Draft: Fiction Story
Entah jadi apa aku sekarang di matanya selama hidupnya yang tampaknya adem ayem saja tanpaku beberapa hari belakangan ini. Bahwa aku sengaja meninggalkannya, hanya sekadar ingin tau apa arti hadirku. Tak ada respon. Ego kami justru meruak muncul ke permukaan, memuncak dan tumpah. Tidak ada yang menang. Kami sama-sama kalah akibat gengsi, kesombongan, keangkuhan, di atas luka penderitaan yang selama ini sangat familier.
Tangisku terlalu sering sehingga tidak bisa di hitung berapa banyak produk salah satu pabrik dan sepertinya aku sukses membuat mereka bahagia karena aku pelanggan booking produk mereka---tisu (oke, aku berlebihan dan bertele-tele). Ironisnya, ia yang menciptakan ini tidak pernah melihatnya secara langsung (karena kupikir, jika yang ia katakan benar-benar fakta, kuingin melihat ia menyayat-nyayat tangannya sendiri saat melihatku menangis). Hei! Lihat ini! Kau masih mempunyai orang yang rela menderita untukmu, segalanya untukmu, dan kau bisa membuangnya sembarangan sesuka hatimu jika ia mulai tegar. Toh ia akan kembali...
Ada tali yang mengikat dan mengukuhnya begitu erat dan begitu menyiksa, namun darah itu seakan menjadi madu. Seakan-akan itu satu-satunya yang ia inginkan. Seakan-akan itu adalah kebutuhannya. Kebutuhan pokoknya. Maka ia akan kembali, berlutut di hadapanmu, memohonmu untuk kembali.
Jadi, sudah merasa hebatkah dirimu telah memegang kendali?
Puaskah kau telah memperbonekakan aku?
Komentar
Posting Komentar