Secret Admirer: My Mysterious Man 4



Jika kau tanyakan padaku bagaimana kabarku hari ini, akan kujawab. Aku patah hati. Aku patah hati berat.
            Aku tak begitu yakin bahwa ada kabut yang melintas di peron pagi ini. Sudah jelas terlihat dari tadi oleh mataku bahwa sinar matahari Juli menembus salah satu atap transparan stasiun. Tapi jalan yang kujajaki dengan langkah cepat ini mengabur. Kepalaku seakan berputar-putar, dadaku sesak, duniaku kacau balau karena suatu guncangan. Hidungku yang awalnya sudah panas kini panasnya makin menjadi.
     Sudah kupastikan bahwa mata berkantung, hidung dan pipi semburat merah mencolok, rambut kumal, perawakan kurus dan kuyu dibungkus mantel tebal di tengah panasnya udara Juli. Sosok itu berjalan tersaruk-saruk dengan pandangan kabur, terus menunduk ke bawah tanpa ingin dilirik oleh siapapun dan seakan ingin menyimpan segala rasa yang diakibatkan guncangan yang telah menimpanya. Ia terus berjalan tersaruk-saruk dan terhuyung-huyung sambil membunyikan sedotan ingusnya. Saat telah menapaki lantai pintu gerbong, ia limbung dan tulang lengannya beradu dengan kerasnya pintu gerbong.
      
      Di lorong gerbong pun, sosok itu belum sama sekali mengangkat wajahnya. Ia hanya melirik sesekali jika ia rasakan bahwa kursinya berada di dekatnya. Segala macam rasa sakit itu menyerangnya sekaligus. Onggokannya terus memaksakan salah satu aliran dalam dirinya untuk segera membuncah. Panas sekali suhu tubuhnya, apalagi matanya. Genangan air itu ternyata yang mengaburkan matanya karena telah bertengger manis di mata dengan bulu mata yang sama sekali tidak lentik. Dan tak perlu ditanyakan kembali bagaimana kondisi hatinya. Penuh suara, bising, tegang, lebih tegang daripada debat parlemen negara yang mempertaruhkan nasib negara.
            Ia berhenti di salah satu samping kursi, mengamati dengan sangat amat nomor kursi di sela pandangannya yang penuh kabut. Lalu ia melirik karcis yang sudah basah sebagian akibat keringat di gemgamannya. Sejurus kemudian karcis itu sudah aman di dalam kantung mantelnya dan ia melempar dengan serampangan ransel gunung yang seakan hanya sebagian kecil dari beban hidupnya ke lantai. Lalu ia mengambrukkan diri seraya menghela napas berat.
            Sembilu yang sudah ada di belakangku sedari tadi, matanya yang menungguku dengan tidak sabar sedari aku berjalan menuju kursi, kini menyeringai seraya ia telah berhasil menusukku. Tangisku yang kutahan mati-matian akhirnya membuncah. Suaraku yang sengau dan parau, mataku yang sekarang seperti keran air yang melimpah, sekujur tubuhku yang panas dan berkeringat dingin. Aku begitu hancur. Aku diserang flu, dan di saat yang bersamaan juga diserang patah hati? Bisakah aku?
            Adakalanya selintas aku berpikir, aku terlalu memaksakan kehendak. Dwiky hanya potret indah yang tak sengaja lewat di sela hidupku yang dibodohi oleh Ghani. Dan aku langsung menangkapnya begitu saja, tanpa memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang lain. Ia layaknya bintang film ternama yang melintas di trotoar yang ditangkap mataku sebagai loper koran. Aku bodoh sekali.
            Aku menangis sesenggukan sambil terus menutupi wajahku dengan kedua tangan. Kereta berangsur-angsur ramai, dan aku mengecilkan volume tangisku, meski aku sepenuhnya tak peduli. Aku hanya tak ingin buat onar, meski aku bukan orang yang cukup terpengaruh meski membuat pengaruh. Kecil-kecilan.
            Kereta tak kunjung memutarkan roda besinya. Terus saja membuat bunyi menghembuskan udara keras-keras. Ceeessss! Arah jarum jam 4, kudengar anak kecil berkata pada ibunya, “Ma, keretanya ngentut ya?”
            Hingga menit kesekian yang mampu menyulap mataku yang sayu menjadi bengkak sebesar pohon kelapa, peluit yang bunyinya melengking dan memekikan telinga itu dibunyikan. Kereta perlahan beranjak pergi, meninggalkan tanah tinggal orang yang kucintai.
            Saat baru beberapa meter beranjak, aku melihat keluarga kecil melambai haru ke orang yang ada di kereta. Orang di depanku, setengah berdiri melambai sambil terisak. Mereka pergi dengan dicintai. Sedangkan aku, aku pergi karena mencintai tanpa dicintai.
            Dwiky adalah sejuta mimpi dan harapku...

***

Di sepanjang perjalanan, yang mampu kulakukan adalah mengigiti ujung kukuku sambil melempar pandangan kosong ke luar jendela.Gambar-gambar itu terlihat indah dan hancur seketika karena berlarian dengan cepat. Seperti halnya pengalamanku dengan Dwiky. Begitu indah karena ternyata dibuat oleh perasaanku dan imajinasiku, begitu cepat, lalu hancur dengan sederhana. Benar-benar singkat.
            Tapi, lebih baik begini. Dari pada dengan waktu lama namun aku tak mampu mengontrol anganku, pastilah aku akan mati beku.
            Ban-ban kokoh kereta berdecit ngilu. Kereta berhenti perlahan di stasiun yang tak kutau dan tak mau tau. Sesaat kemudian, seorang cowok bertubuh tegap bak atlet basket, berjaket tebal berwarna merah marun, bercelana jins panjang longgar, bersepatu keds putih, menanggung backpack penuh, dan ia menghampiri bangku di depanku dengan tangan di saku celana. Wajahnya lebih terkesan keren daripada imut meski bola mata hitam itu berbinar dan begitu bulat. Ia meletakkan backpack­-nya di atas setelah menarik sebuah buku novel ringan lalu duduk sambil mengerutkan kening menatapku. Sudah kubilang, aku tak peduli.
            Kereta kembali memacu geraknya, aku menegakkan badan dan menurunkan kuku tanganku. Aku duduk dengan sikap sempurna dengan telapak tangan di paha. Aku menatap kosong sepatu cowok di depanku. Sempat kurasakan ia melirik dari novelnya, lalu kembali.
            Sesaat kemudian, kudengar ia mendesah resah. Aku tetap mempertahankan sikapku. Aku keras seperti patung batu. Kurasa ia jengah, risih sekali dengan orang yang ada di depannya yang mirip boneka kesepian terabaikan.
            Guncangan di kereta terus menerus hingga tas ransel yang ada di bawahku limbung dan jatuh. Seketika itu juga aku menarik kesimpulan bahwa, cowok di depanku ini sungguh-sungguh tak membaca deretan kata di novelnya karena ia dengan sigap membangunkan kembali ranselku.
            “Terima kasih,” kataku parau sambil mengulurkan tangan.
            “Apa sebaiknya nggak ditaruh di atas?” suaranya tegas namun penuh kekhawatiran. Aku menggeleng sekaligus tersenyum lemah.
            Hingga pada waktu berikutnya, matahari makin meninggi menembus jendela kami. Ia melepas jaket tebalnya, sesaat mengangkat alis melihatku bertahan dalam balutan mantel. Namun ia seakan teringat kembali dengan pelajaran sekolah dasar, ia duduk santai lagi saat mendengar sedotan ingusku.
            Namun 10 menit kemudian, aku limbung. Mataku dan kepalaku begitu berat. Aku tidur terduduk. Hanya lima menit aku bertahan karena rasanya aku bermimpi melompat jatuh dari bangunan tinggi karena ternyata tubuhku nyaris jatuh ke depan. Cowok di depanku sampai menghentakkan sepatunya dan tangannya sudah terbuka lebar. Aku melempar senyum kecut kepadanya.
            Tapi dasar aku, keras kepala sekali. Aku bertekad untuk terjaga sampai berjumpa dengan kakakku di stasiun tujuanku nanti namun tubuhku benar-benar menuntut untuk diistirahatkan. Aku tidur duduk sesaat hingga tubuhku limbung lagi ke depan, namun tubuhku terlalu lemah untuk menarik diri kembali ke sandaran kursi. Sebuah tangan menangkapku, dengan lembut ia menahanku. Suara kemeresek menembus telingaku, hingga pada detik kemudian kepalaku tersandar pada sesuatu yang agak keras disusul dengan bunyi retakan. Kantung keripik kentang di ranselku.
            Lalu aku tenggelam dalam gelap.

***

Peluit panjang serta nyanyian khas kereta api yang nyaring membangunkanku. Mata dan kepalaku masih berat. Pertama yang dilihat olehku adalah cowok di depanku tertidur dengan posisi duduk yang kelihatannya nyaman dengan buku novel terbuka dan terbalik di pangkuannya. Aku beranjak duduk, melempar pandangan keluar jendela. Langsung saja mataku menatap papan nama stasiun. Astaga. Ini tujuanku!
            Aku langsung meraih ransel yang ada di sampingku, mengais-ngais isinya dan kutemukan ponselku. Benar saja. Banyak sekali missed calls dari kakakku. Aku beranjak keluar dan baru selangkah aku berhenti. Kutolehkan kepalaku. Ia terlihat begitu damai. Aku tak sampai hati.
            Terima kasih, ucapku dalam hati.

***

Seminggu di Jogja, 3 hari kuhabiskan dengan tidur saja di kasur. Sakit flu-ku sudah sampai puncak.
            Pada hari Sabtu aku menemukan brosur tergeletak di meja belajar kakakku. Aku membacanya, dan mataku membulat, lalu belingsatan mencari di mana kakakku. Hendak saja aku keluar kamar mencarinya hingga tiba-tiba saja tubuhnya menyembul, berjalan menuju kamar sambil terkekeh-kekeh mantap layar ponsel. Aku langsung ada di hadapannya, menunjuk-nunjuk brosur seperti anak kecil minta mainan. Kakakku yang awalnya mengangkat alis tinggi-tinggi, tersenyum lalu meraih brosur dari tanganku.
            “Iya, nanti malam,” katanya.
            “Boleh ya...?”
            Ia tersenyum lembut. “Ya bilang Ayah dong,”
            “Maksudku, mau kan nganter?”
            “Tentu,”
            Aku akan selalu menjadi adik kesayangan Fahmi Dirga Syahputra, mahasiswa fakultas matematika Universitas Gajah Mada.

***

Sore harinya, aku membaca artikel tentang Adam Smith yang nganggur di meja ruang tamu rumahku. Aku mengangguk-angguk sok tau. Saat adzan maghrib mengumandang, ponsel di sebelahku bergetar. Seminggu penuh ponsel itu bergeming, jadi kini aku begitu bersemangat mendapat SMS. Mungkin Bu Hanifah. Beliau menelpon rumahku pada hari Rabu. Beliau panjang lebar bercerita bahwa ia begitu bersemangat karena anak-anak panti begitu senang dengan acara yang diadakan selama liburan.
            Namun yang kudapati adalah nomor tak dikenal.

From: 0856444222
Hai, Ashilla? Ap kbr? Gmn liburan d Jogja?

            Dahiku mengerut tajam. Siapa? Teman sekolahku? Tapi aku tak memberitahu siapapun kalau aku ke Jogja.

To: 0856444222
Maaf, siapa?

From: 0856444222
Dwiky :)

            Aku langsung sesak napas. Hah? Hah?
            Aku mengetik pesan balasan dengan tangan bergetar.

To: 0856444222
Kok tau nmrku?

From: 0856444222
Budhe-lah. Mlm minggu kmn nih? Jogja kan bnyk tmpt asyik :D

Alisku bertaut. Kenapa dia begitu cepat to the point?

To: 0856444222
Oooh. Iya sih. nti rncnnya mau k graha artistika Jogja. Ad
pameran lukisan :D

From: 0856444222
Oh. Jm brp?

            Tanggapannya cuman ‘oh’?

To: 0856444222
Jm 8
Setelah itu tak ada balasan. Apa jawabanku terlalu singkat? Atau tiba-tiba Cindy datang? Atau... Ah, Ashilla, plis! Duniamu kembali jungkir balik kan? Jangan keburu bahagia!

***

Kak Fahmi mengantarku sampai depan gedung Artistika sekitar jam setengah delapan malam. Ayah menyuruhku untuk terus bersama Kak Fahmi sepanjang acara, tapi aku menolak. Kak Fahmi tak begitu tertarik dengan apa yang aku idamkan. Aku takut ia mati bosan sementara mataku sama sekali tak berkedip dan terus berbinar. Aku takut aku lebih cepat pulang karena Kak Fahmi merengek atau aku tak sanggup melihat wajah malasnya. Hari ini terakhir aku di Jogja. Aku tak mau melewatkannya sementara ada kesempatan.
            Di dekat gedung terdapat bazar makanan dan beberapa permainan. Biasa disebut pasar malam. Kata Kak Fahmi, daerah sini memang setiap malam minggu ada pasar malam. Jadi ketika melihat jam baru menunjukkan bahwa acara baru akan dimulai setengah jam kemudian, aku bilang kepada Kak Fahmi aku mau jalan-jalan menyusuri pasar itu dulu sebelum acara dimulai. Kak Fahmi mengajukan diri untuk menemaniku, tapi lagi-lagi aku menolak. Tak sengaja sebelum berangkat aku membaca layar ponselnya yang langsung terbuka sebuah badan pesan singkat bahwa ia sedang ada janji jam 8 kurang 15 menit.
            Binar-binar lampu warna-warni begitu gemerlap di depan mataku. Pasar malam begitu sesak orang dan begitu ramai. Sana sini suara-suara manusia dan musik-musik Indonesia. Selain terdapat pedagang makanan, ada juga yang menjual VCD dan DVD musik, baju-baju obralan, sepatu, tas, hingga buku-buku. Hatiku sedikit damai.
            Saat mataku tertarik dengan sebuah buku di salah satu lapak yang cukup ramai, pergelangan tanganku dicengkram dan ditarik. Aku nyaris saja berteriak jika aku begitu sadar siapa yang menarikku. Kulihat ia dari belakang. Aku mulai menduga-duga. Mulutku ternganga.
            “Hei!” jeritku.
            “Ssst! Plis!” katanya menoleh dan menempelkan telunjuknya di bibir. Sebenarnya itulah kesempatan untukku melihat siapa pelakunya. Namun ia menoleh saat kami berada di tempat yang redup dari cahaya. Ia menggiringku ke luar pasar malam.
            Ia berhenti di saat ia memastikan bahwa kami sudah benar-benar jauh dari hiruk pikuk pasar. Mulutku masih ternganga dan takjub karena dugaanku benar.
            Dwiky.
            Ribuan pertanyaan menyerbu seketika. Napasnya ngos-ngosan. Wajahnya yang menawan basah karena keringat.
            “Dwiky?”
            “Hai, Ashilla,” katanya melemparkan senyum favoritku yang sungguh kurindukan. Namun di sela itu, terbesit kehampaan di matanya yang lelah.
            “Kok...?”
            “Aku nggak bisa jelasin sekarang.”
            “Lalu?”
            “Ayo!” ia menarik lenganku lagi. Menjauh.
            “Ini ke mana?”
            “Ke mana aja asal jauh dari gedung artistika,”
            “Dwiky ada apa?”
            “Nggak sekarang, La.”
            “Dwiky plis!” Aku berhenti dan menyentakkan tangannya. Entah kenapa, panas menjalar ke sekujur tubuhku. Segala rasa sakit yang dibuatnya seakan meruak ke permukaan. Rasa sakit itu menuntut.
            Dwiky agak kaget aku berbicara kasar. Lalu wajahnya kembali hampa saat aku menuntut jawabannya. Wajahnya seperti orang ingin bunuh diri.
            “Cindy ada di sekitar sini. Ia sampai nekat ke sini cuman ingin...”
            “Ingin apa?” tanyaku tak sabaran.
            Wajah Dwiky makin tersiksa. “Bunuh kamu...”
            Jika aku sering terserang sesak napas, sekarang aku terserang serangan jantung. Duniaku berhenti berputar.
            Dwiky memaksakan diri menjelaskan padaku dengan wajah seperti ingin menangis dan penuh penyesalan. “Cindy posesif. Siapapun yang dekat ama aku, pasti akan diincarnya. Sudah berapa teman cewekku yang jadi sasarannya. Dia psikopat. Obsesi membunuh mengalir dingin di darahnya. Pertama ia mengoreksi informasi tentang cewek itu. Setelah ia pikir cewek itu tak terlalu ‘berbahaya’ untukku, ia lepaskan. Tapi tetap ia beri peringatan seperti dikerjain atau dilabrak,” napas cowok di depanku terengah-engah. “Tapi jika cewek itu berpengaruh...,” ia menatapku putus asa. “Ia nggak segan-segan membunuhnya.”
            Mataku terbelalak. “Jadi...?”
            “Iya. Kamu salah satunya Ashilla,” tampangnya sekarang betul-betul tersiksa bukan main.
            Mengapa? Tapi hanya mampu kusebutkan dalam hati ketika Dwiky menarik lenganku kembali.
            “Ayo sekarang pergi dari sini sebelum dia menemukan kita.”
            Belakangan ini, ketika Ghani benar-benar hengkang dari hidupku setelah sebelumnya mencampakkanku, keluargaku dikoyak dengan rasa sakit tak tertahankan, kejadian memuakkan beruntun menimpaku, segala masalah menghantam nadiku, aku pikir mati lebih mudah daripada hidup. Hidup itu keras. Mati lebih mudah. Dan jauh lebih damai.
            Harapan untuk mati secepatnya sudah ada di depan mataku. Tapi harapan itu redup dan urung seketika saat Dwiky menggemgam tanganku erat dengan tangannya yang berkeringat, sampai-sampai aku tau bahwa otot tangannya menegang dan tak jadi menarikku pergi.
            “Sudah terlambat, Dwiky.”
            Wajahnya yang cantik berubah menjadi kumal. Rambutnya berantakan. Pakaiannya morat-marit. Di kegelapan malam minggu Jogja yang bertabur ribuan bintang, mata pisau itu berkilat di terpa cahaya. Menyeringai tajam, selayaknya seringaian ganas yang dilontarkan Cindy di wajahnya yang jelita. Pandangannya menusuk. Terlebih lagi saat menatap tanganku yang jadi satu dengan tangan Dwiky.
            Cindy muntab.


@anggiiaaa

Komentar