Secret Admirer: My Mysterious Man 1
Mataku terbuka perlahan.
Gambar pertama yang kulihat adalah sesosok wajah indah namun buram. Aku
memejamkan mata lagi sejenak sambil merenggangkan seluruh ototku. Mulai dengan
gerakan sederhana, rasa sakit itu menyergapku seketika. Aku kontan merintih lirih.
Baru beberapa detik aku hidup di hari ini disambut dengan rasa sakit tak
tertahankan. Bukan ucapan selamat pagi yang ramah plus senyuman yang
meneduhkan.
Sekujur tubuhku serasa kaku, bengkak, dan lebam di segala sisi, dan perihnya berlangsung bersamaan. Mati sajalah aku. Erangan dan desisan terdengar setiap kali aku bergerak. Akhirnya aku lebih memilih diam tak bergerak selagi aku tak dapat move on dari kasur.
Sekujur tubuhku serasa kaku, bengkak, dan lebam di segala sisi, dan perihnya berlangsung bersamaan. Mati sajalah aku. Erangan dan desisan terdengar setiap kali aku bergerak. Akhirnya aku lebih memilih diam tak bergerak selagi aku tak dapat move on dari kasur.
Mataku kembali menjajaki potret indah pertama tadi.
Pemandangannya yang buram berangsur-angsur nampak seiring aku
mengerjap-ngerjapkan mata dan dibantu oleh sinar lampu kamarku yang temaram.
Potret indah itu teraktualisasikan di selembar buku gambar A3 dengan goresan
pensil yang detail. Goresan itu bergabung menjadi satu, membentuk sebuah wajah
cerah menawan. Wajah seseorang yang kucintai di hari kemarin.
Benar saja, baru melihat gambarnya pagi-pagi, hatiku sudah sukses diaduk-aduk oleh kenangan kabur itu. Memikser, mengacak-acak perasaanku seperti baju dalam mesin cuci. Aku jadi pusing campur mual. Hatiku jadi panas, dan panasnya menjalar menuju mataku. Terang saja mataku kegerahan, segera ingin membuncah bersama cabikan sisa hatiku yang redup dan nyaris mati.
Aku menggeleng pelan. Tentu sambil mengerang tanpa suara
(lagi). Takkan kubiarkan kenangan sialan itu menghancurkan hariku. Ini matahari
baruku, hari baruku.
Dan ujian bahasa Indonesia yang sama sekali tak baru
menanti di sekolah.
***
Setelah menunggu 5 menit
penuh, bus yang biasa mengantarku pulang-pergi kemana-mana datang. Aku langsung
melompat ke dalam, sedikit nelangsa karena tak kutemukan bangku kosong.
Aku meraih pegangan tangan yang menggantung dari
langit-langit bus. Masih pagi tapi udara di bus begitu sesak. Sementara semua
bangku terisi penuh, aku ternyata tak sendiri. Ada 3 orang lain yang bernasib
sama denganku, tapi masih kudengar kondektur berkoak-koak di luar, “masih
kosong, masih kosong!” dengan nada yang sama saat mengatakan “sayang anak,
sayang anak!” lalu menyebutkan daerah tujuan. Aku tak habis pikir. Namun yah,
aku tak merasakan apa yang ia rasakan.
Bus belum kunjung berjalan, meskipun sepertinya usaha
sang kondektur sudah bernyanyi rock
di pagi hari berhasil. Terdapat 5-6 orang baru yang bernasib sama denganku,
serta 1-2 pedagang asongan. Aku melirik jam tanganku takut-takut. Awas saja
kalau bus ini tak mampu mengantarku selamat dari guru piket di sekolah setengah
jam mendatang.
Karena mulai bosan, mataku iseng berkeliling menatap
segala objek di dalam atau luar bus. Entah itu tas model terbaru Sophie Martin
yang ditenteng ibu-ibu modis yang duduk di sebelah kanan depanku, kacamata
hitam mengilat bertengger di wajah bapak-bapak bertubuh atletis yang berdiri
tepat di belakang kursi sopir, atau paras keren yang dimiliki cowok berseragam
sama denganku dengan rambut potongan anak jaman sekarang, telinga yang
tercantel headset putih, terjulur ke
saku kemeja kotak-kotak merah-hitam yang sepertinya dari woll. Tas ransel model
pendaki gunung, dan sepatu semi boot. Hidung dan dagunya begitu lancip. Aku
baru memandanginya dari samping, namun kurasa sudah bisa kukatakan bahwa cowok
yang berdiri beberapa kursi di depanku ini... keren.
Mataku menatapnya terkagum-kagum. Namun sepertinya, musik
yang terdengar dari headset-nya itu
tak berefek apa-apa. Atau ia sedang mendengarkan musik galau? Dari
penampilannya, ia tipe cowok yang... kuat. Tapi, penampilan bisa menipu siapa
saja tak terkecuali presiden. Ah, menurut feeling-ku,
dia justru peminat musik keras, sekeras rahangnya saat ini. Kumiringkan wajahku
agar bisa melihat wajahnya lebih jelas, dan yang kudapati alis tegas itu
membentuk wajah yang tajam.
Apapun yang membuatnya marah hari ini, selain sama-sama
bernasib berdiri dalam bus, kabarku hari ini juga begitu kalut. Gemercik amarah
hari kemarin masih membekas sampai sekarang.
Tiba-tiba aku merasa tak sendirian.
Aku tersentak karena bus tiba-tiba berhenti, diikuti oleh
suara sang kondektur menyebutkan nama daerah. SMA 77. Dan baru kusadari pula,
cowok di hadapanku tadi hilang. Sejenak aku heran sendiri.
Rupanya ia turun saat bus belum benar-benar berhenti. SMA
77...
Tiba-tiba aku merasa kehilangan yang menyiksa.
***
Sepulang sekolah petang hari,
aku membuka pintu kamar dan berdiri membelakanginya. Entah apa yang merasukiku,
gambar pertama pagi tadi kutatap tajam. Setajam pisau yang ia sabit-sabitkan ke
ulu hatiku. Tanpa pikir panjang aku merangsek ke atas kasur, dan mencabut kasar
gambar itu. Dan menghancurkannya menjadi kepingan. Kepingan yang kuharapkan
dapat kuciptakan pada diri orang itu sebagaimana yang telah ia lakukan.
Lalu aku terduduk, menutupi wajahku yang panas. Menangis
sejadinya. Gambar itu satu-satunya gambar orang itu yang tersisa, yang lainnya
sudah lenyap jadi abu seiring amarahku yang tak terelakkan. Seperti yang
kuinginkan bahwa ia lenyap seperti abu. “Menghilanglah dari hidupku,” aku akan
mengatakan padanya saat ia berwujud jadi abu lalu menendangnya keras-keras.
Dan hatiku lebih hancur dari kepingan kertas di depanku.
***
Aku melompat ke dalam bus
dengan mata berkantung. Sekujur tubuhku loyo. Kemarin aku nyaris 3 jam penuh
menangis. Penampilanku begitu kuyu.
Pembawaanku jadi makin berlebihan karena merasa aku orang
paling merana di dunia. Tak dapat kutemukan lagi kursi kosong di bus ini.
Kasihan sekali jadi aku. Aku masih ingin menangis, kau tau. Aku akan
benar-benar menangis lagi sekarang jika tak ingat aku di mana.
Sudah lima belas menit aku berdiri bertumpu pada
pegangan, namun butuh waktu 10 menit untukku menyadari siapa orang yang berada
tepat di sampingku. Cowok berahang keras kemarin. Ada kalanya ketika kau
mengharapkan kesenangan, kesenangan itu tak kunjung datang. Tetapi, ketika kau
tanpa sadar tak mengharapkannya, ia akan datang sendiri. Ya, aku cukup
terhibur. Kini cowok itu menghadapku dengan jarak hanya satu kursi sementara
kini aku yang berdiri menyamping.
Penampilannya masih sama, kemeja woll kotak-kotak
merah-hitam, headset putih, sepatu
semi boot. Alis tegas, hidung dan dagu runcing, dan bibir dengan sudut apik.
Wajahnya putih bersih. Ia sedang sibuk mengoperasikan sesuatu di ponselnya yang
tersambung dengan headset-nya. Dalam
tubuhku yang bergerak seirama guncangan dalam bus, aku terus menatapnya dengan
selidik ingin berbagi...
Saat ia mengantungkan kembali ponselnya, aku terkesiap
dan langsung tegap menghadap ke depan. Lalu meliriknya pelan-pelan. Matanya
begitu kelabu, sekelabu mataku. Bibir sudut apik itu sama mendungnya dengan
bibirku. Alis tegas itu sama muramnya dengan alisku.
Apa ini? Kebetulan?
Kali ini aku tak begitu kaget, hanya saja spontan menoleh
kea rah kondektur yang menyebutkan nama daerah SMA 77. Kulihat ia menghela
napas panjang dan berat, menggerakkan tali ranselnya, menghampiri pintu, dan
melompat keluar sebelum bus benar-benar berhenti. Mataku menerawang melihat
punggungnya menjauh.
Tiba-tiba aku ingin bernaung di pelukannya dan
mengajaknya menangis bersamaku.
***
Oya, kau belum tau bahwa
sepulang sekolah, aku tak langsung pulang ke rumah. Aku pengajar kelas melukis
anak-anak panti asuhan 7 kilometer dari sekolah. Jam mengajarku 1 jam dan
kebiasaanku setelah mengajar adalah duduk menggambar di taman panti. Aku punya
waktu 1 jam lagi sebelum pulang sekitar jam setengah 5 sore.
Dan di sinilah aku, duduk sendiri masih berseragam putih
abu-abu sambil sibuk menggambar sesuatu di buku gambar A3 favoritku. Gambarnya hamper
selesai, mengingat sudah setengah jam yang lalu aku duduk. Dan tiba-tiba sebuah
tangan lembut menyentuh bahuku.
“Eh, Ibu...,” kataku mendongak. Mata Bu Hanifah sedang
serius menatap sketsa wajah seseorang yang masih segar dalam ingatanku. Beliau
beranjak duduk di sampingku.
“Gambar siapa? Nggak mirip Ghani...,” godanya.
“Ah, bukan lah, Bu...,”
“Lantas?”
“Hmmm..,” aku meletakkan buku gambar yang sedari tadi
kugemgam di pangkuanku. “’Kenalan baru’” kataku sambil membentuk tanda kutip
dengan jari. Raut wajah Bu Hanifah seketika cerah dan mengusap lembut kepalaku.
“Tapi... sepertinya. Ibu kenal wajah ini,” kata Bu
Hanifah sambil mengernyitkan dahi.
“Oya?”
“Iya... tapi...,” alis dan dahi paruh baya itu terlihat
ragu. “Ibu nggak yakin,”
“Ya... lagi pula gambarnya belum selesai kok, Bu,”
Maka sesampainya di rumah, gambar yang kusempatkan untuk
diselesaikan itu kubawa pulang. Kutatap dinding bekas sketsa wajah Ghani.
Kuambil gulungan A3 dari ranselku, membukanya, dan menatapnya bangga. Kuambil
selotip, dan wajah menawan Ghani tergantikan dengan wajah cowok SMA 77 yang tak
kalah menawan. Meski dalam potret kesedihan seperti pagi tadi.
Kekagumanku terhadapnya makin bertambah lambat laun
kupandangi wajahnya dari sebrang. Aku menatapnya cukup lama, hingga kamar yang
sepi itu tak terasa sepi lagi.
***
Aku begitu semangat melompat
ke dalam bus pagi ini. Benar saja, begitu beruntungnya aku selalu bisa
bersamanya 3 pagi berturut-turut. Ia duduk di deretan bangku belakang. Aku
menatapnya sumringah.
Kepalanya agak tertunduk. Namun kulihat ia tersenyum,
sama sepertiku. Meski sorot matanya tak berubah dari hari kemarin, menurutku ia
hari ini lebih baik. Ia masih menyisakan kesedihan. Ia tersenyum dalam lara.
Aku menghela napas semangat dan tetap mempertahankan
senyum sumringahku.
Sudah di depan SMA 77, namun kulihat ia nyaris tak
bergerak. Senyumku mulai ragu. Aku menatapnya heran sampai akhirnya bus
meninggalkan SMA 77. Aku jadi sempat menganga.
Saat sudah di dekat halte sebrang sekolahku, kulihat ia
beranjak berdiri. Ha? Mau apa dia? Turun di sini? Bolos? Berbagi spekulasi
bersliweran dalam pikiranku. Saking terpakunya aku, kulihat ia sudah nyaris
melangakh saat bus benar-benar berhenti. Tanpa sadar aku berlari mengikutinya
dan tersandung saat melangkah keluar. Kalau saja tanganku tak meraih bahunya,
sudah dapat kupastikan aku akan menahan malu tujuh turunan karena terjembab
jatuh di halte yang notabene masih terisi banyak teman-teman sekolahku yang
hendak menyebrang.
Ia menoleh dan langsung menangkap tanganku seiring
langkahku yang terpincang-pincang karena kaki ini sempat terbentur keras lantai
bus. Ia menatap wajahku yang meringis dengan raut wajah kaget bercampur cemas.
“Sori,” kataku di sela ringisan campur sumpah serapah.
Sudah dapat kubayangkan, wajahku konyol sekali.
Ia tak menjawab kata-kataku. Ia memilih menggemgam erat
tanganku dan memperhatikan kakiku yang cenat-cenut. Lalu ia menatapku.
Ringisanku seketika memudar menatapnya terpaku.
Lalu ia melepas tanganku, mengamatiku dari atas sampai
bawah. Tanpa sadar, berangsur-angsur kakiku yang masih sakit ini memijak tanah.
Lalu ia tersenyum. Kini tanpa beban.
Ia menepuk bahuku pelan sebelum akhirnya ia menghilang,
berjalan ke arah barat.
Tiba-tiba
aku merasa rindu. Dah, uye! Aku lupa mengucapkan kata terima kasih! Aku menghela
napas dalam, “thanks,” berteriak
kepada bayangan merah jauh di sana.
Kali ini bukan suara kondektur yang membangunkan mimpiku
bersama cowok itu, melainkan bunyi bel sekolahku yang samar. Mataku membulat.
Aku akan terlambat! Akhirnya aku berlari tersaruk-saruk menuju zebra cross.
***
“Ashilla, kamu mau pulang jam
berapa? Sekarang sudah jam lima kurang lima menit!” teriak Bu Hanifah dari
dapur tepat saat aku menyelesaikan sketsa cowok itu hari ini.
“Hah?” tanyaku terkesiap.
“Iya, cepet pulang, keburu malam,”
“I... iya.” Aku menggulung kertas yang kurobek dari buku
gambar A3 dan dengan tergopoh-gopoh aku membereskan barang-barangku yang
berserakan di meja makan.
“Nggak usah salim, tangan Ibu kotor,” ujar Bu Hanifah
seolah membaca pikiranku.
“Shilla pulang ya, Bu. Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam,”
Aku berlari secepat kilat hingga duniaku seolah mengalami
gempa. Oh, aku berlebihan, maksudku, aku menabrak seseorang.
Brak! Bruk! Brak! Klontang!
Ternyata kami sama-sama membawa barang di tangan kami,
dan orang yang kutabrak ini membawa sesuatu yang terbuat dari besi yang
ujungnya runcing, hingga selain pantatku panas, sikuku terasa perih. Sial
sekali aku hari ini. Kutengok, dan benar saja, ada garis melintang 2 cm di
sikuku. Berdarah.
“Sori, luka ya?” tanya orang itu dan seraya meraih
tanganku, memeriksa lukaku. “Aku obtain di UKS ya,”
“Nggak perlu,” tanyaku cepat dan untuk pertama kalinya
aku melihat siapa yang sedang bernasib sama denganku. Apa ini? Kebetulan
(lagi)? Dia! Dia! Cowok SMA 77!
Sepertinya ia sama tertegunnya denganku. “Kamu?” kata
kami bersamaan.
Kami tertawa kecil dan ia seraya mundur ke belakang. “Sori,”
kata kami, bersamaan lagi. Aku menunduk malu. Ia merogoh sakunya dan
mengeluarkan sapu tangan polos berwarna hijau. Dibalutnya lukaku dengan
hati-hati.
“Sepertinya aku buat hidupmu repot,” kataku.
“Nggak juga,” katanya ramah. Lalu ia membereskan
barang-barang yang berserakan. Rupanya ia membawa keranjang besi berisi
gulungan-gulungan karton. Itu keranjang bermodel bisa digantung di dinding,
jadi aku tergores gantungan itu yang ujungnya runcing.
“Sudah kubilang mereka harus mengganti keranjang ini,”
katanya menatap keranjang lalu mengulurkan tangan padaku. Ia menarikku hingga
berdiri dengan lembut. “Aku antar ke UKS,”
“Nggak perlu,” kataku cepat. “Aku harus buru-buru pulang,”
“Kau yakin?”
“Iya,”
Lalu ia menyodorkan buku-bukuku. Kami sempat berpandangan
sebentar hingga ia mengulurkan tangan. Aku menyambutnya.
“Dwiky,”
“Ashilla,”
@anggiiaaa
Komentar
Posting Komentar