Secret Admirer: My Mysterious Man 2
Bulan
seakan terlempar jauh. Bintang seakan redup ditutupi awan kelabu. Hanya
binatang malam yang bersuara. Di malam yang nyaris larut ini aku seakan
terkesima dengan langit-langit kamarku. Oh, tentu tidak. Mataku tertancap di
sana, namun tak sedikitpun pikiranku berlabuh ke sana. Mataku menerawang jauh.
Mengikuti gerak bulan yang terlewat cepat menyusuri malam, layaknya aku yang
menghabiskan malam ini hanya untuk menyelusuri.
Di malam yang sunyi namun ramai karena para binatang paduan suara---kurasa tak hanya mereka yang bersuara. Meski bibirku tersungging dan tak terkatup, mataku berbicara. Menerawang jauh ke sana.
Di malam yang sunyi namun ramai karena para binatang paduan suara---kurasa tak hanya mereka yang bersuara. Meski bibirku tersungging dan tak terkatup, mataku berbicara. Menerawang jauh ke sana.
Kupikir,
dunia ini benar-benar seperti selebar daun kelor. Tak perlu susah-susah aku
mencari identitasnya. Tak perlu jauh-jauh aku menemukan pengganti Ghani. Tak
perlu aku meratap lama-lama. Tak perlu aku merenung dalam kesedihan hanya
karena ingin tau hidup orang.
Dwiky.
Ah... ya.
Lalu aku teringat akan aktivitasku di panti tadi. Dan... oh, no! Aku teringat pada potret Dwiky yang kugambar di panti tadi. Lantas dengan semangat juang aku menuju meja belajarku. Di kursinya yang sudah usang, kutelantarkan ranselku. Dengan cepat aku mengais-ngais isinya, mengaduk-aduknya seperti mencuci beras. Namun tak ada yang membuat otakku berfikir bahwa aku menyentuh gulungan sobekan A3. Hah? Kuaduk-aduk lagi tapi hasilnya tetap saja nihil. Ke mana perginya?
Namun pada
menit berikutnya nyatanya aku sudah menerawang kembali di tempat tidurku.
Tersenyum, terlelap dalam kedipan mata pertama.
***
Meski semalam aku benar-benar menyerahkan diri pada sosok
itu, aku melangkahkan kaki biasa-biasa saja ke lantai bus. Toleh kanan-kiri,
tak kutemukan Dwiky. Lho? Kuperiksa sekali lagi. Lha? Kenapa dia sekarang?
Sakit? Izin? Bolos? Pagar rumah macet? Diserang Batman? Hidupku seakan-akan
dikelilingi hal mengejutkan sejak bertemu dengannya. Selalu saja ada yang baru.
Tak sampai
sehari penuh ia sukses membuatku sesak napas karena satu hal yang
konyol---setidaknya bagiku untuknya; seonggok rindu.
***
Di panti...
Sebelum
meninggalkan panti, aku membantu Bu Hanifah mencuci piring di dapur. Inilah
saat-saat di mana waktuku bersama Bu Hanifah. Sesampainya di panti aku sama
sekali tak bisa menjangkau beliau. Waktu pulang sekolah dengan mengajar tipis
sekali. Jadi seusai mengajarlah, tapi itu jika Bu Hanifah sedang tidak repot.
Kalau beliau repot, kuhabiskan waktu dengan menggambar. Aku tak pernah semangat
pulang ke rumah. Sekarang aku tak punya objek untuk bisa kugambar dan Bu
Hanifah sedang senggang. Klop sudah.
“Ternyata
kamu kenal Dwiky, La?” tanya Bu Hanifah ketika mengelap piring-piring yang
sudah kucuci.
“Enggak
sih. Baru kemarin aja, Bu,”
“Tapi
kemarin Ibu lihat kalian ngobrol sampe senyam-senyum?”
“Eeenggg...
yaaa. Ternyata Dwiky teman satu bus,” kataku malu. Dibalas manggutan Bu Hanifah
di belakangku.
Sampai 3
piring ke depan, satu hal sederhana yang ternyata bisa membuat jantungku tak
berdetak sejenak. Mataku membulat.
“Ibu kok
bisa tau Dwiky?” Aku mengatakannya sampai harus membalik badan.
Ah ya. Bahkan
semalam tak kupikirkan sama sekali mengapa cowok itu bisa nyasar di panti!
Kudengar
tawa kecil Bu Hanifah yang merdu. “Dwiky itu keponakan Ibu, Ashilla,” katanya
lembut.
What? What? Whaaaaat??
Aku
ternganga. Tawa kecil Bu Hanifah berubah menjadi ngakak. “Maaf, kamu sudah
nyaris 2 tahun di sini tapi kamu tak pernah tau. Dwiky anak dari adik Ibu yang
ke 2. Ibu tak pernah membicarakannya padamu karena ia memang tak terlalu dekat
dengan Ibu. Dan ia tipe orang yang tertutup. Dwiky jarang sekali kemari. Paling
setahun sekali. Itupun saat liburan, jadi nggak pernah ketemu kamu.”
Really good.
“Hari ini
dia ke sini?”
Kulihat Bu
Hanifah terdiam sejenak. “Ibu rasa enggak.”
***
Hingga 2 minggu ke depan hidupku sepi tanpa Dwiky yang tak
sampai satu bulan kukenal. Hingga aku lelah menanti harapan yang tak kunjung
tiba, aku teringat kembali akan kata-kataku tempo hari. Bahwa terkadang,
kesenangan tak datang kepadamu ketika kau menunggunya, namun di saat kau tak
sengaja tak mengharapkannya meski ingin, dia akan datang.
Satu lagi
yang tersirat dari kata-kata itu yang baru saja kutemukan; indah pada waktunya.
Segala sesuatu yang terjadi bukan tanpa tujuan.
“Hai,”
sapa seseorang saat sebelumnya menepuk bahuku pelan. Aku menoleh dan ia
menyambutku dengan senyuman.
“Hai,”
balasku, tanpa lupa dengan senyum semaniiiiiiiiiiiiiisss mungkin.
Lalu
hening. Kami berdiri bersisian. Dia yang kutunggu dan sekarang aku bisa saja
melakukan apapun yang kuinginkan terhadapnya tapi lagi-lagi hatiku begitu
tenang. Setenang sebuah desa.
“Kamu...,”
kata kami, bersamaan. Dan kami tertawa bersamaan.
“Kamu dulu
deh,” katanya disela tawa.
“Kamu
aja,”
“Ladies first,”
Aku
mengeluh. “Dua minggu lalu aku nggak liat kamu di sini. Ke mana?”
Saat itu
juga aku tersadar betapa bodoh kalimat yang keluar dari bibirku. Aku buka kartu
tanpa sengaja.
Sejenak
kulihat wajahnya menegang. Lalu segera sirna dengan senyumnya selembut dan
semanis tepung gula. “Aku kebetulan nebeng temenku 2 minggu kemarin. Kami ada
taruhan, dan ternyata aku yang menang. Aku meminta dia buat nganterin aku
pulang-pergi setiap hari,” katanya sambil nyengir.
“Dan hanya
berlaku dua minggu?” candaku.
Ia
menggaruk kepalanya kaku. Aku tertawa. “Oh ya. Tadi mau bilang apa?”
“Nanti
kamu ke panti?”
“Halte SMA
77, SMA 77, SMA 77!!”
Kulihat ia
agak panik. “Jika iya, sampai ketemu nanti,” katanya menepuk lenganku pelan dan
tak lupa senyumnya yang manis. Lalu ia menghampiri kondektur yang sudah siap
siaga di ambang pintu, dan melakukan kebiasaannya; melompat keluar saat bus
belum benar-benar berhenti.
Jika
boleh, aku ingin memutar roda waktu agar lebih cepat, hingga aku tak perlu
sekolah dan menemukannya di panti.
***
Saat aku membaca sebuah artikel yang kucuri di redaksi
majalah sekolah lewat temanku di taman panti, seseorang menepuk lenganku pelan
dengan sesuatu yang agak kaku. Aku menoleh dan kutemukan gulungan karton.
Akhir-akhir ini aku begitu sangsi dengan benda itu. Ketika kulihat pemilik
tangan yang terulur itu, aku mengambil gulungan itu dengan tidak sopan. Aku
langsung menunduk. Peluhku seakan siap membuncah. Aku gugup setengah mati.
Dwiky
beranjak duduk di sisiku, sambil terus memandang gulungan karton yang ada di
tanganku. “Budhe bener. Kamu bakat menggambar apa saja.”
Tak ada
sedikitpun keberanian yang ada di rohku. Tubuhku menegang. Aku tak menjawab
kata-katanya.
“Baru kali
ini aku melihat hasil gambar seseorang tersenyum dalam kepedihan dengan begitu
sempurna. Seperti hasil potretan.”
Aku
menelan ludah.
“Kenapa
bisa ini ada di tanganmu?” tanyaku bergetar karena pertanyaan itu tak sanggup
lagi kutahan. Kudengar desahan. Kurasa ia tersenyum sambil menghembus napas.
“Waktu
kemarin kita tabrakan dan barang-barangku berceceran. Aku kan bawa banyak
gulungan karton di keranjang. Nggak kerasa aku bawa milikmu juga. Pas aku liat,
ada satu gulungan yang beda ukuran dengan lainnya. Ternyata gulungan buku
gambar A3.”
‘Trus kok
bisa tau kalau itu punyaku?”
“Aku
menemukannya saat itu juga.”
Dengan
sisa keberanian yang ada, aku menoleh takut-takut padanya. Ia tersenyum.
“Karena 2
minggu kita nggak ketemu, gambar itu aku pajang di kamar,” katanya nyengir.
“Terima
kasih,” kataku tulus.
Hening.
Aku tak tau apa yang membuatnya begitu tenang ada di sampingku. Tak taukah dia
aku begitu gelisah karena ada di sampingnya?
“Ada satu
yang ganjal dari pertama aku liat gambarmu...,” katanya ragu.
“Apa?”
“Boleh?”
“Tentu,”
“Mukanya
siapa yang kamu gambar?”
Tak dapat
kulukiskan betapa berantakannya perasaanku saat mendengarnya.
“Eeengggggg...,”
kataku sambil menunduk. Hingga mungkin pada menit kelima aku masih bungkam
seribu bahasa, Dwiky ternyata menunggu jawabku. Ia sampai menundukkan kepalanya
sambil menatap wajahku. Semakin dalam kutundukkan kepalaku hingga nyeri.
“Shilla?”
“Eeeng,”
“Kalo
jawabannya rahasia, nggak papa kok,”
Saat aku
menatap wajahnya, ia terus saja tersenyum. Aku jadi nggak tega. Dia bilang, hal
itu mengganjal. Sampai akhirnya menjamur selama 2 minggu. Aku tau betapa nggak
enaknya penasaran.
“Kamu,”
kataku, begitu berani. Kulihat matanya membulat dan senyum itu lenyap. Matanya
menantangku “mengapa”. Lalu ia menganga.
“Maaf...,”
“Masa sih?
Nggak mungkin wajahku bisa sekeren itu,” katanya nyengir. Kubalas senyuman.
“Tapiii...,” lanjutnya sambil mengetukkan jari-jari ke sandaran bangku taman.
“Mengapa...?” Pertanyaannya menggantung.
“Aku
ngeliat kamu sewaktu akhirnya kamu nyelametin aku pas nyaris jatuh di halte
sebrang sekolahku,” aku mengatakannya sambil memutar bola mata. Dwiky ngakak.
“Di bus, wajahmu jadi seperti itu. Aku jadi punya inspirasi,”
“Kamu
melukis segala hal?”
“Tentu,”
kataku cepat. “Sekarang kamu jadi objek utamanya,” lanjutku, tentu saja dalam
hati!
“Haha,
kukira. Aku cepet banget GR,”
Aku
sekarang yang ngakak. “Maaf lho sebelumnya,”
“Nggak
papalah. Aku malah seneng,”
“Aku takut
kamu jeblosin aku ke penjara karena melanggar hak cipta dan izin.”
Kudengar
ia ngakak lagi. Setelah itu kudengar suara ponsel. Ia merogoh saku celananya.
Matanya menegang saat melihat layar ponselnya. Lalu ia menatapku polos. Ia
menjauh dariku saat sebelumnya menakan tombol answer.
Aku terus
berusaha mencoba agar mendengar kata-katanya dengan orang di sebrang. Kepo
sekali aku, tapi sia-sia. Ia berbicara begitu lirih.
Saat 2
menit lamanya ia menghampiriku lagi. “Kamu pulang naik apa?”
“Bus,”
“Jam?”
Aku
menjenguk jam tanganku. “Mungkin 10 menit lagi.”
Kulihat ia
agak kecewa. “Kalo kamu pulang sekarang aku bisa bareng kamu pulang naik bus.
Tapi aku harus pergi sekarang.”
“Iya,
nggak masalah. Soalnya Bu Hanifah mau ngomong sama aku. Katanya lima menit lagi
datang,” kataku sambil menatap jam tangan lagi.
“Maaf ya.
Aku harus pulang duluan.”
“Oke,”
Saat ia
berjalan menjauh, baru kusadari kata terakhirku kuucapkan begitu... getir.
Sementara
aku memandang punggungnya yang menjauh dengan tatapan agak terpekur, tiba-tiba
ia balik badan dan menghampiriku lagi.
“Boleh
gulungan itu untukku? Pliiiisss.”
Aku ngakak
melihat wajahnya yang konyol. Wajahnya yang keren itu jika sedang memohon
bermetamorfosis menjadi baby face.
Maka kuserahkan gulungan itu. Ia melempar senyum favoritku.
“Sebenarnya
aku butuh tanda tanganmu. Tapi maaf, aku buru-buru. Kalau aku nggak terobsesi
sama gambarmu, mungkin aku nggak akan balik lagi ke sini.”
“Bisa aja.”
“Sampai
jumpa.”
Aku
mengangguk. Kini aku menatap tubuhnya yang menjauh itu dengan mata berbinar.
Jadi apa
yang kaupikirkan? Apa yang kaupikirkan tentang kejadian selanjutnya?
Kupikir
ini awal yang baik. Tapi Tuhan adalah penjaga rahasia yang baik.
@anggiiaaa
@anggiiaaa
Komentar
Posting Komentar