?

            
 Kulihat Cindy menutup bibirnya rapat, memperhatikan Dwiky dari atas sampai bawah dengan tatapan seolah-olah Dwiky adalah pengemis tengik yang nyasar ke rumah mewahnya.
            “Aku ini sudah janji buat kasih yang terbaik buat kamu,” nada Dwiky mulai tenang. “Aku udah janji buat nggak ngikutin kelakuan Papamu. Kamu masih ingat kan?”
            “Aku nggak pernah percaya sama yang namanya janji!!” teriak Cindy.
        “Lantas? Caramu dengan mengintimidasi semua temen cewekku buat aku muak! Kamu sadar nggak sih? Kamu memorak-porandakan hidupku!”
            “Aku ini pacarmu!”
            “Tapi kamu nggak pantes menjamahnya hingga sedalam itu!”
            Jantungku nyaris copot karena kini Cindy menghunuskan tatapannya yang tajam ke arahku, dengan mengintip di balik tubuh Dwiky. Spontan aku mundur selangkah. Ini lebih tegang dari pada naik jet coaster. Ini lebih menyeramkan dari film horor bertajuk pembunuhan misterius. Ini lebih gila dari pada main bungee jumping tanpa alat pengaman. Ini sama membuatku paniknya dengan menyebrangi jurang menganga sedalam 100 kaki selebar 150 meter di atas tali sambil memegang tongkat tanpa alat bantu!
            “Apa istimewanya dia?” katanya sambil menudingku dengan ujung pisaunya. Aku merasa pisau itu telah menusukku seraya ia mengacungkannya. Tubuhku gemetar. Aku menelan ludah. “Dia baru cewek kemarin sore kamu kenal!”
            Dwiky diam sebentar. “Jangan sok tau kamu,” katanya pelan tapi tajam. Matanya berkilat-kilat menatap Cindy.
            “Benar dugaanku,” kata Cindy melipat kedua tangannya di dada. “Dia istimewa. Sampai kamu cari tau apa yang akan kulakukan terhadapnya. Sampai kamu cari informasi dan mengikutiku sampai ke sini! Sampai kamu sekarang tega melawanku dan mencoba melindungi dia!”
            “Kamu yang gila, Ndy! Kamu, tega-teganya mengorek info dari Bu Hanifah yang jelas sudah tau dan kapok dengan tabiatmu!”
            “Ini aku lakukan untuk kamu, Ky!”
    “Untuk aku?!” Dwiky mengatakannya dengan nada ayam-mana-mungkin-beranak-dengan-cara-melahirkan-sesar. Lalu ia menoleh padaku. Aku menelan ludah lagi. “Kali ini, jangan harap kamu bisa sentuh dia!”
            “Hah!” kata Cindy. “Sudah kuduga ia ada apa-apanya!”
            Dwiky nggak menjawab.
            “Kamu bohong, Dwiky. KAMU PENGKHIANAT!!!”
          Lagi-lagi tak ada sepatah katapun yang terlontar dari mulut Dwiky. Cowok itu memilih diam terpaku menatap kekasihnya dengan mata berkilat-kilat.
            Belakangan, tubuhku makin menegang dan gemetar karena Cindy memasukkan pisau dapurnya ke dalam saku, lalu menghambur ke depan. Ia mendekat. “Minggir! Biar tau rasa cewek itu.”
            Aku mulai merasa bahwa napasku berhenti seketika.
            “Udah aku bilang, kamu jangan harap bisa sentuh dia.”
            “Oh ya?” remeh Cindy. Kini ia sudah berhadapan dengan jarak dekat dengan Dwiky. “Aku cinta kamu, Ky,” katanya lirih.
            Buak!
            Mataku melebar sekaligus membulat. Aku ternganga. Sekali tarikan napas, aku tak dapat lagi menghembuskannya. Cindy memukul tengkuk Dwiky dengan satu gerakan cepat melalui sikunya! Dwiky jatuh tersengkur. Pingsan.
         Cindy kini menatapku tajam. Seringainya terlihat seram. Ia mengeluarkan pisau dapur dari sakunya dan memutar-mutarnya. Ia dan pisaunya mengejekku. “Tapi aku lebih pintar,” katanya, lalu diikuti tawanya yang melengking.
            Aku mengepal-ngepalkan kedua tanganku. Keringat dingin mulai panen di sekujur tubuhku. Cindy melangkah maju mendekatiku secara perlahan. Aku mengikuti geraknya. Satu langkah ia maju, satu langkah aku mundur.
            “Ashilla?” katanya dengan nada manis. “Jadi kamu juga naksir Dwiky ya?” ia mengajakku bicara layaknya aku ini anak kecil. “Di stasiun, kamu nyaris nangis kan karena tau Dwiky punya pacar? Hah! Wajahmu itu emang polos, tapi kamu nggak bisa membodohiku! Dasar perempuan jalang!”
            Mati kutu sekarang aku. Kata-katanya membuatku tertohok. Kata-katanya laksana kata kunci yang bisa menemukan buronan hacker dunia. Jitu sekali tebakannya.
            Lalu, setelah mengatakan itu, kupikir ia akan langsung menerjangku dan menusukku hingga mati. Tapi, yang dilakukannya malah membuatku mati beku. Ia menggoreskan pisau itu ke pipinya hingga menciptakan luka sepanjang sekitar 7 senti. Darah segar mengalir deras.
            Aku menggigil. Gigiku gemeletukan. Badanku bergetar hebat. Aku seperti terserang hipotermia seketika. Tenggorokanku kering. Jantungku memacu keras. Seluruh bagian tubuhku melemas. Napas mau tak mau keluar masuk tenggorokanku. Mataku kelabu menatap darah merah. Hatiku membiru.
            Tawa Cindy meledak. Tawanya mirip tawa nenek sihir. Ia menatapku layaknya aku adalah berlian yang sudah 10 tahun dicarinya berputar-putar. Ia terkekeh-kekeh puas. Setelah tawanya reda, ia menatapku kasihan. Kepalanya ia miringkan, tak lupa dengan senyum mengejek.
            “Ashilla Alvinnisa, pada umur 6 tahun ia mengalami peristiwa yang tak terlupakan. Saat pulang dari berbelanja bersama kakak tercinta, Arisqa Melinda, si kecil Ashilla dan Risqa dirampok! Risqa, dengan sikap SOK heroik melawan para pelaku yang terdiri dari 3 orang demi melindungi adiknya. Tapi, toh, malaikat pencabut nyawa itu manis. Lovely. Risqa tewas di tempat dengan tusukkan berulang-ulang pisau di perutnya di depan mata si kecil Ashilla yang tak berdosa,” Cindy melangkah perlahan lagi. “Kasihan,” kata-katanya itu meniru pembawa acara berita di TV. Membuatku muak. Amarahku meledak.
            “Sejak saat ituuuuuu,” Cindy melangkah lagi. Langkahnya lebar. Aku mundur 3 langkah dengan cepat. “Hingga sekarang, Ashilla takut darah,” ia mengatakannya dengan nada Ashilla-sudah-besar-ya.
            “Hah!” katanya seolah ia sudah skakmat dalam permainan catur. “Sekarang, kamu bisa apa?” tanya Cindy remeh. Ia melangkah lagi. Aku mundur dan langsung menabrak dinding. Aduh, aku sudah terpojok. Aku yakin bahwa aku sudah membeku sekarang. Aku mau menangis, tapi air mataku terlalu beku untuk bisa dikeluarkan.
            Badanku terus bergetar hebat. Mataku sama sekali tak beralih dari darah yang kaya di pipi mulus Cindy. Aku masih belum bisa menekan ketakutanku akan darah. Saat tragedy Kak Risqa, hari-hari selanjutnya aku mampu menekan ketakutanku akan pisau. Aku perempuan, mau tak mau aku akan masuk dapur. Mama yang mengajarkannya padaku. Tapi aku masih belum bisa berani dengan darah. Darah yang banyak. Badanku memanas, tapi aku menggigil hebat.
            Cindy sudah ada di hadapanku sekarang. Pisau itu ikut menyeringai. Kematian sudah di depan mata. Kak Risqa seolah sedang melihat dan bertepi sedih. Entah mengapa, ketika melihat pisau itu, aku melihat kepedihan Kak Risqa. Tubuhku makin tak berdaya.
            Cindy mencolek pipinya yang berdarah dan mengusapnya ke pipiku. Darah itu terasa dingin di kulitku. Aku spontan mengerang dengan napas tertahan. Cindy tergelak.
            Sejurus kemudian ia menatapku lurus-lurus dan serius. “Kini saatnya kamu rasain akibat ngerebut pacar orang,” katanya tenang, mengambil ancang-ancang dengan pisau yang sudah berlumuran darah. Aku menahan napas. Menikmati liburan, menikmati hiburan lukisan berakhir kematian. Akankah judul itu yang dipakai di koran? Ah, aku GR banget kalau akan masuk koran...
            Aku sudah memejamkan mata. Aku menunggu akhirnya mata pisau berkilat itu menembus jaringan kulitku, mengoyak dagingku. Aku menunggu sakitnya, perihnya. Aku menunggu merasakan apa yang Kak Risqa rasakan 11 tahun silam. Aku menunggu apa yang dirasakan hewan-hewan ternak itu. Aku menunggu, aku menunggu. Di saat genting seperti ini, masih bisa kukatakan “aku siap, aku siap” dengan nada kartun Spongebob Squarepant di dalam hatiku.
            Seakan-akan kematian itu cita-citaku.
            Tapi tiba-tiba suasana sunyi senyap. Yang dapat kudengar adalah desahan napas Cindy, sedangkan napasku sedari tadi sudah lenyap bunyinya. Tapi kali ini, saat jeda Cindy menarik napas, aku mendengar tarikan napas seseorang. Jadi, tak hanya napas Cindy yang kudengar, tapi napas orang lain.
            Aku membuka mata. Dwiky sudah ada di belakang Cindy. Sosoknya tak begitu kelihatan. Matanya tertutup, jadi bisa kulukiskan ia seperti tokoh kartun yang murka. Ia menunduk di sela sinar bulan yang meneranginya.
            Kurasa, bulu roma Cindy berdiri semua. Ia merinding, sehingga ia menunda acara tusuk-menusuk Ashilla.
            “Udah aku bilang kan? Berani-beraninya kamu sentuh dia?” suara Dwiky setenang air jernih.
            “Ini bukan lagi urusan kamu,” Cindy menjawab dengan nada yang sama.
            Dwiky mengangkat tangannya, entah hendak apa. Saat itu juga kulihat Cindy bergetar. Cewek itu seketika menoleh. Gerakan Dwiky tertahan. Ia sudah seperti maling tertangkap basah.
            “Ini... bukan... urusan... kamu!!”
            Set!
            Cindy gelap mata. Kurasa sebelum melakukan aksi ini ia sempat menegak beberapa butir ekstasi. Atau jenis narkoba lainnya. Ia sudah tidak dapat membedakan apa-apa lagi. Obsesi membunuh orang sebanyak-banyaknya sudah memenuhi dirinya.
            Mata Dwiky membulat. Pisau itu menusuk perutnya. Aku ternganga, lebar sekali. Rusukku ngilu. Hatiku membengkak. Jantungku putus harapan. Napasku makin berantakan. Lututku lemas. Akhirnya aku jatuh terkulai, merosot di dinding.
            Cindy mencabut tusukkannya dengan sadis. Setelah mampu berdiri beberapa saat, Dwiky kembali jatuh tersungkur. Matanya masih terbuka. Ia jelas-jelas menatapku nanar.
            Cindy berbalik. Aku mendongak. Aku malah tak menatap wajahnya, tapi pisau yang digemgamnya. Ketakutanku makin menjadi. Segala rasa kaget, panik, takut, marah, sedih, campur aduk jadi satu. Tega-teganya Cindy menusuk Dwiky! Tega-teganya ia terhadapku! Teganya dia!
            Napasku makin lama makin lemah. Begitu juga jantungku. Pandanganku mengabur. Pemandangan jelas yang terakhir kulihat adalah tatapan Cindy yang lebih tajam dari sebelumnya. Lalu, dengan samar kulihat Cindy yang sudah mengacungkan pisaunya terhadapku itu, jatuh terjengkang ke belakang. Dwiky sudah tidak ada di tempat. Kudengar erangan Cindy, tapi tak dapat kulihat. Mataku sudah tidak sehat untuk melihat. Lalu kudengar langkah tersaruk-saruk, makin lama makin jelas. Ketika seseorang memegang wajahku, aku sudah menutup mata. Ketika seseorang sudah mengguncangkan tubuhku, aku tak berdaya. Ketika seseorang membenturkan kepalanya dengan pelan ke kepalaku, aku serasa melayang.
            “Ashilla, buka matamu..................”

***

Putih. Semuanya putih. Entah kenapa tempat itu adalah tempat aku tersenyum. Tak ada lagi luka yang mengiringi gerakku. Tak ada lagi sakit yang menyertai langkahku. Semua terasa lepas. Aku merasa bahagia.
            Adegan-adegan itu bergerak cepat di kepalaku. Ketika aku masih kecil. Ketika aku baru bisa mengendarai sepeda. Ketika aku lihat Kak Risqa mendapat pacar pertama saat duduk di bangku kelas 2 SMP. Ketika Kak Fahmi yang sering mengajakku bermain sepak bola. Ketika kepedihan yang ditorehkan jelas di wajah keluargaku atas Kak Risqa. Saat aku bertemu Ghani. Saat kami rajin kemana-mana bersama. Saat aku hancur memergokinya bercumbu dengan Gisel, teman sebangkuku. Saat aku bertemu Dwiky. Saat aku jatuh cinta dengan senyumnya. Saat aku bertemu dengannya dan Cindy di stasiun. Saat ia menarikku keluar dari pasar malam. Saat aku dan dia bertemu Cindy. Saat dia dipukul. Saat Cindy merobek pipinya dengan pisau. Saat Dwiky ditusuk. Saat Dwiky menatap wajahku lekat-lekat sambil mengguncang tubuhku...
            Tiba-tiba saja, aku sudah membuka mata. Aku menatap langit-langit yang putih. Ah... aku ada di rumah, tepatnya di kamarku. Jadi yang terjadi malam itu cuman mimpi. Ya, mimpi. Aduh, mimpi yang sangat, amat, buruk.
            Baru sedetik aku berharap segala sesuatu yang mengerikan itu mimpi, satu tarikan napasku menangkap bau obat-obatan. Bukan bau khas kamarku. Aku mengangkat wajahku, seketika itu juga sakit yang amat sakit menyerang kepalaku. Aku melenguh sambil memegangi kepalaku. Seseorang lalu memegang tangan dan kepalaku. Ditaruhnya kepala dan tanganku di tempat semula. Lalu aku menatap orang itu di sela kepalaku yang pening. Aku terenyak.
            Cowok baik hati di kereta.
            “Jangan dipaksain,” katanya lembut. “Kamu belum boleh bangun,”
            “Aku di mana?” aku malah bertanya. Seharusnya aku mempertanyakan mengapa ia secara ajaib ada di sini.
            “Rumah sakit. Kamu pingsan di pinggir sungai saat aku pulang dari memancing 3 kilometer dari tempatmu.”
            Aku terenyak, lagi. Mengapa begitu ajaib?
            “Kamu nggak sadarkan diri selama 2 hari penuh.”
            Aku menatapnya sendu.
            “Kata dokter, kamu kena stress yang tinggi. Sekarang kamu istirahat dulu ya...,” ia melepar senyum. Mulutku terlalu kaku untuk menjawab. Aku menatap lagi langit-langit kam---ah ya---rumah sakit.
            “Kamu Ashilla bukan?”
            Aku hanya menatapnya. “Kamu, siapa?” tanyaku tertahan.
            “Rizal.”

***

Aku tertidur. Dan aku memimpikan Dwiky. Saat bangun, aku meronta-ronta menanyakan Dwiky pada Rizal. Rizal berusaha menenangkanku dan ia berkata, “Dwiky itu temanmu yang perutnya ditusuk?”
            Saat itu juga aku menangis.
            “Dia ada di kamar sebelah. Dia nggak papa. Kamu belom boleh nengok dia. Kamu masih lemah.”
            “Plis, aku harus liat dia.”
            “Nggak bisa, La.” Katanya bersikeras.
            “Harus!” kataku tak mau kalah.
            “Kamu harus nurut apa pesan dokter. Kalo nggak nanti ada apa-apa!” kata-katanya sudah mirip kata-kata ayahku.
            “Aku cuman pingsan karena takut darah. Jadi aku nggak kenapa-kenapa!” kataku ketus.
            “Ashilla, plis.”
            “Aku yang plis, Zal,” kataku. “Aku berterima kasih sama kamu, tapi tolong, aku cuman mau liat dia. Cuman di kamar sebelah kan?”
            Rizal menatapku ragu. Tanpa pikir panjang aku melepas infus di tanganku dan saat itu juga aku mengerang karena mencabutnya dengan kasar.
            “Oke, oke,” kata Rizal. “Tapi hati-hati lepasinnya...”

***

Aku berjalan tersaruk-saruk menuju kamar sebelah. Aku berbohong. Aku memang hanya pingsan takut darah tapi tubuhku benar-benar belum bisa diajak kompromi untuk berdiri. Kutahan mati-matian dan berusaha sekuat tenaga, agar Rizal tak berubah pikiran untuk kembali menyeretku ke kamar.
            Rizal berjalan di belakangku. Meski sudah kutahan, aku nggak bisa memungkiri dan akhirnya jadi tersaruk-saruk. Dan karena jalanku serta aku mengenakan seragam pasien, seorang suster yang tak sengaja lewat mendekatiku dengan tergopoh-gopoh. Mungkin sudah terpikirkan olehnya bahwa aku ini pasien yang nekat kabur dari rumah sakit.
            Aku melihatnya dan langsung pasang wajah melas pada Rizal. Rizal mengibaskan tangannya pada suster dan menjelaskan sesuatu. Aku tak punya waktu untuk menonton mereka berdebat. Aku sudah tau, lima menit kemudian aku bakal tepar lagi.
            Aku membuka pintu kamar Dwiky. Langsung terlihat olehku telapak kaki seseorang yang terbalut seragam yang sama denganku. Aku was-was, memikirkan keadaannya. Aku sedih setengah mati.
            Aku menutup pintu kembali. Berjalan tersaruk-saruk ke sisi tempat tidurnya. Perutnya lebih membesar. Aku tau, itu bukan karena ia makin gendut, tapi perban yang dipakainya.
            Seakan-akan saat ini sedang malam hari, bintang jatuh melintasi cakrawala langit yang menghitam melambaikan tangan pada bintang lainnya, sebagai wujud terakhir, bintang itu mengabulakan permohonanku atas izin Tuhan. Dwiky membuka matanya.
            Dan langsung mengerang kesakitan. Aku meringis melihatnya.
            “Hai, Ashilla...,” katanya lemah, seperti biasa, dan dengan senyum favorit. Aku mau menangis. “Duduk,” katanya menepuk-nepuk sisi kasur seolah ia tau aku akan kemari. “Pas kamu dateng sebenernya aku udah sadar kemarin,” katanya menjawab keraguanku sambil nyengir.
            Aku menurut karena aku rasanya sudah tak punya tenaga lagi untuk berdiri. Keringat dingin berhamburan membasahi kerah seragam pasienku.
            Dwiky menatapku dalam. Ekspresinya bahagia tapi lemah. “Ashilla...”
            “Aku punya banyak pertanyaan,” selaku. Punggungku nyeri dan merinding karena membelakangi perut Dwiky yang terluka. Aku menatapnya hampa.
            “Oke. Aku akan menjelma jadi ‘ibu pembaca dongeng sebelum tidur’ sejenak,” katanya sambil terkekeh-kekeh, masih lemah.
            Nggak ada yang nggak mungkin.

@anggiiaaa

Komentar

Posting Komentar