Secret Admirer: My Mysterious Man 3



Hari silih berganti. Musim pancaroba yang moody, kadang diguyur air yang dingin, kadang bermandikan sinar emas matahari. Sudah lebih dari 4 bulan sejak perkenalanku dengan Dwiky. Aku yang sering menerima apa adanya sesuatu ini jadi ikutan terima apa adanya bahwa ternyata hubungan kami tak mengalami apapun. Di bangku taman panti saat dia memergokiku menggambar sketsa wajahnya, itulah obrolan terakhir kami. Setidaknya selama ini. Aku tak pernah tau apa yang terjadi esok hari di luar rencanaku. Maka menilik dari kebiasaan sehari-hari, kurasa hari ini dengan esok tak ada bedanya.
     Sore itu benar-benar yang terakhir kali kami ngobrol renyah. Setelah itu hingga sekarang, tidak sama sekali. Kami sebenarnya sering bertemu, dan oh ya! Waktu ia bilang aku dan dia akan bertemu di panti sepulang sekolah di bus, rasanya saat itu terakhir kalinya aku melihatnya di bus yang sama denganku. Aku selalu berusaha positif, bahwa mungkin saja hukuman yang berlaku pada temannya untuk jadi ‘sopir pribadinya’ itu mengalami masa perpanjangan waktu. Atau ia bukan naik bus kota lagi, tapi angkutan umum yang lain. Atau ia tetap naik bus, namun ia mulai berubah jadi tipe orang yang secara sukarela membantu penjaga sekolah, yaitu dengan bangun pagi dan datang jauh lebih awal. Atau sebaliknya, ia jadi malas sekolah, jadi dia baru nongol di detik-detik terakhir akhirnya bel masuk berdering.

Kecil sekali kemungkinan bahwa Dwiky mungkin saja sering bolos sekolah. Wong di panti selalu ketemu! Yaaaa, begitulah. Hampir setiap hari kami bertemu namun ya hanya sekadar bertemu. Hanya saling sapa dengan anggukan, senyuman, panggilan, atau sentuhan. Selebih itu, tak ada.
Pernah suatu kali aku bertanya padanya mengapa tak pernah naik bus lagi. Yang kudapat hanya senyuman kecut. Selebih itu ia berlalu, meninggalkanku yang terbengong-bengong. Di panti, Dwiky bantu-bantu angkat barang. Sebenarnya nggak hanya angkat barang sih. Masak pun sepertinya pernah ia lakukan. Dia sering riwa-riwi angkat barang karena ruang guru pindah posisi dengan salah satu ruang kelas. Selebih itu, kami bukan apa-apa.
Kami bukan apa-apa. Aku begitu merindukan saat-saat kami berbagi.
Namun apa bisaku?
Memikirkannya, terngiang lagi kata-kata Bu Hanifah dulu. Kata beliau, emang pada dasarnya Dwiky adalah anak yang tertutup. Dan sepertinya dia benar-benar... beku. Beda sekali dengan penilaianku pada awalnya. Kukira dia tipe orang yang fun.
Di Rabu pagi yang mendung, aku menghela napas memikirkannya sambil melemparkan pandangan ke luar jendela bus. Semalam hujan, jadi jalanan becek. Hawanya juga agak lembab. Aku hari ini nggak enak badan, dan dengan suhu tubuh yang lumayan dingin ini untung saja aku memakai switer tebal dan agak kebesaran biru dongkerku.
Di pagi inipun tak kutemukan dia. Di manapun, kapanpun, dan sepertinya... sampai kapanpun.
Hariku yang sebelumnya penuh kejutan dengannya mendadak sunyi senyap dan monoton. Layaknya terlalu mendramatrisir, aku melewati hariku layaknya mayat hidup. Aneh. Yah... aku memang berlebihan. Namun memang pada perawakanku yang lemas, aku dari sananya seperti ini.
Jadi, apakah dengan secara instan Dwiky sudah jadi penyempurna hidupku?

***

Aku melihatnya, kini ia sedang menempelkan sesuatu di rubrik mading bagian kreasi. Sepertinya ia sedang memaku salah satu sudut kayunya. Dialah yang pertama kali kulihat saat menginjakkan kaki di panti siang ini. Dia memakai jaket bisbol berwarna merah. Jadi, warna favoritnya merah?
            Aku hanya tersenyum. Dia tak menyadari aku memandangnya. Dan aku langsung berlalu karena keyakinanku bahwa kalau dia taupun paling hanya tersenyum, sudah begitu kuat. Aku sudah menerima harapan-harapan kosong itu setiap hari 4 bulan belakangan ini.
            Hingga 2 minggu kemudian.
            Aku senyam-senyum sendiri melihat gambar anak-anak kelas B saat tema melukis hari ini adalah Ibu dan Ayah. Lalu aku membubuhkan nilai di sudut kanan bawah.
            “Ciye, Ibu Guru ketawa-ketawa sendiri...”
            Aku mendongak. Dwiky sudah di depanku dan melemparkan senyum favoritku yang kutunggu-tunggu. Bukan senyum kecut yang biasanya kudapati. Tanpa kusuruh, kubalas senyumnya. Spontanitas.
            Dwiky menyeret kursi dan duduk di depan mejaku. “Lucu-lucu gitu gambarnya.”
            “Namanya anak umur 3 tahun.”
            “Ya ampun, yang ini krayon kok bisa belepotan gini?”
            Aku ngakak. Ia mengatakannya sambil mengangkat tinggi-tinggi salah satu gambar yang penuh dengan noda krayon. Sepertinya krayon itu sudah menyatu dengan keringat sang anak. Gambar itu sebenarnya nggak di blok, tapi jadi terkesan di blok gara-gara krayon yang jelas-jelas tak sengaja itu mewarnainya sana-sini.
            “Aku sih nggak kaget,”
            “Iya tau, Bu Guru.”
            Aku memukul kepalanya pelan dengan salah satu gambar. Setelah itu, dia mulai nanya-nanya pengalamanku mengajar anak panti. Aku menjawabnya, sambil sesekali bercanda. Dia juga bercanda.
            Tanpa sadar bahwa... kami ngobrol. Ya, kami ngobrol. Renyah seperti dulu.
            Kebahagiaan benar-benar tak terduga.

***

Dwiky itu pantas jadi penyihir.
Saat sehari sudah ngobrol enak, besoknya dia balik cuek lagi. Aaaaaaahhh!! Apa dia kira aku ini layangan yang bisa ditarik ulur? Tapi... Dwiky kan nggak tau apa-apa isi hatiku sebenarnya.
Aku bingung setengah mati. Maunya apa sih? Dia moody? Tapi mood-nya parah gila!
Masa bodohlah. Apa ini saatnya aku menyerah dan berhenti berharap?

***

Hingga di penghujung akhir bulan kelima, aku tak mendapati dia. Di mana-mana. Aku celingak-celinguk mencarinya, padahal sudah hendak kuputuskan aku takkan lagi mau mengurusinya.
Sepertinya aku tak harus melapor polisi akan hilangnya Dwiky di panti karena kudengar celetukkan Bu Hanifah saat memergokiku celingak-celinguk.
“Dwiky sakit,” katanya kelabu. Aku menoleh shock. Aku membuka mulut lagi tapi beliau keburu memotong. “Dia nggak mau dijenguk siapapun.”
Hingga pada waktu menjelang maghrib, aku benar-benar harus gigit jari karena tak berhasil membujuk Bu Hanifah kasih tau alamat Dwiky. Baru kali ini aku melihat beliau seperti ini.
Seperti ada sesuatu...

***

Liburan pergantian semester. Aku diberi libur seminggu oleh Bu Hanifah dari jadwal liburku yang sesungguhnya yaitu 2 minggu.
            Aktivitas belajar-mengajar panti memang libur sejenak. Tapi tak mungkin tak ada aktivitas lagi di panti. Bu Hanifah selalu menggalakan kegiatan-kegiatan mengisi liburan yang menyenangkan. Dan tentu guru-guru yang notabene sukarela ini ikut mengisi. Aku kebagian minggu depan.
            Di pagi hari pertama libur, aku sudah berjalan gontai sambil membaca karcis di tanganku. Aku mau pulang ke rumah orangtuaku di Jogja. Oh ya, aku lupa cerita bahwa aku bertempat tinggal di sini itu nge-kos. Rumah asliku di Jogja. Aku sedari SD ingin sekali sekolah di ibukota. Gara-gara kebanyakan nonton sinetron kali, hehehe. Dan tanpa kuduga kedua orangtuaku itu setuju. Mereka rupanya tau bahwa aku tipe penyendiri.
            Sudah dari SMP aku nge-kos. Nggak nge-kos sih, maksudnya, aku tinggal jauh dari orangtua. Orangtuaku tak sampai hati anak perempuannya ini baru melepas seragam putih merah sudah berani hidup sendiri. Jadi aku dititipkan sanak saudara yang kebetulan bertempat tinggal di daerah Tanah Abang. Lagipula Ayah Ibuku sibuk di Jogja. Mereka mengelola rumah industri semua macam alas kaki.
            Aku sedang ada di stasiun. Aku iseng saja membaca karcis yang sudah akrab denganku selagi mengisi waktu. Masih ada 25 menit ke depan kereta milikku datang. Sedari kecil aku senang sekali naik kereta, jadi aku sama sekali tak pernah naik bus antar provinsi. Selain ke-dari sekolah, aku kemana-mana naik kereta. Dikarenakan juga tak ada stasiun di sekitar sekolahku. Ada, tapi aku harus naik bus dulu. Sama saja kan?
            Aku memakai mantel tebal yang sebenarnya tak sesuai dengan hari ini yang lumayan panas. Mantel berwarna cokelat tanah. Rambutku kuikat sekadarnya. Dengan blue jins dan sepatu keds tinggi berwarna dominan abu-abu serta putih. Aku menggendong tas ransel gunung bekas milik Ayahku.
            Saat aku menarik wajah dari benaman karcis, Tuhan seakan memberhentikan bumi sejenak. Atau pada tepatnya, duniaku saja? Aku mendadak sesak napas. Aku terjangkit flu, dan dengan gayaku memakai mantel, hidung merah merona, mata sendu, serta rambut kucel, orang-orang bisa mengatakan bahwa aku ini sedang penyakitan. Atau wanita yang berat hidupnya. Apalagi tas ransel yang segede gajah membebani punggungku.
            Aku memiliki penampilan sedemikian rupa saat bertemu dengan orang itu di sini? Sejenak aku menyesal. Kenapa tak tepat sekali? Apa roda keberuntungan sudah berhenti untukku?
            Dwiky tertegun melihatku. Matanya membulat takjub, kenapa aku bisa nyasar di sini. Setahu dia, Ashilla penghuni bus dan pemberhentiannya. Bukan salah satu peron stasiun kereta. Ekspresinya lebih tepat seperti maling ayam ketangkap basah. Konyol sekali. Dia melihatku seperti hantu seseorang yang telah dibunuhnya kemarin malam.
            Apa karena penampilanku yang payah?
            Kulihat ia menahan napas saat aku pergi menghampirinya. Kenapa sih dia? Sejenak aku ragu, namun langkahku tetap yakin mendekatinya.
            “Dwiky?” kataku.
            Matanya masih membulat. Kulihat---sepertinya---keringat dingin mengucur dari pelipisnya. Kenapa sih dia? Aku memandangnya dengan tatapan aneh. Dan... nyaris ingin menangis.
            Sekian menit aku melemparkan ekspresi itu namun tak ada jawaban darinya. Apa ia tak lagi ingin mengenalku. Ah ya... dia siapaku sih?
            Hendak saja aku ingin melangkahkan kaki mundur dan berencana sebelumnya untuk mengucapkan selamat tinggal, senyum kaku itu menghiasi wajahnya. “Hai.”
            “Ngapain di sini?” kataku dengan nada ceria, beda sekali dengan tatapanku sebelumnya. Dia hanya tersenyum kaku dan terkesan memaksa. Nggak enak banget!
            Dia belum menjawab pertanyaanku. Tapi sebenarnya... tak perlu dijawab.
            “Dwiky, permen karet rasa stoberinya habis. Oya, Omma tadi telepon pas aku beli permen karet, katanya keretanya mau sampai!” sahut seseorang dari belakang Dwiky dengan nada ceria campur manja sambil bergelayut mesra di tangan Dwiky yang memandangku gugup. Aku menoleh.
            Cantik sekali. Kulitnya putih bersih, senada dengan kulit Dwiky. Rambutnya yang lurus itu dibiarkan terurai. Rambutnya lemas sekali. Dan... aku tak punya kata-kata lagi untuk menggambarkan betapa cantiknya dia.
            Cewek itu memandangku ingin tau. Imut. Dwiky melemparkan senyum kecut padaku di sela keringatnya.
            “Ashilla, ini Cindy. Cindy, ini Ashilla, temenku di panti Budhe.”
            Cewek itu menyodorkan tangannya dengan semangat, tak lupa senyumnya yang membius. Aku menyambutnya pelan. “Cindy, pacar Dwiky,” katanya bangga sekali.
            Kurasa ada seorang Jepang melemparkan samurainya ke punggungku. Kurasa ada semburan api naga di atasku. Kurasa aku tiba-tiba berubah jadi buah yang ditusukkan pisau lalu dibelah menjadi dua. Kurasa Batman sedang salah alamat, mengira kalau aku ini CatWoman yang harus dibunuhnya. Kurasa aku sedang berada di sebuah ruangan yang secara tiba-tiba disergap sekompi polisi beserta tentara yang menodong pistol jelas di depan mata dan hendak membawaku untuk dihukum mati. Kurasa ada petir yang secara ajaib menembus atap stasiun tanpa merusaknya lalu mengahancurkanku hingga berkeping-keping.
            Sesuatu yang panas menjalar cepat di tubuhku.
            “Ashilla,” ucapku tertahan. Suaraku bahkan tak bisa sepenuhnya keluar.
            Mataku yang pada awalnya sudah sendu dan lelah, entah aku salah lihat atau khayalanku saja, Cindy menatap tajam mataku. Wajahnya yang garang itu seperti orang yang ingin mencekik orang lain. Aku mengedipkan mata dengan cepat dan kulihat Cindy tersenyum manis lagi. Ah, pasti hanya khayalanku saja.
            “Aku sama Dwiky udah 3 tahun lhoo...,” pamernya bangga dan makin memeluk erat tangan Dwiky.
            “Itu nggak penting buat Shilla, Cin,” sanggah Dwiky lemas.
            “Eh, biarin,” kata Cindy pasang muka cemberut. “Lagian nggak papa kan, La?” katanya sekarang pasang muka memohon padaku. “Temen Dwiky kan temenku juga,” kali ini ia mengatakannya dengan senyum ceria.
            Dwiky membuang muka.
            Aku tersenyum. Dia baik. Pasti khayalanku aja ngeliat wajah seperti itu di wajahnya...
            “Oya, kamu mau ke mana?” tanya Cindy ingin tau.
            “Oh. Hmmm, mudik,” kataku, nyengir.
            “Wah. Sama siapa?” ia mencoba melihat belakang punggungku, memastikan adakah orang lain bersamaku. “Sendirian?” tanyanya histeris.
            Aku terkekeh dalam diam. Kekehanku hanya ada pada wajahku. “Iya.”
            “Waw, berani banget. Mudik ke mana?”
            “Jogja.”
            “Ke rumah siapa?”
            “Orang tuaku.”
            “Jadi...?”
            “Iya, di sini aku nge-kos.”
            Cindy menggeleng takjub. Lalu tersenyum penuh arti. “Keretamu dateng jam?”
            “Ehm,” aku menengok jam tanganku. “Sepuluh menit lagi, mungkin. Jika tepat waktu.”
            “Oh,” katanya, memberi support. “Good luck ya,”
            “Terima kasih,” jawabku, dengan senyum.
            Kualihkan mataku ke Dwiky. Wajahnya... wajahnya... wajah yang sama seperti aku pertama kali bertemu dengannya. Rahangnya mengeras. Matanya tajam. Giginya sepertinya terkatup rapat. Ia memalingkan muka dariku dan Cindy.
            Kenapa dia?
            “Hah!” teriak Cindy kemudian. Aku menoleh cepat, sedangkan Dwiky menoleh malas-malasan. Bahkan malah memandang sepatuku yang ada di depan Cindy. “Ya ampun, sayang! Aku lupa beli roti kesukaan Omma! Ah, Omma bisa marah-marah nanti!”
            Tak ada jawaban dari siapapun. Aku sempat melihat Cindy memandang Dwiky keki.
            “Aku cari di sebelah sana ya. Yuk, La. See you next,” katanya padaku sambil melambai dan mengedipkan mata. Aku tersenyum. Ia berlalu tanpa mendengar jawaban dari Dwiky. Tapi sepertinya Cindy sudah tak perlu. Sepertinya ia sudah cukup ilfil sama tingkah Dwiky barusan.
            Aku menatap cowok itu hampa. Air mata sudah menggenang di pelupuk mataku. Harapan-harapan kosong itu telah berwujud sebagaimana mestinya. Memang sampai kapanpun, dan mungkin untuk selamanya hanyalah omong kosong. Aku benar-benar hancur. Meski ia tak ada digemgamku, aku sudah cukup bahagia mengawasinya dari jauh. Aku sudah cukup senang meski hanya sapaan yang kuterima. Tapi mengapa sampai tak terpikir olehku, cowok keren macam dia punya pelipur hati? Cantik pula! Sama sekali tak ada apa-apanya denganku.
      Kau bodoh, Ashilla. Mana mungkin Dwiky bisa tertarik denganmu? Cindy dan segala kesempurnaannya, jangan sampai khayalanmu terlalu tinggi untuk terbang. Cindy sudah segalanya, dan tak perlu Ashilla dalam hidup Dwiky. Kau bodoh, Ashilla.
            Kau bodoh, Ashilla. Kamu memang terlalu bodoh sampai 2 cowok sudah bisa membodohimu!
            Semula, Dwiky terlihat enggan melihatku. Air mata yang menggenang itu entah kenapa mengering, saking lamanya aku berdiri terdiam di sana. Lalu kulihat ia memandangku. Pandangan serba salah. Pandangan minta pertolongan. Pandangan penyesalan.
            Ada apa? Tapi hanya mampu kukatakan dalam hati saja. Hingga kami saling memandang cukup lama sampai kereta lewat untuk kesekian kalinya terdengar. Suaranya memekikan terlinga. Suaranya berantakan. Sama berantakannya hatiku yang telah luluh lantak. Haruskah aku kehilanganmu? Tanyaku. Aku mengepalkan kedua telapak tanganku kuat-kuat sampai berkeringat.
            Hingga akhir hembusan napas ini, Ky...

@anggiiaaa

Komentar